Budaya Hukum Masyarakat Adat Bali Terhadap Eksistensi Perkawinan Beda Wangsa
on
JuitNALMaGisTERHUKOMJIDnKlU
P>KMS ≡(3ES≡ ≡W p≡Sffi)
Vol. 7 No. 4 Desember 2018 E-ISSN: 2502-3101 P-ISSN: 2302-528x http: //ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

Budaya Hukum Masyarakat Adat Bali Terhadap Eksistensi Perkawinan Beda Wangsa
Ni Nyoman Sukerti1, I Gst. Ayu Agung Ariani2
1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: nym_sukerti@unud.ac.id
2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: agung_ariani@unud.ac.id
Info Artikel
Masuk: 29 Nopember 2018
Diterima: 17 Desember 2018
Terbit: 31 Desember 2018
Keywords :
Legal culture; Marriage;
Different Classs Wangsa;
Balinese Society
Kata kunci:
Budaya hukum; Perkawinan, Beda wangsa; Masyarakat Bali
Corresponding Author:
Ni Nyoman Sukerti, E-mail:
DOI :
10.24843/JMHU.2018.v07.i04.
p07
Abstract
dan tidak ada perubahan dalam memanggil orang tuanya. Hal tersebut terjadi karena perkembangan jaman dan kemajuan di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi informasi yang mengubah pola pikir dari sebagian warga masyarakat. Sebagian kecil responden masih ada mempertahankan tradisi lama yang secara yuridis formal sudah dicabut berdasarkan Keputusan DPRD Bali No. 11 Tahun 1951, ingin mempertahankan kewangsaannya, menghormati hukum adat yang sudah usang dan kurangnya pemahaman tentang hukum yang berlaku.
Perkawinan bukanlah hal yang baru dalam kehidupan masyarakat, hal itu sudah dikenal sejak dahulu pada saat dimana masyarakat masih hidup pada tingkatan yang sederhana dan berlanjut sampai sekarang di jaman modern, akan tetapi caranya yang tidak sama dengan di masa lampau dengan masa kini. Maksudnya ada perubahan yang terjadi pada cara-cara perkawinannya. Perkawinan tidak stagnan melainkan mengalami perkembangan mengikuti perkembangan masyarakat dimana lembaga tersebut hidup dan mengikat masyarakatnya. Oleh karena itu perkawinan tetap eksis untuk dikaji, terlebih di era kekinian. Perkawinan hampir dialami oleh setiap insan manusia di dunia tak terkecuali masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat Bali khususnya akan tetapi cara-cara perkawinan yang tidak seragam dalam kehidupan masyarakat, ini tergantung pada masyarakat mana perkawinan itu dilakukan. Dikenal berbagai macam cara perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat Bali khususnya. Adapun cara-cara perkawinan dimaksud adalah perkawinan dengan lamaran, perkawinan tanpa lamaran dan, perkawinan dengan cara paksa. Secara umum tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga dan selanjutnya guna melanjutkan generasi baik di tingkat keluarga, masyarakat maupun Negara sehingga kehidupan bermasyarakat terus berkesinambungan atau tidak punah. Pada masyarakat Bali tujuan perkawinan di samping untuk melanjutkan keturunan (laki-laki) lebih diutamakan untuk melanjutkan kewajiban baik itu kewajiban keluarga seperti melakukan pemeliharaan tempat suci (sanggah/merajan), melakukan pembakaran jenazah (ngaben) orang tuanya setelah meninggal dunia nantinya. Selanjutnya menstanakan rohnya pada tempat suci dan memujanya sebagai leluhur. Orang Bali menyembah atau memuja di samping Tuhan Yang Maha Kuasa juga menyembah atau memuja para leluhurnya. Sebagai keturunan, di samping melakukan kewajiban keluarga seperti sudah diuraikan sebelumnya juga melanjutkan kewajiban kemasyarakatan adat seperti melakukan ayah-ayahan banjar adat dan juga desa pakraman. Tiadanya anak atau keturunan terutama keturunan laki-laki dalam perkawinan dapat menimbulkan perbuatan hukum seperti mengangkat anak, poligami dan bahkan dapat menimbulkan hal yang fatal yakni perceraian. Tidak jarang dalam suatu keluarga batih yang sudah mempunyai anak perempuan tetapi masih memandang belum mempunyai anak. Begitu penting adanya anak atau keturunan terutama laki-laki dalam suatu keluarga.
