Upaya Pemulihan Korban Tindak Pidana Terorisme oleh Dinas Kesehatan Kota Denpasar dan Kejaksaan Negeri Denpasar
on
E-ISSN 2579 9487
P-ISSN 0215 899X
I IMWHlSlTKlMtMl* I fy⅛.⅛g⅛a ⅞⅛⅛z Vol. 41, No. 2, Agustus 2019
Upaya Pemulihan Korban Tindak Pidana Terorisme oleh Dinas Kesehatan Kota Denpasar dan Kejaksaan Negeri
Denpasar
A.A. Ngurah Oka Yudistira Darmadi1, I Nyoman Darma Yoga2
-
1 Fakultas Hukum Universitas Udayana E-mail : [email protected]
-
2 Fakultas Hukum Universitas Udayana E-mail : [email protected]
125
Info Artikel Masuk : 11 April 2019 Diterima : 11 Agustus 2019 Terbit : 30 Agustus 2019 Keywords: Victim; Terrorism; recovery |
Abstract |
This study aims to determine the form of recovery and to examine and analyze the obstacles in the implementation of efforts to recover victims of criminal acts of terrorism committed by the Denpasar City Health Office and the Denpasar District Prosecutor's Office. The type of research used is empirical legal. This type of research uses a qualitative approach. The results showed that the efforts to recover victims of terrorism committed by the Denpasar City Health Office were limited to promotion efforts and the Denpasar District Prosecutor's Office was limited to attempts to prosecute acts of terrorists. Both of these agencies have limited authority in the context of recovery efforts against victims of terrorism. This must be overcome by the State, because these two institutions have a very important role to play in helping recovery efforts for victims of terrorism which will also coordinate with the Witness and Victim Protection Agency so that victims get their rights properly. | |
Kata Kunci: Korban; Terorisme; Pemulihan Corresponding Author : A.A. Ngurah Oka Yudistira Dharmadi, E-mail : DOI : 10.24843/KP.2019.v41.i02.p04 |
Abstrak |
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk pemulihan serta mengkaji dan menganalisa kendala dalam pelaksanaan upaya pemulihan korban tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Denpasar dan Kejaksaan Negeri Denpasar. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris. Tipe Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya pemulihan korban tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Denpasar hanya terbatas pada upaya promotif dan Kejaksaan Negeri Denpasar terbatas pada upaya penuntutan terhadap perbuatan pelaku terorisme. Kedua Instansi ini memiliki |
Jurnal Kertha Patrika, Vol. 41, No. 2 Agustus 2019, h.125 – 140
wewenang yang terbatas dalam rangka upaya pemulihan terhadap korban tindak pidana terorisme. Hal ini harus diatasi oleh Negara, karena kedua lembaga ini mempunyai peran yang sangat penting untuk membantu upaya pemulihan kepada korban terorisme yang akan berkoordinasi juga dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban agar para korban mendapatkan haknya dengan baik.
Perkembangan kejahatan di dunia telah semakin meningkatkan ancaman dalam kehidupan umat manusia.1 Kejahatan yang dahulunya hanya menyangkut kemiskinan, kelaparan dan keterbelakangan sebagai persoalan dasar,2 maka dengan berkembangnya Extra ordinary Crimes terlihat ada perkembangan baru yang mendasari suatu kejahatan. Extra ordinary Crimes terjadi bukan hanya karena persoalan kemiskinan, tetapi karena persoalan ketidak adilan. Perbuatan yang dikatagorikan sebagai Extra ordinary Crimes salah satunya adalah tindak pidana terorisme.3 Menurut Muladi, tindak pidana terorisme adalah kegiatan yang mengandung unsur kekerasan atau yang memberikan akibat berbahaya bagi kehidupan manusia dan tentunya kegiatan tersebut melanggar hukum pidana, serta jelas dimaksudkan untuk mengintimidasi penduduk sipil; mempengaruhi kebijakan dan penyelenggaran negara dengan cara penculikan dan pembunuhan.4 Akibat berbahaya yang dimaksud misalnya dapat berupa timbulnya korban baik nyawa, fisik, harta benda, psikologis, maupun psikososial. Sedangkan menurut Hery Firmansyah, tindak pidana terorisme diartikan sebagai kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan bahkan merupakan tindak pidana Internasional yang mempunyai jaringan, yang mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional.5 Salah satu contoh tindak pidana terorisme
yang telah mengganggu keamanan nasional dan internasional adalah ledakan bom Bali 1 dan 2.6
