Relevansi Penggunaan Model Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Kepailitan
on
Relevansi Penggunaan Model Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Kepailitan
1Ni Made Nardi, 2Ni Ketut Supasti Dharmawan
1AUM Law Office Kuta Bali, E-mail: [email protected]
2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 13 Mei 2019
Diterima: 11 Juni 2019
Terbit: 30 Agustus 2019
Keywords:
Mediation; Dispute Settlement;
Bankruptcy
Kata kunci:
Mediasi; Penyelesaian
Sengketa; Kepailitan
Corresponding Author:
Ni Made Nardi,
E-mail: [email protected]
DOI:
10.24843/KP.2019.v41.i02.p03
Abstract
Bankruptcy dispute is a dispute that is tried at the Commercial Court. The Supreme court Regulations No.1 of 2016 concerning the Mediation Procedure in the Court regulates that in the hearing examination in the Commercial court is excluded from mediation. Likewise, the Bankruptcy law also does not regulate mediation. The purpose of this study is to elaborate bankruptcy arrangements in Indonesia and the relevance of using the mediation model in resolving bankruptcy disputes. The type of research used is normative legal research by using statutes approach, analytical approach, conceptual approach and case approach. The study shows that bankruptcy disputes are relevant and can be solved by mediation procedures as long as the mediation procedure is desired and bring benefit for the parties. It was implemented in a bankruptcy dispute in the Determination of Commercial Court of Surabaya No. 07/Pailit/2014.Pn.Niaga.Sby.
Abstrak
Sengketa kepailitan merupakan sengketa yang disidangkan pada Pengadilan Niaga. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan mengatur bahwa sidang yang pemeriksaannya di pengadilan Niaga di kecualikan dari mediasi. Demikian juga pada undang-undang kepailitan tidak mengatur mediasi. Tujuan dari studi ini adalah untuk membahas pengaturan kepailitan di Indonesia serta relevansi dari penggunaan model mediasai dalam penyelesaian sengketa kepailitan. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, analisis, konsep dan pendekatan kasus. Hasil studi menunjukan bahwa sengketa kepailitan relevan diselesaikan dengan prosedur mediasi dengan syarat penyelesaian sengketa tersebut dikehendaki dan menguntungkan para pihak. Hal ini telah diterapkan dalam sengketa kepailitan yang diselesaikan dengan mediasi pada Penetapan Pengadilan Niaga Surabaya Nomor 07/Pailit/2014.Pn.Niaga.Sby.
Kepailitan merupakan sita umum terhadap seluruh harta debitur dengan tujuan untuk mengembalikan tagihan atau piutang yang dimilki oleh Para Kreditur. Disamping itu, kepailitan merupakan jalan keluar yang timbul dari kegiatan bisnis yang dialami oleh seorang Debitur. Debitur tersebut sudah tidak punya kemampuan lagi untuk membayar utang-utangnya kepada para Krediturnya. Prinsip dasar kepailitan sebenarnya berdasarkan pada Pasal 1131 KUHPerdata yang menyebutkan, bahwasanya barang milik debitur yang bergerak maupun tidak bergerak yang ada dan yang akan ada di kemudian hari menjadi jaminan bagi sebuah perikatan perorangan yang dilakukan oleh debitur.1 Sesuai dengan prinsip hukum kepailitan yakni paritas creditorium yang artinya bahwa atas semua barang milik debitur, para pihak mempunyai kedudukan yang setara atau para kreditur mempunyai hak yang sama terhadap semua harta benda debitur.2 Wayan Wesna Astara menjelaskan bahwa yang dimaksud konsep utang dalam hukum kepailitan adalah mengacu pada kewajiban terkait harta kekayaan benda dengan dilandasi oleh ketidakmampuan debitur melaksanakan kewajibannya.3 Di Bali, terdapat usaha akomodasi wisata yang berupa hotel diajukan permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga Surabaya. Salah satu contohnya adalah PT. PJL yang merupakan hotel yang beralamat dikawasan Nusa Dua Bali telah dimohonkan pailit oleh PT. MJB dengan Kreditur lain yaitu PT. S. di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya.
Sengketa Kepailitan merupakan sengketa yang pemeriksaannya dan disidangkan di Pengadilan Niaga. Pengadilan Niaga akan memutus perkara kepailitan dan PKPU serta sengketa lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.4 Pasal 4 ayat (2) huruf a Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan mengatur bahwa sengketa yang dikecualikan dari penyelesaian dari kewajiban penyelesaian melalui mediasi adalah sengketa yang yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan tenggang waktu penyelesaiannya antara lain sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Niaga. Hal terkait mediasi ini juga tidak ditemukan pengaturannya dalam Undang-undang No. 37 Tahun 2007 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU). Pengajuan permohonan Pailit PT.MJB terhadap PT.PJL di Pengadilan Niaga Surabaya merupakan perkara yang prosedur penyelesaianya tidak dapat diselesaikan dengan prosedur Mediasi, namun demikian dalam praktek persidangan di Pengadilan Niaga, sebagaimana pertimbangan Majelis Hakim pada Penetapan Perkara Nomor;07/Pailit/2014/Pn.Niaga. Sby perkara tersebut dapat diselesaikan dengan mediasi yang dikehendaki oleh Para Pihak yang bersengketa, sehingga terhadap perkara Kepailitan tersebut diajukan permohonan pencabutan oleh pihak PT. MJB dengan alasan para pihak sudah berdamai. Dengan diajukannya pencabutan permohonan pailit tersebut, maka Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut
mengeluarkan ketetapan yang isinya menetapkan perkara Kepailitan PT. PJL sudah berakhir dan perkara tersebut dicabut dari buku regiter perkara Pengadilan Niaga Surabaya.
