Penerapan Asas Nasionalitas Pasif dan Pemidanaan Pembantu Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Rkuhp
on

PENERAPAN ASAS NASIONALITAS PASIF DAN PEMIDANAAN PEMBANTU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM RKUHP
Rahel Octora1
1Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha-Bandung, E-mail: octorael@hotmail.com
Info Artikel
Masuk : 21 November 2018
Diterima : 28 Desember 2018
Terbit : 31 Desember 2018
Keywords :
Passive Nationality Principle, Accomplice Criminal Actor, Human Trafficking
Kata kunci:
Asas Nasionalitas Pasif, Pembantu Tindak Pidana, Perdagangan Orang
Corresponding Author:
Rahel Octora, E-mail: octorael@hotmail.com
DOI:
10.24843/KP.2018.v40.i03.p03
Abstract
Trafficking is a serious crime that may take place in more than one State. This condition makes Indonesian legislators have to criminalize the criminal act which takes place outside Indonesia’s territory. In Article 568 RKUHP (Draft of Indonesian Criminal Code), it stated that “Any person outside the territory of the Republic of Indonesia who provides assistance, facilities, facilities or information for the occurrence of criminal acts of trafficking in persons, shall be punished with the same punishment as the maker as referred to in Article 555”. This regulation may raise a problem about how passive nationality principle can be implemented to overcome assistance in human trafficking outside Indonesia’s territory and how the regulations between Law Number 21/2007 may consistent with RKUHP. This article applies normative juridical research, with conceptual and statute approaches. This article concludes that the passive nationality principle can be implemented, based on international agreement related to mutual legal assistance in criminal matters, and extradition agreement between countries. Principle ”Own National cannot be Extradite” will cause difficulties to enforce passive nationality principle for foreign nationals who involve as accomplice criminal actor outside Indonesia’s territory.
Abstrak
Tindak pidana perdagangan orang merupakan tindak pidana yang serius dan dapat terjadi di lebih dari satu negara. Pembentuk undang-undang saat ini berencana untuk mengkriminalisasikan tindakan yang terjadi di luar wilayah teritori Indonesia. Di dalam RKUHP terdapat Pasal 568 yang menyatakan bahwa orang memberikan bantuan, kemudahan, sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana perdagangan orang, dan tindakan tersebut terjadi di luar wilayah negara Republik Indonesia akan diancam dengan pidana yang sama dengan pembuat tindak pidana. Hal ini menimbulkan permasalahan tentang: Bagaimana asas
nasionalitas pasif dapat diterapkan dalam menangani terjadinya pembantuan tindak pidana perdagangan orang yang terjadi di luar wilayah Republik Indonesia, dan bagaimana konsistensi pengaturan ancaman sanksi bagi pembantu kejahatan menurut RKUHP dengan pengaturan di dalam UU No 21 tahun 2007. Penelitian ini disusun dengan metode yuridis normatif, yaitu
dengan melakukan pendekatan konseptual dan pendekatan perundang-undangan. Artikel ini menyimpulkan bahwa asas nasionalitas pasif dapat diterapkan dengan mendasarkan pada kerjasama antar negara dalam hal pemberian bantuan timbal balik dalam masalah pidana, dan perjanjian ekstradisi. Asas dalam ekstradisi yang menyatakan bahwa warga negara sendiri tidak dapat diekstradisikan, mengakibatkan sulitnya penerapan asas nasionalitas pasif terhadap warga negara asing yang melakukan pembantuan tindak pidana di luar Indonesia.
Tindak pidana perdagangan orang merupakan salah satu kejahatan yang serius yang berkembang di berbagai belahan dunia. Tindak pidana jenis ini menunjukan kesenjangan antara cita-cita perlindungan hak asasi dan martabat manusia, dengan kenyataan yang terjadi. Perdagangan orang merupakan bentuk perbudakan di zaman modern. Saat ini, tindak pidana perdagangan orang telah diatur di dalam Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (selanjutnya disebut UU TPPO). Keberadaan undang-undang tersebut belum dapat memberantas tindak pidana perdagangan orang secara efektif. Saat ini berkembang banyak modus tindak pidana perdagangan orang. Sebagian besar korban dari kejahatan tersebut adalah wanita dan anak-anak.
Berdasarkan data yang disampaikan oleh BARESKRIM POLRI, sepanjang tahun 2017 sebanyak 1078 perempuan dan 5 orang anak menjadi korban perdagangan orang.1 Pelaku menggunakan berbagai cara untuk meyakinkan korban sampai pada akhirnya korban memberikan persetujuannya untuk direkrut, dan dimasukan ke dalam rangkaian proses perdagangan orang tersebut. Pelaku bahkan ada yang mengelabui korbannya dengan modus penawaran beasiswa.2 Kejahatan ini bersifat terorganisir, dilakukan lintas negara, melibatkan korporasi dan oknum penyelenggara negara.3 Tindak pidana perdagangan orang dapat terjadi dalam berbagai bentuk, misalnya eksploitasi pekerja migran (dewasa dan anak), perdagangan anak melalui adopsi (pengangkatan anak), pernikahan dan pengantin pesanan, dan implantasi organ.4
Tindak pidana perdagangan orang juga dapat terjadi secara lintas negara. Korban dari satu negara mungkin saja diperdagangkan di negara lain di mana pada mulanya korban tersebut diiming-imingi pekerjaan, penghasilan dan kehidupan yang layak, padahal sebenarnya mereka dipekerjakan dibidang-bidang pekerjaan yang tidak manusiawi, di antaranya yang berhubungan dengan prostitusi, eksploitasi seksual,
peredaran narkotika. Fakta bahwa tindak pidana perdagangan orang juga dapat terjadi secara lintas negara, menyebabkan pembentuk undang-undang saat ini mengkriminalisasikan tindakan setiap orang yang membawa Warga Negara Indonesia (WNI) ke luar wilayah Indonesia untuk dieksploitasi di luar wilayah Indonesia. Hal ini nampak dalam rumusan Pasal 4 UUTPPO sebagai berikut :
“Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”
Rumusan pasal tersebut menunjukan bahwa yang dapat menjadi subjek atau pelaku tindak pidana adalah setiap orang, yang berarti WNI maupun Warga Negara (WNA), namun locus delicti atau tempat terjadinya tindak pidana adalah di Indonesia. Tindak pidana terjadi berawal dari proses membawa atau memindahkan seseorang dari Indonesia ke luar Indonesia. Dengan demikian, asas hukum pidana yang diterapkan dalam kasus seperti ini adalah asas teritorial, sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam Indonesia.
