Penerapan Business Judgement Rule dalam Ketentuan Pengadaan Barang dan Jasa di Lingkungan PT PLN (Persero)

Ni Putu Eka Prasanthi1

1PT PLN (Persero) Unit Pelaksana Pelayanan Pelanggan Bali Timur, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk: 4 April 2019 Diterima: 25 Mei 2019

Terbit: 30 Agustus 2019


Abstract

Keywords:

Legal protection; Bussiness

Judgment Rule; Procurement


PT PLN (Persero) (“PLN”) as a state company engaged in electricity has the task of providing services in the electricity sector to the public. To be able to carry out their duties and functions properly PT PLN (Persero) PLN carries out the process of procurement of goods / services to support its performance. This Procurement Process often creates legal problems where when there is a loss that arises it is often associated with corruption. The existence of a business judgment rule here is a doctrine that regulates how the directors or employees of a company cannot be held accountable for a loss to the company that arises due to a decision or action that is still within its authority. The purpose of this study is to describe how the business judgement rule doctrine applies in the provisions of the procurement of goods and services within the PLN application of the business judgment rule doctrine in the implementation of State-Owned Enterprises, especially the procurement of goods and services within the PLN. This paper uses a normative juridical legal research method, using the statutory approach method. Research Results of Law 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies have poured the doctrine of the Business Judgment in Article 97 paragraph (5), which was then adopted by the National Electric Company and poured into guidelines for the procurement of goods / services within the PLN. This guideline requires that PLN employees involved in procurement (procurement organizations) carry out the procurement process by paying attention to the Business Judgment Rule doctrine that is in line with the principles that are applied, namely efficient, effective, competitive, transparent, fair and fair and accountable, then if there is a loss, will be charged to him accountability

Abstrak

Kata kunci:

Perlindungan Hukum;

Bussines Judgment Rule: Pengadaan Barang dan Jasa

Corresponding Author:


PT PLN (Persero) (selanjutnya disebut PLN) sebagai perusahaan negara yang bergerak dibidang kelistrikan memiliki tugas memberikan pelayanan di bidang ketenagalistrikan kepada masyarakat. Untuk dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik PLN melaksanakan proses pengadaan barang/jasa untuk mendukung kinerjanya. Proses Pengadaan ini sering kali menimbulkan permasalahan hukum dimana ketika terdapat kerugian yang timbul sering dikaitkan dengan tindak pidana

Ni Putu Eka Prasanthi, E-mail :

[email protected]

DOI:

10.24843/KP.2019.v41.i02.p

06


korupsi. Keberadaan business judgement rule disini merupakan doktrin yang mengatur bagaimana direksi ataupun karyawan sebuah perusahaan tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya atas suatu kerugian terhadap perseroan yang timbul akibat suatu putusan atau tindakan yang masih masuk dalam kewenangannya. Tujuan penelitian ini adalah menjabarkan bagaimana penerapan doktrin business judgement rule dalam penyelenggaraan Badan Usaha Milik Negara khususnya pelaksanaan pengadaan barang dan jasa di lingkungan PLN.Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif, dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan. Hasil Penelitian UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas telah menuangkan doktrin Business Judgement Rule ini dalam pasal 97 ayat (5), yang kemudian diadopsi oleh PLN dan dituangkan kedalam pedoman pengadaan barang/jasa di lingkungan PLN. Pedoman ini mewajibkan pegawai PLN yang terlibat dalam pengadaan (organisasi pengadaan) melaksanakan proses pengadaan dengan memperhatikan doktrin Business Judgment Rule yang sejalan dengan prinsip – prinsip yang diterapkan yaitu efisien, efektif, kompetitif, transparan, adil dan wajar serta akuntabel, maka apabila timbul kerugian tidak akan dibebankan kepadanya pertanggungjawaban.

  • 1.    Pendahuluan

Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disingkat BUMN) merupakan badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya adalah milik negara dengan proses penyertaan langsung dari kekayaan negara yang dipisahkan. Dalam pembangunan negara Indonesia keberadaan BUMN memiliki peran yang sangat besar baik untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat ataupun mendatangkan devisa untuk negara. Diantara perusahaan BUMN terdapat PLN yang merupakan perusahaan negara satu-satunya yang memiliki usaha di bidang ketenagalistrikan, keberadaannya menjadi sangat penting karena bertugas memberikan pelayanan di bidang ketenagalistrikan. PLN sebagai pemegang usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak diberikan tugas dengan target perusahaan yang sangat tinggi, dimana PLN salah satunya dalam 5 (lima) tahun kedepan adalah pembangunan proyek 35.000 MW.

Dengan pembangunan proyek 35.000 MW ini diharapkan PLN mampu memenuhi kapasitas kebutuhan seluruh bangsa Indonesia dengan mengalirkan listrik ke seluruh wilayah Indonesia. Untuk mendukung pembangunan proyek 35.000 MW ini harus didukung dengan infrastruktur yang memadai salah satunya diperoleh dari pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa. Pengadaan Barang dan Jasa di lingkungan PLN bersumber pada ketentuan tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang diatur didalam Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018.

Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah adalah kegiatan yang dilakukan dalam pembangunan nasional demi mewujudkan kesejahteraan seluruh masyarakat, maka berbagai pembangunan baik fisik maupun non fisik dilakukan lewat pengadaan

barang dan jasa pemerintah.1 Dalam pelaksanaannya, terdapat banyak kasus hukum yang timbul di PLN tentang Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa. Pengadaan Barang dan Jasa di lingkungan PLN apabila dilihat dari sumber pendanaannya terbagi atas 3 (tiga) jenis yaitu Pengadaan Barang dan Jasa yang bersumber dari Angaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) (misalnya proyek listrik pedesaan), Pengadaan Barang dan Jasa yang pendanaannya bersumber dari Anggaran PLN (APLN), Pengadaan Barang dan Jasa yang pendanaannya bersumber pinjaman Luar Negeri salah satunya ADB. Sumber pendanaan ini sangat penting untuk melihat aturan mana yang diterapkan, untuk pendanaan dari APLN maka berlaku ketentuan Peraturan Presiden No. 16 tahun 2018, untuk Pengadaan Barang dan Jasa yang menggunakan pendanaan Pinjaman luar negeri/ADB maka pengadaan Barang dan Jasa mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi pinjaman, dan untuk pengadaan Barang dan Jasa yang menggunakan pendanaan APLN tunduk kepada peraturan Internal PLN yaitu Keputusan Direksi No. 0527.K/DIR/2014 tentang Perubahan atas Keputusan Direksi No. 0620.K/ DIR/2013 tentang Pedoman Umum Pengadaan Barang dan Jasa di Lingkungan PT PLN (Persero)(selanjutnya disebut keputusan direksi tentang pengadaan).

Dalam hukum perdata sendiri terdapat beberapa pertanggungjawaban yang melekat pada perseroan sebagai badan hukum yang terpisah (separate) yang terpisah dari pemegang saham dan pengurus perseroan, sebagai sebuah ikatan perdata, maka terhadap pertanggugjawaban perdata ini biasanya jarang menimbulkan adanya problematika hukum. Namun dengan perkembangan zaman tuntutan akan perlindungan terhadap ketentraman dan keselamatan masyarakat yang terus berkembang menuntut untuk kondisi tertentu adanya pertanggungjawaban pidana yang lebih luas dan adil. 2 Pertanggungjawaban ini yang sering timbul dalam permasalahan hukum yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa. Permasalahan hukum dalam pelaksanaan barang dan jasa di lingkungan PLN sering timbul karena adanya pengambilan kebijakan atau keputusan yang kemudian menyebabkan beberapa produk yang didapatkan misalnya mengalami kegagalan dalam pelaksanaan pekerjaan, atau barang yang dikirim ternyata cacat atau sesuai spek namun kualitasnya rendah. Hal ini membuat para pelaksana pengadaan dan pimpinan yang mengambil keputusan merasa tidak memiliki payung hukum atas tindakan yang diambil padahal tindakan tersebut telah memenuhi ketentuan di bidang pengadaan barang dan jasa. Selain itu apabila dikaitkan dengan kerugian negara menyebabkan banyak sekali permasalahan hukum di bidang pengadaan barang dan jasa yang menjadi target pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan dipandang telah menyebabkan kerugian negara.3

Di dalam keputusan Direksi tentang pengadaan tersebut terdapat beberapa prinsip perusahaan yang diadaptasi kedalam ketentuan tersebut dan diberlakukan dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, yaitu prinsip Business Judgement Rule. Business Judgement Rule adalah sebuah doktrin yang awalnya digunakan di dalam hukum perusahaan di negara Amerika Serikat. Doktrin ini harus diterapkan oleh direksi untuk memenuhi fiduciary duty.4 Doktrin ini memberikan perlindungan kepada direksi, dimana direksi tidak dapat dibebankan pertanggungjawaban atas kerugian perusahaan yang timbul dari pengambilan keputusan, apabila dalam pengambilan keputusan tersebut direksi telah ddasarkan atas itikad baik dan sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat dikemukakan permasalahan yang kemudian ingin dibahas dalam tulisan ini adalah bagaimana eksistensi prinsip Business Judgement Rule dalam pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa di lingkungan PLN. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisa bagaimana keberlakuan prinsip Business Judgement Rule didalam pelaksanaan Pengadaan barang dan jasa PLN. Adapun beberapa tulisan yang telah mengangkat mengenai isu mengenai penerapan prinsip Business Judgement Rule dapat dilihat dalam tulisan Muhammad Gary Gagarin Akbar pada tahun 2016 yang berjudul Business Judgement Rule sebagai perlindungan hukum bagi Direksi Perseroan dalam melakukan transaksi bisnis5 serta disampaikan oleh Affandhi dan rekan pada tahun 2015 dengan judul Business Judgement Rule dikaitkan dengan Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan oleh Direksi Badan Usaha Milik Negara terhadap Keputusan Bisnis yang Diambil.6

