PENCEGAHAN KEKERASAN SEKSUAL ANAK: PENDEKATAN DESA ADAT

Anak Agung Istri Ari Atu Dewi1 Anak Agung Ketut Sukranatha2 I Gusti Ayu Diah Yuniti3 Luh Nila Winarni4

  • 1    Fakultas Hukum Universitas Udayana

E-mail : ari_atudewi@unud.ac.id

  • 2    Fakultas Hukum Universitas Udayana

E-mail : Agung_sukranatha@unud.ac.id

  • 3    Universitas Mahasaraswati

E-mail : Diahyuniti123@gmail.com

  • 4    Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai

E-mail : luhnilawinarni@gmail.com

Info Artikel”

Masuk” : 9 Januari 2020 Diterima”: 20 April 2020 Terbit” : 27 April 2020


Keywords”:

Prevention; Child Sexual Abuses; Customary Village.


Kata kunci:

Pencegahan; Kekerasan Seksual Anak; Desa Adat.

Corresponding Author:

Anak Agung Istri Ari Atu

Dewi, E-mail: ari_atudewi@unud.ac.id

DOI :

10.24843/KP.2020.v42.i01.p0


Abstract

Victims of child sexual abuse such as the phenomenon of the iceberg are increasing every year. Data from the Ministry of Women's Empowerment and Child Protection shows an increase from 2012 to 2018, including violence in Bali. Sexual violence against children is a crime that has a devastating effect on child development. The purpose of this study is to provide solutions and strategies in efforts to prevent sexual violence against children. The research uses socio-legal method through the legal regulatory approach and the sociological approach is appropriate in achieving the research objectives. The results suggested that to prevent sexual violence against children, the role of government and customary villages was very important. The role of the government through regulations governing efforts to prevent sexual violence against children is accompanied by the participation of customary villages through regulating efforts in awig-awig and pararem.

Abstrak

Korban kekerasan seksual pada anak seperti fenomena gunung es yang setiap tahun semakin meningkat. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukan adanya peningkatan sejak tahun 2012 sampai 2018, termasuk di antaranya kekerasan yang terjadi Bali. Kekerasan seksual pada anak merupakan tindakan kejahatan yang membawa dampak buruk pada tumbuh kembang anak. Tujuan penelitian ini memberikan solusi dan strategi dalam upaya pencegahan kekerasan seksual pada anak. Penggunaan metode sosiolegal melalui pendekatan peraturan hukum dan

7


pendekatan sosiologis tepat digunakan dalam mencapai tujuan penelitian. Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam upaya mencegah kekerasan seksual terhadap anak, peran pemerintah dan desa adat sangatlah penting. Peran pemerintah melalui peraturan yang mengatur upaya pencegahan kekerasan seksual pada anak yang disertai dengan peran serta desa adat melalui upaya pengaturan dalam awig-awig dan pararem.

  • 1.    Pendahuluan

Anak memiliki peran strategis dalam pembangunan Bangsa Indonesia. Anak juga merupakan generasi penerus yang tidak dapat diabaikan. Pertumbuhan dan perkembangan anak yang baik dan berkualitas berpotensi dapat terwujudnya keadilan dan kesejahteraan. Oleh karena itu perkembangan dan pertumbuhan anak baik secara phisik dan psikis harus dijamin untuk mewujudkan anak yang sehat dan berkualitas.

Jaminan dalam perkembangan dan pertumbuhan anak yang sehat, berkualitas dan optimal terdapat dalam Pasal 28 B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, yaitu dengan ditekankan pada negara menjamin untuk memberi perlindungan dan menjauhkan dari tindak kekerasan dan diskriminasi demi kelangsungan kehidupan dan perkembangan optimal bagi anak. Ketentuan Pasal 20 UU 35 tahun 2014 juga menyatakan, tanggungjawab dalam perlindungan anak tidak saja dibebankan pada pemerintah melainkan juga dibebankan pada orang tua.

Secara konsep yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, anak didefinisikan sebagai seorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, definisi ini mencakup janin dalam kandungan ibu. Oleh karena itu sepantasnya anak sebagai kelompok rentan dijamin dari tindak kekerasan dan diskriminasi oleh Negara, masyarakat, keluarga dan orang tua. Keberadaan anak yang merupakan kelompok rentan yang di posisikan sebagai makhluk yang lemah dan tidak berdaya serta sangat tergantung dengan kelompok orang dewasa yang berada disekitarnya.

Tindak kekerasan yang terjadi pada anak termasuk tindak kekerasan seksual pada anak merupakan tindakan yang oleh peraturan perundang-undangan disebut sebagai tindakan yang melanggar hak asasi anak. Tindakan kekerasan terhadap anak juga berdampak negatif pada tumbuh kembang pada anak. Selanjutnya Mansour Fakih memberikan pemahaman bahwa kekerasan dapat diartikan serangan terhadap fisik dan psikologis seseorang termasuk anak.1 Mufidah juga memberikan pemahaman mengenai jenis kekerasan pada anak

yaitu kekerasan fisik, psikis, kekerasan ekonomi, penelantaran dan kekerasan yang berkenaan dengan seksual.2

Kekerasan seksual pada anak diartikan sebagai segala bentuk aktivitas seksual pada seorang anak yang dilakukan oleh seseorang yang tujuannya memanfaatkan anak sebagai pemuas nafsu dan untuk pemuas kesenangan seksualnya.3 selanjutnya Lyness berpandangan bahwa jenis kekerasan seksual yang terjadi pada anak dapat berupa tindakan yang menyentuh dan mencium organ-organ seksual pada anak serta melakukan tindakan pemerkosaan atau tindak seksual anak. Lebih lanjut menurut Lyness, katagori kekerasan seksual juga dapat diperbuat dengan memperlihatkan alat alat atau media yang mengarah pada benda-benda dan perbuatan asusila pada anak.4 Dengan demikian kekerasan seksual pada anak tidak dapat ditoleransi, dikarenakan kekerasan seksual merupakan pelanggaran moral dan hukum sehingga pelaku tindak kekerasan terhadap anak harus dijatuhkan sanksi hukum. Maraknya kejadian kekerasan seksual pada anak menunjukan bahwa kehidupan anak di tengah masyarakat tidak aman lagi dan tidak ramah anak.

Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) sampai tahun 2017 menyebutkan jumlah kekerasan pada perempuan dan anak meningkat tajam yaitu tahun 2012 mencapai 18.718 kekerasan selanjutnya meningkat menjadi 54.041 kekerasan di tahun 2017. Selanjutnya data kekerasan perempuan dan anak bulan Februari tahun 2018 menunjukkan 374 kasus kekerasan.5 Perkembangan Data dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Provinsi Bali yang mencatat kasus kekerasan seksual pada tahun 2012 tercatat 105 kasus, pada tahun 2013 tercatat 107 kasus dan tahun 2014 tercatat 114 kasus. Selanjutnya data yang di dapat dari P2TP2A Kota Denpasar tercatat bahwa kasus kekerasan seksual setiap tahunnya meningkat, hal ini ditemukan dengan data pada tahun 2012 tercatat 22 kasus, tahun 2013 tercatat 22 kasus, tahun 2014 tercatat 38 kasus, 2015 tercatat 49 kasus, 2016 tercatat 46 kasus dan tahun 2017 tercatat 28 kasus. Data juga disampaikan oleh Polda Bali yang mencatat jumlah kekerasan terhadap anak, Polda Bali mencatat pada tahun 2015 terjadi 133 kasus kekerasan dan 63 kasus diantaranya kasus kekerasan seksual, pada tahun 2016 jumlah kasus 177 diantaranya 81 kasus adalah kekerasan seksual, pada tahun 2017 terjadi 146 kasus dan diantaranya 65 kasus kekerasan seksual pada anak.6 Gambaran jumlah kekerasan tersebut menunjukkan anak menjadi kelompok

yang paling rentan terhadap tindak kekerasan dan ekspolitasi. Dalam hal ini Pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan dan layanan optimal yang dibutuhkan anak korban kekerasan. Layanan yang dibutuhkan baik layanan medis, psikologis, dan bantuan hukum dalam upaya pemulihan kondisi korban. Sebagaimana data yang telah disuguhkan di atas, bahwa kekerasan sesksual terhadap anak meningkat, sehingga memerlukan strategi yang tepat untuk mencegah dan menangani korban kekerasan, khususnya korban kekerasan seksual anak.

Berkaitan dengan strategi yang tepat dalam mencegah dan menangani korban kekerasan seksual anak maka keterlibatan masyarakat sangat diperlukan. Dalam konteks ini keterlibatan masyarakat dipahami sebagai keterlibatan desa adat. Dalam ketenuan Pasal 1 angka 8 Perda Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali (Perda tentang Desa Adat di Bali) menyatakan bahwa desa adat merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di Bali yang memiliki wilayah, kedudukan, harta kekayaan, hak tradisional, tradisi serta tata krama pergaulan hidup bermasyarakat yang diwarisi secara turun temurun dalam ikatan tempat suci dan mempunyai kewenangan mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam hal ini peran desa adat sangat besar dalam mewujudkan anak bangsa yang berkualitas. Keterlibatan desa adat dalam mewujudkan anak yang berkualitas tentu saja dapat dilakukan dengan berbagai upaya pencegahan terhadap kekerasan seksual pada anak.

Berdasarkan isu di atas, perlu dilakukan kajian yang mendalam terkait sejauh mana peran masyarakat dalam hal ini desa adat dalam upaya melakukan perlindungan dan pencegahan kekerasan seksual pada anak yang terjadi di wilayahnya. Kajian ini menjadi sangat penting dan relevan dilakukan mengingat kekerasan seksual anak di Bali semakin meningkat dan memerlukan upaya strategis yang tepat dalam pencegahan kekerasan seksual pada anak. Di sini perlu juga di fokuskan sejauh mana keterlibatan desa adat dalam ikut serta dalam upaya pencegahan kekerasan seksual pada anak. Oleh karena itu rumusan masalah yang diajukan adalah:

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan peran serta desa adat dalam pencegahan kekerasan seksual anak dalam Peraturan Perundang-undangan?

  • 2.    Bagaimanakah peran desa adat dalam upaya melakukan pencegahan korban kekerasan seksual pada anak?