Pada masyarakat Bali yang menganut system kekerabatan patrilineal adalah tidak jauh berbeda dengan masyarakat lainnya di Indonesia yang menganut system kekerabatan
patrilineal yakni mempunyai ciri khas bentuk perkawinan yaitu perkawinan jujur. Di samping bentuk perkawinan juga dikenal system perkawinan yang pada masyarakat Bali berlaku system endogami wangsa/kasta. Jujur dibayar oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan, fungsinya untuk memutus hubungan hukum si perempuan dengan orang tua, saudara, keluarga dan bahkan kepada leluhurnya. Bentuk jujur berupa uang kepeng di masa lampau, namun di era kekinian bahkan tidak jarang memakai uang kertas. Makna jujur adalah sebagai “uang pembelian” dalam makna simbolis. Pada masyarakat Bali dikenal bermacam-macam cara perkawinan yakni perkawinan meminang (memadik), yaitu pada cara perkawinan ini dasarnya suka sama suka, didahului dengan adanya lamaran dari pihak laki-laki terhadap pihak perempuan, apabila tidak ada hambatan maka perkawinan segera dilaksanakan. Sementara pada perkawinan lari bersama (ngerorod), dasarnya juga suka sama suka, tetapi tidak ada lamaran dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, hal tersebut terjadi karena tidak adanya persetujuan orang tua dari salah satu pihak terutama dari pihak perempuan, sehingga jalan lari bersama ditempuh dalam melakukan perkawinan. Yang terakhir adalah kawin paksa (melegandang). Kawin paksa di masa lampai sering dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan yang dia sukai tetapi si perempuan tidak suka dengan laki-laki dimaksud. Perkawinan dengan cara paksa ini, ada pemaksaan kehendak dari si laki-laki kepada perempuannya. Perkawinan demikian sudah ditinggalkan atau sudah tidak ditemukan lagi di jaman sekarang, karena di samping tidak selaras dengan ketentuan Hukum perkawinan Nasional juga terindikasi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) perempuan. Terkait cara-cara perkawinan seperti telah diungkap sebelumnya, maka yang menjadi focus kajian dalam penelitian ini adalah tentang keberadaan perkawinan beda wangsa pada masyarakat Bali di jaman sekarang. Sebenarnya perkawinan beda wangsa ada pada cara-cara perkawinan tersebut tadi yakni lazimnya pada cara perkawinan lari bersama. Perkawinan beda wangsa masih sering dirancukan dengan perkawinan beda kasta. Widetya memakai istilah perkawinan nyerod beda kasta1, istilah yang sama yakni perkawinan beda kasta juga dipakai oleh Dwi Purnomo2. Terkait dengan istilah itu, dalam tulisan ini dipakai istilah beda wangsa. Perkawinan beda wangsa adalah sebuah perkawinan yang dilakukan oleh calon pengantin dari wangsa yang tidak sama. Maksudnya dalam hal ini adalah laki-laki dari golongan jaba wangsa, sementara perempuannya dari golongan tri wangsa yaitu wangsa brahmana, wangsa ksatriya dan wangsa wesiya. Dalam mana perkawinan demikian lumrah dengan istilah “nyerod” (turun wangsa) pada masyarakat Bali.
Perkawinan beda wangsa dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara meminang (memadik) dan lari bersama (ngerorod, ngerangkat). Ini sudah dikenal sejak jaman dahulu dan tetap hidup hingga kini. Artinya para individu relative banyak yang menempuh cara perkawinan tersebut dan bahkan ada yang melakukan perkawinan campuran. Sehubungan dengan perkawinan beda wangsa, Budiana mengemukakan, perkawinan beda wangsa dengan cara meminang atau arsa wiwaha dimana laki-laki
golongan tri wangsa kawin dengan perempuan jaba wangsa3. Perkawinan demikian tidak menimbulkan guncangan social, sebaliknya mana kala terjadi perkawinan dimana perempuannya dari golongan tri wangsa dan laki-laki dari golongan jaba wangsa ini dapat menimbulkan keguncangan dalam masyarakat, cara perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki jaba wangsa dengan perempuan tri wangsa inilah yang menjadi focus kajian. Wirtha Griadi dalam Budawati mengatakan, bahwa perkawinan nyentana beda wangsa mendapat penolakan dari masyarakat (kelompok warga Brahmana)4. Sudantra, mengatakan bahwa terdapat prinsip yang melarang seorang perempuan kawin dengan laki-laki dari wangsa yang derajatnya lebih rendah, sebaliknya larangan demikian tidak berlaku bagi laki-laki5 . Larangan perkawinan terhadap perempuan tri wangsa dengan laki-laki jaba wangsa adalah mencerminkan pandangan bahwa jaba wangsa derajatnya lebih rendah. Inilah kekeliruan yang turun temurun dipelihara dan bahkan diyakini benar oleh sebagian orang dan terhadap hal itu perlu diluruskan. Sebenarnya wangsa itu adalah jenis pekerjaan seseorang yang hidup pada jaman pemerintahan Kolonial Belanda dahulu. Pekerjaan seseorang itu digolongkan yang sesuai dengan fungsi atau pekerjaannya. Dengan demikian, maka tidak ada wangsa yang satu lebih tinggi derajatnya dari wangsa yang lainnya, semua wangsa itu adalah setara, ibaratnya jari-jari tangan dengan fungsinya masing-masing. Kesalahan pemahaman tersebut telah berlangsung demikian lama pada masyarakat adat Bali bahkan hingga kini masih nampak terutama dalam penggunaan bahasa Bali, sehingga dianggap budaya, dan bahkan budaya tersebut tetap ada bagi orang Bali yang sudah lama tidak menetap di Bali seperti sudah menjadi warga transmigran secara turun temurun.