  • 2.    Metode Penelitian

Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif, dengan mengkaji beberapa bahan kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer yang berupa Peraturan Perundang-undangan terkait perseroan terbatas, Perundang-undangan tentang Badan Usaha Milik Negara dan Peraturan Perundang-undangan tentang pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah dan ditunjang oleh bahan hukum sekunder yang meliputi bahan pustaka mengenai doktrin Business Judgement Rule dan mengenai pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN. Dalam penulisan penelitian ini menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) dengan teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library research). Kemudian dilakukan analisa bahan hukum dengan teknik deskripsi sehingga peneliti menguraikan secara terang tentang kondisi dan posisi hukum dan non hukum yang ada dalam melakukan penelitian.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    3.1.    Business Judgement Rule dalam Penyelenggaraan Perusahaan BUMN

Pengadaan barang dan jasa merupakan kegiatan pendukung yang sangat penting dalam proses bisnis perusahaan, karena dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa ini segala barang dan jasa pendukung proses usaha perusahaan didapat. Pengadaan barang dan jasa ini dilakukan seluruh perusahaan baik swasta maupun perusahaan negara. Khusus untuk Perusahaan Negara dan Pemerintah segala kegiatan pengadaan barang dan jasa diatur didalam ketentuan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2018. PLN sendiri khususnya tunduk pada beberapa ketentuan hukum tentang pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yaitu Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2018, dan Keputusan Direksi No.0527.K/DIR/2014 tentang Perubahan atas Keputusan Direksi No. 0620.K/DIR/2013 tentang Pedoman Umum Pengadaan Barang/Jasa di Lingkungan PT PLN (Persero).

Dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa ini muncul banyak permasalahan hukum, yang tak jarang juga dari pengadaan barang dan jasa yang dilaksanakan mendatangkan kerugian bagi perusahaan. Kerugian yang diderita tersebut merupakan resiko yang selalu melekat dalam suatu kegiatan bisnis. Kerugian ini dapat dikarenakan putusan yang diambil oleh direksi dan atau pelaksana pengadaan dalam sebuah transaksi. Namun demikian tidak serta merta setiap kerugian yang diderita perseroan akibat keputusan yang diambil direksi dan atau pelaksana pengadaan dapat dibebankan pertanggungjawabannya kepada direksi secara pribadi. Doktrin Business Judgement Rule merupakan doktrin yang mengatur bagaimana direksi tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya terhadap sebuah keputusan yang diambil yang menimbulkan kerugian.7

Didalam Academic Dictionary and Encyclopedia disampaikan bahwa Business Judgment Rule ini merupakan doktrin hukum yang mengatur bagaimana direktur ataupun karyawan sebuah perusahaan tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya atas suatu kerugian terhadap perseroan yang timbul akibat suatu putusan atau tindakan yang masih masuk dalam kewenangannya, berdasarkan itikad baik, jujur dan rasional tanpa adanya konflik kepentingan didalamnya, diambil semata-mata untuk kepentingan perseroan seutuhnya.8

Doktrin Business Judgement Rule ini merupakan semangat dan keberanian yang diberikan hukum kepada setiap direksi untuk lebih berani mengambil keputusan meskipun keputusan tersebut beresiko. Doktrin ini membebaskan direksi dan pegawai dari pertanggungjawaban terhadap putusan yang diambil dan menimbulkan resiko apabila dalam pengambilan keputusan tersebut direksi sudah sesuai prosedur, menerapkan prinsip kehati-hatian dan beritikad baik untuk seutuhnya kepentingan perseroan. 9

Dalam hal direksi dalam menjalankan perseroan termasuk didalamnya melakukan proses pengadaan barang dan jasa yang dianggap merugikan negara serta kemudian disangka melakukan tindakan pidana korupsi harus dipertanyakan kembali

kebenaran dan ketepatannya, apalagi apabila kerugian yang timbul tersebut akibat transaksi bisnis akibat kesalahan direksi karena tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian, itikad baik dan semata-mata untuk kepentingan perseroan, maka atas kerugian tersebut dapat dimintakan pertanggung jawabannya kepada direksi tersebut, karena dikategorikan sebagai pelanggaran fiduciary duty yang mengakibatkan adanya pertanggungjawaban pribadi.10

Ditambahkan juga oleh Angela Schneeman, doktrin Business Judgment Rule hanya memberikan perlindungan kepada direksi dalam hal keputusan bisnis yang diambil telah berdasarkan :

  • 1.    Itikad baik;

  • 2.    Tidak adanya konflik kepentingan dalam pengambilan keputusan tersebut;

  • 3.  Bahwa keputusan yang diambil tersebut sudah dengan pertimbangan secara

rasional dan perhitungan yang tepat;

  • 4.  Keputusan bisnis yang diambil tersebut seutuhnya untuk kepentingan dan

kemanfaatan perseroan itu sendiri.11

Doktrin Business Judgement Rule ini menjadi sangat penting karena menjadi pegangan bagi direksi dalam bekerja dengan rasa aman dan percaya diri dalam mengambil keputusan sepanjang hal tersebut diambil dengan itikad baik dan profesional. Doktrin ini diibaratkan bagai sebuah tameng yang digunakan oleh direksi yang telah melakukan tugasnya dengan penuh itikad baik, sehingga terbebas dari gugatan perseroan.

