Implikasi Keputusan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 276/KEP-19.2/X/2017 Terhadap Kedudukan Tanah Milik Desa Pakraman
on

Implikasi Keputusan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 276/KEP-19.2/X/2017 Terhadap Kedudukan Tanah Milik Desa Pakraman
I Ketut Sudantra1
1Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: ketut_sudantra@unud.ac.id
Info Artikel
Masuk: 29 Nopember 2018
Diterima: 18 Desember 2018
Terbit: 31 Desember 2018
Keywords :
desa pakraman, druwe desa, communal right of land, tanah pekarangan desa, tanah ayahan desa
Kata kunci:
desa pakraman; druwe desa;
hak komunal atas tanah; tanah pekarangan desa; tanah ayahan desa
DOI :
10.24843/JMHU.2018.v07.i04.
p01
Abstract
On 2017, Minister of Agrarian Affair and Spatial/Head of National Land Agency of Indonesia enacted a decision that point desa pakraman on Bali Province as communal owner right subject of the land. That decision was causing a certain implication that important to study. This research was aimed to discuss implication of those decisions on the position of land owned by desa pakraman in Bali. This research was carried out through a normative legal study method with using statute approach, conceptual approach, and historical approach. On behalfs of discussion of a problem, this research use source on a form of legal material (primary and secondary) and non-legal material. After going through discussion and analysis, finally, it can be concluded that the Minister’s Decision above can have both positive and negative implication on the position of desa pakraman’s land in Bali. The positive implication has happened because that decision can give legal certainty and certainty of right on a position of desa pakraman’s land (tanah druwe desa). On the flipside, the application of that Minister’s Decision can have negative implication if desa pakraman’s lands that were been given to a member of desa pakraman (krama desa), which were tanah pekarangan desa and tanah ayahan desa, were registered as owned individually by the member of desa pakraman.
Abstrak
Tahun 2017 Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia mengeluarkan keputusan yang menunjuk desa pakraman di Provinsi Bali sebagai subyek hak pemilikan bersama (komunal) atas tanah. Keputusan Menteri itu menimbulkan implikasi tertentu yang penting diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk membahas implikasi Keputusan Menteri di atas terhadap kedudukan tanah milik desa pakraman di Bali. Penelitian dilakukan melalui metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan historis (historical approach). Untuk kepentingan pembahasan masalah, dalam penelitian ini digunakan sumber-sumber penelitian berupa bahan hukum (primer dan sekunder) dan bahan-bahan non-hukum. Setelah melalui
pembahasan dan analisis, akhirnya dapat disimpulkan bahwa Keputusan Menteri di atas dapat berimplikasi positif dan negatif terhadap kedudukan tanah milik desa pakraman di Bali. Implikasi positif terjadi karena Keputusan Menteri tersebut dapat memberikan kepastian hukum dan kepastian hak terhadap kedudukan tanah milik desa pakraman (tanah druwe desa). Di sisi lain, pelaksanaan Keputusan Menteri tersebut dapat berimplikasi negatif apabila tanah-tanah milik desa pakraman yang telah diserahkan pengelolaannya kepada perseorangan anggota desa pakraman (krama desa), yaitu tanah pekarangan desa dan tanah ayahan desa, didaftarkan atas nama perseorangan anggota desa pakraman.
-
1. Pendahuluan
Tidak dapat disangkal bahwa secara faktual setiap desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat (KMHA) yang bersifat teritorial di Bali pasti memiliki tanah. Paling tidak, desa pakraman memiliki bidang tanah yang dijadikan lokasi bangunan milik desa pakraman, seperti bangunan pura kahyangan desa sebagai tempat persembahyangan bersama warga desa pakraman; memiliki bidang tanah sebagai tempat bangunan balai pertemuan, seperti balai banjar, wantilan desa, dan lain-lain. Setiap desa pakraman juga pasti memiliki tanah yang difungsikan sebagai tanah kuburan (setra). Beberapa desa pakraman juga memiliki bidang-bidang tanah yang berupa tanah lapang, tanah pasar, dan lain-lain. Secara tradisional, hubungan antara desa pakraman dengan tanahnya adalah hubungan hak milik, sehingga tanah-tanah milik desa pakraman itu lazim disebut tanah druwe desa, artinya tanah milik desa1.
Studi yang dilakukan oleh Hendriatiningsih dan kawan-kawan menyimpulkan bahwa masyarakat dan pemerintah di Bali sudah lama mengakui keberadaan hak-hak desa pakraman atas tanah-tanah tersebut. Walaupun demikian, ia menyarankan agar dikaji lebih lanjut dari perspektif hukum yang berlaku mengenai hubungan desa pakraman tersebut.2. Secara implisit, Hendriatiningsih tampaknya ingin menunjukkan adanya ketidakpastian hukum dalam hubungan antara desa pakraman dengan tanah.
Kondisi ketidakpastian hukum hubungan antara desa pakraman dengan tanah terjadi lebih dari setengah abad lamanya setelah berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960. Sastrawan dan kawan-kawan dalam kajiannya menyebut kondisi itu sebagai suatu kekosongan hukum mengenai kedudukan tanah milik desa pakraman3. Itu terjadi karena tidak ada ketentuan hukum yang melegalkan hubungan desa pakraman dengan tanahnya sebagai hubungan hak milik. Dalam Pasal II Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA memang ditentukan bahwa tanah desa pakraman (disebut: hak atas druwe desa) termasuk hak-hak atas tanah yang dapat
dikonversi menjadi hak milik, sepanjang subyek yang menguasainya memenuhi syarat sebagai subyek hak milik. Subyek hukum yang memenuhi syarat sebagai subyek hak milik ditentukan dalam Pasal 21 UUPA, yang menentukan bahwa pihak yang dapat menjadi subyek hak milik atas tanah adalah: (1) warga negara Indonesia; (2) badan-badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah. Kemudian, badan-badan hukum yang dapat mempunyai tanah dengan hak milik ditunjuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963. Berdasarkan Peraturan Pemerintah itu, desa pakraman tidak termasuk sebagai badan hukum yang dapat mempunyai tanah dengan hak milik.
Ketidakjelasan kedudukan desa pakraman sebagai subyek hak atas tanah menimbulkan problematika-problematika tertentu dalam kehidupan kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman, seperti dapat dilihat dalam kajian-kajian yang dilakukan oleh Aspriani4, Suwitra5, Rumiarha6, dan lain-lain. Dalam kajian mengenai ”Status Kepemilikan Tanah Druwe Desa di Bali”, Aspriani berkesimpulan bahwa dengan tidak ditunjuknya desa pakraman sebagai subyek hak milik, maka status kepemilikan desa pakraman atas tanah menjadi mengambang. Kondisi itu justru merugikan eksistensi desa pakraman, sebab yang terjadi justru tanah-tanah itu disertifikatkan atas nama perseorangan. Hal itu terbukti dari temuan Suwitra bahwa di beberapa tempat di Bali telah terjadi sertifikasi tanah-tanah desa pakraman menjadi hak milik perseorangan (individu) melalui proses konversi, terutama untuk tanah-tanah desa pakraman yang sudah diserahkan hak pengelolaannya kepada individu anggota desa pakraman, yaitu tanah pekarangan desa (PKD) dan Tanah Ayahan Desa (AYDS). Problem lain, seperti yang ditunjukkan oleh Rumiartha, adalah terjadinya pengambilalihan tanah milik desa pakraman menjadi aset pemerintah daerah atas dasar argumentasi hak menguasai negara demi kepentingan umum, pengelolaan otonomi daerah dan asas desentralisasi. Terjadinya konversi tanah desa pakraman menjadi hak perseorangan ataupun pengalihan menjadi aset pemerintah merupakan problem yang serius karena hal itu akan membahayakan ekstensi desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Bali.