Selain dikategorikan sebagai Extra ordinary Crimes, terorisme juga tergolong sebagai kejahatan terorganisir.7 Sebab, kejahatan ini bukan merupakan sesuatu yang muncul dari ruang hampa.8 Terorisme selalu dilakukan dengan suatu perencanaan untuk mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan kekerasan guna menimbulkan rasa takut dan korban sebanyak-banyaknya secara tidak beraturan.9 Masyarakat dunia kini menghadapi musuh yang dapat menyerang setiap saat dan menimbulkan korban yang tidak dapat diprediksi. Korban kejahatan terorisme ini tidak mengenal kelas, tidak mengenal ras, tidak mengenal jenis kelamin, tidak mengenal batas negara (termasuk transnational crime). Gerakan teror ini hanya menghendaki apa yang mereka perjuangkan dapat tercapai, tanpa melihat dampaknya bagi kehidupan. Serangan cepat, tepat dan menimbulkan kondisi luar biasa adalah harapan para penyebar teror. Taruhan nyawa untuk melakukan perbuatan tersebut bukan masalah, justru semakin menjadi amunisi untuk meningkatkan rasa ketakutan dalam masyarakat, dan media adalah kawan yang setia setiap saat untuk menjadi corong perjuangan mereka.10
Demikianlah terorisme tersebut menjadi ancaman bagi umat manusia sehingga perlu ditanggulangi. Penanggulangan kejahatan terorisme melaui sarana hukum (penal), operasionalisasinya dapat menempuh 3 (tiga) tahapan yakni : formulasi, aplikasi, dan eksekusi.11 Salah satu bagian penting dalam tahapan formulasi adalah proses kriminalisasi.12 Upaya melakukan kriminalisasi terhadap terorisme ini mengalami kendala, karena tidak ada kesepakatan, atau terlalu luasnya perbuatan yang dianggap sebagai terorisme sehingga tidak dapat didefinisikan. Termasuk dalam hal ini PBB tidak memberikan definisi, hanya menyebutkan :
Terrorism attacks the values that lie at the heart of the Charter of the United Nations: respect for human rights; the rule of law; rules of war that protect civilians; tolerance among peoples and nations; and the peaceful resolution of conflict. Terrorism flourishes in environments of despair, humiliation, poverty, political oppression, extremism and human rights abuse; it also flourishes in contexts of regional conflict and foreign occupation; and it profits from weak
State capacity to maintain law and order.13
Kondisi korban, baik korban langsung (direct victim), maupun korban tidak langsung (indirect victim) dari tindak pidana terorisme,14 tentunya perlu mendapat perhatian, karena bila tidak dapat menimbulkan persolan lanjutan; korban sendiri, korban dan/atau keluarganya akan semakin menderita. Selain itu dampaknya tidak saja berakhir berupa penderitaan nyawa, fisik, dan harta benda saja, tetapi sangat mungkin persoalan psikologis, atau psikososial yang dapat menimbulkan dampak yang lebih luas.15 Korban menjadi apatis, tidak percaya lagi akan sistem yang ada dalam masyarakat, korban tidak percaya lagi bahwa negara melindungi mereka dari kejahatan.16 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban mengatur tentang lembaga yang bertanggung jawab untuk melaksanakan perlindungan terhadap saksi dan korban dan juga mengatur tentang mekanisme kerja lembaga tersebut dalam upaya memberikan perlindungan. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) merupakan salah satu lembaga yang bertugas dan berwenang memberikan perlindungan pada korban kejahatan, termasuk korban tindak pidana terorisme.17
Keberadaan lembaga ini hanya terbatas pada pemberian bantuan terhadap korban tindak pidana terorisme, sehingga terdapat persoalan dalam perlindungan korban tindak pidana terorisme. Kejaksaan merupakan representatif dari negara dan juga korban yang mempunyai tugas untuk menuntut pelaku dan menuntut dikembalikannya hak-hak korban yang dirugikan akibat adanya tindak pidana terorisme dan Dinas Kesehatan merupakan salah satu lembaga Pemerintah yang mempunyai kewajiban untuk memfasilitasi bantuan kesehatan kepada masyarakat termasuk pula kepada korban tindak pidana terorisme. Persoalan yang menjadi perhatian dari peneliti untuk selanjutnya ditungkan dalam penelitian ini adalah
perihal bagaimanakah bentuk pemulihan korban tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Denpasar dan Kejaksaan Negeri Denpasar serta apa saja yang menjadi kendala dalam pelaksanaan upaya pemulihan tersebut.