  • 2.    Metode Penelitian

Sulistyowati Irianto7 menegaskan bahwa penelitian merupakan bangunan logika yang harus mampu menjelaskan rangkaian logika dari awal sampai akhir. Bangunan logika dalam konteks ini ditekankan pada penggunaan

penelitian doktrinal dan non doktrinal secara bersamaan atau kombinasi.8 Penggunaan kombinasi antara doktrinal dan non doktrinal. Studi dokumen dilakukan dengan menjelaskan pasal yang terkait selanjutnya menganalisis dan menjelaskan makna yang terdapat dalam teks normatif serta menganalisis implikasi yang ditimbulkan. Studi lapangan dapat dilakukan dengan melakukan pengamatan di lapangan baik melalui wawancara maupun mengumpulkan data-data sosial, sehingga penelitian ini merupakan hibrida antara ilmu hukum dengan ilmu sosial. Dalam konteks pencegahan kekerasan seksual pada anak, peraturan perundang-undangan dan hasil dari pengamatan dilapangan menjadi dasar untuk menganalisis. Oleh karena itu pendekatan konsep, pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan sosiologis menjadi penting digunakan untuk mendapatkan jawaban yang komprehensif dalam kajian pencegahan kekerasan seksual pada anak. Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data primer (peraturan perundang-undangan yang digunakan) dan sekunder (data lapangan) yang diolah dan dianalisis dengan menggunakan hermeneutika hukum. Hermeneutika hukum dipahami sebagai suatu alat analisis yang menempatkan teks dan konteks. Hermeutika hukum juga merupakan sebauah metode interpretasi untuk menganalisis teks hukum dengan cara memahami dan mengungkapkan makna teks hukum.9 Dengan menggunakan hermeneutika hukum, peneliti mengkaji peraturan perundang-undangan dan mencari makna serta dikaitkan dengan konteksnya yang dalam hal ini adalah pencegahan kekerasan seksual pada anak dengan pendekatan desa adat.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1.    Pengaturan Peran Serta Desa Adat untuk Pencegahan Kekerasan Seksual Anak Dalam Peraturan Perundang-Undangan.

Konsep Peran serta dapat dipahami sebagai partisipasi. Partisipasi dapat dipahami sebagai turut berperan serta suatu kegiatan.10 Partisipasi juga dipahami sebagai keikutsertaan, berperan dalam kegiatan yang mulai dari tahap perencanaan sampai dengan tahap evaluasi.11 Pemahaman dalam konteks ini adalah pemahaman peran serta masyarakat. Istilah masyarakat atau community popularly implies a group of people with common interests.12 Konsep

masyarakat yang digunakan oleh Jimly Asshiddiqie lebih menekankan pada konsep masyarakat sebagai kumpulan individu yang hidup bersama sebagai community atau society.13 Dalam tata yuridis, masyarakat dipahami sebagai orang, kelompok, dan juga masyarakat hukum adat sebagaimana tertuang dalam PP No. 68 tahun 2010. Senada dengan itu, dalam UU No. 12 tahun 2012, penjelasan Pasal 96 menekankan pada masyarakat yang dijelaskan sebagai masyarakat hukum adat. Sehingga masyarakat dalam konteks peraturan hukum dan tataran konsep adalah termasuk desa adat.

Pemahaman yang dibangun dalam tulisan ini adalah memahami peran masyarakat berarti memahami peran desa adat khususnya dalam pencegahan kekerasan seksual pada anak dalam konteks yuridis. Peran serta desa adat dalam konteks pencegahan kekerasan dapat dijumpai mulai dari UUD NRI Tahun 1945 sampai tataran aturan yang paling bawah sesuai hirarkinya.

Berkenaan dengan perlindungan anak terhadap kekerasan dan diskriminasi, Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa hak anak atas kelangsungan hidup serta tumbuh kembang secara optimal serta dilindungi dari tindakan kekerasan dan diskriminasi. Dalam konteks ini dipahami bahwa anak di wilayah Negara Republik Indonesia wajib dilindungi dan dijauhkan dari tindakan kekerasan dan diskriminasi, sehingga dari pemahaman ini timbul pertanyaan, siapa yang melindungi anak dari tindakan kekerasan dan diskriminasi?, sehingga jawabannya adalah Negara dan masyarakat wajib memberi perlindungan dan jaminan kepada anak untuk terhindarnya perlakuan kekerasan dan diskriminasi pada anak. Kekerasan dalam hal ini tidak saja kekerasan fisik melainkan kekerasan psikis, eksploitasi anak, baik itu kekerasa seksual maupun ekspolitasi anak dalam pekerjaan. Untuk inilah peran Negara dan masyarakat sangat penting demi terwujudnya perkembangan anak dengan kualitas hidup yang baik dan optimal. Lebih lajut dalam Pasal 28 H ayat (2) Konstitusi ditegaskan bahwa hak anak atas kesempatan dan manfaat yang sama untuk tercapainya persamaan dan keadilan. Pemahaman Pasal ini dimaknai setiap anak berhak mendapat hak atas persamaan dan keadilan dalam tumbuh kembang yang optimal di wilayah Negara Republik Indonesia. Berkaitan dengan pencegahan kekerasan seksual pada anak, pasal 28 H ayat (2) ini memberikan ruang bahwa dalam mewujudkan hak atas persamaan dan keadilan kepada anak maka Negara dan masyarakat tidak boleh diam dan berkewajiban untuk mewujudkan hak atas persamaan dan keadilan kepada anak. Oleh karena itu tindakan kekerasan seksual pada anak wajib dicegah dan ditangani. Peran aktif masyarakat dalam mewujudkan perlindungan dan penanggulangan kekerasan seksual pada anak juga di muat dalam Profil Anak Indonesia 2019 yang dengan tegas mengarahkan bahwa peran aktif masyarakat

termasuk desa adat, media dan dunia usaha sangat penting dalam pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak termasuk dalam pencegahan kekerasan seksual anak.