Menarik dikaji terkait perkawinan beda wangsa yang dapat menimbulkan keguncangan dalam masyarakat yakni yang menjadi focus kajian dalam penelitian in. Seiring dengan kemajuan jaman, perkembangan masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, teknologi informasi yang begitu pesat maka perkawinan demikian masih relevan dikaji terutama terhadap sikap dan perilaku masyarakat adat Bali terhadap perkawinan tersebut. Sehubungan dengan itu dapat diajukan permasalahannya sebagai berikut; apakah dimaksud dengan perkawinan beda wangsa ?dan bagaimana budaya hukum masyarakat adat Bali terhadap eksistensi perkawinan beda wangsa tersebut?. Sehubungan dengan hal tersebut maka penelitian ini menjadi penting dilakukan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan.
-
2. Metode Penelitian
Penelitian tentang budaya hukum masyarakat adat terkait eksistensi perkawinan beda wangsa merupakan penelitian hukum empiric. Fokus penelitian ini, keberadaan hukum tidak bisa dilepaskan dari keadaan social masyarakat dan perilaku manusia
yang terkait dengan lembaga hukum tersebut6 . Penelitian ditekankan pada data lapangan sebagai data primer. Data digali dengan metode wawancara yang dilengkapi dengan daftar pertanyaan sebagai alat bantu, kemudian diolah secara kualitatif dan hasil disajikan secara deskriptif analitis.
Sebelum sampai pada focus kajian yakni perkawinan beda wangsa pada masyarakat Bali, dipandang perlu mengemukakan macam-macam perkawinan terlebih dahulu. Masyarakat Adat Bali yang beragama Hindu menganut system kekerabatan patrilineal atau kebapaan, yang di Bali disebut system purusa. Pada system ini, dimana garis keturunan dilacak dari garis laki-laki (ayah), anak-anak mengikuti garis ayah. System kekerabatan patrilineal tersebut menentukan macam dan bentuk perkawinan yang dilakukan oleh anggota masyarakatnya. Perkawinan secara hokum adat masih dapat berlaku walaupun kita sudah mempunyai Hukum Perkawinan Nasional yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal mana, karena undang-undang sendiri memberi peluang untuk berlakunya hukum adat. Peluang itu dapat diketahui dari ketentuan Pasal 66 yang berbunyi sebagai berikut; Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesiers S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijk S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
Mencermati ketentuan Pasal 66 tersebut di atas ternyata hukum adat dan hukum kebiasaan tidak diatur, sehingga hukum adat dan hukum kebiasaan tetap berpeluang untuk berlaku. Artinya hukum perkawinan adat di seluruh Indonesia tak terkecuali di Bali masih tetap berlaku sepanjang masih dikehendaki oleh masyarakat adat yang bersangkutan.
Perkawinan adalah salah satu fase dari beberapa fase dalam kehidupan manusia. Fase ini yang dilalui oleh setiap individu dalam hidup dan menjalani kehidupan dalam masyarakat. Undang-Undang Perkawinan mengatur pengertian perkawinan pada Pasal 1 yang berbunyi sebagai berikut; perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Secara umum, perkawinan itu mengandung makna yang sangat luas karena menyangkut suatu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita; sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.