-
2. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris. Penelitian-penelitian demikian merupakan penelitian yang menitikberatkan perilaku individu atau masyarakat dalam kaitannya dengan hukum.18 Penelitian ini meneliti hukum dari perspektif eksternal dengan objek penelitiannya adalah sikap dan perilaku sosial terhadap hukum.19 Penelitian hukum empiris ini kerap diperlukan untuk menjelaskan apa yang oleh H. Kelsen disebut “an is” yakni suatu kenyataan faktual dari pola tingkah laku yang tidak sesuai dengn apa yang diperintahkan oleh norma (an ought) dari suatu aturan hukum.20 Beberapa topik yang sering dipergunakan dalam penelitian empiris adalah masalah implementasi aturan hukum, peranan institusi penegak hukum dalam penegakan hukum dan tidak lupa masalah efektifitas aturan hukum. Adapun yang dibahas pada penelitian kali ini ialah terkait upaya pemulihan korban tindak pidana terorisme.
-
3. Hasil dan Pembahasan
Korban tindak pidana terorisme merupakan seseorang yang menderita akibat tindak pidana terorisme. Korban dalam istilah bahasa Inggris disebut victim yang menurut Webster’s New American Dictionary diartikan sebagai “a human being sacrificed to adeity; a person hurt or killed by intention or in an accident; a sufferer from disease; a dupe”.21 Adapun menurut Crime Dictionary korban diartikan sebagai “Person who has injured mental or psycal suffering, loss or property or death resulting from an actual or attempted criminal offense committed by another”.22 Korban kejahatan menurut Pasal 1 Declaration of Basic Principle of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power adalah :
Victim means who, individually or collectively, have suffered harm, including physcal or
mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental right, trough act or ommision that are in violation of criminal laws operative within member states, including those laws proscribing criminal abuse of power.23
Hal yang sangat penting untuk diperhatikan juga adalah Pasal 2 Deklarasi tersebut yang menyatakan :
A person may be consider a Victim, under this Declaration, regardless of wether the pretator is identified, apprehended, prosecuted or convicted and regadless of familial relationship between the perpetrator and the victim. The term “victim also includes, where appropriate, the immediate family or dependents of the direct victim and persons who have sufferd harm in intervening to assist victim in distress or to prevent victimization.24
Deklarasi ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan korban dalam hal ini adalah mereka yang menderita karena perbuatan seseorang yang terkait dengan tindak pidana, baik penderitaan tersebut berupa fisik maupun psikologis, kerugian berupa harta benda ataupun adanya kerugian pada hak-haknya. Kerugian tersebut bisa dikarenakan karana perbuatan seseorang ataupun karena seseorang tidak melakukan susuatu perbuatan yang seharusnya dilakukan. Selanjutnya untuk seorang korban juga termasuk keluarga dekat korban/orang memiliki hubungan langsung dengan korban, termasuk juga mereka yang menderita kerugian karena berusaha menolong korban dari keadaan bahaya ataupun agar tidak terjadi viktimisasi.
Dinas Kesehatan merupakan salah satu lembaga Pemerintah yang mempunyai kewajiban untuk memfasilitasi bantuan kesehatan kepada masyarakat termasuk pula kepada korban tindak pidana terorisme. Berdasarkan hasil wawancara dengan dr. I.G.A. Mas Widiastuti selaku Sekretaris Dinas Kesehatan Kota Denpasar, bentuk pemulihan korban tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan sendiri pada waktu terjadinya Bom Bali 1 dan 2, hanya terbatas pada upaya promotif yang menekankan pada himbauan kepada seluruh masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemulihan korban terorisme dan upaya preventif yang menekankan pada upaya pencegahan agar dampak dari ledakan bom tersebut tidak menjadi penyakit
yang lebih serius dan mengerikan. Disamping upaya promotif dan preventif tersebut, Dinas Kesehatan Kota Denpasar juga memberikan pelayanan berupa pengobatan gratis yang difasilitasi oleh puskesmas di Kota Denpasar.