Pada studi yang terkait kepailitan yang dilakukan terdahulu oleh Asra, bahwa pailitnya perusahaan-perusahaan yang masih solvable dan viable (prospektif) di Pengadilan Niaga ada hubungannya dengan konsep likuidasi yang diterapkan di dalam Undang-Undang Kepailitan. 5 Demikian juga, hasil studi dari Raden Besse Kartoningrat dkk dikemukakan bahwa kurator sebagai suatu profesi yang juga mempunyai tugas dan fungsi untuk membagi harta pailit juga dapat di fungsikan sebagai mediator dalam proses kepailitan.6 Studi ini merupakan lanjutan dari studi di atas, yang lebih memberikan penekanan pada konsep relevansi model mediasi yang lazimnya dipergunakan dalam perkara hukum perdata dapat diterapkan dalam penyelesaian sengketa kepailitan. Adapun tujuan dari studi ini adalah untuk membahas pengaturan kepailitan di Indonesia serta menganalisa bagaimana relevansi dari penggunaan model mediasi yang dipergunakan dalam hukum perdata dalam penyelesaian sengketa kepailitan.
Obyek penelitian dari tulisan ini adalah masalah kekosongan norma dalam UUKPKPU sehingga tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji kaedah-kaedah hukum yang berlaku dan bagaimana dalam praktiknya menemukan kebenaran berdasarkan logika hukum dari sisi normatif. Norma Kosong (lemten van normen) merupakan ranah penelitian hukum normatif yang meneliti aspek intern dari norma.7 Penelitia ini menggunakan beberapa pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conseptual approach), pendekatan analisis (analytical approach), serta pendekatan kasus (case approach). Adapun Teknik penelusuran bahan hukum menggunakan tehnik studi dukumen sedangkan analisis kajian menggunakan analisis kualitatif.
Kepailitan merupakan sita umum yang mencakup seluruh kekayaan debitur untuk kepentingan krediturnya. Tujuan dari kepailitan ini adalah pembagian kekayaan debitur oleh Kurator kepada semua para kreditur dengan memperhatikan hak-hak mereka masing-masing.8 Kepailitan dibentuk untuk memberikan perlindungan bagi kreditur didalam memperoleh akses terhadap harta kekayaan debitur yang telah dinyatakan pailit dengan Putusan Pengadilan Niaga. Konsep kepalitan didasarkan pada satu hal yang utama yang menjadi pokok terjadinya kepailitan yaitu mengenai utang. Tanpa adanya utang, maka kepailitan akan esensinya sebagai pranata hukum
untuk melikwidasi harta kekayaan debitur guna membayar utang-utangnya kepada Kreditur.9
Salah satu cara penyelesaian sengketa kepailitan di Pengadilan Niaga, yaitu Debitur dapat mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) kepada Ketua Pengadilan Niaga dengan tujuan agar terhindar dari keadaan pailit atau untuk menghindari agar aset-aset yang dimiliki oleh debitur terhindar dari likwidasi. Debitur dapat mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang apabila merasa bahwa debitur tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dengan maksud untuk mengajukan perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruhnya kepada Para Kreditur.
Sebagaimana yang diatur pada Pasal 222 ayat (2) UUKPKPU. Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebelum adanya permohonan pailit yang diajukan oleh Debitur disebut juga PKPU Murni (voluntary petition). PKPU diajukan, sudah ada permohonan pernyataan pailit yang sedang diperiksa oleh Hakim, permohonan PKPU seperti ini disebut permohonan tidak murni (involuntary petition). Permohonan PKPU ini diajukan oleh Debitur adalah untuk menangkis atau melawan adanya permohonan pailit dari Kreditur. Dalam hal keadaan seperti ini maka pemeriksaan permohonan pailit tersebut harus dihentikan, dan hakim akan mendahulukan pemeriksaan PKPU yang diajukan oleh Debitur. UUKPKPU menyatakan bahwa Debitur berhak menawarkan perdamaian. Hak mengajukan perdamaian tersebut diatur pada Pasal 144 UUKPKPU.10 Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 265 UUKPKPU debitur dapat mengajukan PKPU kepada Pengadilan Niaga bersamaan dengan mengajukan rencana perdamaian kepada para krediturnya. Perdamaian tersebut tidak mutlak harus diajukan pada saat bersamaan dengan diajukannya permohonan PKPU tetapi bisa diajukan pada saat persidangan PKPU dilakukan, atau selama PKPU berlangsung.