Walaupun sudah cukup banyak tulisan yang membahas hubungan desa pakraman dengan tanah, pembahasan mengenai hal itu masih penting dan relevan, paling tidak berdasarkan dua alasan. Pertama, tahun 2017 desa pakraman secara resmi telah ditunjuk oleh Pemerintah sebagai subyek hak milik atas tanah melalui Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 276/KEP-19.2/X/2017 tentang Penunjukan Desa Pakraman di Provinsi Bali Sebagai Subyek Hak Pemilikan Bersama (Komunal) Atas Tanah (selanjutnya disebut: Kepmen. A.T.R/Ka. B.P.N. No. 276/2017). Berdasarkan Keputusan Menteri ini, status hukum tanah-tanah desa pakraman telah menjadi jelas, yaitu sebagai hak komunal atas tanah. Alasan kedua, bahwa dewasa ini Pemerintahan Presiden Joko Widodo sangat gencar melaksanakan program pensertifikatan tanah
untuk rakyat. Di bawah program Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL), pemerintah menargetkan bahwa dalam kurun waktu 2017-2025 harus dapat dituntaskan secara keseluruhan pendaftaran dan pensertifikatan sebanyak 126 juta bidang tanah di wilayah Indonesia7. Di Bali, program tersebut tidak hanya menyasar tanah-tanah milik perseorangan, melainkan juga meliputi pensertifikatan tanah-tanah yang secara tradisional menjadi milik desa pakraman8.
Tulisan ini akan berusaha mengkaji permasalahan yang berkaitan dengan implikasi penunjukan desa pakraman sebagai subyek hak komunal atas tanah terhadap kedudukan tanah adat di Bali. Tanah adat yang dimaksud dibatasi pada tanah milik desa pakraman (tanah duuwe desa). Untuk dapat menjawab permasalahan tersebut, terlebih dahulu harus dibahas persoalan lain, yaitu konsep dan eksitensi tanah milik desa pakraman sebagai bentuk tanah adat yang ada di Bali
-
2. Metode penelitian
Tulisan ini berdasarkan hasil penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan historis (historical approach). Tiga pendekatan ini digunakan untuk membangun argumentasi dalam menjawab isu hukum yang diajukan dalam penelitian ini. Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk menelaah semua undang-undang dan regulasi yang berkaitan dengan pengaturan hubungan antara desa pakraman dengan tanah. Pendekatan konseptual yang beranjak dari pandangan-pandangan ahli dan doktrin-doktrin di bidang ilmu hukum digunakan untuk menjelaskan konsep-konsep yang tidak ditemukan definisi konseptualnya dalam peraturan perundang-undangan, terutama konsep-konsep tanah adat di Bali. Pendekatan historis dibutuhkan untuk melacak aspek kesejarahan dari penunjukan desa pakraman sebagai subyek hak pemilikan bersama (komunal) atas tanah.
Untuk membahas permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini digunakan bahan-bahan hukum, baik yang berupa bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan meliputi Undang-undang Nomor 5 tahun 1960, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963, Peraturan Menteri A.T.R/Ka. BPN Nomor 10 tahun 2016, dan Kepmen. A.T.R/Ka. B.P.N. No. 276/2017. Bahan hukum sekunder meliputi literatur-literatur hukum yang relevan dengan isu hukum yang dibahas. Di samping itu, untuk menunjang penulisan ini digunakan juga bahan-bahan non-hukum, seperti berita dalam media cetak maupun online.
Pengumpulan bahan-bahan penelitian di atas dilakukan melalui penelusuran literatur di perpustakaan dan internet dengan teknik pencatatan yang meniru model kerja sistem kartu (card system). Bahan-bahan penelitian yang telah terkumpul selanjutnya diolah dan dianalisis secara kualitatif dengan teknik-teknik penalaran dan argumentasi
hukum, seperti konstruksi hukum dan penafsiran hukum. Selanjutnya, keseluruhan hasil penelitian disajikan secara deskriptif dalam bentuk uraian naratif.
Tanah milik desa pakraman adalah salah satu bentuk tanah adat. Dalam pengertian luas, istilah tanah adat dapat menunjuk kepada dua pengertian, yaitu (1) tanah adat dalam pengertian sebagai tanah “bekas milik adat”; dan (2) tanah milik masyarakat hukum adat9. Dalam pengertian yang pertama, istilah tanah adat merujuk kepada semua tanah orang Indonesia yang belum dikonversi menjadi tanah dengan hak tertentu yang disebutkan dalam UUPA dan belum didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat. Munculnya istilah tanah adat dalam pengertian ini sebagai akibat dari berlakunya dualisme sistem hukum tanah pada jaman Hindia Belanda yang diwarisi sampai tahun 1960, yaitu sampai dikeluarkan dan diberlakukannya UUPA. Pada masa itu, dikenal dua golongan hak atas tanah, yaitu: (1) tanah-tanah yang tunduk kepada Hukum Barat yang lazim disebut Tanah Hak Barat, seperti: Hak Eigendom, Hak Opstal, Hak Erfpacht, dan Hak Vruchtgebruik; (2) hak-hak tanah yang tunduk kepada hukum adat disebut dengan tanah Hak Indonesia atau tanah adat, seperti: hak agrarische eigendom, milik, andarbeni, yasan, hak atas druwe desa, pasini, altijddurende erfpacht grantsultan, landerderijenbezitrecht, , hak usaha bekas tanah partikelir yang sederajat dengan hak milik, hak gogolan, sanggan, pekulen, dan hak atas tanah yang sederajat dengan Hak pakai, seperti bengkok, pituas, dan lain-lain. Tanah-tanah hak Barat diberlakukan bagi penduduk Hindia Belanda yang tunduk kepada Hukum Barat, yaitu penduduk golongan Eropa, sedangkan Tanah Indonesia diberlakukan bagi orang-orang yang tunduk kepada hukum adat, yaitu penduduk pribumi (bumiputra)10.
Dalam tulisan ini, istilah tanah adat digunakan dalam pengertian yang kedua, yaitu sebagai tanah-tanah yang dikuasai oleh kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat (KMHA). Hak KMHA atas tanah diakui dalam Pasal 3 UUPA dengan sebutan hak ulayat. Dalam literatur hukum adat, sebagaimana dikutip dari Arisaputra, hak ini juga disebut dengan istilah hak pertuanan, sebagai terjemahan dari istilah yang digunakan oleh Cornelis Van Vollenhoven, yaitu beschikkingrecht11
Dengan mengkonsepsikan tanah adat sebagai tanah hak dari KMHA, dapat diidentifikasi adanya bermacam-macam tanah adat di Bali. Mahkamah Konstitusi menyebutkan adanya 3 (tiga) golongan KMHA, yaitu: (1) KMHA yang bersifat genealogis, yaitu KMHA yang terbentuk berdasarkan kriteria hubungan keturunan darah; (2) KMHA yang bersifat fungsional, yaitu KMHA yang terbentuk didasarkan atas fungsi-fungsi tertentu yang menyangkut kepentingan bersama yang
mempersatukan masyarakat hukum adat yang bersangkutan dan tidak tergantung kepada hubungan darah atau pun wilayah; dan (3) KMHA yang bersifat teritorial, yaitu KMHA yang pembentukannya bertumpu pada wilayah tertentu di mana anggota KMHA yang bersangkutan hidup secara turun temurun dan melahirkan hak ulayat yang meliputi hak atas pemanfaatan air, hutan, dan sebagainya12.