Pengaturan peran serta masyarakat dalam pencegahan kekerasan seksual dapat dijumpai dalam UU No. 10 Tahun 2012 tentang Pengesahan Optional Protocol To The Convention On The Rights Of The Child On The Sale Of Children, Child Prostitution and Child Pornography yang menegaskan bahwa dalam konvensi hak anak ini menekankan adanya peran serta aktif masyarakat dalam rangka pencegahan, pemberantasan pelaku tindak kekerasan anak seperti prostitusi anak, penjualan anak serta pornografi anak. Memahami situasi ini, bahwa desa adat sebagai bagian dari masyarakat berkewajiban ikut serta dalam tindakan pencegahan terhadap kekerasan terhadap anak termasuk kekerasan seksual.

Dalam tataran UU sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UU 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Perlindungan Anak menentukan bahwa peran masyarakat penting yaitu masyarakat mempunyai kewajiban serta tanggungjawab dalam mewujudkan perlindungan terhadap anak. Dalam konteks ini masyarakat dipahami sebagai peran serta aktif desa adat dalam aspek pencegahan kekerasan seksual anak. Selanjutnya peran serta masyarakat dalam upaya perlindungan anak diatur dalam ketentuan Pasal 25 ayat (1) UU Perlindungan anak. Dalam hal ini dipahami bahwa peranserta masyarakat dalam perlindungan anak mempunyai peran penting termasuk juga peran desa adat dalam aspek pencegahan kejadian kekerasan seksual di wilayahnya. Dalam UU 23 Tahun 2004, Pasal 14 ditenttuan bahwa dalam upya pencegahan kekerasan pada anak dibutuhkan upaya kerjasama anatara pemerintah dan masyarakat. Hal ini dipahami juga sebagai keikutsertaan desa adat sebagai bagian dari keberadaaan masyarakat untuk berupaya dalam pencegahan kekerasan seksual anak yang terjadi. Demikian juga Pasal 60 UU 21 tahun 2007 pada prinsipnya menentukan upaya pencegahan maupun penanganan tindakan kekerasan yaitu :

  • a.    Memberikan informasi atau melaporkan kepada aparat penegak hukum terkait degan terjadinya tindak kekerasan pada anak.

  • b.    Ikut serta dalam menangani dalam arti memberi perlindungan pada anak.

Selanjutnya pengaturan mengenai keikutsertaan masyarakat lebih tegas terdapat pada Pasal 61 UU No. 21 Tahun 2007 yang menentukan adanya keterbukaan akses seluas luasnya peran serta masyarakat oleh pemerintah dalam konteks mencegah maupun menanganai tindak kekerasan. Peran serta masyarakat terhadap pencegahan kekerasan seksual juga tertuang dalam Pasal 63 yang juga menekankan pada tanggungjawab masyarakat.

PP No. 9 Tahun 2008, khususnya dalam Pasal 16 ayat (1) yang pada prinsipnya juga mengatur peran serta masyarakat dalam menyediakan rumah perlindungan sosial dalam rangka perlindungan korban tindak kekerasan.

Sehingga dalam konteks ini peran masyarakat tidak saja dalam aspek pencegahan kekerasan seksual melainkan termasuk dalam aspek penanganan tindak kekerasan seksual yang ditandai dengan menyediakan rumah aman atau rumah perlindungan sosial. Perpres 69 Tahun 2008 dalam Pasal 7 ditegaskan bahwa dalam membentuk gugus tugas dalam kegiatan pencegahan dan penanganan kekerasan wajib melibatkan masyarakat. Demikian juga dalam Permen PPPA No. 08 Tahun 2012 juga menegaskan mengenai upaya mencegah serta menangani kekerasan yang terjadi kepada anak.

Pengaturan partisipasi masyarakat secara eksplisit dapat dilihat dalam Permen PPPA No. 2 Tahun 2017 yang menenkankan pada peran serta masyarakat di dalam membangun, memberdayakan perempuan dan melindungi anak dari perbuatan kekerasan dan diskriminasi. Dalam peraturan ini juga ditekankan pada penyelenggaraan urusan yang berkaitan pelibatan masyarakat terhadap urusan pemberdayaan serta perlindungan terhadap anak. Dengan demikian, dalam konteks perlindungan atas kekerasan anak, bahwa tujuan adanya partisipasi dalam pencegahan kekerasan adalah:

  • 1)    mendororng masyarakat untuk berpartisipasi dalam melindungi anak.

  • 2)    mengkondisikan berbagai aspek yang peduli terhadap perkembangan dan tumbuh kembang anak.

  • 3)    mempercepat pelaksanaan perlindungan anak.

Berkaitan dengan percepatan pelaksanaan perlindungan anak khususnya perlindungan anak terhadap kekerasan seksual, maka partisipasi masyarakat dilakukan dengan berbagai strategi yang pada prinsipnya bertujuan untuk melindungan anak dari kekerasan. Bentuk dan cara partisipasi masyarakat tersebut dapat berupa partisipasi masyarakat dalam perlindungan anak yang dilakukan dengan bentuk sosialisasi, advokasi, penyuluhan, pembinaan, pengawasan, fasilitasi, pelayanan, kajian, pelatihan, permodalan dan penyediaan sarana dan prasarana. Selanjutnya dalam Pasal 6 Permen PPPA No. 2 Tahun 2017 menegaskan bahwa partisipasi masyarakat tersebut dapat dilakukan di berbagai tempat seperti di rumah tangga, tempat umum, lembaga layanan, lembaga ketrampilan, lembaga pendidikan dan lembaga keagamaan serta bentuk-bentuk lembaga lainnya.