Mencermati pengertian perkawinan sebagaimana tersebut di atas ternyata tidak ada yang menyinggung masalah perbedaan derajat, wangsa, dan kelas dalam perkawinan. Secara normative sudah ditentukan atau diatur tentang asas kesetaraan gender akan tetapi dalam empiriknya tidak sepenuhnya demikian. Kesetaraan gender dimaksud diatur dalam ketentuan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional (selanjutnya disingkat Inpres No. 9 Th. 2000). Pada angka 3 bagian umum ditentukan bahwa kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, social budaya, pertahanan dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Sehubungan dengan itu maka jelas tidak dibenarkan adanya diskriminasi dalam kehidupan manusia termasuk dalam perkawinan pada era kekinian.
Pada masyarakat adat Bali Hindu dikenal macam-macam cara dan bentuk perkawinan yang masih kuat dipertahankan hingga kini, bentuk dan cara-cara perkawinan yang sangat menentukan kedudukan suami istri dan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu di dalam keluarga dan pewarisan. Bentuk perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Bali Hindu adalah kawin jujur, dimana dengan pembayaran jujur oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan, kemudian si perempuan akan mengikuti si suami dan menjadi anggota keluarga suaminya dan anak-anak yang lahir dari perkawinan ini mengikuti garis ayah. Berbeda dengan perkawinan nyentana/nyeburin, dimana jujur dibayar oleh pihak perempuan kepada laki-laki, pada perkawinan ini konsekuensinya si suami lah yang mengikuti si istri dan menjadi anggota keluarga istrinya dan anak-anak yang lahir mengikuti garis ibu. Perlu diketahui bahwa tidak semua daerah di Bali yang mengenal perkawinan nyentana tersebut. Perkawinan itu ditempuh karena dalam keluarga batih hanya mempunyai anak perempuan. Selain bentuk dari perkawinan dikenal juga cara-cara perkawinan. Perkawinan dapat dilakukan dengan tiga cara perkawinan yaitu dengan cara meminang (memadik), lari bersama atau belarian (ngerorod) dan membawa lari atau kawin paksa (melegandang). Perkawinan dengan cara paksa sudah ditinggalkan oleh masyarakat adat Bali di jaman sekarang, di samping tidak sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Perkawinan, pandangan masyarakat juga sudah mengalami perubahan sehingga paradigm terhadap kawin paksa tersebut tidak mendapat ruang untuk hidup. Sesuai dengan focus kajian pada penelitian ini yakni perkawinan beda wangsa, maka perlu diawali dengan mengemukakan tentang pengertian perkawinan beda wangsa tersebut. Perkawinan beda wangsa adalah suatu perkawinan yang terjadi karena ada perbedaan wangsa antara mempelai laki-laki dan mempelai perempuan. Perkawinan beda wangsa ini dapat dilakukan dengan cara meminang maupun kawin lari. Pada masyarakat Bali Hindu perkawinan beda wangsa ada dua jenis yaitu beda wangsa dimana mempelai laki-laki dari golongan tri wangsa kawin dengan perempuan golongan jaba wangsa. Pada cara ini tidak terjadi keguncangan dalam masyarakat, bahkan terhadap perempuan yang kawin tersebut mendapat sebutan baru yakni jro yang identik dengan nama-nama bunga yang mempunyai bau harum, seperti jro sandat, jro cempaka, jro jempiring dan lain-lainnya, akan tetapi sebaliknya mana kala perkawinan dilakukan oleh laki-laki golongan jaba wangsa dengan perempuan dari golongan tri wangsa ini dapat menimbulkan keguncangan dalam masyarakat, terhadap perempuan yang bersangkutan dikenakan sanksi berupa peturunan wangsa dengan suatu upacara yaitu pati wangi. Maksud upacara tersebut menghilangkan bau harum
perempuan tri wangsa yang kawin dengan laki-laki jaba wangsa. Perkawinan beda wangsa juga masih dipertahankan oleh beberapa orang Bali yang sudah lama tidak menetap di Bali, seperti diuraikan oleh Leni Yanti, contoh orang Bali di Lampung7. Faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah factor intern yang meliputi: a. cara berpikir yakni mereka berhak menentukan sendiri nasib dan masa depannya dengan pilihannya, b. pendidikan artinya dengan pendidikan yang tinggi akan mudah melakukan pergerakan dan, c. kedua belah pihak saling mencintai artinya kalau orang sudah saling mencintai maka mereka rela melakukan apa saja. Sementara faktor ekstern yakni: a. adanya pengaruh lingkungan maksudnya faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter, b. kepribadian dan cara berpikir dan pandangan seseorang mengenai kasta, keterbukaan masyarakat adalah lebih memudahkan untuk menerima perubahan dan, c. adanya perkembangan jaman atau modernisasi artinya factor ini mendorong terjadinya perubahan di segala bidang8.
