Mewujudkan Kewibawaan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengawal dan Menjaga Konstitusi
on
MEWUJUDKAN KEWIBAWAAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGAWAL DAN MENJAGA KONSTITUSI
I Made Arya Utama1
1Fakultas Hukum Universitas Udayana “E-mail: prof_imautama@yahoo.co.id”
Info Artikel”
Masuk” : 8 Januari 2020 Diterima”: 1 Maret 2020 Terbit” : 27 April 2020
Keywords”:
Guarding; Guarding; Judge;
Constitution.
Kata kunci:
Mengawal; Menjaga;
Hakim; Konstitusi.
Corresponding Author:
I Made Arya Utama, E-mail:
DOI :
10.24843/KP.2020.v42.i01.p0
1
Abstract
Discourse to realize the ideal Constitutional Court of the Republic of Indonesia is still ongoing (continuous). One of the fundamental issues examined is regarding efforts to strengthen the Constitutional Court in guarding and maintaining the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (1945 Constitution) with various dimensions of normative and administrative issues. This article is normative legal research that assesses the ambiguity of the norms of Article 24C paragraph (1) and paragraph (2) of the 1945 Constitution. Sources of legal material in this paper come from the results of literature research and existing legal instruments in Indonesia. The results of the study indicate the meaning of the Constitution in Article 24C paragraph (1) and paragraph (2) of the 1945 Constitution including the opening and normativitation in various articles. Therefore, the Constitutional Court's decision should be interpreted as a translation of the Pancasila values and interpretation to explain the norms contained in the body of the 1945 Constitution so that the quality of the norms is higher than the norms regulated in a law which is the norms derived from the 1945 Constitution.
Abstrak
Diskursus mewujudkan Mahkamah Konstitusi (MK) yang ideal masih berlangsung secara berkelanjutan (kontinyu). Salah satu persoalan mendasar yang dikaji adalah mengenai upaya memperkuat MK dalam mengawal dan menjaga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945) dengan berbagai dimensi persoalan normatif dan administratifnya. Artikel ini merupakan penelitian hukum normatif yang beranjak dari kekaburan norma makna Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUDNRI 1945. Sumber bahan hukum dalam karya tulis ini berasal dari hasil penelitian kepustakaan dan produk hukum yang berlaku di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan makna Undang-Undang Dasar dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUDNRI 1945 meliputi Pembukaan dan batang tubuhnya yang dinormakan dalam berbagai pasal. Oleh karena itu, putusan hakim Konstitusi seharusnya dimaknai sebagai penjabaran dari nilai-nilai
Pancasila dan penafsiran untuk menjelaskan norma yang terkandung dalam batang tubuh UUDNRI 1945 sehingga kualitas normanya lebih tinggi dari norma yang diatur dalam suatu undang-undang yang merupakan norma jabaran bersumber dari UUDNRI 1945.
Undang-Undang”Dasar 1945 hingga hari ini telah mengalami empat kali perubahan. Ide perubahan UUD 1945 berawal dari tuntutan reformasi oleh masyarakat tahun 1998 akibat pelaksanaan pemilu yang dinilai tidak demokratis.1”Reformasi”kemudian menghadirkan wajah baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sistem yang diadopsi saat ini kemudian mengubah kedudukan lembaga-lembaga negara menjadi setara (horizontal fungsional menggantikan bentuk yang vertikal hirarkis).2”
Perubahan pertama Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999, perubahan kedua ditetapkan tanggal 18 Agustus 2000, perubahan ketiga ditetapkan tanggal 9 Nopember 2001, dan perubahan keempat ditetapkan tanggal 10 Agustus 2002. Penamaan Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali tanggal 5 Juli 1959 melalui Dekrit Presiden, juga mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUDNRI 1945).