Dalam Pasal 266 ayat (1) diatur bahwa apabila Debitur tidak dapat mengajukan rencana perdamaian bersamaan dengan diajukannya PKPU maka sebelum sidang yang ditentukan, rencana perdamaian terlebih dahulu diajukan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 226 ayat (1) UUKPKPU atau pada tanggal setelah itu namun tetap memperhatikan Pasal 288 ayat (6) UUKPKPU. Dengan kata lain bahwa rencana perdamaian tersebut tidak mutlak harus diajukan pada saat permohonan PKPU diajukan namun rencana perdamaian tersebut dapat diajukan selama berlangsungnya sidang permohonan PKPU sementara sebagaimana yang ditetapkan oleh Pengadilan Niaga.
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 228 ayat (6) UUKPKPU, bahwa Pengadilan tidak boleh memberikan PKPU sementara lebih dari 270 hari sejak PKPUS diucapkan.
Rencana perdamaian tersebut dapat dilihat di Kepaniteraan Pengadilan Niaga dan Rencana perdamaian tersebut harus disampaikan pada Hakim Pengawas dan Pengurus sebagaimana diatur dalam Pasal 266 ayat (2) UUKPKPU. Menurut ketentuan dalam UUKPKPU yang dapat megajukan penundaan kewajiban pembayaran utang atau PKPU adalah Debitur dan Kreditur, namun rencana perdamaian sehubungan dengan pengajuan permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh Debitur sebagaimana yang diatur dalam Pasal 222 ayat (2) dan ayat (3) UUKPKPU. Rencana perdamaian yang diajukan oleh Debitur kepada Para Kreditur tentunya harus menguntungkan para Kreditur dan juga Debitur. Tentang rencana perdamaian tersebut diserahkan kepada Debitur dan Kreditur, Pengadilan hanya menetapkan saja tentang rencana perdamaian yang dibuat oleh Debitur dan Kreditur. Jika perdamaian tersebut disetujui oleh Para Kreditur maka Hakim Pengawas dan Pengurus akan melaporkan kepada Hakim Majelis sehingga perdamaian tersebut akan disahkan atau dihomologasi.
Dalam penyelesaian sengketa kepailitan melalui permohonan PKPU ini maka perdamaian tersebut harus menguntungkan semua pihak baik Debitur maupun Kreditur. Dalam hal ini bisa diterapkan teori Keadilan yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham yaitu Keadilan itu adalah kebahagiaan untuk banyak orang. Jadi sengketa kepailitan yang diajukan oleh Kreditur ke Pengadilan Niaga dapat diselesaikan dengan jalan Debitur mengajukan permohonan PKPU ke Pengadilan Niaga beserta rencana perdamaian dengan tujuan agar Debitur tidak pailit serta utang-utang Debitur kepada Para Kreditur dapat direkstukturisasi dan dibayar dengan jalan mencicil kepada Para Kreditur.
Sengketa kepailitan dapat berakhir dapat berakhir dengan beberapa macam cara sebagaimana yang diatur dalam UUKPKPU yaitu:
-
1. Kepailitan dicabut karena harta pailit tidak cukup untuk membayar biaya
kepailitan, sebagaimana yang diatur pada Pasal 18 ayat(1) UUKPKPU
-
2. Perdamaian disahkan atau perdamaian telah memperoleh kekuatan hukum
tetap yang diatur pada Pasal 166 ayat (1) UUKPKPU
-
3. Setelah insolven dan pembagian (Pasal 202 ayat (1) UUKPKPU)
-
4. Putusan pailit dibatalkan pada tingkat Kasasi atau pada Peninjauan Kembali.
Untuk lebih jelasnya tentang berakhirnya sengketa kepailitan tersebut akan dijelaskan masing-masing sebagaimana yang diatur dalam UUKPKPU.
Dalam hal harta pailit tidak mencukupi untuk membayar biaya kepailitan dan tidak dapat membayar imbalan jasa Kurator, maka Pengadilan Niaga dapat mencabut putusan pailit. Pada Pasal 18 UUKPKPU disebutkan bahwa dalam hal harta pailit tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan maka Pengadilan atas usulan Hakim Pengawas dan setelah mendengarkan panitia Kreditur sementara jika ada, serta setelah memanggil dengan sah atau mendengarkan Debitur, dapat memutuskan pencabutan Putusan pernyataan pailit. Putusan pencabutan pernyataan pailit ini dapat diucapkan
dalam persidangan yang terbuka untuk umum sebagaimana yang diatur pada Pasal 19 UUKPKPU maka putusan tersebut harus diumumkan pada dua surat kabar nasional dan diumumkan dalam berita Negara Republik Indonesia. Dengan demikian maka kepailitan tersebut sudah berakhir.