Mencermati Permen PPPA No 2 Tahun 2017 ini, bahwa Pengaturan partisipasi masyarakat hanya diatur dalam beberapa tempat, dalam konteks ini nampak kurang lengkap pengaturannya seperti tidak memasukan Kelembagaan adat sebagai alternatif dalam perlindungan anak. Oleh karena itu pengaturan peran serta masyarakat dalam perlindungan anak menajdi kurang lengkap atau mengabaikan kelembagaan adat yang ada di Indonesia.

Berdasarkan pada beberapa peraturan hukum baik secara eksplisit maupun implisit mengenai partisipasi masyarakat dalam perlindungan anak, bahkan sampai perlindungan, pencegahan, maupun penanganan tindakan yang berbentuk kekerasan pada anak, maka dalam konteks ini pemahaman

masyarakat sebagaimana diatur dalam peraturan hukum di atas dipahami juga sebagai partisipasi desa adat dalam upaya pencegahan kekerasan seksual pada anak.

Khusus di Provinsi Bali, kelembagaan adat atau desa adat memiliki otonomi dalam pengaturan ataupun dalam penegakan hukum adatnya. Dalam konteks ini pengaturan dan penegakan hukum adat, khususnya perlindungan anak juga perlu diatur dan dilibatkan partisipasi desa adat dalam upaya pencegahan kekerasan seksual. Kondisi pengaturan partisipasi masyarakat tersebut tampak pada Pasal 23 Perda Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2014 (Perda Perlindungan Anak) yang menentukan: keluarga, masyarakat, desa adat dan dunia usaha memilik peran dalam perlindungan anak. Pengaturan peran serta masyarakat dalam Perda No. 6 Tahun 2014 tampak telah merespon bahwa dalam memberikan perlindungan anak, peran desa adat dengan kearifan lokalnya tidak dapat diabaikan. Selanjutnya pada tataran di Provinsi Bali, berdasarkan Perda Desa Adat, juga menegaskan keberpihakan desa adat di dalam penyelenggaraan perlindungan terhadap anak. Kepedulian desa adat dalam perlindungan anak dapat dilihat pada penormaan Pasal 21 di mana tugas desa adat adalah untuk terwujudnya kesukertan desa adat secara sekala dan niskala. Hal ini dimaknai bahwa perlindungan terhadap aspek parhyangan, pawongan dan palemahan adalah menjadi poin penting dan wajib dilakukan oleh desa adat. Ini juga mempunyai maksud bahwa desa adat mempunyai kewajiban dalam memelihara hubungan harmonis dalam kerangka Tri Hita Karana (hubungan harmonis, dengan Tuhan, sesama maupun lingkungan alam). Sehingga ini dijadikan landasan bagi desa adat dalam perlindungan terhadap anak. Dalam konteks ini terhadap tindak kekerasan yang terjadi pada anak, juga merupakan kewajiban desa adat baik dalam upaya pencegahan, perlindungan dan penanganannya.

Pengaturan peran serta desa adat di tingkat Kabupaten/Kota dijumpai pada pengaturan partisipasi desa adat di Kota Denpasar, khususnya dalam Pasal 17 Perda No. 4 Tahun 2014 yang menegaskan bahwa desa adat mempunyai peran dalam pencegahan tindak kekerasan pada anak yang partisipasi desa adat dapat berupa pembentukan mitra keluarga di tingkat desa adat, melakukan kegiatan sosialisasi secara mandiri berkaitan dengan upaya pencegahan kekerasan seksual pada anak, serta melakukan pelaporan terhadap aparat penegak hukum apabila terjadi kekerasan seksual pada anak dilingkungannya. Dalam konteks ini peran desa adat sangat besar dalam upaya pencegahan kekerasan seksual menentukan peran serta masyarakat baik dalam pengaturan secara eksplisit maupun secara implisit dalam perlindungan terhadap kekerasan anak termasuk kekerasan seksual pada anak, maka berdasarkan dasar hukum tersebut ada dasar desa adat terlibat dalam upaya tindakan pencegahan, perlindungan serta penanganan kekerasan yang terjadi pada anak. Pemahaman masyarakat yang terdapat dalam peraturan

perundang-undangan tersebut juga dipahami sebagai peran aktif dari desa adat sebagai upaya mencegah dan melindungi anak dari kekerasan seksual.

  • 3.2.    Peran Desa Adat dalam Upaya Pencegahan Korban Kekerasan Seksual Anak

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa peran desa adat dalam upaya mencegah kekerasan seksual pada anak yang telah diatur dalam berbagai peraturah hukum yang ada yang dapat dijadikan rujukan yuridis dalam penegakan hukum yang berkenaan dengan pencegahan kekerasan pada anak. Tampak jelas ada arah kebijakan hukum di Indonesia untuk mengikutsertakan desa adat dalam upaya untuk terlibat dalam pencegahan tindakan kekerasan seksual terhadap anak. Berbagai pengaturan yang dengan jelas melibatkan partisipasi desa adat dalam pencegahan kekerasan pada anak seperti Perda Prov. Bali 6 Tahun 2014, Perda Kota Denpasar No. 4 Tahun 2014 memberi dasar hukum untuk pemerintah bersama-sama desa adat berkewajiban terlibat aktif dalam pencegahan tindak kekerasan termasuk kekerasan seksual pada anak. Pengaturan yang jelas di tingkat daerah tersebut tidak serta merta dilaksanakan dalam upaya perlindungan kekerasan pada anak dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan adanya kasus kekerasan seksual anak terjadi ditengah-tengah kehidupan masyarakat Provinsi Bali. Demikian juga peran penting desa adat dalam pencegahan kekerasan seksual diatur dalam Pasal 21 Perda Desa Adat yang menegaskan bahwa tugas desa adat adalah terwujudnya ketentraman, kesejahteraan, kebahagiaan dan kedamaian sekala dan niskala. Hal ini dimaknai bahwa desa adat berperan dan bertanggungjawab dalam mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan anak termasuk dalam pencegahan kekerasan anak.