Perubahan”UUDNRI 1945 menghadirkan implikasi untuk dilakukannya penguatan kelembagaan dalam rangka pelaksanaan kewenangan konstitusional.3”Pembentukan”lembaga tinggi negara Mahkamah Konstitusi merupakan hasil amandemen yang ketiga sebagaimana diatur dalam Pasal 24C yang terdiri dari enam ayat. Pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan perwujudan gagasan negara hukum, yang salah satu karakternya atau cirikhasnya ialah menempatkan konstitusi sebagai hukum tertinggi. Hadirnya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman yang independen merupakan katup penekan atas tindakan pelanggaran hukum di bidang ketatanegaraan.4 Mahkamah Konstitusi hadir untuk menegakkan kedaulatan rakyat, yang menjadi aspek paling fundamental dalam konstitusi. Prinsip ini biasa dikenal dengan demokrasi konstitusional (constitutional democracy).5 Kedudukan Mahkamah Konstitusi saat ini ialah sebagai bagian dari
kekuasaan kehakiman yang memiliki posisi sejajar dengan Mahkamah Agung. 6 Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu bagian kekhuasaan kehakiman memiliki tugas utama yakni sebagai pengawal dan sekaligus penafsir Undang-Undang Dasar yang tercermin pada setiap putusannya.7”
Salah”satu kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam ketentuan tersebut ditetapkan berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dalam rangka menjaga konstitusi, fungsi pengujian undang-undang ini tidak dapat lagi dihindari penerapannya sebab UUDNRI 1945 menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan supremasi konstitusi.8 Dalam kaitan itu, dijumpai kekaburan norma (vague van normen) terhadap makna Undang-Undang Dasar tersebut. Kekaburan dijumpai terkait substansi yang dimaksudkan apakah terbatas pada batang tubuhnya (yang terdiri dari 37 pasal, 3 pasal aturan peralihan dan 2 pasal aturan tambahan) atau termasuk juga pembukaannya. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal II Aturan Tambahan yang menetapkan “.... Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”. Oleh karena itu, menarik untuk diteliti secara mendalam mengenai makna dari Undang-Undang Dasar yang dikawal dan dijaga oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.”
Karya”tulis ini merupakan penelitian hukum normatif yang didasarkan pada ditemukannya kekaburan norma makna Undang-Undang Dasar dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUDNRI 1945. Sumber bahan hukum karya tulis ini berasal dari hasil penelitian kepustakaan dan produk hukum yang berlaku”di Indonesia.
Pada negara-negara demokrasi, hadirnya konsep pengujian konstitusi secara umum diterima dengan sangat baik oleh berbagai kalangan terkait. Konsep ini diangap mampu meminimalisir potensi tidakan sewenang-wenang yang dilakukan pejabat pemerintah.
Secara historis, mengenai keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi secara mandiri dipengaruhi beberapa faktor, seperti sistem hukum yang dianut oleh suatu negara. Pada beberapa negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon, kewenangan untuk melakukan judicial review dilaksanakan dalam satu atap oleh Mahkamah Agung. Pada beberapa negara yang menganut sistem hukum Civil Law atau Eropa Kontinental, judicial review suatu undang-undang terhadap undang-undang dasar dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, sedangkan judicial review suatu peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Mahkamah”Konstitusi sebagai salah satu lembaga pemegang kekuasaan kehakiman saat ini telah menjelma dalam sistem hukum ketatanegaraan Indonesia. Kehadiran Mahkamah Konstitusi secara teoretis dan praktis melengkapi badan peradilan yang telah ada sebelum Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen (Mahkamah Agung).9”
Urgensi pembentukan institusi Makhamah Konstitusi pada berbagai negara dipengaruhi oleh perkembangan prinsip negara hukum, prinsip konstitusionalisme, sistem pemerintahan yang demokratis dan pemisahan kekuasaan, serta jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia di masing-masing negara. Dengan kata lain, keberadaan institusi Mahkamah Konstitusi dengan berbagai penyebutannya di suatu negara dimaksudkan untuk melakukan pengembanan terhadap prinsip-prinsip tersebut dan memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Selain itu pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia juga tidak terlepas dari pengkajian pemikiran dari aspek politis sosiologis, yuridis, filosofis serta historis. Dari”segi politis sosiologis Indonesia yang menerapkan prinsip Pembagian kekuasaan sering terjadi tumpang tindih kewenangan diantara ketiga wewenang lembaga Negara. Dari segi politis yuridis perubahan UUD 1945yang memuat Mahkamah Konstitusi dalam kekuasaaan kehakiman. Dan dari sisi filosofis historis Majelis Permusyawaratan Rakyat telah mengubah rumusan Pasal 1 ayat (2) UUDNRI 1945 serta memasukkan Mahkamah konstitusi dalam Pasal 7 dan Pasal 24C UUD 1945 melalui proses perubahan dengan sistem addendum.10”