Bentuk pemulihan korban tindak pidana terorisme yang berkaitan dengan persoalan psikologis dan psikososial, Dinas Kesehatan Kota Denpasar belum mampu secara optimal dalam pelaksanannya. Dikatakan belum mampu secara optimal, karena pada kenyataannya upaya pemulihan terhadap persoalan psikologis korban tidak dilakukan secara berkesinambungan. Dikatakan oleh dr. I.G.A. Mas Widiastuti, pasca tragedi Bom Bali 1 dan 2, Dinas Kesehatan Kota Denpasar hanya sekali memberikan pemulihan secara psikologis kepada para korban bom, dengan bantuan salah seorang psikiater. Selebihnya kemudian diserahkan kepada Yayasan Isana Dewata untuk program pemulihan psikologis maupun psikososial secara berkelanjutan. Hal ini dapat dipahami mengingat upaya pemulihan psikologis maupun psikososial korban tindak pidana terorisme tersebut tidak termasuk secara eksplisit kedalam tupoksi Dinas Kesehatan Kota Denpasar.25 Pemberian bantuan berupa pemulihan secara psikologis tersebut hanya didasarkan pada tupoksi Dinas Kesehatan Kota Denpasar yang masih sangat umum yakni memberikan pelayanan umum kepada masyarakat sesuai bidang tugasnya untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.26
Kemudian, Kejaksaan merupakan representatif dari negara dan juga korban yang mempunyai tugas untuk menuntut pelaku dan menuntut dikembalikannya hak-hak korban yang dirugikan akibat adanya tindak pidana terorisme. Sejauh ini, upaya yang telah dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Denpasar dalam merespon tindak pidana terorisme beserta dampaknya, menurut I Kadek Wahyudi Ardika selaku Jaksa pada Kejaksaan Negeri Denpasar, hanya terbatas pada penuntutan terhadap perbuatan pelakunya. Terkait dengan upaya pemulihan psikologis dan psikososial korban sama sekali belum pernah dilakukan. Hal ini dapat dipahami, mengingat tugas dan wewenang Jaksa terbatas pada wewenang yang ditentukan berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menentukan bahwa :
-
1) Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
-
a. melakukan penuntutan;
-
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
-
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
-
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;
-
e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
-
2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
-
3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:
-
a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
-
b. pengamanan kebijakan penegakan hukum;
-
c. pengawasan peredaran barang cetakan;
-
d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
-
e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
-
f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Selain mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, menurut I Kadek Wahyudi Ardika sampai saat ini Kejaksaan belum memiliki SOP yang berlaku di internal kejaksaan untuk dijadikan landasan dalam mengupayakan pemulihan psikologis dan psikososial korban terorisme in casu korban bom Bali 1 dan 2.
-
3.2. Kendala dalam pelaksanaan upaya pemulihan korban tindak pidana terorisme di Dinas Kesehatan Kota Denpasar dan Kejaksaan Negeri Denpasar.
Upaya-upaya yang ditempuh oleh pihak Dinas Kesehatan Kota Denpasar dan Kejaksaan Negeri Denpasar dalam rangka pemulihan korban terorisme, dapat dikatakan belum optimal dalam artian belum memenuhi rasa keadilan masyarakat in casu korban pengeboman. Upaya yang belum optimal ini, setidak-tidaknya disebabkan oleh 2 (dua) faktor antara lain :
Jurnal Kertha Patrika, Vol. 41, No. 2 Agustus 2019, h.125 – 140 132
Secara yuridis normatif, belum terdapat pengaturan yang mengatur mengenai kewenangan, tata koordonasi (antar instansi terkait) maupun tata cara dalam upaya pemulihan psikologis maupun psikososial korban tindak pidana terorisme. Upaya yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Denpasar misalnya, yang memberikan bantuan pemulihan secara psikologis kepada para korban bom dengan bantuan seorang dokter psikologi, merupakan inisiatif dari Dinas Kesehatan Kota Denpasar yang didasarkan atas rasa kemanusiaan dan kewajiban moral semata. Begitu pula yang terjadi pada pihak Kejaksaan, menurut I Kadek Wahyudi Ardika selaku Jaksa pada Kejaksaan Negeri Denpasar, sepanjang pengetahuannya sampai saat ini belum terdapat S.O.P di Kejaksaan yang dapat dijadikan pedoman dalam menuntut ganti kerugian akibat tindak pidana terorisme itu sendiri. Dalam rangka pemenuhan rasa keadilan masyarakat in casu korban tindak pidana terorisme belum bisa diberikan secara maksimal oleh pihak Kejaksaan yang dalam hal ini berperan sebagai representatif negara yang diberikan kewenangan untuk menuntut pelaku dan menuntut dikembalikannya hak-hak korban yang dirugikan akibat adanya tindak pidana terorisme.