-
3. 1.2.2. Perdamaian Disahkan atau Perdamaian Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap Yang Diatur Pada Pasal 166 ayat (1) UUKPKPU
Pada Pasal 144 UUKPKPU diatur bahwa kepada para krediturnya perdamaian dapat ditawarkan oleh debitur pailit Debitur pailit. Apabila para Kreditur menerima perdamaian tersebut dan telah disahkan oleh Hakim Majelis maka kepailitan akan berakhir Putusan pengesahan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dieksekusi dan mengikat bagi Debitur pailit dan semua Kreditur. Putusan tersebut menjadi alas hak yang dapat dijalankan terhadap Debitur Pailit. Pasal 166 ayat (1) UUKPKPU diatur bahwa dalam hal pengesahan perdamaian telah memperoleh hukum tetap, maka kepailitan berakhir. Kepailitan berakhir karena adanya pengesahan perdamaian yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus diumumkan oleh Kurator pada dua surat kabar Nasional dan harian daerah yang beredar lokal. Pengumuman tersebut dimaksudkan untuk terpenuhinya asas publisitas. Dengan adanya pengumuman tersebut maka pihak yang berkepentingan dengan berakhirnya kepailitan tersebut tidak dapat lagi mengajukan keberatan, karena dianggap telah mengetahui tentang berakhirnya kepailitan tersebut karena adanya perdamaian yang telah disahkan.
Insolvensi secara umum merupakan suatu keadaan dimana Debitur dinyatakan benar-benar tidak mampu membayar, atau dengan kata lain harta Debitur lebih sedikit jumlahnya dengan utangnya atau kondisi aktivanya lebih kecil dari pasivanya. Pasal 178 UUKPKPU disebutkan bahwa jika debitur tidak mengajukan penawaran perdamaian dalam rapat pencocokan piutang, dan para kreditur menolak pada saat rapat verifikasi dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian atau rencana perdamaian yang diajukan oleh Debitur ditolak oleh Para Kreditur yang hadir pada saat rapat verifikasi atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan Pengadilan Niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap maka demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolvensi (keadaan tidak mampu untuk membayar utang-utangnya).
Konsekuensi yuridis dari insolvensi debitur pailit adalah harta benda pailit segera dilakukan pemberesan. Kurator akan melakukan pemberesan dan menjual harta pailit dimuka umum atau melakukan penjualan di bawah tangan serta menyusun daftar pembagian dengan izin dari Hakim Pengawas, demikian juga Hakim Pengawas dapat mengadakan rapat Kreditur untuk menentukan cara pemberesan.
Berakhirnya kepailitan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UUKPKPU disebutkan bahwa segera setelah kepada Kreditur yang telah dicocokkan piutangnya dibayarkan jumlah penuh piutang mereka, atau segera setelah daftar pembagian penutup menjadi mengikat maka berakhirlah kepailitan dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 203. Artinya kepailitan berakhir segera
setelah piutang terhadap Kreditur dibayar penuh atau daftar pembagian penutup memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam pembagian harta pailit haruslah memenuhi rasa keadilan artinya pembayaran yang dilakukan terhadap Para Kreditur harus sesuai dengan daftar piutang yang dimiliki, sebagaiman teori Keadilan yang dikemukan oleh Aristoteles yaitu untuk hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan untuk yang tidak sama juga dilakukan tidak sama secara proporsional. Jadi pembayaran yang harus dilakukan kepada Para Kreditur tersebut harus sesuai dengan porsinya. Dengan berakhirnya pembayaran terhadap para Kreditur maka berakhir pula sengketa kepailitan tersebut.
Terhadap putusan pailit yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap masih dapat diajukan upaya hukum yaitu Kasasi. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 ayat (1) UUKPKPU yang menyatakan bahwa upaya hukum yang dapat dialkukan terhadap Putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah mengajukan kasasi ke Makamah Agung. Apabila pada tingkat Kasasi putusan pernyataan pailit tersebut dibatalkan, maka kepailitan bagi Debitur juga berakhir. Namun segala perbuatan yang dilakukan oleh Kurator sebelum atau pada saat Kuartor menerima pemberitahuan putusan pembatalan dari Makamah Agung tetap sah. Setelah menerima putusan pembatalan putusan pernyataan pailit tersebut, selanjutnya Kurator wajib mengiklankan pembatalan tersebut dalam surat kabar. Dengan pembatalan putusan pernyataan tersebut perdamaian yang telah terjadi hapus demi hukum.