Di Bali, ketiga golongan KMHA itu eksis dalam kehidupan masyarakatnya13. Bentuk KMHA yang bersifat teritorial adalah desa pakraman (dulu disebut: desa adat). Bentuk KMHA geneologis adalah dadia/panti atau disebut dengan nama lain. Sehari-hari sebutan “dadia” atau “panti” dapat menunjuk dua hal berbeda. Pertama, untuk menyebut satu unit tempat persembahyangan bersama dari suatu kelompok orang yang berasal dari keturunan yang sama. Tempat persembahyangan tersebut adalah pura dadia, yang kadang-kadang hanya disebut dadia atau panti saja. Kedua, dapat merujuk kepada kelompok orang (sekaa) yang berasal dari satu keturunan (wit) yang memuja leluhur yang sama di pura dadia/panti tersebut. Kelompok tersebut kemudian disebut sekaa dadia/sekaa panti. Bentuk KMHA fungsional yang ada di Bali adalah Subak, yaitu organisasi dari kelompok masyarakat tani yang berfungsi mengkordinasikan sistem pengaturan dan penggunaan air irigasi pada areal persawahan tertentu 14 . Ketiga KMHA itu (desa pakraman, dadia/panti dan subak) memenuhi syarat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana disebutkan dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Dalam Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 tentang Pengujian UU Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku terhadap UUD NRI 1945. Dalam Putusan yang dibacakan pada 18 Juni 2008 itu Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa suatu KMHA dapat dikatakan secara de fakto masih hidup (actual existence) jika setidaknya mengandung unsur-unsur, yaitu: (1) adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling); (2) adanya pranata pemerintahan adat; (3) adanya kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan (4) adanya perangkat norma hukum adat; serta (5) adanya wilayah tertentu, khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial15.
Tiap-tiap KMHA tersebut (teritorial, geneologis, dan fungsional) mempunyai tempat persembahyangan bersama yang disebut pura, sebagai tempat suci untuk menghubungkan warga kesatuan dengan Tuhan serta dewa-dewa dan/atau roh leluhur yang disembah di pura tersebut. Hubungan warga kesatuan masyarakat hukum adat dengan pura tersebut sangat kuat, bahkan dapat dipandang bahwa pura
adalah unsur pengikat utama yang mempersatukan warga kesatuan secara spiritual maupun sosial-budaya. Bidang tanah di mana bangunan pura itu berdiri disebut tanah tegak pura yang luasnya bervariasi tergantung kebutuhan. Beberapa pura mungkin memiliki satu atau lebih bidang tanah lain yang berupa lahan pertanian atau perkebunan (sawah, tegalan, hutan) yang hasilnya khusus dimanfaatkan langsung atau pun tak langsung untuk kepentingan pura yang bersangkutan, baik untuk pembangunan dan pelestarian bangunan pura atau pun untuk keberlangsungan aktivitas-aktivitas sosial keagamaan (ritual) di pura tersebut. Tanah ini lazim disebut tanah laba pura atau pelaba pura. Semua tanah pura, baik tegak pura maupun pelaba pura, telah lama dapat didaftarkan dengan status hak milik menurut UUPA karena berdasarkan SK Mendagri No SK. DJA/1986, pura telah ditunjuk sebagai badan hukum keagamaan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah16.
Di samping tanah pura, khusus kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman juga memiliki tanah dengan beragam jenis dan karakter, baik dilihat dari subyek yang menguasainya, fungsi dan pemanfaatannya, maupun dilihat dari letak atau lokasi tanah adat yang bersangkutan. Secara umum, tanah-tanah yang dikuasai KMHA desa pakraman disebut tanah desa atau tanah druwe desa. Dilihat dari subyek yang menguasai dan/atau memanfaatkan tanah desa tersebut, Suasthawa telah mengidentifikasi dengan cukup baik penggolongan tanah desa tersebut, meliputi: (a) tanah desa yang dikuasai dan dimanfaatkan secara langsung oleh desa pakraman; dan (b) tanah desa yang oleh desa diberikan pemanfaatannya kepada perseorangan warga desa pakraman17.
Golongan yang pertama, yaitu tanah-tanah desa yang dikuasai dan dimanfaatkan secara langsung oleh desa pakraman sebagai kesatuan. Pada umumnya golongan tanah inilah yang disebut tanah druwe atau duwe desa dalam arti sempit, sedangkan dalam arti luas konsep tanah druwe desa meliputi semua golongan tanah desa di atas. Secara etimologis, istilah druwe atau duwe (”due”) yang membentuk frasa ”druwe” atau “duwe desa” berarti ”kepunyaan” atau ”milik”18, sehingga konsep tanah druwe desa sesungguhnya adalah konsep hak milik, dalam hal ini milik komunal desa pakraman.
Tanah-tanah druwe desa ini meliputi berbagai bidang tanah dengan fungsi dan pemanfaatan yang beragam, mulai dari bidang-bidang tanah yang dimanfaatkan untuk fungsi-fungsi keagamaan, seperti untuk mendirikan bangunan pura (tegak pura) ataupun bidang tanah yang hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan pura milik desa pakraman (laba pura); fungsi-fungsi ekonomi, seperti untuk pasar desa, pertokoan, lahan parkir, dan lain-lain; maupun bidang tanah untuk fungsi-fungsi sosial-budaya, untuk balai pertemuan (balai banjar, balai desa, wantilan), untuk kegiatan olah raga atau aktivitas sosial lainnya (tanah lapang); bidang tanah untuk tempat menguburkan jenazah dan prosesi ritual kremasi jenazah (tanah setra), dan sebagainya. Letak atau lokasi tanah druwe desa ini umumnya terletak di wilayah (wawidangan) desa, tetapi tidak selalu demikian. Beberapa desa pakraman justru memiliki tanah druwe di luar wilayah
desa pakraman, misalnya yang diperoleh melalui transaksi jual-beli atau tukar-menukar19
Golongan kedua adalah tanah-tanah desa yang oleh desa pakraman diserahkan penguasaan dan pemanfaatannya kepada warga yang menjadi anggota dari desa pakraman bersangkutan (krama desa). Dilihat dari fungsinya, tanah-tanah yang termasuk golongan ini ada 2 (dua) macam, yaitu pertama adalah tanah pekarangan desa (tanah PKD) atau disebut dengan nama lain, seperti tanah tegak desa, karang kawis, dan lain-lain. Ini adalah tanah-tanah desa yang oleh desa diserahkan pemanfaatannya kepada krama desa untuk tempat tinggal. Umumnya luas tanah pekarangan desa ini untuk masing-masing krama desa memiliki luas tertentu dan seragam untuk semua krama desa, misalnya sekitar 200 m² atau 400 m² (?) sehingga disebut sikut satak (Ind.: sikut=ukuran; satak=200; samas=400). Di samping tanah pekarangan desa, ada juga bidang-bidang tanah desa, berupa lahan pertanian, yang oleh desa diserahkan kepada krama desa untuk dikelola. Hasil dari tanah-tanah itu sepenuhnya menjadi hak warga yang mengelolanya, digunakan untuk nafkah keluarga krama desa yang bersangkutan dan sebagian lainnya digunakan untuk menunaikan kewajiban-kewajiban berupa materi (barang atau uang) yang diserahkan kepada desa (disebut: pawedalan/papeson) secara rutin atau pun insidental, misalnya iuran (disebut: peturunan) untuk kegiatan sosial-keagamaan di desa tersebut, pembangunan atau perbaikan pura, balai pertemuan, dan lain-lain.