Pengaturan yang berbeda muncul di dalam ius constituendum yaitu Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat RKUHP) .Tindak pidana perdagangan orang juga diatur di dalam RKUHP, yaitu di dalam Pasal 555 sampai dengan Pasal 570. Hal yang menarik adalah di dalam Pasal 568 RKUHP mengatur :
“Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kemudahan, sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pembuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 555.”
Pasal tersebut mengandung dua hal yang layak untuk dibahas lebih lanjut yaitu :
-
1. Bahwa frasa di luar wilayah negara Republik Indonesia menunjukkan perluasan locus delicti, yaitu tidak terbatas pada teritorial Indonesia. Hukum Indonesia dapat menjangkau pelaku yang melakukan tindakannya di luar Indonesia. Pelaku yang dimaksud bukan hanya WNI tetapi juga WNA. Hal ini menunjukkan berlakunya asas nasionalitas pasif.
-
2. Bahwa tindakan yang dapat dikenai sanksi adalah tindakan memberikan bantuan, kemudahan, sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Hal ini menunjukkan kualifikasi pelaku sebagai pembantu (medeplichtige), namun pembantu tersebut dikenai ancaman sanksi yang sama dengan pelaku. Hal ini menyimpang dari pengaturan di dalam Pasal 57 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi sepertiga. Di dalam RKUHP, prinsip pengenaan ancaman sanksi pada pembantuan (medeplichtige), diatur di dalam Pasal 23 RKUHP yang menyatakan :
-
(1) Dipidana sebagai pembantu tindak pidana, setiap orang yang:
-
a. Memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan tindak pidana
-
b. Memberi bantuan pada waktu tindak pidana dilakukan
-
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pembantuan terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana denda Kategori I.
Di dalam penjelasan Pasal 23(1) RKUHP dinyatakan: terdapat dua macam bentuk pembantuan, yaitu pembantuan pada waktu melakukan tindak pidana dan pembantuan yang mendahului tindak pidana. Dalam pemberian bantuan pada waktu tindak pidana dilakukan, hampir terdapat kesamaan dengan ikut serta melakukan. Dalam ikut serta melakukan, terdapat kerja sama yang erat antar mereka yang melakukan tindak pidana, tetapi dalam pembantuan, kerja sama antara pembuat tindak pidana dan orang yang membantu tidak seerat kerja sama dalam turut serta. Dalam turut serta melakukan tindak pidana, perbuatan masing-masing peserta dilihat sebagai suatu kesatuan. Bentuk kedua pembantuan dilakukan mendahului pelaksanaan tindak pidana yang sebenarnya, baik dengan memberikan kesempatan, sarana maupun keterangan.
Dengan demikian, tulisan ini akan mencoba memaparkan bagaimana asas nasionalitas pasif dapat diterapkan dalam menangani terjadinya pembantuan tindak pidana perdagangan orang yang terjadi di luar wilayah Republik Indonesia dan bagaimana konsistensi pengaturan ancaman sanksi bagi pembantu kejahatan menurut RKUHP dengan pengaturan di dalam UU No 21 tahun 2007?
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu bahwa pembahasan terhadap objek penelitian dikaji dalam tatanan normatif. Menurut Johnny Ibrahim, metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.5 Metode yuridis normatif menunjuk pada metode penelitian dengan menganalisis data dan menghubungkannya dengan aturan hukum yang berlaku.6
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, untuk menyelesaikan suatu permasalahan aktual, dengan mengumpulkan data, dan menafsirkannya. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan konseptual, pendekatan undang-undang. Untuk mengumpulkan data tersebut, dilakukan studi literatur. Adapun data yang digunakan adalah data sekunder, berupa bahan-bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, dan bahan-bahan hukum sekunder berupa teori-teori, doktrin-doktrin dari berbagai literatur hukum.
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1. Analisis Penerapan Asas Nasionalitas Pasif Dalam Menangani Terjadinya Pembantuan Tindak Pidana Perdagangan Orang Yang Terjadi Di Luar Wilayah Republik Indonesia
-
-
a. Pengertian dan Macam-macam Modus Tindak Pidana Perdagangan Orang
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU TPPO, Perdagangan orang dapat didefinisikan sebagai :
“Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”
Sedangkan definisi Tindak Pidana Perdagangan Orang menurut Pasal 1 angka 2 UU TPPO:
“Setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.”
Tindakan perdagangan orang merupakan suatu tindak pidana karena merupakan suatu tindakan yang menimbulkan korban, bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia dan merupakan suatu ancaman yang serius bagi masyarakat, bangsa dan negara. Masalah kejahatan perdagangan orang (trafficking in persons), merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan abad ini. Dengan perkataan lain, merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Manusia yang harkat dan martabatnya sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, maka sesama manusia, siapapun dia tidak diperkenankan memperlakukan sesama manusia seperti benda atau barang dengan memperjualbelikannya untuk tujuan apapun. 7
Di dalam perkembangannya, pelaku tindak pidana perdagangan orang menggunakan berbagai cara atau modus untuk melaksanakan tindakannya. Adapun modus-modus yang dimaksud antara lain :
-
1. Menyasar calon korban dari masyarakat miskin, tidak terdidik, tidak memiliki akses terhadap informasi dan tidak memiliki pekerjaan.
-
2. Menggunakan kekerasan yaitu setiap perbuatan secara melawan hukum, dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang.
-
3. Menggunakan ancaman kekerasan, yaitu setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol atau gerakan tubuh baik dengan atau tanpa menggunakan sarana yang menimbulkan rasa takut atau mengekang kebebasan hakiki seseorang
-
4. Melakukan pemalsuan berbagai dokumen misalnya dokumen identitas dan dokumen ketenagakerjaan lainnya.
-
5. Melakukan penyalahgunaan kekuasaan, dalam hal ini pelaku adalah orang yang memiliki posisi atau kekuasaan tertentu dan melakukan kegiatan yang menyimpang dari peraturan terkait dengan jabatannya.