Kurator wajib mengumumkan putusan Kasasi atau Peninjauan Kembali yang membatalkan putusan pailit tersebut dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan paling sedikitnya dua surat kabar harian. Apabila berakhirnya Kepailitan karena pembatalan putusan pailit pada Tingkat Kasasi atau Peninjauan Kasasi sebagaimana yang diatur Pasal 17 ayat (2) UUKPKPU menyatakan Majelis Hakim yang membatalkan putusan pernyataan pailit juga menetapkan biaya kepailitan dan imbalan Kurator. Untuk pembiayaan kepailitan dan jasa Kurator, Ketua Pengadilan mengeluarkan penetapan eksekusi atas permohonan Kurator.11
-
3.2. Relevansi Penggunaan Model Mediasi Dalam Hukum Acara Perdata Dapat Digunakan Untuk Penyelesaian Sengketa Kepailitan
Sengketa Kepailitan dapat diselesaikan dengan beberapa cara sebagaimana yang telah diatur dalam UUKPKPU. Namun demikian dalam prakteknya sebagaimana yang dipertimbangkan dalam Penetapan Perkara No: 07/Pailit/2014/PN.Niaga.Sby. ada yang berupa perdamaian tersebut diunakan sebagai dasar dalam mengajukan permohonan pencabutan sengketa kepailitan di Pengadilan Niaga Surabaya. Pada dasarnya Pasal 130 HIR dan Pasal 145 Rbg telah menyediakan sarana untuk
menyelesaikan sengketa dengan perdamaian. 12 Di dalam UUKPKPU tidak diatur tentang mediasi sebelum di putus pailit, namun demikian dalam sengketa kepailitan PT.PJL yang dimohonkan oleh PT.MJB di Pengadilan Niaga Surabaya dengan perkara no; 07/Pailit/2014/PN.Niaga.Sby, para pihak yang sedang bersengketa memiliki inisitif untuk menyelesaikan sengketa kepailitan yang sedang dihadapinya dengan melakukan mediasi secara sukarela di luar Pengadilan yang menghasilkan perdamaian bagi kedua belah pihak, sehingga perdamaian tersebut dijadikan dasar dalam pengajuan permohonan pencabutan pailit kepada Ketua Pengadilan Niaga Surabaya. Kespakatan perdamaian tersebut dituangkan ke dalam suatu perjanjian, yang isinya tidak boleh menguntungkan sepihak saja, namun harus mencerminkan rasa keadilan bagi kedua belah pihak yang sedang bersengketa.
Mediasi merupakan suatu proses informal yang ditujukan untuk memungkinkan para pihak yang bersengketa mendiskusikan perbedaan perbedaan mereka secara pribadi dengan bantuan pihak ketiga yang netral.13 Pihak yang netral atau mediator bertugas untuk membantu para pihak yang bersengketa untuk mengerti serta paham akan cara pandang dari para pihak yang saling bersengketa, kemudian akan mencarikan solusi / jalan keluar yang sifatnya membantu para pihak yang bersengketa untuk melakukan penilaian yang obyektif atau cara memahami situasi yang dialaminya secara komprehensif. Dari sini para pihak akan memahami posisinya masing-masing sehingga tawar menawar akan terjadi di antara mereka, dan penyelesaian sengketa diharapakan diselesaikan secara seimbang dan tanpa merugikan satu dengan yang lain.
Dengan adanya sidang saling memahami maka pihak yang bersengketa dapat melakukan tawar-menawar dalam penyelesaian sengketa secara berimbang dengan tidak merugikan pihak salah satu pihak . Syahril Abbas menegaskan bahwa mediasi jika dilihat dari segi kebahasaan lebih menitik beratkan pada keberadaan pihak ketiga sebagai fasilitator para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan suatu perselisihan. Dalam penyelesaian sengketa juga sangat penting mempertimbangkan esensi dari asas itikad baik dari para pihak. Asas itikad baik umumnya sering dibahas dalam konteks perjanjian termasuk dalam perjanjian pemberian kredit perbankan. Asas itikad baik mengejawantah melalui Pasal 1338 Ayat 3 Kitab undang-undang hukum Perdata.14
Berbicara tentang mediasi diatur pada Perma Nomor ; 1 Tahun 2016, produk Perma ini merupakan Peraturan Makamah Agung Repiblik Indonesia yang mengatur tentang presedur Mediasi. Berdasarkan perma tersebut mediasi dapat dibagi menjadi dua tahapan yaitu tahapan Pra Mediasi dan tahapan Mediasi. Pada tahap Pramediasi Hakim akan menjelaskan kewajiban dari Pengadilan yang harus memediasi setiap perkara yang masuk ke Pengadilan, serta menunjuk Mediator. Pada tahap proses
mediasi mediator akan memulai proses mediasi pemanggilan terhadap para pihak untuk mengikuti tahap mediasi sesuatu dengan ketentuan mediasi. Sebelum berlakukan Perma Nomor 1 tahun 2016 mediasi diatur masa mediasi 30 hari, sedangkan Perma ini masa mediasi ditentukan selama 60 hari.15
UUKPKPU tidak mengatur tentang presedur mediasi, sehingga dalam praktek penyelesaian sengketa kepailitan melalui presedur mediasi merupakan praktek yang masih diperdebatkan keabsahannya, karena presedur penyeelasaian sengketa berdasarkan perma Nomor;1 Tahun 2016 merupakan presedur yang digunakan dalam penyeelesaian sengekta yang bersifat umum dalam hukum perdata, sementara sengketa kepailitan merupakan sengketa yang bersifat khusus. Pemberlakuan presedur mediasi berdasarkan perma memerlukan pembatasan-pembatasan tertentu, antara lain, sepanjang tidak mencederai hak-hak para pihak, atau dalam hal disetujui oleh Para Pihak. hakim tidak bisa memaksakan pemberlakuan presedur mediasi kepada para pihak, kecuali ada para pihak yang sedang bersengketa menyetujui presedur tersebut atau para pihak sendiri yang melakukannya secara sukarela.