Walaupun mempunyai fungsi berbeda, terdapat karakter yang sama melekat pada tanah pekarangan desa dan tanah ayahan desa. Pertama, baik tanah pekarangan desa mau pun tanah ayahan desa mirip hak perseorangan, dapat dikelola dan hasilnya dinikmati sendiri, serta dapat diwariskan. Kedua, setiap pemegang hak atas tanah pekarangan desa dan tanah ayahan desa harus melaksanakan seperangkat kewajiban-kewajiban kepada desa, baik berupa kewajiban fisik (tenaga) ataupun materi (uang atau barang), sebagai kompensasi dari haknya itu. Kewajiban-kewajiban itu disebut ayahan. Apabila kewajiban-kewajiban tersebut dilalaikan, maka sampai batas-batas tertentu desa dapat mengambil tindakan untuk mengambil alih kekuasaan terhadap tanah tersebut20. Itu menunjukkan, bahwa sesungguhnya hak yang dikuasai oleh krama desa atas tanah desa tersebut adalah apa yang dalam kepustakaan hukum adat disebut hak milik terikat.
Dewasa ini, mungkin agak sulit mengidentifikasi tanah-tanah desa yang termasuk golongan ini, bahkan di beberapa tempat sudah terjadi kekaburan antara tanah pekarangan desa dan tanah ayahan desa di satu pihak dengan bidang-bidang tanah hak milik perseorangan (tanah kedidi) di pihak lainnya. Kondisi ini disebabkan beberapa hal. Pertama, memang tidak semua desa pakraman memiliki tanah pekarangan desa dan/atau tanah ayahan desa. Desa-desa pakraman yang memiliki tanah pekarangan desa pun, keanggotaannya tidak semua berdasarkan sistem ngemong karang ayahan (Ind. = menguasai tanah desa). Apabila suatu desa menganut sistem keanggotaan ngemong
karang ayahan, kewajiban krama desa dibedakan antara krama desa yang menguasai tanah desa dengan krama desa yang tidak menguasai tanah desa. Krama desa yang menguasai tanah desa disebut krama ngarep, atau disebut dengan nama lain, mempunyai tanggung jawab penuh (memungkul) kepada desa, sedangkan krama desa yang tidak menguasai tanah desa, disebut krama ngele atau nama lain, hanya dibebani kewajiban setengahnya (sibak) dari kewajiban krama ngarep, atau bahkan di beberapa tempat mereka bebas dari kewajiban-kewajiban kepada desa. Di desa-desa lain, yaitu desa yang menganut sistem keanggotaan mapikuren (Ind.= berumah tangga), semua warga desa yang sudah berumah tangga mempunyai hak dan kewajiban yang sama, tidak penting apakah yang bersangkutan menguasai tanah desa atau tidak21. Pada desa-desa yang termasuk golongan ini, tentu sulit membedakan status tanah yang ditempati oleh setiap krama desa, apakah menempati tanah pekarangan desa ataukah menempati tanah hak milik perseorangan (tanah kedidi, tanah gunakaya).
Kehidupan masyarakat Bali terus bergerak. Globalisasi serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perkembangan masyarakat22. Proses modernisasi secara perlahan tetapi pasti telah mengubah pola pikir dan pandangan masyarakat Bali dalam memaknai tanah dan kehidupannya. Lebih-lebih, kemajuan pariwisata telah mendorong pesatnya pembangunan sarana dan prasarana pariwisata, tidak hanya di daerah perkotaan tetapi juga merambah ke pelosok-pelosok perdesaan, membuat nilai dan kebutuhan akan tanah terus meningkat. Pembangunan fasilitas pariwisata, seperti hotel, resort, villa, restoran, dan lain-lain, telah menjadikan tanah sebagai komoditas yang sangat bernilai ekonomi tinggi dan melemahkan nilai-nilai sosial-religiusnya. Perkembangan pariwisata yang pesat ini dibarengi semakin menguatnya nilai-nilai individualisme dalam masyarakat membuat egoisme dan keserakahan masyarakat untuk mengejar kesenangan pribadi (hedonisme) semakin tidak terkendali. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap pola pengelolaan tanah adat yang semula lebih bersifat komunal dan religius mengarah kepada pengelolaan yang bersifat individual untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan kepentingan pribadi semata23.
Tidak perlu melakukan penelitian yang terlalu serius untuk mengetahui kondisi di atas. Secara kasat mata realita ini dapat dilihat di mana-mana. Di sana-sini mungkin hubungan desa pakraman dengan tanah desa yang dikuasai perseorangan masih cukup kuat, tetapi di tempat-tempat lain hubungan antara krama desa dengan tanah desa yang dikuasainya sudah demikian kuat dan kontrol desa (kepala adat) terhadap pengelolaan tanah ini semakin melemah. Indikikasi ini dapat dilihat dari pengelolaan tanah-tanah tersebut oleh pemegangnya dilakukan menurut kepentingan dan keputusannya sendiri tanpa memerlukan persetujuan dari kepala-kepala adat (prajuru desa). Kontrol yang lemah dari desa pakraman mengindikasikan tanah-tanah tersebut mulai melemah karakternya sebagai tanah adat dan semakin menguatkan karakter hak pesersorangannya. Bahkan di beberapa tempat, telah terjadi pensertifikatan tanah ayahan desa atas nama perseorangan krama desa24 sehingga peluang tanah tersebut
dialihkan kepada pihak lain menjadi sangat terbuka. Dengan demikian, tanah tersebut telah benar-benar kehilangan karakternya sebagai tanah adat.
Dalam alam hukum tanah nasional, bagaimana sesungguhnya status hak atas tanah desa ini dilihat dari jenis-jenis hak yang dikenal dalam UUPA?
Secara yuridis hak desa pakraman atas tanah sudah diakui oleh Negara. Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dengan tegas mengakui hak-hak tradisional kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, termasuk hak-haknya atas tanah yang telah ada dan melekat sejak terbentuknya kesatuan masyarakat hukum adat tersebut. Dalam UUPA, melalui Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 3, diakui keberadaan hak kesatuan masyarakat hukum adat terhadap tanah yang disebut hak ulayat. Pada tataran peraturan daerah, hak desa pakraman atas tanah diakui secara eksplisit dalam Pasal 9 ayat (5) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2003. Peraturan daerah ini menempatkan tanah milik desa pakraman sebagai bagian dari harta kekayaan desa pakraman.
Khusus terhadap tanah desa (tanah druwe desa), dalam Pasal II Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA ditentukan bahwa tanah ”....hak atas druwe, hak atas druwe desa...sejak berlakunya Undang-undang ini menjadi hak milik...kecuali jika yang mempunyai tidak memenuhi syarat....”. Ketentuan ini mengindikasikan bahwa pembentuk UUPA mengidentifikasikan tanah desa di Bali dalam konsep sebagai hak milik (druwe), sebagai hak yang bersifat turun temurun, terkuat dan terpenuh. Berdasarkan Pasal 21 UUPA, pihak yang menjadi subyek hak milik harus memenuhi syarat: (a) warganegara; dan (b) badan-badan hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah. Kemudian, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 yang menunjuk badan-badan hukum yang dapat mempunyai tanah dengan hak milik, meliputi: (a) bankbank negara; (b) perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian; (c) badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Agama; dan (c) badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial. Walaupun secara tradisional sudah diakui secara historis, yuridis, maupun sosiologis, bahwa desa pakraman adalah badan hukum yang dapat memiliki tanah25 –itu diakui oleh Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001– tetapi sampai tahun 2017 desa pakraman belum ditunjuk sebagai badan hukum yang dapat mempunyai tanah dengan hak milik sehingga dalam kurun waktu itu status hak atas tanah-tanah desa tidak jelas.