Persoalan anggaran memang sangat urgent dalam rangka pelaksanaan suatu program, apalagi program tersebut berkaitan dengan kepentingan orang banyak. Persoalan anggaran ini pula yang menjadi hambatan dalam melaksanakan program pemulihan psikologis maupun psikososial yang dialami oleh korban tindak pidana terorisme.
Kedua hambatan tersebut diatas patut dipikirkan untuk dipecahkan oleh negara terutama tetapi tidak terbatas pada Kejaksaan selaku representatif dari negara dan juga korban yang mempunyai tugas untuk menuntut pelaku dan menuntut dikembalikannya hak-hak korban yang dirugikan akibat adanya tindak pidana terorisme. Sebab, sesuai dengan The legal Liabilitiy theory, negara dipandang memiliki kewajiban hukum untuk memberikan kompensasi atas semua kerugian dan penderitaan korban sebagai akibat kejahatan.27 Disamping itu, dana kompensasi dari
negara memberikan kontribusi untuk kerusakan atau kerugian sebagai akibat dari perbuatan jahat dan oleh karenanya mereka harus bekerja sama dengan negara untuk menanggulangi kejahatan (The Social Accountable theory).28 Hal tersebut tentunya tidaklah cukup dengan hanya didasari atas filasafat kewajiban moral (The Social Contract theory) seperti yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Denpasar dan Yayasan Isana Dewata.29 Terbukti berdasarkan hasil wawancara dengan janda-janda korban bom Bali 1 dan 2 yang ditampung oleh Yayasan Isana Dewata, dalam rangka pemulihan psikologis maupun psikososial mereka, terhadap pendanaannya masih sangat terbatas, sehingga berimplikasi pada tidak optimalnya upaya pemulihan tersebut. Dibawah ini adalah beberapa keterangan dari korban bom Bali 1 dan 2 yang sangat membutuhkan bantuan pemulihan psikologis dan psikososial, yang penulis rangkum dalam bentuk tabel sebagai berikut :
Tabel 1. Keterangan Korban Bom Bali 1 dan 2
No |
Nama Korban |
Keterangan |
1. |
Ni Wayan Sudeni |
Saya perlu tempat mengadu. Pasalnya sampai saat ini di Bali yang telah dua kali menghadapi aksi pengeboman belum memiliki trauma centre. Jika lembaga tersebut ada, maka keluarga korban aksi bom dapat menyampaikan keluhan, didampingi untuk mendapatkan hak-haknya kepada negara atau ada yang memberikan alternatif jalan keluar yang bisa dilakukan oleh korban. Sampai saat ini, saya tidak pernah memikirkan pelaku atau keluarga pelaku aksi bom yang menewaskan suami saya (alm.) Wayan Sudika. Hal ini saya anggap sebagai perjalanan karma. |
28The Social Accountable Theory merupakan teori yang menentukan bahwa dana kompensasi dari negara memberikan kontribusi untuk kerusakan atau kerugian sebagai akibat dari perbuatan jahat dan oleh karenanya mereka harus bekerja sama dengan negara untuk menanggulangi kejahatan. Ibid.
29The Social Contract Theory merupakan teori yang didasari oleh filsafat kewajiban moral. Ibid.