-
6. Memanfaatkan posisi rentan, misalnya dengan penjeratan utang dan penjaminan diri secara paksa untuk melunasi utang tersebut.
Kemudian, eksploitasi para korban dilakukan dengan cara :
-
1. Menempatkan korban sebagai pekerja migran, dalam bidang kerja di antaranya : asisten rumah tangga, prostitusi, jaringan peredaran narkoba, atau para korban diambil organ tubuhnya untuk kegiatan transplantasi organ secara ilegal.
-
2. Bagi tindakan yang menempatkan anak-anak sebagai korban, anak-anak dieksploitasi dengan caradipekerjakan di bidang-bidang yang tergolong bidang pekerjaan terburuk untuk anak, atau diperdagangkan dengan modus awal anak tersebut diadopsi. Saat ini, sebenarnya Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 182 mengenai pelarangan dan tindakan segera
penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, melalui
instrumen Undang-undang Nomor 1 tahun 2000.
-
3. Bagi tindakan yang menempatkan bayi sebagai korban, bayi dieksploitasi dengan cara diperdagangkan.
-
b. Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang di Indonesia
Penanggulangan kejahatan merupakan suatu proses berkelanjutan yang didasari oleh suatu kebijakan. Dalam hal ini, kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan hukum pidana. Oleh karena itu, penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, hal ini mempunyai arti sebagai adanya keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial, serta adanya keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan penal dan non penal.8 Aturan hukum di Indonesia senantiasa berubah seiring dengan kebutuhan masyarakat.
Pembaharuan hukum pidana (penal reform) pada hakikatnya juga merupakanbagian dari kebijakan / politik hukum pidana (penal policy), yang harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach), dan pendekatan yang berorientasi pada nilai (value oriented approach).9
Hukum positif di Indonesia mengalami perkembangan terkait pengaturan tindak pidana perdagangan orang. Pada awalnya, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia yang diadopsi dari Wetboek van Strafrecht mengatur tindakan perdagangan orang dalam rumusan berikut:
-
1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana
KUHP mengatur tindakan perdagangan manusia dalam Pasal 297 dan 324 sebagai berikut :
Pasal 297 KUHP: Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur , diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
Pasal 297 KUHP hanya mengatur perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki di bawah umur. Tentunya hal ini sudah tidak sesuai dengan fakta di mana saat ini, laki-laki dewasa juga dapat saja menjadi korban tindakan perdagangan manusia, walaupun memang secara kuantitas, korban perdagangan manusia didominasi oleh wanita dan anak.
Pasal 324 KUHP: Barangsiapa dengan biaya sendiri atau biaya orang lain menjalankan perniagaan budak atau melakukan perbuatan perniagaan budak atau dengan sengaja turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam satu perbuatan tersebut di atas, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 324 mengatur perbuatan keturutsertaan. Unsur delik yang harus dibuktikan adalah “perniagaan budak”, yaitu perdagangan manusia untuk tujuan perbudakan / slavery.
Dengan diberlakukannya UUTPPO, maka pasal di dalam KUHP tersebut dinyatakan tidak berlaku.
Undang-undang ini merupakan undang-undang yang bersifat khusus (lex specialis), yang mengatur tindak pidana perdagangan orang. Undang-undang ini mencoba mengatur secara komprehensif mengenai TPPO, dengan ruang lingkup pengaturan : macam-macam tindakan yang dirumuskan sebagai tindak pidana dan sanksinya, hukum acara yang berlaku dalam rangka menindak dan menjatuhkan sanksi bagi para pelaku, perlindungan saksi dan korban, pencegahan dan penanganan, serta bagaimana kerjasama internasional harus dijalin dalam rangka mencegah dan menangani TPPO, dan bagaimana peran serta masyarakat dalam mencegah TPPO dan menangani korban TPPO. Pada prinsipnya, undang-undang ini mendefinisikan Perdagangan Orang sebagai tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Berkenaan dengan fokus tulisan ini terkait dengan ancaman sanksi bagi pembantu kejahatan TPPO, penulis akan terlebih dahulu mengemukakan dasar hukum pengaturannya di dalam UU TPPO. Pengaturan terdapat dalam Pasal 10 UU TPPO yang menyatakan bahwa setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.10
Dengan demikian, nampak bahwa pembentuk UU TPPO memiliki pendirian bahwa perbuatan membantu TPPO tidak dapat dipandang sebagai perbuatan yang memiliki unsur meringankan, sehingga dikenai ancaman sanksi lebih rendah seperti halnya Buku I KUHP di dalam Pasal 56 memberikan pengurangan ancaman sanksi sebesar 1/3 dari ancaman sanksi bagi pembuat. UU TPPO tidak memberikan pengurangan ancaman sanksi bagi pembantu.