Hakim pada Pengadilan Niaga tidak dapat menganjurkan kepada yang bersengketa untuk melakukan mediasi karena pada Pasal 4 ayat (2) huruf a angka 1 disebutkan bahwa sengketa yang dikecualikan dari kewajiban mediasinya melalui mediasi sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 4 ayat (1) Perma No. 1 tahun 2016 yang meliputi sengketa pemeriksaannya pada Pengadilan Niaga. Namun demikian, apabila kedua belah pihak yang bersengketa menghendaki ada mediasi tersebut secara sukarela maka masih dimungkinkan mediasi dilakukan sebagaimana yang diatur pada pasal 4 ayat (4) Perma Nomor 1 tahun 2016 sehingga dapat dikatakan bahwa untuk menggunakan presedur mediasi dalam perkara kepailitan tersebut sepenuhnya merupakan hak para pihak untuk menentukannya menggunakan atau tidak mengunakan prosedur mediasi.
Pengalaman penyelesaian sengketa melalui presedur mediasi, berdasarkan praktek penyelesaian sengketa perdata pada umumnya, menunjukan bahwa penyelesaian sengketa melalui presedur mediasi tersebut seringkali menghasilkan manfaat yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Penerapan presedur mediasi ini memenuhi salah satu tujuan hukum sebagaimana yang diperkenalkan oleh Jeremy Bentham, yaitu kemanfaatan. Untuk tujuan itu perlu juga presedur penyelesaian sengketa keperdataan dalam sifat umum ini diserap kedalam penyelesaian sengketa kepailitan melalui pengembangan formulasi ketentuan tentang penyelesaian kepailitan melalui presedur mediasi, mengingat manfaat dari presedur itu bagi kedua belah pihak dan kehidupan perekonomi masyarakat. Kemanfaatan yang dihasilkan dalam penyelesaian sengketa kepailitan melalui prosedur mediasi menunjukkan relevansi Perma No. 1 Tahun 2016. Pada Pasal 4 ayat (4) ditentukan bahwa berdasarkan kesepakatan Para Pihak, sengketa yang ikecualikan penggunaan presedur mediasinya tetap dapat diselesaikan melalui jalur mediasi sukarela pada tahap pemeriksaan perkara dan tingkat upaya hukum. Dengan demikian perkara kepailitan dapat diselesaikan dengan proses mediasi dengan syarat para pihak yang menghendaki mediasi tersebut. Demikian pula dengan penyelesaian terhadap sengketa kepailitan PT.PJL di Pengadilan Niaga Surabaya
mediasi ini diterapkan oleh Para Pihak yang bersengketa, sehingga dalam pertimbangan Majelis Hakim pada Penetapan perkara nomor; 7/Pailit/ 2014/Pn.Niaga Sby mempertimbangkan bahwa pencabutan permohonan pernyataan pailit dicabut karena sudah ada perdamaian antara para pihak yang bersengketa. Penerapan prosedur ini oleh para pihak dirasakan sebagai jalan keluar terbaik yang mengakibatkan para pihak dapat memenuhi kepentingannya secara seimbang.
Jeremy Bentham dalam Teori Keadilan menyatakan bahwa keadilan bukanlah untuk perorangan, keadailan untuk diukur dari seberapa besar dampaknya pada kesejateraan masyarakat. Suatu undang-undang hendaknya dapat memberikan kebahagiaan sebesar-besarnya bagi masyarakat. Dikaitkan dengan keadilan yang berasaskan manfaat, dihubungkan dengan dimensi keadilan dalam proses kepailitan, keadilan yang berasaskan kemanfaatan sangat tepat diterapkan dalam proses kepailitan.16 Kesepakatan para pihak dalam mediasi akan sangat bermanfaat apabila dilaksanakan dalam proses penyelesaian sengketa kepailitan, kemudian hasil tersebut dipakai dasar untuk mengajukan permohonan pencabutan kepailitan kepada Ketua Pengadilan Niaga.
Pasal 271 Rv dan 272 Rv (Reglement op de Rechsvordering) merupakan pedoman bagi Majelis Hakim dalam hal Penggugat mengajukan permohonan pencabutan gugatan di Pengadilan. Pasal 271 Rv menetukan bahwa Penggugat dapat mencabut gugatannya tanpa persetujuan Tergugat dengan syarat pencabutan tersebut diajukan sebelum Tergugat menyampaikan jawaban. Penggugatdapat mencabut gugatannya selama proses persidangan. Adapun alasan dari diajukannya pencabutan gugatan sangat bervariasi diantaranya adalah gugatan yang diajukan tidak sempurna atau dalil gugatannya tidak kuat atau barangkali gugatan bertentangan dengan hukum ada atau karena para pihak yang sedang bersengketa sudah sepakat untuk berdamai.