Mahkamah”Konstitusi dilihat dari aspek pembentukkannya memiliki tujuan awal sebagai penjaga demokrasi dengan memberikan ruang bagi masyarakat yang dirugikan untuk melakukan pengujian undang-undang.11 Saat ini setidaknya terdapat lima fungsi yang melekat dari Mahkamah
Konstitusi yaitu sebagai pengawal konstitusi, penafsir konstitusi, pelindung hak asasi manusia, pelindung hak konstitusional warna negara dan pelindung demokrasi.12”
Selain”itu, Mahkamah Konstitusi kelahirannya juga dimaksudkan untuk menjaga terlaksana checks and balance antar penyelenggara Negara. Hal ini ditujukan untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan pejabat Negara. Hal ini tentu bukan bermakna sebagai bentuk eliminir idenpedensi hakim dalam mejalankan kewenangannya.13 Atas dasar tersebut keberadaan Mahkamah Konstitusi kemudian dapat disebut sebagai suatu langkah nyata untuk dapat saling mengkoreksi antar lembaga negara pada sistem ketatanegaraan Indonesia.14 Demikian juga Mahkamah Konstitusi berkewajiban memberikan perlindungan atas hak asasi manusia sebagai pemegang kedaulatan dalam negara demokrasi, sehingga pelaksanaan kekuasaan negara sejalan dengan kehendak rakyat.”
Mahkamah”Konstitusi merupakan salah satu dari lembaga tinggi negara yang dibentuk atas amanat ketentuan Pasal 24C UUDNRI 1945 yang ditetapkan pada tanggal 9 Nopember 2001. Pada awalnya, berdasarkan Pasal III Aturan Peralihan UUDNRI 1945 hasil amandemen keempat ditetapkan kewenangan lembaga Mahkamah Konstitusi dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Hakim Konstitusi diangkat pertama kali berdasarkan Keputusan Presiden No. 147/M Tahun 2003 tertanggal 15 Agustus 2003 serta disumpah tanggal 16 Agustus 2003 sebagai kelanjutan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13 Agustus 2003 dan diundangkan melalui Lembaran Negara Nomor 98 Tahun 2003, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316. Adapun tanggal 15 Oktober 2003 dijadikan tonggak mulai beroperasinya lembaga Mahkamah Konstitusi yang ditandai dengan adanya pelimpahan perkara dari Mahkamah Agung”kepada Mahkamah Konstitusi.
Saat ini usia lembaga Mahkamah Konstitusi telah 16 (enam belas) tahun, suatu perjalanan menuju ke arah pendewasaan meskipun dalam praktek berbagai putusan telah dilahirkan yang mewarnai perkembangan Politik Hukum Ketatanegaraan di Indonesia. Pada pihak lain, disadari Mahkamah Konstitusi belumlah stabil sehingga membutuhkan berbagai pemikiran untuk memperkuat dan menjadikannya sebagai lembaga yang berwibawa, dihormati, dan dipatuhi secara sadar putusannya oleh lembaga tinggi negara lainnya maupun semua pihak dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pengingkaran”terhadap pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor. 34/PUU-XI/2013 oleh Mahkamah Agung dengan menetapkan Surat Edaran No. 7 Tahun 2014 berkenaan dengan persoalan peninjauan kembali Pasal 268 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1981 semestinya tidak boleh terjadi. Demikian juga pengingkaran dalam penormaan seperti ketentuan larangan dan ancaman pidana bagi yang mengumumkan hasil hitung cepat pada masa tenang dalam Pemilu Presiden sebagaimana diatur pada UU No. 42 Tahun 2008 yang telah dibatalkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-VII/2009, akan tetapi ketentuan tersebut tetap dimuat dalam Pasal 449 ayat (2) dan Pasal 509 UU No. 7 Tahun 2017 yang merupakan pengganti UU No. 42 Tahun 2008.”
Secara fungsional kepada institusi Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari penyelenggara kekuasaan kehakiman di Indonesia, oleh UUDNRI 1945 diberikan kewenangan khusus yang dibedakan dengan institusi lembaga tinggi negara lainnya. Menurut ketentuan”Pasal 24C ayat (1) UUDNRI 1945 ditetapkan mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi, yakni : menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan antar lembaganegara; memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum.”