Sebaliknya apabila direksi melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan yang tercantum didalam anggaran dasar perusahaan, dan atau melebihi kewenangan yang dikuasakan kepadanya, maka seketika itu perlindungan yang diberikan hukum korporasi kepada direksi sehingga kerugian yang timbul dari tindakan direksi tersebut wajib dipertanggungjawabkan secara penuh kepada direksi (ultra vires).

Kedudukan doktrin Business Judgement Rule ini didalam Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT) dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 69 ayat (4) , Pasal 97 ayat (5),dan Pasal 104 ayat (4), meskipun demikian istilah business judgement rule sendiri tidak digunakan dalam peraturan tersebut. Disebutkan dalam pasal 97 ayat (5) UU PT sebagai berikut:

“Anggota Direksi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat dibuktikan:

  • 1.    Kerugian tersebut bukan kesalahan atau kelalaiannya;

  • 2.    Telah melakukan pengurusan dengan berdasarkan itikad baik dan kehati-hatian;

  • 3.    Untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;

  • 4.    Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak secara langsung atas tindakan kepengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan

  • 5.    Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian itu.

Dari bunyi pasal tersebut, selama direksi bisa membuktikan tindakan atau keputusan yang diambil berdasarkan ketentuan Pasal 97 ayat (5) UU PT maka terhadapnya tidak dapat dibebankan pertanggungjawaban atas kerugian yang terjadi. Dalam Pasal 69 ayat (4) UU PT kemudian disebutkan “Anggota Direksi atau anggota dewan komisaris dibebaskan dari tanggung jawab sebagai akibat laporan keuangan yang disediakan ternyata tidak benar dan/atau menyesatkan apabila terbukti bahwa dalam keadaan tersebut bukan karena kesalahannya. Demikian juga diatur dalam Pasal 104 ayat (4) UU PT dimana atas kepailitian yang terjadi pada perseroan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada direksi apabila terbutkti :

  • 1. Kepailitan yang terjadi tersebut bukan karena kesalahan dan/atau

kelalaiannya;

  • 2. Telah melakukan pengurusan perusahaan dengan itikad baik, kehati-hatian

dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan perseroan, dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;

  • 3.    Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan kepengurusan yang dilakukan; dan

  • 4.    Telah melakukan tindakan pencegahan terjadinya kepailitan.

Ketiga ketentuan pasal tersebut keseluruhannya mengatur mengenai ketentuan doktrin Business Judgement Rule, meskipun istilah ini tidak digunakan secara langsung dalam ketentuan UU PT, namun secara tegas menyampaikan bahwa terhadap tindakan dan keputusan yang diambil direksi selama dapat dibuktikan tindakan tersebut telah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang maka semua konsekuensi kerugian ataupun kepailitan atas perseroan tidak dapat dibebankan kepadanya.

Apabila kemudian dikaitkan dengan perseroan berbentuk badan usaha milik negara, dimana terhadap perseroan ini juga tunduk terhadap aturan UU PT, selain UU PT ini terhadap perusahaan BUMN juga tunduk pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor) dan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (selanjutnya disebut UU Keuangan Negara). Dalam menentukan tanggung jawab direksi harus dipahami terlebih dahulu mengenai modal dari perusahaan BUMN, dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut UU BUMN) pada Pasal 1 ayat (1) diatur bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Terkait kekayaan negara diatur dalam Pasal 1 ayat (10) UU BUMN, kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan yang berasal dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum, serta Perseroan Terbatas lainnya.

Kemudian dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Keuangan Negara, diatur bahwa Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu baik berupa uang atau barang yang dapat dijadikan kekayaan milik negara yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. Dalam Pasal

  • 2 huruf g diatur pula mengenai keuangan negara itu meliputi kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak-hak lain yang dapat dinilai degan uang, termasuk didalamya adalah kekayaan yang telah dipisahkan yang ditempatkan di perusahaan negara atau perusahaan daerah.