Selain di dalam Pasal 10, pengaturan tindakan pembantu juga terdapat dalam Pasal 23 UU TPPO yang menyatakan bahwa setiap orang yang membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan pidana dengan: a. memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku; b. menyediakan tempat tinggal bagi pelaku; c. menyembunyikan pelaku; atau d. menyembunyikan informasi keberadaan pelaku, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Mengingat anak juga dapat menjadi korban dari tindak pidana perdagangan orang, maka tindakan perdagangan manusia juga diatur di dalam Undang-undang Perlindungan Anak. Di dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, diatur beberapa hal berkenaan dengan tindakan yang memenuhi kualifikasi tindak pidana perdagangan orang sebagai berikut :
Pasal 79 :“Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
Pasal 83: “Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”
Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang di dalam RKUHP terdapat dalam Pasal 555-582. Pada pokoknya, tindakan perdagangan orang merupakan tindak pidana yang pelakunya diancam dengan sanksi pidana penjara dan/ atau pidana denda. Pengenaan sanksi pidana penjara dan denda dirumuskan baik secara kumulatif maupun alternatif. Pengaturan tindakan dan sanksinya dapat diringkas dalam tabel berikut :
Pasal dalam RKUHP |
Tindakan yang Dilarang |
Ancaman Sanksi Pidana |
555 |
Perdagangan orang |
3- 15 tahun penjara dan denda Kategori III-Kategori IV |
556 |
Memasukan orang ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan |
3- 15 tahun penjara dan denda Kategori IV-Kategori VI |
557 |
Mengeluarkan orang dari wilayah Indonesia untuk diperdagangkan |
3- 15 tahun penjara dan denda Kategori IV-Kategori VI |
558 |
Perdagangan orang mengakibatkan luka berat |
3- 15 tahun penjara dan denda Kategori IV-Kategori VI |
Jika mengakibatkan mati |
3- 15 tahun penjara atau penjara seumur hidup | |
559 |
Perdagangan orang oleh kelompok terorganisasi |
Terdapat pemberatan pidana sebanyak 1/3 dari ancaman maksimum untuk setiap pelaku |
560 |
Penganjuran tanpa hasil |
6 tahun penjara atau denda Kategori IV |
561 |
Persetubuhan dan percabulan terhadap orang yang diperdagangkan |
3- 15 tahun penjara dan denda Kategori III-Kategori IV |
562 |
Pemalsuan dokumen atau identitas orang untuk memudahkan perdagangan orang |
2- 9 tahun penjara dan denda Kategori III-Kategori V |
563 |
Penyalahgunaan kekuasaan untuk perdagangan orang |
3- 15 tahun penjara dan denda Kategori III-Kategori IV |
564 |
Menyembunyikan orang yang melakukan perdagangan orang |
7 tahun penjara atau denda Kategori IV |
565 |
Perdagangan orang di kapal |
2-9 tahun penjara, jika mengakibatkan korban mati ; 3 15 tahun penjara |
566 |
Orang yang bekerja pada kapal yang difungsikan sebagai sarana perdagangan orang |
2-9 tahun penjara |
567 |
Menyewakan, mengangkut, atau mengasuransikan kapal untuk tujuan |
2-9 tahun penjara |
perdagangan orang | ||
568 |
Di luar wilayah Indonesia, memberikan bantuan, kemudahan, sarana atau keterangan untuk terjadinya TPPO. |
3- 15 tahun penjara dan denda Kategori III-Kategori IV |
569 |
Merencanakan, menyuruh lakukan, percobaan atau pembantuan TPPO |
3- 15 tahun penjara dan denda Kategori III-Kategori IV |
570 |
Menyediakan atau mengumpulkan dana yang digunakan atau patut diketahuinya digunakan untuk TPPO |
1-5 tahun penjara |
571 |
Penculikan |
12 tahun penjara |
572 |
Penyanderaan |
12 tahun penjara |
573 |
Pengangkutan orang tanpa perjanjian |
7 tahun penjara atau denda Kategori IV |
574 |
Pengalihan kekuasaan atas orang yang belum dewasa |
9 tahun penjara atau denda maksimum Kategori V |
Jika dilakukan dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap korban yang berusia di bawah 12 tahun |
9 tahun penjara | |
575 |
Menyembunyikan orang yang belum dewasa |
9 tahun penjara atau denda maksimum Kategori V |
576 |
Melarikan Perempuan |
7 tahun atau denda Kategori IV |
577 |
Perampasan dan Pemaksaan Kemerdekaan Orang |
9 tahun penjara |
578 |
Perampasan dan Pemaksaan Kemerdekaan Orang |
1 tahun penjara atau denda maksimum Kategori II |
581 |
Pidana Tambahan |
Dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak |
582 |
Penyelundupan Manusia |
Penjara 3- 15 tahun ; dan denda Kategori IV-VI. |
Tabel 1.Delik Perdagangan Manusia dalam Rancangan KUHP Sumber : Naskah Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Indonesia juga telah meratifikasi beberapa konvensi internasional yang berkenaan dengan upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan orang. Ratifikasi terhadap konvensi-konvensi internasional tersebut menunjukan bahwa Indonesia memberikan perhatian bagi upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan manusia. Indonesia kemudian melakukan penyesuaian terkait dengan kebijakan dalam rangka pengaturan tindak pidana perdagangan manusia. Konvensi yang dimaksud dijelaskan dalam tabel berikut.
Tabel 2.Konvensi Internasional Berkenaan dengan Upaya Penanggulangan TPPO
No. |
Tahun Konvensi tersebut diterima oleh Indonesia |
Tahun / Materi Konvensi |
1 |
Diterima oleh Indonesia tanggal 25 Juli 1988 |
1964/ Konvensi untuk Izin Menikah, Usia Minimum unuk Menikah dan Pendaftaran Pernikahan |
2 |
Ratifikasi tahun 1984 , melalui UU No 7 tahun 1984 |
1979/ Protokol Opsional untuk Pemufakatan Hak Sipil dan Politik Internasional |
3 |
Ratifikasi tahun 1998 |
1981/ Konvensi Penghapusan Diksriminasi terhadap Perempuan |
4 |
1990, melalui Keputusan Presiden Nomor 36 / 1990 |
1990 / Konvensi Hak-hak Anak |
5 |
Februari tahun 2000 |
1998/ Protokol Opsional untuk Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan |
6 |
Ditandatangani oleh Indonesia pada bulan Desember 2000. |
2000/ Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, especially Women and Children. |
7 |
Ratifikasi 24 September 2001. |
2000/ Protokol Opsional bagi Konvensi Hak-hak Anak tentang Penjualan Anak, Prostitusi Anak,. Dan Pornografi Anak. |
8 |
Ratifikasi melalui Undang-undang Nomor 12 tahun 2017. |
ASEAN Convention Against Trafficking in Persons, Especially Women and Children (Konvensi ASEAN Menentang Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak) |
Di dalam hukum pidana dikenal konsep deelneming yang secara sederhana dapat didefinisikan sebagai konsep yang menggambarkan, bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh lebih dari satu orang. Masing-masing pembuat tindak pidana (dader), memiliki kedudukannya dan pertanggungjawaban-nya. Di dalam Pasal 55 KUHP yang saat ini berlaku, dinyatakan bahwa kategori dader atau pembuat tindak pidana diklasifikasikan menjadi:
-
a. Pelaku/pleger: orang yang melakukan sendiri perbuatan pidana dan
dipandang paling bertanggung jawab atas kejahatan. 11
-
b. Menyuruhlakukan/doen pleger: orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedang perantara itu hanya digunakan sebagai alat.12
-
c. Turut serta melakukan/medepleger: orang yang sengaja turut berbuat atau melaksanakan sesuatu. Oleh karena itu, kualitas masing-masing peserta tindak pidana adalah sama.13
-
d. Menganjurkan/uitloker: orang yang menggerakan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang secara limitatif, yaitu memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, kekerasan, atau ancaman atau penyesatan, dengan memberi kesempatan sarana atau keterangan (Pasal 55 ayat (1) angka 2 KUHP.14
Di dalam Pasal 56 KUHP dinyatakan adanya kedudukan sebagai pembantu tindak pidana (medeplichtige).Pembantuan dapat dilaksanakan pada saat kejahatan berlangsung dan sebelum terjadinya kejahatan. Dalam pembantuan ketika kejahatan berlangsung, kedudukan pembantu hanya sebatas membantu/menunjang dan tidak ada suatu kerjasama, dan pembantu tidak mempunyai tujuan atau kepentingan sendiri.15 Pembantuan sebelum tindak pidana dilakukan , dengan memberi sarana, kesempatan atau keterangan; niat pada pelaku (pleger) sudah muncul sebelum adanya pembantuan.