Selanjutnya”berdasarkan”Pasal 24C ayat (2), kepada Mahkamah Konstitusi juga diberikan kewenangan untuk “memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”. Terhadap kelima kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut pada hakikatnya dapat dibedakan atas kewenangan dasar dan kewenangan tambahan. Adapun yang dikualifikasikan sebagai kewenangan dasar adalah kewenangan menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Sementara itu, keempat kewenangan lainnya dapat dikualifikasikan sebagai kewenangan”tambahan.
Kewenangan”dasar dalam menguji undang-undang ini sejalan dengan namanya sebagai institusi Mahkamah Konstitusi yang memiliki fungsi untuk mengawal dan menjaga konstitusi yakni UUDNRI 1945. Dengan demikian, undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang sebagai produk hukum operasionalisasi pertama dari undang-undang dasar wajib menyesuaikan serta harmonis dengan norma yang tersirat dan tesurat dalam undang-undang dasar. Sementara itu, menurut Pasal II Aturan Tambahan UUDNRI 1945 menetapkan UUDNRI 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal, sehingga antara keduanya merupakan 2 (dua) hal yang berbeda dalam satu kesatuan. Pemaknaan ini sejalan dengan kesepakatan dasar yang telah dihasilkan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam 5 (lima) hal, yakni : (1) tidak mengubah pembukaan UUD 1945; (2) tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3) mempertegas sistem pemerintahan presidensial; (4) penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normative akan
dimasukkan ke dalam pasal-pasal; dan (5) melakukan perubahan dengan”cara addendum.
Penegasan Pasal II Aturan Tambahan UUDNRI 1945 dikaitkan kelima kesepakatan dasar Majelis Permusyawaratan Rakyat memberikan amanat pada Mahkamah Konstitusi untuk mengawal dan menjaga Pancasila yang tertuang dalam Pembukaan beserta penjabaran nilai-nilai Pancasila yang tertuang dalam substansi UUDNRI 1945 sebagaimana tercermin melalui pasal-pasalnya.
Pancasila oleh para pendiri bangsa telah dijadikan sebagai filosopi negara, dasar negara, maupun sumber dari segala sumber hukum yang berlaku. Keberadaan Pancasila dalam pembangunan hukum di Indonesia telah dijadikan penentu arah didalam mewujudkan kehidupan yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Sementara itu, hukum sebagai satu kesatuan yang utuh akan berkaitan dengan persoalan pembangunan hukum, penegakan hukum, dan pembinaan hukum.
Pembangunan hukum akan berkaitan dengan kegiatan mengadakan hukum dari sebelumnya tidak ada, baik untuk keseluruhan melalui pembentukan hukum, untuk sebagian melalui pembaharuan hukum berupa menambah, mengurangi, mengganti, bahkan meniadakan. Sementara itu, penegakan hukum berkitan dengan membumikan hukum kepada sasarannya baik bersifat preventif maupun represif. Penegakan hukum preventif berupaya memperkenalkan hukum bersangkutan kepada sasarannya baik Pemerintah, masyarakat, maupun organisasi negara terkait. Penegakan hukum represif berupaya melakukan pengembanan terhadap norma-norma hukum yang telah ditetapkan untuk ditaati oleh semua pihak yang terkait, dan dalam hal terjadi pelanggaran akan diterapkan sanksi hukum seperti sanksi pidana, perdata, maupun sanksi hukum ketatanegaraan berupa impeachment. Sedangkan pembinaan hukum merupakan upaya melakukan evaluasi dan penyempurnaan agar kaidah-kaidah hukum yang diterapkan dalam suatu produk hukum dapat diterapkan dan sesuai dengan kebutuhan futuristik hukum masyarakat, bangsa, dan negara yang terus mengalami pekembangan.