Jurnal Kertha Patrika, Vol. 41, No. 2 Agustus 2019, h.125 – 140 134
2. |
Wayan Leniasih |
Sampai saat ini saya masih memerlukan dukungan, psikis, moral maupun material. Psikologis yang tergoncang mengakibatkan saya tidak bisa fokus bekerja. Ada waktu saya menjadi maniak kerja hanya untuk melupakan hal-hal buruk yang terjadi. Anak-anak perlu pendampingan disamping biaya pendidikan. Saya adalah korban dengan luka trauma dalam, karena tradisi kekerasan pada masyarakat saya nyaris tidak sesadis teroris dengan bomnya. Memang menyakitkan, melelahkan lahir maupun batin saya jika mengingat kejadian pada 12 Oktober 2002. Akan tetapi saya tidak cukup waktu untuk memikirkan pelaku maupun keluarga pelaku. Itu “karma” dan ibadah mereka, biarlah Tuhan yang memberi Keputusan. |
3. |
Endang Isnanik |
Terus terang, saya selaku salah satu korban bom Bali masih sangat memerlukan dukungan moral, memerlukan ruang untuk berbagi beban psikis kami, ruang belajar memupuk kesabaran keiklasan mengampuni. |
4, |
Ni Luh Erniati |
Saya sangat menyayangkan di Bali tidak ada trauma centre atau lembaga pendampingan sebagai tempat kami (korban bom bali) mengeluarkan dan menyampaikan apa yang kami rasakan. Apakah kami tidak ada artinya dibanding korban narkotika misalnya ? |
5. |
Ni Wayan Rastini |
Belajar dari hampir 14 tahun mengelola |
depresi akibat bom bali, sekuat apapun perempuan, dalam kondisi depresi, hasilnya tentu tidak maksimal. Sampai saat ini, tidak ada satu lembaga pemerintah yang intens mengambil bagian penanganan sosial bagi korban bom Bali. Bukankah anak yatim dan keluarga terlantar menjadi tanggungan pemerintah? Harapan saya secara pribadi – mungkin juga janda-jandan lainnya – tidak muluk-muluk seperti korban tindakan terorisme di negara lain yang mendapat kompensasi santunan sosial sampai keluarga ini “mentas” dari keterpurukan psikologis, ekonomi maupun sosialnya, dan perlu juga diadakan trauma centre atau apalah namanya. | ||
6. |
Ni Wayan Rasni Susanti |
Saat ini saya dan mungkin juga janda-janda korban bom Bali dan anak-anak, sangat memerlukan uluran tangan pemerintah. Saya sangat berharap ada program sosial bagi korban bom Indonesia, termasuk korban bom pada dua kali peristiwa di Bali. Kami tidak hanya “sakit” secara ekonomi, lebih parah pada sisi psikologis dan kesehatan fisik kami. |
7. |
Zuniar Nuraini |
Saya ingin mendapatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah. Apakah kami korban bom Bali ini tidak layak mendapatkan bantuan sosial dari Negara? Karena |
seingat kami, bantuan sosial yang kami terima dominan dari LSM asing, kemana negeri ini? Saya sangat berharap bisa mendapat bantuan dari pemerintah. Paling tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan membeli obat. | ||
8. |
Nur Laila |
Pasca bom Bali, saya menempuh perjalanan yang panjang dalam keterpurukan mental. Berusaha iklas, memaafkan, mengalah pada situasi, ternyata tidak cukup ampuh melepas trauma tersebut. Saya berharap pemerintah memiliki sentra layanan sosial, kejiwaan bagi penderita trauma baik karena musibah atau korban kriminal, termasuk korban penyalahgunaan obat-obat terlarang. Khusus bagi saya korban ledekan bom Bali, anak-anak perlu mendapat pendampingan untuk dapat melanjutkan kehidupannya dengan normal. |
Sumber : Hasil Wawancara Penulis
Melihat kondisi tersebut diatas, negara harus hadir dalam pengertian memberikan kompensasi atas semua kerugian manakala rakyatnya menderita akibat kejahatan yang tidak mampu dicegahnya. Dengan skema kompensasi yang demikian tersebut, akan berdampak positif pada sistem peradilan karena membantu memperbaiki hubungan dengan masyarakat (The utilitarian theory).30 Jika hal ini disepelekan, maka tidak tertutup kemungkinan akan muncul rasa ketidakadilan dipihak korban, mengingat pelaku pengeboman mendapatkan begitu banyak perlindungan hukum dari negara, sementara korban meringis dan terluka bahkan terenggut nyawanya namun tidak
mendapat perhatian yang sama.31
-
4. Kesimpulan
-
1. Bentuk pemulihan korban tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan sendiri pada waktu terjadinya Bom Bali 1 dan 2, hanya terbatas pada upaya promotif yang menekankan pada himbauan kepada seluruh masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemulihan korban terorisme dan upaya preventif yang menekankan pada upaya pencegahan agar dampak dari ledakan bom tersebut tidak menjadi penyakit yang lebih serius dan mengerikan. Upaya pemulihan terhadap persoalan psikologis korban hanya sekali pernah dilakukan dengan bantuan seorang dokter psikologi. Untuk upaya pemulihan psikologi dan psikososial secara berkelanjutan, diserahkan selanjutnya kepada Yayasan Isana Dewata. Pihak Kejaksaan Negeri Denpasar, upayanya hanya terbatas pada penuntutan terhadap perbuatan pelakunya. Terkait dengan upaya pemulihan psikologis dan psikososial korban sama sekali belum pernah dilakukan.