Riawan Tjandra menyampaikan apabila dikaitkan dengan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan di BUMN menurut UU Keuangan negara secara tegas menyampaikan bahwa kekayaan tersebut secara normatif merupakan keuangan negara, sehingga kekayaan negara tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat, sedangkan BUMN hanya sebatas mengelolanya, sehingga kekayaan yang dipisahkan ini tidak menghilangkan karakteristik uang negara, meskipun pengelolaannya oleh BUMN. 12 Beliau menegaskan juga bahwa terdapat beberapa teori berkaitan tentang penempatan uang negara di BUMN, hal ini sering dikaitkan dengan benturan dengan independensi badan hukum koorporasi yang harus diberikan ruang untuk mengelola secara privat dalam mengantisipasi segara risiko bisnis yang mungkin timbul, namun sebaliknya seharusnya kedudukan keuangan negara yang ditempatkan di BUMN ini bukanlah menjadi halangan bagi Pengelola BUMN untuk berinovasi menjalankan perseroan namun sebagai cemeti bagi setiap pengelola untuk lebih cermat dan hati-hati dalam mengelola kekayaan negara tersebut.13

Di dalam UU BUMN pada bagian penjelasan Pasal 4 ayat (1) sebagai berikut “yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal Negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat”. Dari pengertian diatas, semestinya modal BUMN yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan tersebut tidak lagi dikatakan sebagai keuangan negara maka atas pengaturan pembinaan dan pengelolaan BUMN (Persero) diatur sesuai ketentuan Peraturan tentang perseroan terbatas yang bersifat mandiri, dimana dalam menjalankan perusahaannya harus berpatokan kepada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Ketentuan tersebut diperkuat lagi dengan diterbitkan fatwa Mahkamah Agung Nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006 yang pada intinya mempertegas ketentuan yang diatur didalam penjelasan pasal 4 ayat (1) UU BUMN. Fatwa ini menegaskan bahwa keuangan perusahaan BUMN (Persero) bukan lagi merupakan Keuangan Negara, sehingga pengelolaan dan pertanggung jawabannya tidak lagi didasakan kepada sistem APBN.14 Demikian pula piutang yang ditanggung oleh BUMN bukan merupakan piutang Negara sehingga penyelesaiaannya tidak bisa dilakukan melalui mekanisme Undang-undang No. 49/prp/1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara atau PUPN.

Seiring dengan perjalanannya Doktrin business judgement rule ini juga beriringan dengan penerapan Good Corporate Governance (selanjutnya disebut dengan GCG), dimana Doktrin Bussines Judgment Rule ini mengharuskan direksi untuk menjalankan prinsip GCG untuk menjamin semua tindakan keputusan yang diambil telah sesuai dan tepat. Atau dengan kata lain Doktrin Business Judgement Rule ini baru secara aktif melindungi direksi apabila dalam menjalankan perseroan, direksi telah menjalankan prinsip GCG tersebut. Good Corporate Governance sendiri adalah rangkaian aturan yang mempengaruhi pengarahan, pengelolaan serta pengontrolan atas suatu perusahaan atau koorporasi. GCG ini dipandang dapat menjadi sistem pengendalian dan pengaturan perusahaan yang dapat dilihat dari mekanisme hubungan antara berbagai pihak yang mengurus perusahaan (hard definition), maupun ditinjau dari nilai-nilai yang terkandung dalam mekanisme pengelolaan itu sendiri.15

Dalam UU BUMN sendiri telah ditemukan pengaturan mengenai Penerapan Prinsip GCG ini, ditemukan dalam Penjelasan Umum angka IV yang menyebutkan untuk mengoptimalkan perannya dan mampu mempertahankan keberadaannya dalam perkembangan ekonomi dunia yang semakin kompetitif, maka perusahaan negara perlu menumbuhkan budaya korporasi yang profesional dengan pembenahan pengurusan dan pengawasan. Pengurusan dan pengawasan BUMN harus dilakukan dengan bertumpu pada prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).16 Kemudian dalam Pasal 5 ayat (3) UU BUMN diatur, dalam melaksanakan tugasnya, anggota direksi harus mematuhi anggaran dasar BUMN dan peraturan perundang-undangan serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme,     efisiensi,     transparansi,     kemandirian,     akuntabilitas,

pertanggungjawaban, serta kewajaran. Hal serupa ditemukan pula dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3) yang diperuntukkan untuk komisaris dan dewan pengawas yang intinya menyampaikan bahwa baik direksi, komisaris maupun dewan pengawas BUMN dalam menjalankan tugasnya wajib memperhatikan prinsip-prinsip GCG.

Mengenai prinsip Good Corporate Governance, yang diatur dalam Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 5 ayat (3) UU BUMN meliputi:

  • 1.    Transparansi atau Keterbukaan (transparency)

Bahwa dalam menjalankan sebuah korporasi baik dalam mengambil keputusan wajib untuk mengedepankan keterbukaan baik dalam mengungkapkan informasi terkait material dan selalu relevan mengenai perusahaan.

  • 2.    Kemandirian

Prinsip dimana setiap direksi, komisaris dan dewan pengawas dalam menjalankan perusahaan secara profesional tanpa adanya benturan kepentingan dan tekanan dari pihak lain yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip dalam korporasi.