Mengenai pencabutan permohonan pernyataan pailit pada sengketa kepailitan Andika Wijaya dan Wida Peace menegaskan bahrwa pada persidangan pertama Pemohon pailit dapat melakukan perubahan terhadap permohonan pernyataan pailit dengan ketentuan yang didasarkan pada Pasal 271 Rv. Selain melakukan permohonan pernyataan pailit juga dapat dicabut berdasarkan pada ketentuan 271 Rv17
Agar pencabutan gugatan tersebut sah maka sesuai dengan ketentuan pada Pasal 272 Rv harus dilakukan oleh Penggugat sendiri atau oleh Kuasa hukum Penggugat. Pencabutan gugatan merupakan hak mutlak dari Penggugat hal ini merupakan penegasan dari pasal 271 Rv alinea pertama yang meyebutkan bahwa Penggugat dapat mencabut perkara dengan syarat, asalkan hal ini dilakukan sebelum Tergugat menyampaikan jawaban. Pencabutan gugatan sebelum diperiksa oleh Majelis Hakim merupakan tanggung jawab mutlak dari Penggugat. Tentang tata cara pencabutan
gugatan ini harus mengajukan surat pencabutan kepada Ketua Pengadilan. Pencabutan gugatan juga bisa dilakukan secra lisan didepan persidangan, namun demikian untuk tercipta dan terbinakepastian hukum dan sekaligus menjadi tentang kebenaran tentang terjadinya pencabutan gugatan maka pencabutan gugatan tersebut perlu dibuat secara tertulis untk diajukan kepada Ketua Pengadilan dimana gugatan tersebut pernah diajukan. Terhadap gugatan yang sudah diperiksa dan Tergugat sudah mengajukan jawaban, maka pencabutan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari Tergugat sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pada pasal 272 Rv (Reglement Op de Rechsvordering).
Dalam penyelesaian segketa kepailitan PT.PJl dengan Nomor perkara 7/Pailit/2014/Pn. Niaga. Surabaya. Dalam pertimbangannya pada penetapan Nomor; 07/Pailit/2014/Pn.Niaga.Sby Majelis Hakim mepertimbangkan bahwa atas permohonan pencabutan pernyataan pailit tersebut Termohon dan Kreditur lain belum mengajukan jawaban, oleh karenanya permohonan pencabutan tersebut dapat dikabulkan. Berdasarkan pertimbangan tersebut Majelis Hakim mengabulkan pencabutan permohonan pernyataan pailit berdasarkan Pasal 271 Rv. Dalam pertimbangannya juga menimbang bahwa pencabutan permohonan pernyataan pailit diajukan karena para pihak yang bersengketa telah berdamai. Kemudian Majelis Hakim juga mempertimbangkan bahwa dengan dicabutnya permohonan pernyataan pailit maka perlu memerintahkan Panitera Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya untuk mencoret perkara Nomor; 07/Pailit/2014/Pn-Niaga Sby dari register yang bersangkutan. Ini berarti dengan dicoretnya perkara tersebut dari buku regiter perkara maka sengketa kepailitan tersebut sudah berakhir atau sudah selesai. Dalam pertimbangannya Majelis Hakim mempertimbangkan tentang biaya perkara yang dibebankan pada pemohon Pailit. Pada pertimbangan Majelis Hakim juga mempertimbangkan bahwa pencabutan permohonan pailit diajukan dengan alasan antara Pemohon pailit dengan Termohon Pailit serta Kreditur lain sudah berdamai. Dengan demikian berakhirnya sengketa kepailitan perkara Nomor; 07/ Pailit/2014/Pn.Niaga.Sby di dasarkan pada adanya kesepakatan antara para pihak yang bersengketa sehingga menghasilkan suatu perdamaian yang menguntungkan semua pihak. Dengan adanya mediasi yang dilakukan oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa kepailitan tersebut maka presedur mediasi tersebut diserap ke dalam UUKPKPU agar adanya kepastian hukum, mengingat banyaknya manfaat dari mediasi tersebut yaitu perusahaan yang dimohon pailit dapat diselamatkan dari keadaan pailit, sehingga ratusan Karyawan yang bekerja pada perusahaan tersebut juga terselamatkan dari pemutusan hubungan kerja. Disamping itu perusahaan juga masih mendapatkan kepercayaan dari bank serta dan terhindar dimasukkannya ke dalam black list. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Satjipto Raharjo, bahwa kepastian hukum adalah kepastian hukum itu sendiri, fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping itu juga mudah dijalankan. Berdasarkan Teori Kepastian Hukum yang dikemukan oleh Satjipto Raharjo maka prosedur mediasi dapat diserap ke dalam UUKPKPU agar tercipta adanya kepastian hukum.