-
2. Hambatan yang muncul dalam pelaksanaan upaya-upaya tersebut diatas, setidak-tidaknya disebabkan oleh 2 (dua) faktor antara lain : pertama yakni kekosongan hukum atau peraturan, yang mengatur mengenai kewenangan, tata koordonasi (antar instansi terkait) maupun tata cara dalam upaya pemulihan psikologis maupun psikososial korban tindak pidana terorisme. Kemudian yang kedua yakni anggaran yang tidak memadai untuk melaksanakan program pemulihan tersebut
P-ISSN: 0215-899X, E-ISSN: 2579-9487
Daftar Pustaka
Buku
De Sola, Ralph. (1988). Crime Dictionary, New York : fact on file Publication.
Marzuki, Peter Mahmud. (2010). Penelitian Hukum, Jakarta: Prenada Media Group.
Muladi. (2002). Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: Habibie Center.
Mulford Adams, Lewis. (1954). Webster’s Unified Dictionary and Encylopedia, H.S. Stuttman. co.
Pasek Diantha, Made. (2016) Metodelogi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum, Jakarta:Kencana.
Sinara, Obsatar, Prayitno Ramelan, & Ian Montratama. (2018). Terorisme Kanan Indonesia Dinamika Dan Penanggulangannya, Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo.
Susanto, I.S. (2011). Kriminologi, Yogyakarta: Genta Publishing.
Swardhana, Gde Made, & I Ketut Rai Setiabudhi. (2017). Kriminologi & Viktimologi, Tabanan: Pustaka Ekspresi.
Widodo Eddyono, Supriyadi. (2016). Minimnya Hak Korban dalam RUU Pemberantasan Terorisme : Usulan Rekomendasi atas RUU Pemberantasan terorisme di Indonesia (DIM terkait Hak Korban Terorisme), Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Widodo Eddyono, Supriyadi, Erasmus A. T. Napitupulu, Ajeng Gandini Kamilahh. (2016). Catatan Kritis Atas RUU Pemberantasan Terorisme Tahun 2016, Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform.
Jurnal
Aji, Ahmad Mukri. (2013) “Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia”, Jurnal Cita Hukum, I (1).
Ahmadi, Yasir. (2016). “Kebijakan Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana
Terorisme Yang Dilakukan Kelompok Radikal”, De Lega Lata, I (1), 234-263, doi: 10.30596/dll.v1i1.789
Alfath Tauhidillah, Muhammad. (2009) “Korban Sebagai Dampak dari Tindak Pidana Terorisme : Yang Anonim dan Terlupakan”, Jurnal Kriminologi Indonesia, V (II).
Ambarita, Folman P. (2018) "Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme", Binamulia Hukum, 7 (2).
Firmansyah, Hery. (2011). “Upaya Penangulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia”, Mimbar Hukum, 23 (2), 376-393, doi: doi.org/10.22146/jmh.16193.
Hendriana, Rani. (2016) “Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Terorisme : antara desiderata dan realita”, Jurnal Kosmik Hukum, 16 (1), 30-41, doi:
10.30595/kosmikhukum.v16i1.1273.
Iswanto, Wahyudi. (2015) “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Korban Terorisme”, Lex Crimen, IV (1), 235-241.
Prasatya, Didi. (2013). “Eksistensi Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) Dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Terorisme”, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, 3 (2).
Y, Ulfah K.& R.B Sularto. (2014). “Counter Terrorism Bagi Pelaku Tindak Pidana Terorisme Sebagai Upaya Penanggulangan Kejahatan Terorisme Di Indonesia”, Jurnal Law Reform, 10 (1), 84-98, doi: 10.14710/lr.v10i1.12459.
Pidato Pengukuhan
Nyoman Serikat Putra Jaya. (2004). Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Retroaktif Sebagai Penyeimbang Asas Legalitas dan Asas Keadilan (Suatu Pergeseran Paradigma Dalam Ilmu Hukum Pidana), Pidato Pengukuhan, UNDIP.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban; (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 293, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban; (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia; (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401 )
Jurnal Kertha Patrika, Vol. 41, No. 2 Agustus 2019, h.125 – 140
140
Discussion and feedback