  • 3.    Akuntabilitas (Accountability)

Bahwa dalam menjalankan perusahaan baik direksi, komisaris dan dewan pengawas selalu menjalankan segala aktivitas sesuai fungsi pelaksanaan dan

pertanggungjawaban yang jelas sehingga setiap aktivitas perusahaan dilaksanakan dengan efektif.

  • 4.    Pertanggungjawaban

Dalam menjalankan perusahaan segala tindakan dan aktivitas perusahaan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip koorporasi sehingga segala tindakan, aktivitas dan keputusan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan.

  • 5.    Kewajaran

Prinisip ini menyampaikan bahwa dalam rangka penyelenggaraan perusahaan baik direksi, komisaris dan dewan pengawas slalu berpegangan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku serta prinsip-prinsip tentang korporasi sehingga antara tindakan dan aktivitas yang dilaksanakan terdapat kesesuaian dengan peraturan yang berlaku.

  • 3.2 Penerapan Business Judgement Rule dalam Pengadaan Barang dan Jasa di PT PLN (Persero)

Karakteristik dari setiap perseroan di Indonesia adalah adanya pemisahan kekayaan antara pemilik dan pengurusnya, dengan kata lain antara kekayaan badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan pribadi direksi , komisaris dan pemegang saham. Apabila dikaitkan dengan kedudukan antara keuangan negara dengan modal perseroan, tentu saja kekayaan negara tidak dapat dicampurkan dengan keuangan negara. Termasuk didalamnya adalah keuangan yang dikeluarkan sebagai pendanaan dalam pengadaan barang dan jasa yang kemudian digunakan untuk penyelenggaraan perusahaan.

PT PLN (Persero) adalah salah satu perusahaan negara yang memiliki bidang usaha ketenagalistrikan, satu-satunya perusahaan negara yang memegang ijin usaha ketenagalistrikan untuk kepentingan umum sesuai dengan Undang-Undang No. 30 tahun 2009. Dalam melaksanakan tugasnya memberikan pelayanan dibidang ketenagalistrikan, PLN melakukan kegiatan pengadaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya dalam menjalankan tugasnya mengaliri listrik di tanah air.

Melihat target PLN kedepan yang sangat tinggi yaitu pembangunan pembangkit 35000 MW menyebabkan banyak kebutuhan barang dan jasa yang dibutuhkan, kesemuanya diperoleh PLN melalui proses pengadaan barang dan jasa. Hal ini disampaikan dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik Tahun 2018. Pengadaan barang dan jasa di lingkungan PLN terbagi atas (tiga) 3 jenis yaitu pengadaan barang dan jasa pemerintah, dimana dalam proses pengadaannya seluruhnya tunduk kepada Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Bagi Pengadaan barang dan jasa yang menggunakan dana luar negeri, proses pengadaan ini menggunakan pedoman yang ditentukan oleh pemberi dana. Pengadaan barang dan jasa yang menggunakan pendanaan APLN, maka untuk prosedur pengadaannya menggunakan ketentuan internal di lingkungan PLN yaitu Peraturan Direksi No.527.K/DIR/2014 Tentang Perubahan Keputusan Direksi No. 0620.K/DIR/2014 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa di Lingkungan PLN.

Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No.PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan barang dan jasa Badan Usaha Milik Negara

sebagaimana dirubah dengan Peraturan Menteri BUMN Nomor PER – 15/MBU/2012, memberi amanat bahwa BUMN sebagai sebagai badan usaha untuk mendukung kinerja perlu melakukan pengadaan barang dan jasa secara cepat, fleksibel, efisien dan efektif agar tidak kehilangan momentum bisnis, namun tetap berpegangan dengan prinsip-prinsip efisien, efektif, kompetitif, transparan, adil dan wajar serta akuntabel.

Dalam peraturan menteri tersebut diberikan kewenangan direksi BUMN untuk mengatur lebih lanjut mengenai tata cara pengadaan di lingkungan BUMNnya untuk pengadaan yang sumber pembiayaannya dari anggaran anggaran BUMN, atau anggaran pihak lain, termasuk yang dibiayai dari pinjaman/hibah luar negeri (PHLN), baik dengan jaminan ataupun tanpa jaminan pemerintah, kecuali pengadaan barang/jasa tersebut menggunakan pembiayaan dana langsung dari APBN/APBD baik sebagian atau seluruhnya. Untuk Pedoman tata cara pengadaan barang/jasa di lingkungan PLN ini sendiri merupakan hasil turunan dari tata cara pengadaan sesuai Peraturan menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No PER-05/MBU/2008.

Dalam proses Pengadaan barang dan jasa ini sering dikaitkan dengan tindakan korupsi, karena terdapat transaksi bisnis didalamnya. Dalam Peraturan PLN terkait pengadaan barang dan jasa terdapat beberapa pelaku pengadaan yang meliputi :

  • a. Pengguna barang dan jas;

  • b. Pelaksana Pengadaan barang dan jasa;

  • c.    Perencana Pengadaan;

  • d.    Wakil Pengguna;

  • e.    Value for money commitee.