-
d. Analisis Penerapan Asas Nasionalitas Pasif dalam konteks Pemberantasan TPPO Menurut asas nasionalitas pasif, berlakunya Undang-undang Pidana itu disandarkan kepada kepentingan hukum dari suatu negara yang hukumnya dilanggar oleh seseorang di luar negeri, tanpa memandang apakah kewarganegaraan si pelanggar itu dan di mana ia berbuat, di dalam atau di luar negeri. Dasar hukum dari asas ini ialah bahwa setiap negara yang berdaulat berhak melindungi kepentingan hukumnya sendiri sekalipun kepentingan hukum itu dilanggar di luar negeri dan bukan oleh warga negaranya. Rasionya ialah : Pada umumnya seseorang yang berada di luar negeri yang melakukan tindak pidana akan diberlakukan Hukum Pidana di mana orang itu berada, tetapi untuk beberapa kejahatan khusus, maka demi kepentingan suatu negara, orang itu pantas diadili oleh negara yang kepentingannya dirugikan. 16 Dianggap logis jika kepentingan negara menuntut agar orang Indonesia di luar negeri yang melakukan kejahatan terhadap negara Indonesia, hukum pidana Indonesia berlaku baginya. Perbuatan semacam ini ditujukan terhadap Indonesia, tidak diancam dengan pidana di negara asing tersebut. 17
Berdasarkan KUHP yang berlaku, tidak semua kepentingan hukum dilindungi, melainkan hanya kepentingan yang vital dan berhubungan dengan kepentingan umum yaitu yang berwujud:
-
1. Terjaminnya keamanan negara dan terjaminnya martabat kepala negara dan wakilnya.
-
2. Terjaminnya kepercayaan terhadap mata uang, materai dan merek yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia dari kejahatan pemalsuan
-
3. Terjaminnya kepercayaan terhadap surat utang, sertifikat utang yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia
-
4. Terjaminnya alat-alat pelayaran Indonesia terhadap kemungkinan dibawa ke dalam kekuasaan bajak laut.”18
Di sini kepentingan yang dilindungi adalah kepentingan yang bersifat umum dan luas, dan bukan kepentingan pribadi.19
Kembali pada ruang lingkup asas nasionalitas pasif yang dapat menjangkau tindak pidana yang dilakukan oleh WNI maupun WNA di luar Indonesia, maka asas ini menuntut adanya kerjasama antar negara dalam menangani tindak pidana tersebut. Sebagai contoh, ketika terjadi tindak pidana perdagangan orang di luar Indonesia, maka untuk dapat menerapkan sanksi berdasarkan hukum Indonesia, diperlukan bantuan dari aparat penegak hukum di negara tempat terjadinya perkara (locus delicti) untuk menangkap dan menyerahkan pelaku tindak pidana ke penegak hukum Indonesia, untuk diadili di Indonesia.
Untuk dapat melaksanakan hal tersebut, diperlukan aturan yang menjadi dasar hukum pelaksanaan kerjasama di bidang penegakan hukum pidana. Undang-undang Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana, mengatur bahwa untuk tindak pidana yang bersifat transnasional, diperlukan kerjasama antar negara dalam bentuk bantuan timbal balik dalam masalah pidana. Berdasarkan Pasal 11 UU No. 1 tahun 2006, salah satu bantuan timbal balik yang dapat diminta oleh negara Indonesia kepada negara lain, adalah untuk mencari atau mengidentifikasi orang yang diyakini berada di negara asing yang:
-
a. diduga atau patut diduga mempunyai hubungan dengan suatu penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan di Indonesia; atau
-
b. dapat memberikan pernyataan atau Bantuan lain dalam suatu penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Terdapat pembatasan dalam UU tersebut, yaitu dalam Pasal 4 yang menyatakan bahwa Ketentuan dalam Undang-Undang ini tidak memberikan wewenang untuk mengadakan:
-
a. ekstradisi atau penyerahan orang;
-
b. penangkapan atau penahanan dengan maksud untuk ekstradisi atau penyerahan orang;
-
c. pengalihan narapidana; atau
-
d. pengalihan perkara.
Di samping berlakunya UU No.1 tahun 2006, Indonesia juga telah meratifikasi Perjanjian Internasional tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana, (Treaty On Mutual Legal Assistance In Criminal Matters), melalui Undang-undang Nomor 15 tahun 2008. Adapun kerjasama internasional ini mengikat bagi negara Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Vietnam, dalam melakukan kerjasama di bidang pencegahan, penyidikan, penuntutan perkara pidana. Di dalam bagian Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 15 tahun 2008 tersebut, dijelaskan pokok-pokok yang disepakati dalam Treaty On Mutual Legal Assistance In Criminal Matters adalah:
-
a. Ruang lingkup bantuan yang dapat diberikan berdasarkan Perjanjian ini meliputi:
-
1. pengambilan bukti atau pernyataan dari seseorang;
-
2. pengaturan agar seseorang dapat memberikan bukti atau membantu dalam proses perkara pidana;
-
3. penyampaian dokumen yang berkaitan dengan proses peradilan;
-
4. tindakan penggeledahan dan penyitaan;
-
5. tindakan penyelidikan atas suatu objek dan tempat;
-
6. penyerahan dokumen asli atau salinan yang dilegalisir, catatan, dan barang bukti;
-
7. identifikasi atau penelusuran harta benda yang diperoleh dari tindak pidana dan benda yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
-
8. pemblokiran dan penyitaan harta kekayaan hasil tindak pidana yang dapat disita atau dirampas;
-
9. perampasan dan pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana;
-
10. pencarian dan identifikasi saksi dan tersangka; dan
-
11. pemberian bantuan lainnya yang disepakati sesuai dengan tujuan perjanjian ini dan ketentuan hukum serta peraturan perundang-undangan pihak diminta.