Tanggal 23 Oktober 2017 desa pakraman secara resmi ditunjuk sebagai subyek hak komunal atas tanah melalui Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 276/KEP-19.2/X/2017 tentang Penunjukan Desa Pakraman di Provinsi Bali Sebagai Subyek Hak Pemilikan Bersama (Komunal) Atas Tanah. Penunjukan ini seolah menjawab harapan masyarakat Bali yang telah lama menginginkan ditunjukkannya desa pakraman sebagai subyek hak milik atas tanah. Perlu diketahui, usulan agar desa pakraman ditunjuk sebagai subyek hak milik atas tanah sudah lama disuarakan oleh lembaga adat dan pemerintah daerah. Paling tidak, suara-suara tersebut mulai mengemuka sejak tahun 1982, ketika
pada tanggal 2 sampai dengan 22 September 1982 di Denpasar diadakan Pesamuhan Badan Pembina Lembaga Adat (BPLA) Kabupaten dan Kecamatan se-Bali. Pesamuhan (semacam rapat kerja) tersebut merekomendasikan, antara lain: “mengusulkan kepada Pemerintah agar Desa-desa Adat dan Pura dapat ditetapkan sebagai badan hukum yang berhak memiliki tanah”. Usulan tersebut mendapat respon positif dari Pemerintah Daerah Provinsi Bali, sehingga dalam Rapat Kordinasi Tingkat I Bali dan Rapat Gabungan Antar Unsur Instansi Terkait tanggal 28 Juli 1984 disepakati untuk membawa usulan tersebut kepada Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya, dengan dukungan penuh DPRD Tingkat I Bali, tanggal 14 Maret 1986, dikirim sebuah delegasi untuk membawa usulan tersebut kepada Direktur Jenderal Agraria Kementerian Dalam Negeri di Jakarta. Usulan tersebut kemudian berproses, tetapi entah apa yang terjadi, kemudian secara resmi Gubernur Bali hanya mengusulkan penunjukan Pura sebagai subyek hak milik atas tanah, sehingga akhirnya keluar Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor Sk. 556/DJA/1986 yang menunjuk Pura sebagai badan hukum keagamaan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah26
Usulan menjadikan desa pakraman sebagai subyek hak milik atas tanah tidak pernah surut. Dalam Rapat Koordinasi Proses Penunjukan Desa Pakraman Sebagai Subyek Hak Milik Atas Tanah bertempat di Gedung eks BLPP Jl Raya Sesetan Denpasar tanggal 20-21 November 2006 berhasil dirumuskan dua aspirasi besar (grant aspration), yaitu:
-
1. Mengusulkan penunjukan Desa Pakraman sebagai Subyek Hak Milik Atas Tanah kepada Menteri Dalam Negeri;
-
2. Berkoordinasi dengan Kanwil BPN Provinsi Bali dan BPN Kabupaten/Kota se Bali sekaligus melibatkan unsur Majelis Utama Desa Pakraman dan Pakar Hukum Adat untuk mengambil langkah nyata mensertifikatkan tanah-tanah milik Desa Pakraman.
Tahun 2007, Sekretaris Daerah Provinsi Bali, Drs I Nyoman Yasa, Msi, atas nama Gubernur Bali menyampaikan usulan tersebut Kepala Kanwil BPN Provinsi Bali melalui surat Nomor 590/70/B.Tapem tertanggal 4 Januari 2007. Sayang sekali, tidak ada dokumen yang dapat ditelusuri mengenai apa yang terjadi setelah itu, ternyata baru sepuluh tahun kemudian, tepatnya tanggal 25 September 2017, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali mengusulkan penunjukan desa pakraman sebagai subyek hak milik atas tanah kepada Menteri ATR/Kepala BPN melalui Surat Nomor 1329/8-51/IX/2017. Tanggapan Menteri terhadap usulan tersebut sangat cepat dan positif. Terbukti, tidak sampai sebulan setelah pengusulan itu telah terbit Keputusan Menteri ATR/Kepala BPN No 276/KEP-19.2/X/2017 yang menunjuk Desa Pakraman sebagai subyek hak pemilikan bersama (komunal) atas tanah27.
Inti Kepmen ATR/Ka. BPN No 276/KEP-19.2/X/2017 adalah menunjuk desa pakraman di Provinsi Bali sebagai subyek pemilikan bersama (hak komunal) atas tanah disertai persyaratan, bahwa: (a) ada anggota masyarakatnya yang masih dalam bentuk paguyuban; (b) ada kelembagaan dan perangkat penguasaan adatnya; (c) ada tanah Hak Pemilikan Bersama (Komunal) dengan batas-batas yang jelas; dan (d) ada pranata dan perangkat hukumnya yang masih ditaati. Kepmen juga menegaskan bahwa tanah-tanah Hak Pemilikan Bersama (Komunal) yang dipergunakan untuk kepentingan adat Desa Pakraman dapat didaftarkan haknya berdasarkan pengakuan Pemerintah dan masyarakat setempat sesuai ketentuan yang berlaku.
Konsep hak komunal atas tanah yang dimaksudkan dalam Kepmen ATR/Ka. BPN No 276/KEP-19.2/X/2017 merujuk kepada konsep yang disebutkan dalam Peraturan Menteri ATR/Ka. BPN Nomor 10 tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang Berada dalam Kawasan Tertentu (selanjutnya disebut Permen Hak Komunal 2016). Peraturan Menteri ini menggantikan peraturan yang ada sebelumnya yaitu Peraturan Menteri ATR/Ka. BPN Nomor 9 Tahun 2015. Berdasarkan Pasal 1 Permen Hak Komunal 2016 ditentukan bahwa: “Hak Komunal Atas Tanah, yang selanjutnya disebut Hak Komunal adalah hak milik bersama atas tanah suatu masyarakat hukum adat atau hak milik bersama atas tanah yang diberikan kepada masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu” (Pasal 1 angka 1). Kawasan tertentu yang dimaksud dalam Permen Hak Komunal ini adalah kawasan hutan atau perkebunan (Pasal 1 angka 2).
Dari rumusan tersebut, tampak bahwa konsep hak komunal berbeda dengan konsep hak ulayat yang diakui berdasarkan Pasal 3 UUPA. Setidaknya, perbedaan tersebut dapat dilihat dalam dua hal, yaitu perbedaan subyek hak dan perbedaan karakter hak. Subyek hak komunal tidak hanya KMHA, melainkan meliputi pula masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu, dalam hal ini kawasan hutan atau perkebunan. Perbedaan kedua, hak ulayat berdimensi publik sekaligus privat, sedangkan hak komunal hanya berdimensi privat; sedangkan hak komunal lebih berdimensi privat (perdata). Dimensi publik hak ulayat dapat dilihat dari kewenangan KMHA untuk: (1) mengatur pemanfaatan dan pemeliharaan tanah/wilayah sebagai ruang hidupnya; (2) mengatur hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dan tanahnya; (3) mengatur perbuatan hukum terkait dengan tanah ulayat. Dimensi privat hak ulayat dapat dilihat dari manifestasi hak ulayat sebagai kepunyaan bersama. Hak ulayat tidak dapat dikategorikan sebagai hak atas tanah sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 4 jo Pasal 16 UUPA, sebaliknya hak komunal dapat dimaknai sebagai hak milik atas tanah yang dapat diterbitkan sertifikatnya28
Dengan konsepsi bahwa tanah desa pakraman sebagai “hak pemilikan bersama (hak komunal)”, tampaknya eksistensi tanah desa pakraman tidak bersandarkan pada ketentuan Pasal 3 UUPA, melainkan berlandaskan pada Pasal 4 ayat (1) jo Pasal 16 UUPA. Memang, ada pendapat yang menyatakan bahwa pengaturan hak komunal atas tanah melalui Peraturan Menteri ATR/Ka. BPN Nomor 10 tahun 2016 tidak
memiliki landasan hukum dalam UUPA29, tetapi dengan menggunakan penafsiran sistematik, landasan yuridis hak komunal atas tanah dapat ditemukan dalam UUPA. Sebagaimana diketahui, Pasal 2 UUPA menentukan bahwa tanah pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara dan atas dasar hak menguasai itu Negara mempunyai wewenang mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah. Kemudian, dalam Pasal 4 ayat (1) dinyatakan bahwa atas dasar hak menguasai dari Negara ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orangorang lain serta badan-badan hukum. Berdasarkan pasal 16 ayat (1) hak-hak yang dimaksudkan dalam Pasal 4 ayat (1) diantaranya adalah hak milik. Dengan demikian, hak komunal adalah hak milik yang diberikan kepada dan dipunyai orang secara bersama-sama dengan orang lain atau badan hukum. Sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum adat, desa pakraman adalah badan hukum asli Indonesia. Sebagai suatu entitas hukum, desa pakraman adalah subyek hukum (rechtssubjecten) yang sepenuhnya dapat turut serta dalam pergaulan hukum, mempunyai pengurus sendiri yang dapat bertindak mewakili kesatuan, baik ke dalam maupun ke luar; serta memiliki harta kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan anggota-anggotanya. Kesetaraan ciri-ciri desa pakraman dan badan hukum, terutama tampak dalam sifat dasar sebagai kesatuan atau entitas hukum, yaitu sama-sama dapat melakukan perbuatan hukum30. Bahkan, kedudukan desa pakraman sebagai badan hukum lebih kuat dibandingkan dengan badan hukum yang dibentuk berdasarkan undang-undang, sebab sebagaimana karakter kesatuan masyarakat hukum adat yang dikemukakan oleh B. ter Haar31, tidak seorang pun dari anggota desa pakraman yang mempunyai pikiran atau angan-angan untuk membubarkan desa pakraman.