Kekerasan seksual dapat dipahami sebagai kejahatan terhadap

kesusilaan yang dapat diancam hukuman. Dalam RUU Penghapusan

Kekerasan Seksual menegaskan bahwa kekerasan seksual pada anak dipahami sebagai perbuatan dengan tujuan meremehkan, menghina, merendahkan, atau bentuk perbuatan yang menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan pada fisik, psikis yang menimbulkan kerugian secara ekonomi, sosial, politik dan budaya. Konsep kekerasan seksual terhadap anak juga dipahami sebagai tindakan atau perbuatan yang menyentuh organ-organ seksual termasuk melakukan pemerkosaan serta menunjukan gambar-gambar dan video porno kepada anak. Kekerasan seksual ini sangat bervariasi dapat berupa percobaan, perkosaan, sadisme serta bentuk akifitas seksual lainnya yang merendahkan dan menyakiti korban.14 Selanjutnya perbuatan kekerasan seksual dapat dilakukan oleh:

  • 1.    Familial abuse yaitu perbuatan kekerasan seksual itu dilakukan oleh famili atau keluarga. Dapat juga dipahami bahwa kekerasan seksual

antara korban dan pelaku kekerasan masih ada hubungan keluarga (masih menjadi bagian dalam keluarga inti).

  • 2.    Ekstrafamilial abuse yaitu perbuatan kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang diluar keluarga korban.15

Berdasarkan rujukan media massa dan online bahwa kekerasan seksual pada anak di Bali hampir 90 persen merupakan kekerasan yang merupakan pelecehen seksual. Pelecehan seksual sebagai besar dilakukan oleh orang terdekat. Seperti kasus kekerasan seksual di Singaraja, Buleleng, Bali, bahwa seorang ayah melakukan perbuatan kekerasan seksual pada anaknya mulai umur 9 sampai 14 tahun. Pelecehan seksual juga ada dilakukan oleh orang diluar keluarganya seperti, kasus kekerasan seksual terjadi pada anak SMP yang jumlah pelakunya 4 (empat) orang. Gambaran ke 2 (dua) kasus tersebut menunjukan tindakan kekerasan seksual dilakukan dari keluarga dekat maupun orang yang tidak mempunyai hubungan darah dekat.

Berdasarkan pada kasus dan kejadian kekerasan pada anak yang semakin meningkat di Bali, diperlukan suatu strategi sebagai upaya dalam pencegahan tindak kekerasan terhadap anak. Upaya pencegahan kekerasan tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan desa adat yang berbasis kearifan lokal. Pendekatan desa adat dalam upaya pencegahan ini dilakukan sebagai tugas desa adat sebagaimana terdapat dalam salah satu unsur Tri Hita Karana (pawongan) untuk terwujudnya kesukertan desa adat.

Secara legal formal desa adat berupa wadah dari kesatuan masyarakat hukum adat yang mana sangat terikat dengan tata karma dan tata pergaulan hidup yang telah diwariskan yang senantiasa pada setiap kegiatan desa adat mencerminkan keterikatan dengan tri khayagan tiga dan Tri Hita Karana. Desa adat juga memiliki otonomi yaitu hak deesa adat untuk mengurus desa adatnya. Landasan yuridis keberadaan desa adat diatur dalam Konstitusi dalam Pasal 18 B ayat (2) yang pada prinsipnya mengandung ketentuan bahwa desa adat diakui dan dihormati oleh Negara termasuk pengakuan hak-hak tradisionalnya apabila desa adat tersebut masih hidup serta perkembangan hidupnya desa adat menyesesuaikan dengan prinsip Negara Republik Indonesia. Dalam konteks ini negara mempunyai kewajiban untuk menghormati dan mengakui hak tradisional desa adat, termasuk hak tradisional desa adat dalam pembentukan hukum adatnya. Dalam hal pencegahan korban kekerasan seksual pada anak, maka desa adat berdasarkan atas kewenangannya dapat melakukan tindakan pembentukan hukum adatnya. Desa adat yang terakomodir di dalamnya hak otonomi desa adat juga dapat melakukan tindakan dalam pencegahan kekerasan seksual pada anak.

Desa adat dalam partisipasinya mengarah pada dua bentuk perlindungan yaitu memberikan perlindungan dan pemenuhan hak anak. Dalam pemenuhan hak terhadap anak, desa adat dapat melakukan strategi dalam bentuk pemberian pendidikan informal, pemanfaatan waktu luang anak dan kegiatan kebudayaan. Hal ini juga merupakan tindakan yang memiliki potensi untuk dapat mencegah kejadian yang merugikan hak anak seperti kekerasan seksual.

Berdasarkan pada pemahaman Konstitusi tersebut, sepatutnya desa adat berdasarkan hak otonominya, dapat melakukan tindakan yang merespon penghapusan kekerasan seksual pada anak. Tindakan desa adat tersebut dapat dituangkan pada hukum adatnya yang berlandaskan kearifan lokal setempat. Ketentuan mengenai upaya pencegahan kekerasan terhadap anak di tingkat desa adat diatur dalam awig-awig dan pararem desa adat. Wewenang desa adat dalam pembentukan awig-awig dan pararem sesuai dengan Pasal 24 Perda Desa Adat yang tujuan akhirnya adalah ketentraman maupun ketertiban di desa adat.