Seringkali terjadi bahwa organ perusahaan yang melakukan proses pengadaan barang dan jasa melakukan tindakan melanggar ketentuan sehingga banyak yang memiliki permasalahan di bidang hukum yang kemudian ditangani oleh komisi pemberantasan korupsi. Namun tidak dapat dituduhkan seutuhnya bagi organ perusahaan yang melaksanakan pengadaan barang dan jasa atas barang jasa yang telah dibeli yang ternyata akhirnya proyek gagal atau barang tidak dapat digunakan.     Hal      ini

banyak yang mengaitkannya dengan korupsi.

Dalam ketentuan Peraturan Direksi No 527.K/DIR/2014 Tentang Perubahan Keputusan Direksi No. 0620.K/DIR/2014 tentang Pedoman Pengadaan barang dan jasa terdapat penerapan doktrin Business Judgement Rule dalam ketentuan pengadaan barang dan jasa. Dalam ketentuan hukum tersebut megatur bahwa penerapan Business Judgement Rule ini berlaku bagi pegawai PLN yang terlibat dalam pengadaan. Secara umum prinsip Business Judgement Rule yang dituangkan meliputi :

  • a.    Keputusan yang diambil merupakan keputusan bisnis;

  • b.    Due Care(sikap berhati-hati);

  • c.    Act in a good faith (itikad baik);

  • d.    No abuse of power (tidak melakukan penyalahgunaan wewenang);

  • e.    Act in the best interest of the corporation (bertindak untuk kepentingan terbaik perusahaan);

  • f.    Act on a informed basis (bertindak dengan informasi yang mencukupi);

  • g.    Not be wasteful (tidak mengambil tindakan in-efisien);

  • h.    Not involve self-interest (tidak ada konflik kepentingan untuk kepentingan pribadi) dan/atau

  • i.    No secret profit rule doctrin of corporate opportunity (tidak mengambil kepentingan pribadi atas suatu kesempatan yang sebenarnya menjadi milik/diperuntukkan perusahaan).

Business Judgement Rule ini menegaskan bahwa tidak sembarang orang bisa dijerat dengan tindak pidana korupsi terkait Pengadaan barang dan jasa, seorang dapat dikatakan melakukan tindak pidana korupsi apabila terbukti dengan sengaja dan sadar melakukan tindakan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatannya menyebabkan kerugian negara atau menguntungkan diri sendri orang lain atau korporasi sebagaimana diatur dalam ketentuan UU Tipikor. Pemahaman yang meluas mengenai kerugian negara ini seringkali membuat keraguan pemimpin perusahaan (direksi) BUMN dalam mengambil keputusan, atau melakukan transaksi dan/atau investasi untuk mencapai pendapatan (revenue) dan pertumbuhan (growth) perseroan sering di hadapkan dengan situasi yang dilematis dan keraguan dalam mengambil tindakan.

Prasetio menyampaikan bahwa Business Judgment Rule ini baru berlaku ketika direksi dalam pengurusan perseroan dan mengambil keputusan telah menerapkan prinsip kehati-hatian, dengan itikad baik semata bertujuan untuk kepentingan perseroan, serta dalam pengambilan keputusan pun terbukti bahwa tidak adanya campur aduk kepentingan direksi didalamnya, sehingga diyakini bahwa tindakan direksi ini bertujuan untuk mencegah timbulnya kerugian atau berlanjutnya kerugian yang lebih besar. 17 Namun apabila dalam mengambil keputusan tersebut direksi yang bersangkutan terbukti melanggar, sehingga perusahaan mengalami kerugian fraud, dan atau terbukti terdapat penggelapan saham direksi BUMN, maka doktrin Business Judgement Rule yang melindunginya gugur, dan berlaku ketentuan mengenai Tindak Pidana Korupsi.

Business Judgment Rule ini hadir layaknya pada penyelenggaraan perusahaan dalam pengadaan barang dan jasa doktrin ini memberikan perlindungan hukum terhadap setiap tindakan bisnis pengadaan yang dilakukan oleh organisasi pengadaan, selama telah memenuhi prinsip good procurement practice. Pedoman pengadaan PLN meengadopsi prinsip good procurement practice sesuai dengan yang telah diamanatkan dalam peraturan Menteri BUMN yaitu mengurangi resiko penyimpangan yang mungkin terjadi dalam pengadaan dengan mengkombinasikan 3 aspek yaitu:

  • 1.    Mengoptimalkan transparansi dan kompetisi;

  • 2.    Mengutamakan profesionalisme; dan

  • 3.    Akuntabilitas/Pengendalian.