Sistem hukum di Indonesia beserta penegakannya haruslah mewujudkan nilai-nilai Pancasila secara konsisten karena telah dijadikan sebagai pandangan hidup, kepribadian dan cita-cita bangsa Indonesia. Sistem hukum Indonesia seharusnya sebagai pedoman dalam mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat sehingga kekaburan norma maupun konflik norma intra dan antar produk hukum harus dihindarkan. Dalam kaitan itu, kebijakan omnibus law yang dikembangkan Pemerintah Presiden Jokowi saat ini sangatlah tepat untuk mengharmonisasi produk hukum yang saling bertentangan, untuk mewujudkan kepastian hukum dan memberikan manfaat dalam mempercepat mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila. Disamping itu, kebijakan omnibus law juga dapat menghilangkan ego sektoral penyelenggara negara.
Dalam pembentukan suatu produk hukum berupa produk perundang-undangan maka pembentukannya harus memenuhi usyarat filosofis, yuridis, dan sosiologis. Syarat filosofis berkaitan dengan nilai-nilai ideal yang perlu diperhatikan untuk keberlakuan hukum, seperti keadilan, kepastian, kemanfaatan bagi rakyat. Dasar yuridis mewajibkan suatu peraturan perundang-undangan untuk mempunyai keabsahan. Keabsahan ini meliputi kewenangan, materi muatan, sinkronisasi, dan ketaatasasan peraturan yang lebih rendah terhadap yang lebih tinggi. Dasar sosiologis mewajibkan peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan kedamaian dan ketertiban kehidupan masyarakat, sehingga harus dipertimbangkan segala situasi kondisi suatu masyarakat yang menjadi sasaran keberlakuannya. Dalam pada itu, nilai-nilai Pancasila yang digali dari kearifan lokal bangsa Indonesia, seharusnya menjadi dasar filosofis dari prosedur dan substansi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang sedang dan akan diberlakukan di bumi Indonesia. Oleh karena itu, hakim Konstitusi didalam melakukan penafsiran terhadap norma UUDNRI 1945, sudah seharusnya mendasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Mengingat pancasila selain berfungsi sebagai pengawal konstitusi juga berfungsi sebagai pengawal ideologi negara.15 Hakim Konstitusi didalam memberikan pemaknaan dan/atau penjelasan terhadap norma UUDNRI 1945 yang akan dijadikan batu uji kritis terhadap keberadaan suatu undang-undang yang diuji seharusnya merupakan penjabaran dari nilai-nilai Pancasila dikaitkan dengan upaya mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana dimuat dalam Pembukaan UUDNRI 1945.
Pembentuk Negara Indonesia telah bersepakat bahwa Pancasila menjadi ideologi dan dasar negara. Sebagai ideologi negara, maka Pancasila menjadi sumber inspirasi dari seluruh komponen bangsa didalam melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai rakyat dari Negara Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agusutus 1945. Sementara itu, sebagai dasar negara maka Pancasila menjadi landasan dasar dari Pemerintah maupun masyarakat didalam berpikir, berkata, dan/atau berbuat dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Hal ini sejalan dengan proses pembentukan dari Pancasila sendiri, secara historis merupakan saripati atau kristalisasi dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang telah berproses, diuji, dan terbukti mampu mengantarkan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya dari para penjajah.
Penguatan terhadap keberadaan Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya memuat Pancasila, secara historis juga dijumpai pada angka 3 huruf A point c Memorandum DPR-GR tertanggal 9 Juni 1966, khusus mengenai “Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia dan Skema Susunan Kekuasaan di Dalam Negara Republik Indonesia”. Secara substansial hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 1 Ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966 tertanggal 5 Juli 1966, yang menyatakan :
Pembukaan”Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Pernyataan Kemerdekaan yang terperinci yang mengandung cita-cita luhur dari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan yang memuat Pancasila sebagai Dasar Negara, merupakan satu rangkaian dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan oleh karena itu tidak dapat diubah oleh siapapun juga, termasuk MPR hasil pemilihan umum, yang berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 37 Undang-Undang Dasar berwenang menetapkan dan mengubah Undang-Undang Dasar karena mengubah isi Pembukaan berarti pembubaran”Negara.
Dengan demikian, Pembukaan UUD 1945 disepakati tidak dapat diubah karena didalamnya dimuat Pancasila yang menjadi dasar Negara Indonesia dan tujuan dibentuknya Negara Indonesia yang memberikan arah atau visi, harus dibawa kemana Negara Indonesia oleh penyelenggara negara bersama-sama seluruh rakyat Indonesia beserta pihak-pihak lainnya yang terkait.