-
b. Setiap negara diwajibkan untuk menunjuk sebuah otoritas pusat (central authority) sebagai salah satu upaya penyederhanaan proses pengajuan permintaan bantuan dari suatu negara ke negara lain, dan disampaikan pada saat penyerahan instrumen ratifikasi.
-
c. Setiap negara dapat menghadirkan seseorang atau tahanan untuk memberikan kesaksian atau membantu penyidikan, penuntutan, dan proses peradilan di Negara Peminta.
-
d. Setiap negara wajib sesuai dengan hukum nasionalnya melakukan pencarian untuk mengetahui keberadaan atau identitas seseorang dan menyampaikan dokumen atau data terkait dengan tindak pidana di Negara Diminta atas permintaan Negara Peminta.
-
e. Setiap negara wajib sesuai dengan hukum nasionalnya melakukan pencarian untuk mengetahui keberadaan, menemukan, memblokir, membekukan, menyita, atau merampas harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana dan alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana.
Tindak pidana perdagangan orang termasuk ke dalam tindak pidana transnasional. Karakter transnasional dalam kejahatan transnasional meliputi empat peristiwa sebagai berikut:
-
1. ”It is committed in more than one State;
-
2. It is committed in one State but a substantial part of its preparation, planning, direction or control takes place in another State;
-
3. It is committed in one State but involves an organized criminal group that engages in criminal activities in more than one State; or
-
4. It is committed in one State but has substantial effect in another State.”20
Asas nasionalitas pasif diterapkan dalam rangka melindungi kepentingan hukum suatu negara yang berdaulat. Pada mulanya, asas ini diterapkan bagi tindakan-tindakan pidana yang mengancam kepentingan hukum negara Indonesia seperti misalnya tindak pidana terhadap mata uang, tindak pidana terhadap martabat kepala negara, tindak pidana terhadap sertifikat utang, materai dan tindak pidana pelayaran sebagaimana diatur di dalam KUHP.
Dalam perkembangannya, Indonesia sebagai negara yang berdaulat menganggap bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan tindak pidana yang bersifat serius dan mengancam kepentingan hukum negara Indonesia. Oleh sebab itu di dalam pengaturannya, khususnya di dalam RKUHP, asas nasionalitas pasif ini diberlakukan. Penerapan sebuah asas di dalam suatu kaidah hukum harus dapat dilaksanakan secara konkrit, artinya asas tersebut memang dapat diimplementasikan sampai dengan tahapan eksekusi. Asas nasionalitas pasif dalam kaitannya dengan tindak pidana perdagangan orang menuntut adanya kerjasama antar negara yang bersifat nyata, di mana pada setiap negara terdapat lembaga-lembaga yang ditunjuk secara khusus untuk melaksanakan tindakan-tindakan yang dianggap perlu dalam rangka menindak terjadinya tindak pidana perdagangan orang yang terjadi secara lintas negara.
Kembali pada rumusan Pasal 568 RKUHP yang berbunyi :
“Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kemudahan, sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pembuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 555.”
Pasal di atas mengandung ancaman sanksi bagi pembantu TPPO yang melakukan tindakan pembantuan tersebut di luar negeri. Permasalahannya adalah bagaimana sanksi pidana berdasarkan hukum Indonesia dapat dikenakan pada pelaku tersebut? Untuk menjawab hal tersebut perlu ditelaah perkembangan berbagai pranata hukum yang terkait di antaranya :
-
a) Interpol Notice :
“INTERPOL Notices are international requests for cooperation or alerts allowing police in member countries to share critical crime-related information. Notices are published by INTERPOL’s General Secretariat at the request of National Central Bureaus (NCBs) and authorized entities, and can be published in any of the Organization’s official languages: Arabic, English, French and Spanish.” 21
Uraian tersebut dapat diterjemahkan: “Interpol Notice adalah permintaan yang bersifat internasional dalam rangka kerjasama atau suatu peringatan kepada polisi di negara-negara anggota, untuk membagikan informasi-informasi terkait tindak kriminal yang penting. Notice diterbitkan oleh Sekjen Interpol, berdasarkan permintaan dari National Central Bureaus (NCBs) dan lembaga yang berwenang, dan dipublikasikan dalam bahasa resmi berikut: Arab, Inggris, Perancis dan Spanyol.”
Salah satu bentuk Interpol Notice yang dikenal adalah Red Notice.Red Notice: adalah permintaan penahanan terhadap seorang pelaku kriminal yang telah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan tersangka kepada Interpol. Dengan penerbitan Red Notice, pergerakan pelaku kriminal di luar negeri menjadi terbatas.
“In the case of Red Notices, the persons concerned are wanted by national jurisdictions for prosecution or to serve a sentence based on an arrest warrant or court decision. INTERPOL's role is to assist the national police forces in identifying and locating these persons with a view to their arrest and extradition or similar lawful action.” (Dalam hal penggunaan Red Notice, orang yang dicari oleh suatu yurisdiksi nasional untuk dijatuhi tindakan berdasarkan suatu putusan pengadilan.Tugas INTERPOL adalah membantu kepolisian nasional untuk mengidentifikasi tempat orang tersebut dalam rangka ekstradisi atau tindakan hukum yang sejenis).
Mengenai pelaksanaan prosedur penerbitan Red Notice, kepolisian dari negara anggota INTERPOL akan lebih dulu mengirimkan permintaan pencarian dan penangkapan seorang tersangka. Kepolisian dari Negara Peminta, harus menunjukkan surat perintah penangkapan yang sah sebagai dasar permintaan kepada INTERPOL. Kemudian, Sekretariat Jenderal INTERPOL merespons dengan mengeluarkan pemberitahuan kepada seluruh negara anggota interpol mengenai permintaan tersebut. Lembaga kepolisian dari seluruh negara anggota INTERPOL akan mendapatkan pemberitahuan.