Memahami tugas desa adat yang telah diatur dalam Perda Desa Adat semakin menegaskan bahwa desa adat mempunyai kewenangan dalam membuat awig-awig yang bertujuan untuk mengayomi krama adatnya (warga). Pemahaman ini memberikan kejelasan bahwa desa adat secara legal formal ada kewenangan dalam membuat atau membentuk awig-awig maupun pararem yang berkaitan dengan perlindungan, pencegahan korban kekerasan seksual pada anak. Berdasarkan awig-awig tersebut, desa adat mempunyai instrumen hukum adat dalam melakukan tindakan pemeliharaan ketentraman dan ketertiban di lingkunggan desa adat. Dalam konteks pemeliharaan dan ketentraman desa adat, desa adat juga mempunyai kewenangan dalam penyelesaian perkara adat.

Di Bali ada 1493 desa adat yang telah berkomitmen untuk berpartisipasi aktif dalam upaya penghapusan kekerasan seksual pada anak. Salah satu cara partisipasi aktif dari desa adat dalam penghapusan kekerasan seksual pada anak adalah dengan membuat aturan hukum adat (awig-awig dan pararem) desa adat. Sebagaiamana yang tertuang dalam pararem Desa Adat Jumpai yang menegaskan:

Keputusan Pararem

Buda Umanis, 2 November 2007

Paruman krama Desa adat Jumpai sane memargi nyabrang dina Buda Umanis ngindikan indik kawentenan tata sukerta payongan Desa adat Jumpai inggihian akeh kramane sane sampun lempas ring sedaging awig-awig, inggih punika: ngae biuta, ngrugada, mejaguran, ngae sane nenten patut, duk dina puniki paruman krama kemanggala antuk prajuru desa, memutuskan kesepakatan krama inggih punika: Yening wenten jadma/krama sane ngae biuta, ngrugada, mejaguran lan ngae sane nenten patut ring sajeroning Desa adat Jumpai keni pamidanda:

  • 1.    Keni pamidanda arta akehnia Rp.500.000

  • 2.    Pangupekara pamrasta ring desa adat jumpai

  • 3.    Pamidanda punika ketiwakan ring sang sane sisip

  • 4.    Patiwak inucap kelaksanayang olih bendesa adat lan prajuru

  • 5.    Panuku danda mangda ketaur ring Paruman nyabrang Buda Umanis.

asapunika mungguing indik keputusan Paruman tur mangde kelangsanayang manut tetujon.

Selanjutnya, di Desa Adat Tegalalang Kabupaten Gianyar telah dibentuk juga pararem tentang Perlindungan perempuan dan Anak. Hal ini membuktikan bahwa desa adat berpartisipasi aktif dalam memberikan perlindungan terhadap perempuan maupun anak sebagai korban dari kekerasan seksual.

Strategi dan upaya pencegahan kekerasan seksual aanak oleh desa adat dilakukan dengan penguatan kearifan lokal masyarakat setempat. Berdasarkan pengamatan di desa adat di Bali, ada beberapa cara desa adat dalam melakukan penguatan kearifan lokal seperti pendidikan non formal yang diselenggarakan desa adat yang disebut dengan pasraman. Pasraman merupakan tempat bagi anak-anak dalam menyalurkan bakat seperti seni tari, gambelan, pembuatan sesajen dan lain sebagainya. Di Desa Adat Kuta Kabupaten Badung Bali di bentuk pasraman Luwih Bagia yang bertujuan memberikan pendidikan informal yaitu penguatan kearifan lokal Bali ditengah gempuran arus globalisasi. Pasraman Luwih Bagia ini dididirikan untuk memberi ruang bagi anak anak usia dini untuk berekspresi dengan menguatkan nilai-nilai kearifan lokal Bali, sehingga terbentuk karakter jati diri yang kuat. Dengan demikian peran desa adat dalam perlindungan anak di wilayahnya berupa pelaksanaan kegiatan pembinaan, pengawasan, fasilitasi dan pelayanan terhadap terpenuhinya hak anak.

Dalam perspektif teoritik, peran desa adat dalam upaya pencegahan kekerasan seksual pada anak telah tertuang dalam peraturan perundang-undangan dan awig-awig serta pararem desa adat. Hal ini menunjukan bahwa desa adat peduli dan merespon perlindungan anak di wilayahnya. Namun demikian belum semua desa adat menuangkan upaya pencegahan kekerasan seksual pada anak di dalam awig-awig dan pararem sebagai bentuk hukum adat di masing-masing desa adat. Model pengaturan secara hukum adat dan hukum nasional yang berkenaan dengan upaya pendegahan kekerasan seksual pada anak merupakan cerminan pelaksanaan pluralisme hukum yang bertujuan untuk ketertiban dan keadilan bagi masyarakat.