Sebagai negara hukum yang dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 maupun UUDNRI 1945 menunjukkan komitmen bangsa dan rakyat Indonesia untuk menjabarkan amanat alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang menetapkan sebagai berikut :
Kemudian”daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat”Indonesia.
Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 mengandung mengandung perintah bagi penyelenggara negara untuk secara aktif, sebagaimana karakter negara kesejahteraan, memberikan kemanfaatan dan mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia baik dalam perspektif internal bangsa
Indonesia maupun eksternal dalam hubungan sebagai anggota masyarakat dunia.
Dalam perspektif internal, kepada pemerintah Indonesia sebagai personifikasi negara ditugaskan untuk berperan serta aktif mewujudkan tujuan negara. Sementara itu sebagai konsekuensi mendeklarasikan menjadi negara hukum maka Pancasila dalam pembangunan hukum ditempatkan sebagai inti sistem hukum yang akan dibangun. Arah pembangunan hukum harus sejalan dengan nilai-nilai yang tersirat maupun tersurat dalam Pancasila. Strategi pembangunan hukum nasional ditengah perkembangan globalisasi yang semakin pesat harus tetap mampu mendudukan pancasila sebagai screening board.16 Amanat dari perspektif struktur sistem hukum yang dibangun menempatkan UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat di wilayah tanah air Indonesia. Hal ini sejalan dengan kedudukan Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum dan UUD 1945 ditempatkan sebagai sumber hukum tertinggi dalam pembangunan sistem hukum di Indonesia.
Dalam perspektif eksternal, negara dan masyarakat Indonesia wajib memiliki keteguhan jati diri berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan norma hukum yang tertuang dalam UUDNRI 1945 untuk menghadapi peluang dan tantangan di pola pergaulan masyarakat internasional. Perkembangan dunia internasional di bidang Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan peradaban sosialnya tidak serta merta diadopsi tanpa filter, namun tetap disesuaikan dan harus harmoni dengan kebutuhan negara, bangsa, dan rakyat Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUDNRI 1945. Dalam kaitan itu, lembaga Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan strategis didalam mengawal dan menjaga Pancasila yang nilai-nilainya dijabarkan kedalam substansi UUDNRI 1945 untuk keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan kebhinekaannya (Bhinneka Tunggal Ika).
Mahkamah Konstitusi dalam mengawal UUDNRI 1945 yang dijiwai Pancasila haruslah bertindak proaktif responsif untuk membumikan nilai-nilai Pancasila dan/atau norma-norma UUDNRI 1945 dalam berbagai sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Hal yang ideal dilakukan adalah mengupayakan tidak terjadinya pikiran, perkataan, dan perbuatan dari seluruh komponen bangsa Indonesia maupun pihak-pihak lain terkait yang mengingkari eksistensi Pancasila dan melanggar nilai-nilai yang terkandung didalamnya beserta penjabarannya melalui substansi UUDNRI 1945. Penetapan nilai-nilai Pancasila yang menjiwai UUDNRI 1945 beserta sosialisasinya untuk dapat dijadikan pedoman berpikir, berkata, dan berbuat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara oleh seluruh
penyelenggara negara, rakyat Indonesia, dan pihak-pihak lain yang terkait menjadi sangatlah penting. Oleh karena itu, penetapan Desa Pancasila dan Desa Konstitusi, sosialisasi konstitusi sejak dini yang telah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi saat ini menjadi sangat bermanfaat dalam menumbuhkembangkan serta merawat kesadaran rakyat beserta penyelenggara negara untuk selalu cinta tanah air berdasarkan Pancasila dalam bingkai UUDNRI 1945, NKRI, dan Kebhinekaan Tunggal Ika.