-
b) Mutual Legal Assistance in Criminal Matters
Selain Red Notice sebagai salah satu instrumen kerjasama antar negara dalam mengatasi tindak pidana transnasional, pada prinsipnya negara-negara tersebut telah bersepakat menjalin kerjasama antar negara dalam penyelesaian masalah pidana. Secara khusus untuk masalah Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 59 UU TPPO mengatur :
-
1) Untuk mengefektifkan penyelenggaraan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, Pemerintah Republik Indonesia wajib melaksanakan kerja sama internasional, baik yang bersifat bilateral, regional, maupun multilateral.
-
2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan/atau kerja sama teknis lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam penjelasan Pasal 59 ayat (2) dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan “bantuan timbal balik dalam masalah pidana” dalam ketentuan ini misalnya:
-
a. pengambilan alat/barang bukti dan untuk mendapatkan pernyataan dari orang;
-
b. pemberian dokumen resmi dan catatan hukum lain yang terkait;
-
c. pengidentifikasian orang dan lokasi;
-
d. pelaksanaan permintaan untuk penyelidikan dan penyitaan dan pemindahan barang bukti berupa dokumen dan barang;
-
e. upaya pemindahan hasil kejahatan;
-
f. upaya persetujuan dari orang yang bersedia memberikan kesaksian atau membantu penyidikan oleh pihak peminta dan jika orang itu berada dalam tahanan mengatur pemindahan sementara ke pihak peminta;
-
g. penyampaian dokumen;
-
h. penilaian ahli dan pemberitahuan hasil dari proses acara pidana; dan bantuan lain sesuai dengan tujuan bantuan timbal balik dalam masalah pidana
Untuk meningkatkan efektivitas lembaga penegak hukum guna mencegah dan memberantas tindak pidana transnasional, Pemerintah Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Vietnam bersepakat mengadakan kerja sama bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana dengan membentuk Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (Perjanjian tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana) yang ditandatangani pada tanggal 29 November 2004 di Kuala Lumpur, Malaysia. Di dalam pelaksanaannya, perlu dikaji kembali klausul yang menyatakan bahwa setiap negara dapat menghadirkan seseorang atau tahanan untuk memberikan kesaksian atau membantu penyidikan, penuntutan, dan proses peradilan di Negara Peminta. Unsur “seorang atau tahanan” menurut pendapat Penulis dapat ditafsirkan pula sebagai pelaku tindak pidana yang terhadapnya proses peradilan pidana di Indonesia harus dilakukan. Dalam hal ini, teknis penyerahan pembantu tindak pidana yang berada di negara lain, untuk diserahkan ke Indonesia akan mengalami kendala jika antara Indonesia dengan negara tersebut tidak terdapat perjanjian ekstradisi.
Ekstradisi berasal dari kata latin“axtradere” (extradition = Inggris), yang berarti ex adalah keluar, sedangkan tradere berarti memberikan, maksudnya ialah menyerahkan. Istilah ekstradisi biasanya digunakan dalam penyerahan pelaku kejahatan dari suatu negara kepada peminta. Saat ini, ekstradisi dipraktikan guna menembus batas wilayah negara dalam arti agar hukum pidana nasional dapat diterapkan terhadap para penjahat yang melarikan diri ke negara lain, atau agar keputusan pengadilan terhadap seorang penjahat yang melarikan diri ke luar negeri dapat dilaksanakan. Secara umum, permintaan ekstradisi didasarkan pada perundang-undangan nasional, perjanjian ekstradisi, perluasan konvensi dan tata krama internasional. Tetapi bila terjadi permintaan ekstradisi di luar aturan-aturan tersebut, maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar hubungan baik antara satu negara dengan negara lain, baik untuk kepetingan timbal balik maupun sepihak.22 Indonesia harus menjalin kerjasama ekstradisi dengan lebih banyak negara, khususnya negara-negara yang menjadi tujuan pengiriman korban tindak pidana perdagangan orang.Dalam hal perjanjian ekstradisi sudah terjalin, pelaku tindak pidana yang dapat diekstradisikan terbatas pada warga negara Indonesia yang melarikan diri ke negara lain. Dalam ekstradisi, dikenal asas ”Own National can not be Extradite”, yaitu dimana warga negara sendiri tidak dapat diekstradisikan.23 Dengan demikian, penerapan asas nasionalitas pasif bagi warga negara asing yang melakukan tindak pidana di luar Indonesia masih sulit dilakukan.
-
3.2. Analisis Konsistensi Pengaturan Ancaman Sanksi Bagi Pembantu Kejahatan
Menurut RKUHP Dengan Pengaturan Di Dalam UU No 21 Tahun 2007
Pada bagian ini Penulis akan menguraikan konsistensi pengaturan ancaman sanksi bagi pembantu kejahatan perdagangan orang, menurut RKUHP dengan UU No 21 tahun 2007. Sebagaimana diuraikan di dalam uraian sebelumnya, di dalam Pasal 568 RKUHP dinyatakan bahwa:“Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kemudahan, sarana atau keterangan untuk terjadinya
tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pembuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 555.”
Hal ini sejalan dengan apa yang diatur di dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 21 tahun 2007. Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
Bahwa dalam hal ini, tindakan yang diancam dengan sanksi pidana adalah tindakan “membantu”, maka pelaku yang disasar adalah “pembantu” tindak pidana yang memberikan bantuan, kemudahan, sarana atau keterangan. Wujud konkrit dari bantuan, kemudahan, sarana atau keterangan adalah misalnya: pembantu memberikan bantuan, kemudahan, atau sarana misalnya dalam hal penjemputan, pengangkutan, penyediaan tempat penampungan untuk menampung korban-korban yang akan diperdagangkan tersebut, sampai dengan mereka disalurkan pada tempat-tempat pekerjaan yang dituju oleh pelaku. Kemudian yang dimaksud dengan “keterangan” yang diberikan oleh orang yang membantu tersebut yaitu berbagai informasi yang dapat memudahkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang.
Pada dasarnya, di dalam konsep hukum pidana, tindakan “membantu” berbeda dengan tindakan “turut serta”. Di dalam pembantuan, sebenarnya tidak terdapat unsur kerjasama yang disadari antara pelaku dengan pembantu. Apa yang dilakukan oleh pembantu sebenarnya hanya tindakan yang dilakukan untuk memudahkan terjadinya tindak pidana. Dengan demikian, KUHP mengatur bahwa sanksi bagi pembantu selayaknya lebih ringan.