Dengan demikian, prinsip pluralisme hukum baik digunakan dalam upaya pencegahan dan meminimkan korban kekerasan seksual khususnya korban anak, mengingat penyelesaian persoalan atau permasalahan anak dalam kondisi masyarakat yang multikultural tidak hanya dapat diselesaikan oleh

hukum negara saja melainkan perlu adanya interaksi dengan hukum adat yang keberadaan kedua hukum tersebut senyatanya berdampingan.16

  • 4.    Penutup

    4.1.    Kesimpulan

Pengaturan peran serta desa adat dalam pencegahan kekerasan seksual sudah diatur secara jelas dalam peraturan hukum seperti Konvensi tentang hak anak, Konstitusi, UU, PP, Perpres, Peraturan Menteri PPPA, dan Perda. Pada prinsipnya dalam pengaturan peran serta masyarakat dalam peraturan perundang-undangan dimaknai juga sebagai peran aktif desa adat dalam upaya melakukan pencegahan, perlindungan maupun penanganan korban anak yang mendapat kekerasan seksual. Upaya pencegahan tindakan kekerasan tidak saja merupakan kewajiban pemerintah, melainkan juga merupakan kewajiban dan tanggungjawab desa adat sebagai bagian dari masyarakat umum. Ketentuan yang lebih kuat mengatur partisipasi desa adat dalam pencegahan kekerasan seksual pada anak terdapat dalam Perda Provinsi Bali tentang Desa Adat yang pada prinsipnya mewujudkan kesukertan sekala dan niskala yang berkaitan dengan parhyangan, pawongan dan palemahan. Prinsip ini menjadi dasar dalam melakukan tindakan bagi desa adat untuk berpartisipasi dalam upaya pencegahan kejadian kekerasan seksual terhadap anak melalui peran serta desa adat dalam membentuk aturan hukum adat berupa awig-awig dan pararem, berupaya memberikan pendidikan non formal yang berbasis kearifan lokal dalam bentuk pasraman bagi anak usia dini untuk mengenal kearifan lokal sehingga memperkuat karakter jati diri bangsa. Pendekatan desa adat seperti ini merupakan strategi untuk meminimalisir terjadinya kekerasan seksual pada anak.

  • 4.2.    Saran

Peran serta desa adat dalam pencegahan kekerasan seksual pada anak sangat penting untuk dikembangkan. Desa adat memiliki aturan hukum adat yang mengikat bagi krama desa adat mempunyai peluang untuk upaya pencegahan kekerasan seksual. Dalam hal ini disarankan bahwa perlu pengaturan yang jelas berkaitan dengan kekerasan seksual pada anak, baik pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan seksual, perlu mengatur secara jelas upaya penguatan nilai-nilai kearifan lokal dan desa adat perlu membangun pendidikan informal untuk anak-anak yang berbasis kearifan lokal.

Daftar Pustaka / Daftar Referensi

Buku

Korten, D. C. (1998). “Introduction Community-Based Resource Management”, Community-Based Natural Resource Management, Reading and Resources Volume 2. Compled By Sam Landon, For The CommunityBased Natural Resource Management Program Initiative, IDRC. Ottawa, Ontario, Canada, page. 2.

Asshiddiqie, J. (2005). Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Yasif Watampone, Jakarta.

Hamidi, J. (2008). Panduan Praktis Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta

_________. (2011). Hermeneutika Hukum Sejarah, Filsafat dan Metode Tafsir. Penerbit Universitas Brawijaya Press. Malang.

Mufidah et al. (2006). Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan: Panduan Pemula untuk Pendampingan Korban Keerasan Terhadap Perempuan dan Anak. Penerbit Pilar Media Malang.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Penerbit Balai Pustaka. Jakarta.

Sirajuddin et.al. (2011). Hukum Pelayanan Publik Berbasis Partisipasi dan Keterbukaan Informasi. Penerbit Setara Press. Malang.

Irianto, S. (2009). Praktik Penelitian Hukum Perspektif Sosiolegal. Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Wignjosoebroto, S. (2009). Ragam-Ragam Penelitian Hukum. Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Jakarta, h. 121.

Jurnal

Maslihah, S. (2006). Kekerasan Terhadap Anak: Model Transisional dan Dampak Jangka Panjang. Edukid: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini I, 1.

__________. (2013). Play therapy dalam identifikasi kasus kekerasan seksual terhadap anak. Jurnal penelitian psikologi, 4(1).

Colchester, M. Dan Chao, S. (2012). Beragam Jalur Menuju Keadilan: Pluralisme Hukum Dan Hak-Hak Masyarakat Adat Di Asia Tenggara, Jakarta: Epistema Institute.

Noviana, I. (2015). Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak Dan Penanganannya. Sosio Informa.

Sumera, M. (2013). Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan. Lex et Societatis, 1(2).

Internet

http://kekerasan.kemenpppa.go.id/, diakses 12 februari 2018.

http://www.tribunnews.com, diakses 22 November 2018.

Nurjaya, I. N. (2004). Perkembangan Pemikiran Konsep Pluralisme Hukum. akses pada Huma.or.id. diakses terakhir tanggal 13 Januari 2016.

Profile Anak Indonesia Tahun 2019

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 297 Tahun 2014, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606).

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419).

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 165 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886).

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720).

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengesahan Optional Protocol To The Convention On The Rights Of The Child On The Sale Of Children, Child Prostitution and Child Pornography (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 149 Tahun 2012, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5330).

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2008, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4818).

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2012 tentang Panduan Penguatan Kelompok Dasawisma Untuk Pencegahan Dan Penanganan Dini Tindak Kekerasan Terhadap Anak (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 939 Tahun 2012).

Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 320 Tahun 2017).

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2014, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2014).

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa adat di Bali (Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 4).

Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban kekerasan (Lembaran Daerah Kota

Denpasar Nomor 4 Tahun 2019, Tambahan Lembaran Daerah Kota Denpasar Nomor 4).

Jurnal Kertha Patrika, Vol. 42, No. 1 April 2020, h. 87-103

103