Penunjukan desa pakraman sebagai subyek hak kepemilikan bersama (hak komunal) atas tanah menimbulkan implikasi-implikasi tertentu terhadap kedudukan tanah adat di Bali. Implikasi yuridis dari penunjukan tersebut menyangkut kepastian status hak dari tanah desa. Berdasarkan Kepmen ATR/Ka. BPN No 276/KEP-19.2/X/2017, maka status hak dari tanah desa adalah hak komunal sebagaimana yang dikonsepsikan oleh Permen Hak Komunal 2016. Dengan menyandang status sebagai hak kepemilikan bersama (komunal) atas tanah, maka tanah desa memiliki karakter-karakter sebagai hak milik, yaitu terkuat dan terpenuh, bersifat turun-temurun, dan dapat didaftarkan.
Sesuai diktum kedua Kepmen ATR/Ka. BPN No 276/KEP-19.2/X/2017 tanah desa dapat didaftarkan haknya berdasarkan pengakuan Pemerintah dan masyarakat setempat sesuai ketentuan yang berlaku. Tatacara pengakuan dan penetapan hak ini ditentukan secara rinci dalam Permen Hak Komunal 2016. Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 3 ayat (1) Permen tersebut menegaskan bahwa Masyarakat Hukum Adat yang
memenuhi persyaratan dapat dikukuhkan hak atas tanahnya, yaitu dalam bentuk Hak Komunal. Persyaratan bagi masyarakat hukum adat agar dapat dikukuhkan hak komunalnya ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1), meliputi:
-
a. masyarakat masih dalam bentuk paguyuban;
-
b. ada kelembagaan dalam perangkat penguasa adatnya;
-
c. ada wilayah hukum adat yang jelas; dan
-
d. ada pranata dan perangkat hukum yang masih ditaati.
Dalam rangka penetapan hak komunalnya, masyarakat hukum adat mengajukan permohonan kepada Bupati/Walikota atau Gubernur. Permohonan diajukan oleh Kepala Adat dengan dilengkapi syarat, antara lain:
-
a. riwayat masyarakat hukum adat dan riwayat tanahnya;
-
b. fotokopi kartu identitas;
-
c. surat keterangan dari kepala desa.
Setelah menerima permohonan yang diajukan oleh kepala adat, Bupati/Walikota atau Gubernur membentuk Tim IP4T untuk menentukan keberadaan masyarakat hukum adat serta tanahnya (Pasal 5). Tim IP4T adalah Tim yang melaksanakan kegiatan pendataan P4T (Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah. Dalam hal tanah yang dimohon berada dalam satu kabupaten/kota, Bupati/Walikota yang membentuk Tim IP4T dengan personalia terdiri dari Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai ketua merangkap anggota; Camat dan Lurah atau Kepala Desa masing-masing sebagai anggota; unsur pakar hukum adat; perwakilan masyarakat hukum adat; Lembaga Swadaya Masyarakat; dan Instansi yang mengelola sumber daya alam. Dalam hal tanah yang dimohonkan itu terletak di lintas kabupaten/kota, Tim dibentuk oleh Gubernur dengan personalia Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional sebagai ketua merangkap anggota, unsur pakar hukum adat; Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota terkait sebagai ketua merangkap anggota; Camat setempat atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota; Lurah/Kepala Desa setempat sebagai anggota; perwakilan masyarakat hukum adat; Lembaga Swadaya Masyarakat; dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam (Pasal 6). Tugas Tim IP4T ini adalah menerima permohonan; melakukan identifikasi dan verifikasi pemohon, riwayat tanah, jenis, penguasaan, pemanfaatan dan penggunaan tanah; mengidentifikasi dan menginventarisasi batas tanah; pemeriksaan lapangan; melakukan analisis data yuridis dan data fisik bidang tanah; dan menyampaikan laporan hasil kerja Tim IP4T (Pasal 7).
Setelah Tim IP4T menyelesaikan tugasnya, Tim menyampaikan laporan hasil kerjanya kepada Bupati/Walikota atau Gubernur mengenai keberadaan masyarakat hukum adat dan tanahnya. Laporan antara lain memuat:
-
a. ada atau tidaknya masyarakat hukum adat;
-
b. nama pimpinan dan anggota masyarakat hukum adat; dan
-
c. data mengenai tanah dan riwayat pemilikan dan/atau penguasaan tanah.
Dalam hal laporan Tim IP4T menyatakan adanya masyarakat hukum adat dan tanahnya, Bupati/Walikota atau Gubernur menetapkan keberadaan masyarakat hukum adat dan tanahnya melalui Keputusan Gubernur/Walikota atau Keputusan Gubernur. Dalam hal tanah terletak dalam satu kabupaten/kota, penetapan itu dilakukan oleh/dan melalui Keputusan Bupati/Walikota. Dalam hal tanah terletak di lintas kabupaten/kota penetapan itu dilakukan oleh/dan dengan Keputusan
Gubernur. Penetapan tersebut kemudian disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan atau Kepala Kantor Wilayah BPN untuk ditetapkan dan didaftarkan hak komunal atas tanahnya pada Kantor Pertanahan setempat. Hak komunal atas tanah yang didaftarkan dapat diberikan kepada keseluruhan anggota masyarakat hukum adat atau ketua adat atas nama masyarakat hukum adat (Pasal 18).
Pendaftaran hak komunal dari tanah desa ini dalam implementasinya dapat berimplikasi positif dan negatif terhadap kedudukan tanah desa pakraman sebagai tanah adat. Sebagaimana diketahui, ujung dari pendaftaran tanah adalah terbitnya sertifikat sebagai alat bukti pemilikan hak atas tanah yang sah32. Berdasarkan Permen Hak Komunal, tanah-tanah milik desa pakraman dapat diberikan kepada keseluruhan anggota masyarakat hukum adat atau kepala adat atas nama masyarakat hukum adat, sehingga sertifikat hak milik dapat terbit atas nama desa pakraman sebagai kesatuan. Itu akan memberikan kepastian hak dan jaminan kepastian hukum mengenai hubungan antara desa pakraman dengan tanah miliknya. Dengan pendaftaran itu kedudukan tanah desa pakraman sebagai tanah adat akan semakin kuat.