Berbeda dengan KUHP, Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 dengan RKUHP berpandangan bahwa ancaman pidana yang diberikan bagi pembantu adalah sama dengan pelaku tindak pidana. Hal ini merupakan bentuk penyimpangan dari prinsip yang diatur di dalam Pasal 56 KUHP, yang menyatakan bahwa bagi pembantu, sanksi pidana yang diancamkan adalah pidana maksimum bagi pelaku, dikurangi sepertiga. Di dalam sistem hukum pidana Indonesia, sampai saat ini berlaku Pasal 103 KUHP yang menyatakan bahwa “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini, juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.”
Dalam hal ini, perlu dipahami konsep “hukum pidana khusus”, di mana delik yang diatur masuk dalam kategori tindak pidana khusus. Tindak pidana khusus atau speciale delicten merupakan tindak pidana yang mempunyai kekhususan dari tindak pidana umum (commune delicten), karena kekhususannya, tindak pidana tersebut dikecualikan dari tindak pidana umum. Menurut Sudarto, hukum pidana khusus diartikan sebagai ketentuan hukum pidana yang mengatur mengenai kekhususan subjeknya dan perbuatannya yang khusus (bizonderlijk feiten).24
Dengan demikian berdasarkan asas lex spesialis derogat legi generalis,dalam hal ini akan berlaku aturan dalam UU TPPO yang menyatakan bahwa pembantu dipidana dengan ancaman pidana yang sama dengan pelaku. Dalam hal RKUHP diberlakukan, maka
akan berlaku aturan bahwa pembantu kejahatan perdagangan orang akan dipidana dengan ancaman pidana yang sama dengan pelaku. Hal ini menunjukan bahwa pembentuk undang-undang menempatkan kejahatan perdagangan orang sebagai kejahatan khusus yang harus diberikan sanksi tegas bagi pelakunya, termasuk pihak yang membantu terjadinya tindak pidana.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, simpulan yang dapat dirumuskan di antaranya :
-
1. Asas nasionalitas pasif dapat diterapkan dalam menangani terjadinya pembantuan tindak pidana perdagangan orang yang terjadi di luar wilayah Republik Indonesia, dengan memanfaatkan berbagai pranata hukum misalnya Interpol Notice dan Mutual Assistance in Criminal Matters. Dalam hal ini, masih akan ditemui kendala dalam proses penyerahan tersangka untuk diproses secara hukum di Indonesia, apabila antara kedua negara belum terdapat perjanjian ekstradisi.
-
2. Pengaturan ancaman sanksi bagi pembantu kejahatan menurut RKUHP dengan pengaturan di dalam UU No 21 tahun 2007 bersifat konsisten dengan menetapkan bahwa bagi pembantu tindak pidana, dikenakan ancaman sanksi pidana yang sama dengan pelaku tindak pidana. Hal ini menunjukan bahwa pembentuk undang-undang menempatkan kejahatan perdagangan orang sebagai kejahatan khusus yang harus diberikan sanksi tegas bagi pelakunya, termasuk pihak yang membantu terjadinya tindak pidana.
Daftar Pustaka
Buku
Anwar, Y. (2008). Pembaruan hukum pidana. Jakarta: Reformasi hukum. Grasindo.
Romli Atmasasmita, S. H. (2016). Hukum Kejahatan Bisnis Teori & Praktik di Era Globalisasi. Jakarta: Prenada Media.
Farhana. (2010). Aspek Hukum Perdagangan Orang. Jakarta: Sinar Grafika.
Fatoni. S. (2015). Pembaharuan Sistem Pemidanaan, Perspektif Teoritis dan Pragmatis untuk Keadilan. Malang: Setara Press.
HM. Rasyid Ariman & Fahmi Raghib. (2015). Hukum Pidana. Malang : Setara Press
Ibrahim, J. (2006), Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing.
Sakharina, I. K. (2017). Kadarudin: Pengantar Hukum Pengungsi Internasional, Perbedaan Istilah Pencari Suaka, Pengungsi Internasional, dan Pengungsi Dalam Negeri. Yogyakarta: Deepublish.
Monang Siahaan, S. H. (2016). Pembaruan Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Gramedia Widiasarana.
Soemitro, R. H. (1982). Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Teguh Prasetyo. ( 2016). Hukum Pidana. Rajawali Pers. Jakarta: Rajawali Pers.
Jurnal
Suhardin, Y. (2008). Tinjauan Yuridis Mengenai Perdagangan Orang Dari Perspektif Hak Asasi Manusia. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 20(3).
Tamaka, B. R. (2014). Pentingnya Tempat Kejadian Perkara Menurut Hukum Pidana Indonesia. Lex Et Societatis, 2(5).
Online/World Wide Web:
Anonim. (2018-08-12). Perempuan Jadi Korban Perdagangan Orang selama 2017. Diakses dari: http://www.tribunnews.com/nasional/2017/12/21/1078-perempuan-jadi-
korban-perdagangan-orang-selama-2017
Anonim. 2018-08-12). Modus Perdagangan Manusia di ASEAN Kawin Kontrak Hingga
Beasiswa. Diakses dari: https://dunia.tempo.co/read/904965/modus-
perdagangan-manusia-di-asean-kawin-kontrak-hingga-beasiswa
Anonim. (2018-10-8). Pemerintah-DPR Setujui Ratifikasi Konvensi ASEAN Soal
Perdagangan Orang. Diakses dari:
https://www.voaindonesia.com/a/pemerintah-dpr-setujui-ratifikasi-konvensi-asean-soal-perdagangan-orang-/4066501.html
Interpol. (2018). Notice. Diakses dari: https://www.interpol.int/INTERPOL-
NCB Interpol Indonesia. (2008). Ekstradisi-f541e0. Diakses dari:
https://www.interpol.go.id/id/component/docman/doc_download/63-ekstradisi-f541e0.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Undang-undang Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah
Pidana, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4607
Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720.
Undang-undang Nomor 15 tahun 2008 tentang Pengesahan Treaty On Mutual Legal Assistance In Criminal Matters (Perjanjian Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4847
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Jurnal Kertha Patrika, Vol. 40, No. 3, Desember 2018, h. 155-174
174
Discussion and feedback