Mahkamah”Konstitusi dalam menjaga UUDNRI 1945 yang dijiwai Pancasila, didalam melaksanakan kewenangan dasarnya melakukan pengujian undang-undang, maka penafsiran terhadap substansi UUDNRI 1945 yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi harus tetap dalam kerangka membumikan nilai-nilai Pancasila. Beberapa pandangan bahkan memaparkan bahwa Mahkamah Konstitusi saat ini memiliki fungsi sebagai penafsir tunggal konstitusi.17 Hal ini menegaskan bahwa konstitusi merupakan produk hukum yang tidak dapat diganti atau diubah dengan”mudah.18
Setiap pilihan penafsiran yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi untuk menafsirkan konstitusionalitas tentu tetap akan melahirkan perbedaan pandangan terutama di kalangan ahli dan pemerhati hukum.19 Pada kondisi ini Mahkamah Konstitusi seharusnya dalam menafsirkan konstitusionalitas suatu undang-undang tidak hanya menjadikan tesk sebagai yang utama, namun tetap harus memperhatikan konteks suatu pasal dengan kondisi kekinian sebagai bentuk supremasi konstitusi.20
Norma hukum yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui penafsiran sebagai operasionalisasi substansi UUDNRI 1945 terhadap undang-undang yang diuji haruslah tetap mendasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, norma hukum yang dihasilkan Mahkamah Konstitusi dalam menilai suatu undang-undang pada hakikatnya merupakan perluasan dari norma UUDNRI 1945 yang pada awalnya berkarakter sebagai norma dasar negara/ aturan pokok negara yang oleh Hans Nawiasky disebut dengan Staatsgrundgesetz. Hakim Konstitusi dalam kaitan ini bukanlah menafsirkan norma yang terkandung dalam undang-undang yang diuji melainkan menfasirkan norma dalam batang tubuh UUDNRI 1945 yang dijiwai nilai-nilai Pancasila untuk dijadikan dasar menguji validitas eksistensi undang-undang yang diuji baik secara keseluruhan maupun parsial. Dengan demikian, institusi negara yang tidak melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana
telah dikukuhkan bersifat final menurut”Pasal 24C ayat (1) UUDNRI 1945 jis. Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 dan UU No. 8 Tahun 2011, pada hakikatnya telah melawan perintah konstitusi (UUDNRI 1945) sehingga bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum. Presiden Indonesia dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara berwenang untuk memerintahkan pimpinan institusi yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi untuk segera mentaati dan melaksanakannya sesuai janjinya saat disumpah, sehingga pilar-pilar negara hukum dapat ditegakkan secara”konsisten.
Dalam pada itu, dengan kedudukan putusan Mahkamah Konstitusi yang agung seperti itu, maka putusan yang dilahirkan wajib berkualitas dan berwibawa. Kualitas suatu putusan hakim Konstitusi dapat diukur berdasarkan proses serta substansinya yang mengintegrasikan dan mengharmonisasi kepentingan rakyat maupun negara dalam bingkai nilai-nilai Pancasila. Sementara kewibawaan suatu putusan hakim Konstitusi dapat tercermin dari diterima dan ditaatinya secara sukarela putusan bersangkutan oleh semua pihak yang berkepentingan. Dalam kaitan ini maka sangat dibutuhkan adanya hakim Konstitusi yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan, menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta fokus mengabdikan dirinya untuk kepentingan negara dengan tidak merangkap sebagai pejabat negara ataupun jabatan lainnya yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan kedudukan, tugas, dan fungsinya.
Para hakim Konstitusi sudah seharusnya dengan sepenuh hati mengabdikan dirinya untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia dengan mengawal dan menjaga UUDNRI 1945 yang dijiwai Pancasila melalui berbagai putusannya yang arif, bijaksana, berkualitas serta berwibawa dengan senantiasa menjunjung tinggi dharma hukum yakni kebenaran dan keadilan. Untuk itu, setiap hakim Konstitusi didalam berpikir, berkata, dan berbuat, wajib mentaati Kode Etik dan prilaku hakim yang telah ditetapkan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 09/PMK/2006 yang dilandasi atas 7 (tujuh) prinsip, yakni prinsip independensi, imparsialitas, integritas, kepantasan dan kesopanan, kesetaraan, kecakapan dan keseksamaan, serta prinsip kearifan kebijaksanaan. Hakim Konstitusi secara tulus, lurus, serius bekerja untuk rakyat, bangsa, dan negara Indonesia, sehingga berani melepaskan diri dari kepentingan pribadi, keluarga maupun kelompoknya. Dengan demikian, seluruh jiwa raganya diabdikan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUDNRI 1945.