Secara sosiologis pendaftaran tanah milik desa pakraman tidak akan menimbulkan persoalan berarti bagi masyarakat jika pendaftaran tersebut menyangkut tanah druwe desa, yaitu tanah-tanah desa yang secara langsung dikuasai desa, baik yang dimanfaatkan untuk fungsi-fungsi keagamaan, sosial-budaya, maupun fungsi ekonomis, sepanjang sertifikat tanahnya atas nama desa pakraman. Tetapi, pendaftaran tanah desa pakraman mungkin akan menimbulkan persoalan jika menyangkut tanah-tanah desa yang sudah dikuasai oleh perseorangan krama desa, baik tanah PKD maupun AYDS. Seperti telah diuraikan di depan, untuk jenis tanah- tanah ini karakter tanah adatnya bervariasi. Ada tanah-tanah PKD dan AYDS yang karakter tanah adatnya masih kuat, ada yang mulai melemah, bahkan ada yang sudah kabur. Secara de facto tanah-tanah itu sudah dikuasai secara turun temurun secara individual oleh krama desa sehingga hubungan hak milik antara tanah dengan krama desa sudah sedemikian kuat, walaupun dalam hubungan tersebut melekat adanya kewajiban (ayahan) kepada desa pakraman.
Salah satu persoalan yang masih perlu didiskusikan adalah model sertifikat yang menjadi keluaran dari proses pendaftaran untuk golongan tanah-tanah PKD dan AYDS, terutama menyangkut subyek hak yang dicantumkan dalam sertifikat. Siapakah yang dicantumkan sebagai subyek hak atas tanah dalam sertifikat, apakah atas nama desa ataukah atas nama perseorangan krama desa. Jika atas nama desa, terbuka kemungkinan adanya resistensi (penolakan) dari krama desa yang menguasai tanah tersebut, terutama untuk tanah-tanah PKD dan AYDS yang karakter hak perseorangannya sudah sedemikian kuat. Sebaliknya, apabila subyek hak yang dicantumkan dalam sertifikat adalah atas nama perseorangan krama desa, di samping dapat mengaburkan –bahkan menghilangkan sama sekali– karakter tanah adat dari hak atas tanah itu, juga akan menjadi problem tersendiri apabila dalam keluarga krama desa yang menguasai tanah desa tersebut terdapat lebih dari seorang ahli waris. Ahli waris yang mana dicantumkan sebagai subyek hak di dalam sertifikat? Ini dapat menimbulkan kekacauan dalam keluarga pemegang tanah PKD atau AYDS yang bersangkutan.
Problem-problem sosiologis tersebut menjadi penting dipahami dan didiskusikan agar dapat ditemukan model terbaik dalam pendaftaran tanah desa, terutama yang sudah dikuasai perseorangan. Aspek-aspek kemanfaatan, pelestarian tanah adat dan eksistensi desa pakraman harus menjadi pertimbangan-pertimbangan utama di samping aspek kepastian hukumnya.
Idealnya, semua tanah milik desa pakraman –baik yang dikuasai dan dimanfaatkan langsung oleh desa maupun yang sudah diserahkan kepada perseorangan krama desa– didaftarkan dengan mencantumkan desa pakraman sebagai subyek haknya. Dengan cara ini kepastian hukum dan kepastian hak tanah desa pakraman dapat diwujudkan sehingga kedudukan dan eksistensi tanah desa pakraman sebagai tanah adat menjadi kuat. Di atas tanah hak komunal desa pakraman tersebut dapat diletakkan hak-hak krama desa atas tanah tersebut, yang diatur secara internal dan otonom oleh desa pakraman melalui peraturan-peraturan adat (awig-awig) ataupun keputusan-keputusan desa pakraman (pararem). Dengan model pendaftaran seperti ini, hubungan-hubungan desa pakraman dengan tanah tetap dapat dipertahankan, di mana desa tetap dapat ikut campur terhadap tanah tersebut.
Apabila dalam pendaftaran tanah desa yang dikuasai perseorangan dilakukan dengan mencantumkan subyek hak sesuai dengan subyek yang secara de facto menguasai tanah pada saat pendaftaran, dikhawatirkan akan menimbulkan problem-problem tersendiri di kemudian hari. Pendaftaran itu akan melemahkan karakter tanah adat dan menguatkan karakter-karakter hak perseorangan dari tanah tersebut. Setelah terbitnya sertifikat atas nama perseorangan, secara de facto dan de jure tanah itu sepenuhnya sudah menjadi milik individu pemegang haknya. Dalam kondisi seperti itu, aspek “ayahan” yang melekat dan menjadi karakter tanah PKD dan AYDS tidak menjadi penting lagi. Tidak tertutup pula kemungkinan tanah tersebut dapat dialihkannya kepada pihak lain, bahkan dapat dialihkan kepada orang luar desa pakraman tanpa sepengetahuan dan persetujuan desa pakraman. Apabila kondisi seperti itu terjadi, alih-alih ingin memperkuat kedudukan tanah adat dan eksistensi desa pakraman, justru hal sebaliknya yang terjadi. Pendaftaran tersebut justru akan memperlemah eksistensi desa pakraman itu sendiri.
-
4. Kesimpulan
Uraian di atas berusaha mendeskripsikan konsep dan eksistensi tanah adat di Bali, khususnya tanah desa. Dalam uraian di atas juga sudah dideskripsikan kedudukan tanah desa setelah desa pakraman ditunjuk sebagai subyek hak komunal atas tanah melalui Kepmen ATR/Ka.BPN No. 276/KEP-19.2/X/2017. Penunjukan tersebut menimbulkan implikasi tertentu terhadap kedudukan tanah desa pakraman sebagai tanah adat. Secara yuridis, penunjukan tersebut dapat memberikan implikasi positif karena memberikan kepastian hukum dan kepastian hak terhadap kedudukan tanah milik desa pakraman. Berdasarkan Kepmen ATR/Ka.BPN No. 276/KEP-19.2/X/2017, status tanah milik desa pakraman adalah hak pemilikan bersama (hak komunal). Penunjukan tersebut sekaligus menjadi kabar gembira bagi masyarakat adat Bali karena hal itu telah lama menjadi aspirasi masyarakat, sebagaimana yang telah lama diperjuangkan oleh lembaga adat dan pemerintah daerah Bali. Di sisi lain, pelaksanaan Kepmen ATR/Ka.BPN No. 276/KEP-19.2/X/2017 dapat berimplikasi negatif terhadap kedudukan tanah milik desa pakraman, apabila tanah PKD dan AYDS
didaftarkan atas nama subyek hak perseorangan krama desa yang pada saat pendaftaran secara de facto menguasai tanah tersebut.
Mengingat karakter-karakter tanah desa yang beragam, baik dilihat dari subyek hak atau pun fungsi dan pemanfaatannya, tampaknya implementasi Kepmen ATR/Ka.BPN No. 276/KEP-19.2/X/2017 perlu dilakukan secara hati-hati agar tidak menimbulkan implikasi negatif yang tidak dikehendaki. Jangan sampai Kepmen tersebut ibarat tamba matemahan wisya (obat yang menjadi racun) bagi kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman. Agar hal itu tidak terjadi, tampaknya pendaftaran (pensertifikatan) tanah-tanah desa yang secara langsung dikuasai oleh desa (tanah druwe desa) diberikan prioritas, sedangkan untuk tanah-tanah desa yang sudah diserahkan penguasaannya kepada perseorangan krama desa (tanah pekarangan desa dan ayahan desa) perlu dilakukan secara hati-hati. Penting sekali diadakan upaya-upaya pemetaan dan sosialisasi terlebih dahulu, sehingga Kepmen 276/2017 dapat dilaksanakan secara efektif di masyarakat.