Doktrin Business Judgement Rule ini diaplikasi dalam peraturan pengadaan di lingkungan PLN ini dengan tujuan memberikan pemahaman kepada organisasi pengadaan, memberikan kepastian hukum dalam perlindungan transaksi bisnis yang dilaksanakan. Meskipun pengadaan barang dan jasa sering dikaitkan dengan adanya

tindak pidana korupsi, namun tidak sepenuhnya tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau organisasi dalam pengadaan barang dan jasa merupakan objek Tindak Pidana Korupsi. Dimana atas keputusan yang diambil telah memenuhi prinsip–prinsip efisiensi, efektif, kompetitif, transparan, adil dan wajar serta akuntabel maka tidak dapat dibebankan tanggung jawab kepadanya secara pribadi, meskipun terhadap keputusan yang diambil menimbulkan kerugian perseroan. Selama terbukti bahwa dia telah menerapkan prinsip good procurement practice, menerapkan prinsip efisiensi, efektif, kompetitif,transparan adil dan wajar serta akuntabel maka perlindungan terhadap pelaksana pengadaan diberikan sesuai doktrin Business Judgement Rule.

  • 4.    Kesimpulan

Dari pembahasan diatas, diambil kesimpulan bahwa prinsip Bussines Judgment Rule telah diterapkan didalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 pada pasal 97 ayat (5) yang kemudian diadopsi oleh Direksi PLN dituangkan dalam ketentuan tentang pedoman pengadaan barang dan jasa di lingkungan PLN. Prinsip ini diberlakukan untuk pegawai PLN yang terlibat dalam pengadaan (organisasi pengadaan). Semua pegawai PLN yang terlibat dalam pengadaan diwajibkan melaksanakan proses pengadaan sesuai dengan prinsip-prinsip efisien, efektif, kompetitif, transparan, adil dan wajar serta akuntabel dan slalu berpedoman kepada prinsip good procurement practice. Maka apabila terdapat kerugian yang timbul disebabkan pengambilan kebijakan atau transaksi bisnis tidak akan dibebankan tanggung jawab secara pribadi, tetapi menjadi kerugian perusahaan yang bukan merupakan objek Tindak Pidana Korupsi.

Daftar Pustaka

Buku

Gatot Supramono (2016), BUMN Ditinjau dari Segi Hukum Perdata, Jakarta:Rineka Cipta

Man Sastrawidjaja (2012), Kedudukan Kekayaan PT (Persero) dalam Rezim UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, sebuah pemikiran dari Sisi Hukum Bisnis, Kompilasi Hukum Bisnis, Bandung, CV Keni.

Prasetio (2014), Dilema BUMN Bentruran Penerapan Business Judgement Rule dalam Keputusan Bisnis Direksi BUMN, Jakarta: Rayyana.

Ridwan Khairandy (2014), Hukun Perseroan Terbatas, Yogyakarta; FH UII Press

W. Riawan Tjandra (2014), Hukum Keuangan Negara, Jakarta; PT Gramedia Widiasarana Indonesia

Jurnal

Ansari, M. I. (2016). Penerapan Pakta Integritas pada Pengadaan Barang/Jasa untuk Mewujudkan Tata Kelola Pemerintah yang Bersih. Kanun: Jurnal Ilmu Hukum, 18(3). 385-401

Affandhi, F., Nasution, B., Siregar, M., & Mulyadi, M. (2015). Business Judgement Rule Dikaitkan dengan Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan oleh Direksi Badan USAha Milik Negara terhadap Keputusan Bisnis yang Diambil. USU Law Journal, 4(1), 33-44

Akbar, M. G. G. (2016). Business Judgement Rule Sebagai Perlindungan Hukum Bagi Direksi Perseroan dalam melakukan Transaksi Bisnis. Justisi Jurnal Ilmu Hukum, 1(1), 236-249

Butarbutar, R. (2018). Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Bidang Konstruksi. Jurnal Penelitian Hukum Legalitas,9(1), 51-66

Isfardiyana, S.H. (2017). Business Judgement Rule Oleh Direksi Perseroan. Jurnal Panorama Hukum, 2 (1), 1-20

Lestari, R., Ikhwansyah, I., & Faisal, P. (2018). Konsistensi Pengukuhan Kedudukan Kekayaan Negara Yang Dipisahkan Pada Badan Usaha Milik Negara Menurut Pelaku Kekuasaan Kehakiman Dalam Kaitannya Dengan Doktrin Business Judgement Rule. Acta Diurnal, 1(2)

Suarini, L.P.D. (2015). Penjabaran Good Corporate Governance (Gcg) Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa Pada Pln Bali. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Jurnal), 4(3)

Tejomurti, K. (2017). Pertanggungjawaban Hukum yang Berkeadilan terhadap Aparatur Pemerintah pada Kasus Pengadaan Barang dan Jasa. Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi, 8(2), 42-52

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756).

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara,(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297).

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150).

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286).

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Umum Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 33).

Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara.

Keputusan Direksi PT PLN (Persero) No.0527.K/ DIR /2014 tentang Perubahan atas Keputusan Direksi No. 0620.K/DIR/2013 tentang Pedoman Umum Pengadaan Barang/Jasa di Lingkungan PT PLN (Persero).

Jurnal Kertha Patrika, Vol. 41, No. 2 Agustus 2019, h. 155 – 169

169