Merujuk pada hasil pembahasan diatas, beberapa simpulan yang dapat dikemukakan penulis meliputi :
Bahwa bangsa Indonesia bersepakat Pembukaan UUDNRI 1945 yang memuat Pancasila dan tujuan negara tidak dapat diubah sehingga substansi UUDNRI 1945 sebagaimana tercermin melalui pasal-pasalnya merupakan penjabaran dari nilai-nilai Pancasila yang dijadikan tolok ukur menilai undang-undang yang diuji.
Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam mengawal konstitusi berkewajiban bertindak proaktif responsif untuk mengejawantahkan nilai-nilai Pancasila dan/atau norma-norma UUDNRI 1945 dalam berbagai sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia melalui pikiran, perkataan, dan perbuatan hakim Konstitusi yang mentaati kode etik dan prilaku hakim serta menjunjung kebenaran dan keadilan.
Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menjaga UUDNRI 1945 yang dijiwai Pancasila, didalam melaksanakan kewenangan dasarnya melakukan pengujian undang-undang, maka pembentukan norma jabaran konstitusi melalui penafsiran untuk memberikan penjelasan terhadap norma substansi UUDNRI 1945 yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi harus tetap dalam kerangka membumikan nilai-nilai Pancasila.
Daftar Pustaka / Daftar Referensi
Buku
I D.G. Palguna, 2019, Welfare State vs. Globalisasi, Gagasan Negara Kesejahteraan Di Indonesia, Rajawali Pers, Depok.
Jimly Asshiddiqie, 2006, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, Konstitusi Press, Jakarta.
Konstitusi, N. K. M., & Warga, P. H. K. (2013). Masa Depan Mahkamah Konstitusi RI.
Konstitusi, T. P. H. A. M. (2010). Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Pan Mohamad Faiz, dkk, (2019), Mahkota Mahkamah Konstitusi, Bunga Rampai 16 Tahu Mahkamah Konstitusi, Rajawali Pers, Depok.
Saldi Isra dan Khairul Fahmi, 2019, Pemilihan Umum Demokratis, Prinsip-prinsip Dalam Konstitusi Indonesia, Rajawali Pers, Depok.
Thalib, A. R., & SH, M. (2006). Wewenang Mahkamah Konstitusi & Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan RI. Citra Aditya Bakti.
Jurnal Ilmiah
Ali, M. (2016). Mahkamah Konstitusi dan Penafsiran Hukum yang Progresif. Jurnal Konstitusi, 7(1), 067-090.
Anggono, B. D. (2016). Konstitusionalitas dan Model Pendidikan Karakter Bangsa Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi, 11(3), 492514.
Darmadi, N. S. (2015). Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia. Jurnal Pembaharuan Hukum, 2(2), 258-269.
Gaffar, J. M. (2009). Kedudukan, Fungsi Dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jurnal Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Lailam, T. (2016). Pro-Kontra Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Undang-Undang yang Mengatur Eksistensinya. Jurnal Konstitusi, 12(4), 795-824.
Maulidi, M. A. (2017). Problematika Hukum implementasi Putusan Final dan Mengikat Mahkamah Konstitusi Perspektif Negara Hukum. Ius Quia Iustum Law Journal, 24(4), 535-557.
Munawaroh, N., & Hidayati, M. N. (2015). Integrasi Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi sebagai Upaya Pembangunan Hukum Indonesia. Ius Quia Iustum Law Journal, 22(2), 255268.
Prayitno, K. P. (2011). Pancasila sebagai" Screening Board" dalam Membangun Hukum di Tengah Arus Globalisasi Dunia yang Multidimensional. Jurnal Dinamika Hukum, 11, 150-166.
Siahaan, M. (2009). Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penegakan Hukum Konstitusi. Ius Quia Iustum Law Journal, 16(3), 357-378.
Sudrajat, H. (2016). Kewenangan Mahkamah Konstitusi Mengadili Perselisihan Hasil Pemilukada. Jurnal Konstitusi, 7(4), 159-178.
Sumadi, A. F. (2016). Independensi Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi, 8(5), 631-648
Susanto, N. A. (2013). “Tirani” Konstitusional. Jurnal Yudisial, 6(3), 284-303.
Sutiyoso, B. (2016). Pembentukan Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaku Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Jurnal Konstitusi, 7(6), 025-050.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2003 Tahun 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2011 Tahun 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226)
Jurnal Kertha Patrika, Vol. 42, No. 1 April 2020, h. 1 – 14
14
Discussion and feedback