Pengaturan penyelesaian sengketa kepailitan dapat dilakukan dengan jalan Debitur pailit mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ke Pengadilan Niaga yang disertai dengan pengajuan penawaran rencana perdamaian
kepada Para Kreditur. Dalam hal rencana perdamaian dapat diterima oleh Para Kreditur maka Perdamaian tersebut akan dihomologasi oleh Pengadilan, sehingga sengketa kepailitan berakhir. Berakhirnya kepailitan dapat terjadi karena beberapa hal yaitu dicabutnya kepailitan disebabkan harta pailit tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan, perdamaian disahkan atau perdamaian memperoleh kekuatan hukum tetap, setelah insolven dan pembagian harta pailit, putusan pailit dibatalkan pada tingkat kasasi atau Peninjauan Kembali.
Model mediasi dalam hukum acara perdata relevan dan dapat digunakan dalam penyelesaian sengketa kepailitan karena sudah diterapkan oleh Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya pada Penetapan perkara Nomor 07/Pailit? 2014/Pn.Niaga.Sby. Dalam pertimbangan tersebut Majelis Hakim
mempertimbangkan bahwa dikabulkannya pencabutan permohonan pailit karena para pihak membuat kesepakatan untuk berdamai melalui prosedur mediasi.
Diharapkan kedepannya model mediasi tersebut dapat diserap kedalam UUKPKPU mengingan banyaknya manfaat mediasi tersebut dalam menyelesaikan sengketa kepailitan.
Daftar Pustaka
Buku
Diantha.M.P, Dharmawan.S.N.K, Artha.G, (2018), Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Disertasi, Swasta Nulus, Denpasar.
Subhan, M.H. (2008), Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Wijaya.A dan Peace.W (2018), Hukum Acara Pengadilan Niaga, cetakan pertama, Sinar Grafika, Jakarta.
Jurnal
Asra, A. (2015). Corporate Rescue: Key Concept Dalam Kepailitan Korporasi. Jurnal Fakultas Hukum UII, 22(4), 513-537.
Astara I.W.W. (2015), Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Dalam Kepailitan (Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Niaga
Nomor;20/Pailit/2011/PN.Niaga.Sby),Jurnal Magister Hukum Udayana ( Udayana Master Law Journal), 4 (2)
Bintaro.R.W (2014), Implementasi Mediasi Letigasi di Lingkungan Yurisdiksi di Pengadilan Negeri Purwokerto, Jurnal Dinamika Hukum, 14 (1)
Dharmawan, N. K. S., & Kurniawan, I. G. A. (2018). Fungsi Pengawasan Komisaris Terkait Kesehatan Bank Perkreditan Rakyat: Pendekatan Good Corporate Governance dan Asas Itikad Baik. Law Reform, 14 (2)
Kartoningrat, R. B., & Andayani, I. (2018). Mediasi Sebagai Alternatif dalam
Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit oleh Kurator Kepailitan. Halu Oleo Law Review, 2(1), 291-305
Putra.D.N.R.A, (2018), Asas Intergrasi Dalan Undang-Undang Kepailitan Versus Cita-Cita dan Unifikasi Hukum Acara Perkara Perdata, Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER, 4 (1)
Rachmah.A.A.DKK (2016), Analisis Yuridis Kedudukan Penjamin perorangan (Personel Guarantee) Pada Kepailitan Perseroan Terbatas, Diponegoro Law Journal, 5 (4)
Rismawati.S.D.DKK, (2012), Hakim Dan Mediasi; Pemaknaan Hakim Terhadap Mediasi Perkara Perdata Di Pengadilan Negeri Pekalongan, Jurnal Penelitian, 9(2).
Siburian.DKK, (2015), Kewajiban Kurator Pasca Putusan Pembatalan Pailit Pada Tingkat Kasasi Oleh Makamah Agung ( Studi Kasus Kepailitan PT Telkomsel VS PT Primajaya Informatika), USU Law Journal. 3.(1).
Sidabutor.R.M (2018), Analisis Yuridis Kedudukan Perjanjian Homologasi Dalam Mengakhiri Kepailitan Sesuai Dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, JOM Hukum.5 (1).
Sukatra.I.W.(2017), Kedudukan dan Hak Bank Terhadap Hak Preferen Upah Buruh Dalam Kepailitan, Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal),6(3).
Talli.A.H.(2015), Mediasi Dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008 , Jurnal Al-Qadau. 2 (1)
Disertasi
Marwanto,(2016) Formulasi Kebijakan Hukum Pemulihan Fungsi Lembaga Kepailitan sebagai lembaga penyelesaian Kewajiban debitur, Disertasi Program Studi Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h.56.
Tesis
Kurniawan.N.S (2013), Kepailitan Yang Bermula Dari Keadaan Exseptio Inadimplet Contractus (Analisa Terhadap Putusan Pernyataan Pailit Dalam Perspektif Hukum Perjanjian Dan Kepailitan), Tesis Program Magister Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer)
RV (Reglement Op de Rechsvordering)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
Kasus Hukum
Penetapan Pengadilan Niaga Surabaya Nomor 07/Pailit/2014.Pn.Niaga.Sby.
Jurnal Kertha Patrika, Vol. 41, No. 2 Agustus 2019, h.112 – 124
124
Discussion and feedback