Daftar Pustaka
Buku
Anandakusuma, S.R. (1986). Kamus Bahasa Bali. Denpasar: CV Kayumas.
Arka, I.W. (2016). Desa Adat Sebagai Subyek Hukum Perjanjian, Universitas Dwijendra-Udayana University Press Arka, I.W. (2016). Desa Adat Sebagai Subyek Hukum Perjanjian, Universitas Dwijendra-Udayana University Press.
Guntur, I.G.N. , Yahman & Puri, W.H. (2013). Dinamika Pengelolalan Tanah Adat di Kabupaten Gianyar dan Bangli Provinsi Bali. Dalam Pujiriyani, D.W. & Puri, W.H. (ed.): Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.
Panetja, G. (1986). Aneka Catatan tentang Hukum Adat Bali, Denpasar: CV Kayumas
Suasthawa D., M. (1987). Status dan Fungsi Tanah Adat di Bali Setelah Berlakunya UUPA. Denpasar: CV Kayumas Agung.
Sudantra, I.K. (2016) Pengakuan Peradilan Adat dalam Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman. Denpasar: Swasta Nulus bekerjasama dengan Bali Shanti Pusat Pelayanan Konsultasi Adat dan Budaya Bali dan Puslit Hukum Adat LPPM Unud.
ter Haar, B. (1987). Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, cetakan kesembilan belas, terjemahan Soebakti Poesponoto, PT Pradnya Paramita, Jakarta.
Windia, W.P. & Sudantra, K. (2006). Pengantar Hukum Adat Bali, Denpasar: Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Jurnal
Arisaputra, M. I. (2011). Status Kepemilikan Dan Fungsi Tanah Dalam Persekutuan Hidup Masyarakat Adat. Amanna Gappa, 19(4), 421-431.
Aryawan, I. P. S., Windia, W., & Wijayanti, P. U. (2013). Peranan Subak Dalam Aktivitas Pertanian Padi Sawah (Kasus Di Subak Dalem, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan).Journal of Agribusiness and Agritourism, 2(1), 1-11.
Aspriani, D. A. O., Budiono, A.R. & Sirtha, I.N. (2014). Status Kepemilikan Tanah Druwe Desa di Bali. Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum,1(1)., 1-16.
Daldiani, A. D. & Sesuna, R. (2018). Kepastian Hukum Hak Komunal Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 ditinjau dari Hukum Pertanahan Indonesia. Al-Qanun: Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam, 21(1), 28-44.
Hendriatiningsih, S., Budiartha, A., & Hernandi, A. (2008). Masyarakat dan Tanah Adat di Bali (Studi Kasus Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali). Jurnal
Sosioteknologi, 7(15), 517-528.
Lombogia, C. B. (2017). Perolehan Hak Atas Tanah Melalui Penegasan Konversi Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria. Lex Et Societatis, 5(5), 135-142.
Mujiburohman, D. A. (2018). Potensi Permasalahan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL). BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan, 4(1), 88-101.
http://dx.doi.org/10.31292/jb.v4i1.217
Rumiartha, I. N. P. B. (2014). Status of Village-owned Land Transfer Into the District Government Assets in Kintamani Bangli Bali. Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan, 2(3), 601-613. http://dx.doi.org/10.12345/ius.v2i6.190
Salam, S. (2016). Kepastian Hukum Penerbitan Sertifikat Hak Komunal sebagai Pelaksanaan Reforma Agraria. Jurnal Cita Hukum, 4(2), 1-20.
http://doi.org/10.15408/jch.v4i2.3192
Sardana, I. N., Suwitra, I.M., & Sepud, I.M. (2018). Dispute Of Customary Land Tenure And Domination And The Resolution In Buleleng Regency. Jurnal Hukum Prasada, 5(1), 19-27. http://dx.doi.org/10.22225/jhp.5.1.283.19-27
Sastarwan, I.P.D., Guntur I.G.N., & Andari, D.W.I. (2018). Urgensi Penguatan Hak Atas Tanah Druwe Desa di Bali. Jurnal Tunas Agraria, 1(1), 90-115.
Sudantra, I.K. (1992). Status Hak Atas Tanah Pura Setelah Berlakunya SK. Mendagri Nomor SK. 556/DJA/1986, Kertha Patrika, No. 61 Tahun XYIII, 39-45.
Windia, W.P., Sudantra, I. K. & Putra, D.N.R.A. (2017). Desa Pakraman Sebagai Subyek Hak Pemilikan Bersama (Hak Komunal) Atas Tanah. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Kearifan Lokal dalam Bingkai Hukum Nasional yang diselenggarakan atas kerjasama Program Magister (S2) Ilmu Hukum Fakuktas Hukum Universitas Diponegoro Semarang dengan Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana di Denpasar , 29 November 2017
Suwardani, N. P. (2015). Pewarisan nilai-nilai kearifan lokal untuk memproteksi masyarakat Bali dari dampak negatif globalisasi. Journal of Bali Studies, 5(2), 247264.
Suwitra, I. M. (2010). Dampak Konversi Dalam UUPA Terhadap Status Tanah Adat Di Bali. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 17(1), 103-118.
https://doi.org/10.20885/iustum.vol17.iss1.art5
Windari, R.A. (2010). Dilema Hukum Penyertifikatan Tanah Ayahan Desa di Bali (Studi Kasus Konflik Adat Tanah Ayahan DEsa di Desa Panglipuran). Jurnal IKA, 8(2), 205-219.
Windia, W.P. (2017). Memahami Karakteristik Tanah Desa di Bali. Pokok-pokok pikiran yang disajikan sebagai pengantar dalam diskusi terfokus (FGD) yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Prov. Bali, pada tanggal 30 Agustus 2017, bertempat di Gedung Nayaka Loka, Kebun Raya Bedugul.
Website
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2008). “Risalah Sidang Perkara Nomor 31/PUU-V/2007 prihal Pengujian UU Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku terhadap UUD NRI 1945”, Acara Pengucapan Putusan (V), Jakarta, 18 Juni 2008, h. 19. diakses pada http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/risalah/ris alah_sidang_Perkara%2031%20%20PUU%20V%20-2007%2018%20Juni%202008.pdf
Nurul Hikmah. (2018, Pebruari 23). Pertama Kali Jokowi Serahkan Sertifikat Tanah Desa Adat Pakraman di Bali. Okezone News . diakses pada https://news.okezone.com/read/2018/02/23/340/1863982/pertama-kali-jokowi-serahkan-sertifikat-tanah-desa-adat-pakraman-di-bali
Admin. (2014, Juni 23). Cara Penyertifikatan Tanah Adat. hukumonline.com. diakses pada http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt537ac3b737835/cara-
Sumardjono, M.S.W. (2015, Juli 6). Ihwal Hak Komunal Atas Tanah. Kompas,com. diakses pada
https://properti.kompas.com/read/2015/07/06/150450221/Ihwal.Hak.Komunal. atas.Tanah.
Peraturan/Keputusan:
Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (LNRI Tahun 1960 No. 104; TLNRI No. 2043).
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Tanah Dengan Hak Milik Atas Tanah (LNRI Tahun 1963 Nomor 61; TLNRI Nomor 2555).
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2001 Nomor 29 Seri D Nomor 29)
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2016 tentang tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang Berada dalam Kawasan Tertentu (BNRI Tahun 2016 Nomor 568).
Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 276/KEP-19.2/X/2017 tertanggal 23 Oktober 2017 tentang Penunjukan Desa Pakraman di Provinsi Bali Sebagai Subyek Pemilikan Bersama (Komunal) Atas Tanah
564
Discussion and feedback