Perkawinan beda wangsa sangat menakutkan dan terkesan angker. Di masa lampau terhadap laki-laki jaba wangsa tersebut dapat dijatuhi sanksi yang sangat berat dan mengerikan dan bahkan di luar perikemanusiaan yakni berupa hukuman labuh gni atau labuh watu (hukuman mati) yang dilakukan dengan cara mengikat pemberat pada pengantin dan ditenggelamkan di laut, ada juga di selong (dibuang sampai ke luar Bali). Demikian beratnya hukuman bagi laki-laki jaba wangsa yang berani kawin dengan perempuan tri wamgsa, akan tetapi setelah jaman kemerdekaan larangan perkawinan beda wangsa sudah dicabut berdasarkan Keputusan DPRD Bali No. 11 Tahun 1951. Kendati larangan perkawinan beda wangsa sudah dicabut secara yuridis formal tetapi dalam empirisnya atau realitanya masih ada beberapa warga masyarakat yang mempertahankannya, terkait itu Lestari Dewi menguraikan tentang dinamika perkawinan nyerod di Bali 9 . Maksudnya dalam perkawinan nyerod mengalami perubahan sehingga merupakan dinamika, artinya tidak lagi dipertahankan secara utuh melainkan ada perubahan dalam hal-hal tertentu. Misalnya kalau di jaman lampau orang yang kawin nyerod tidak diperbolehkan pulang ke rumah orang tuanya atau ke rumah bajang (gadis), bahkan perubahan bahasa juga sangat tajam seolah-olah tidak ada hubungan darah antara anak dengan orang tuanya. Hal tersebut di jaman sekarang tidak begitu nampak karena orang-orang sudah kebanyakan memakai bahasa Indonesia dalam berkomunikasi, lebih-lebih kalau sang laki-laki bukan orang Bali dan bahkan juga bukan Warga Negara Indonesia. Disebut perkawinan nyerod dikarenakan adanya pandangan bahwa perempuan yang kawin mempunyai wangsa yang lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan laki-laki yang menjadi suaminya. Dalam perkawinan nyerod ini, anak-anak yang lahir mengikuti garis ayahnya sesuai dengan ciri khas perkawinan pada masyarakat patrilineal yakni adanya pembayaran jujur dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Dengan adanya jujur maka perempuan tri wangsa mengikuti laki-laki jaba wangsa dan masuk menjadi anggota keluarga suaminya. Akibatnya anak-anak yang lahir dari perkawinan nyerod akan mengikut wangsa ayahnya, yang di Bali disebut system keperusa (kebapaan/patriarchaat). Justru yang menjadi masalah yang lebih perlu dipahami oleh
masyarakat Bali yakni mana kala terjadi perceraian, kemana tempat yang dituju oleh perempuan yang sudah diturunkan wangsa tersebut.
Makna adalah arti atau maksud10 . Makna atau arti dari perkawinan beda wangsa adalah adanya pandangan bahwa wangsa golongan tri wangsa lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan derajat golongan jaba wangsa. Pandangan yang demikian di jaman kemerdekaan dipandang tidak cocok dan tidak relevan dengan keadaan jaman sehingga dikeluarkan Keputusan DPRD Bali tersebut. Terlebih dengan dikeluarkannya Undang-Undang Hak Asasi Manusia yakni Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan setelah jaman reformasi yakni keluarnya Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 9 Tahun 2000 tentang Pengharusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional. Dengan adanya Undang-Undang HAM dan instruksi tersebut jelas intinya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hal segala hal kehidupan tak terkecuali dalam perkawinan. Dengan demikian maka tepat pendapat Putu Sudarma bahwa perkawinan antar wangsa telah menimbulkan bias gender. Sejumlah individu dari golongan tri wangsa cenderung masih terkungkung dengan tradisi lama yang terlalu menonjolkan status berdasarkan struktur wangsa yaitu menempatkan posisi individu dalam masyarakat berdasarkan genealogis bukan berdasarkan fungsinya masing-masing11.
Berbicara tentang budaya hukum, tidak lain berbicara tentang pandangan, sikap, dan perilaku sekelompok orang-orang terhadap hukum yang berlaku. Oleh karena itu dipandang perlu mengemukakan tentang batasan dari budaya hukum tersebut. Lawrence M. Friedman dalam Achmad Ali, mengemukakan kultur hukum adalah suasana pikiran social dan kekuatan social yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau disalahgunakan12 . Daniel S. Lev dalam Zainab Ompu Jainah menguraikan budaya hukum itu adalah nilai hukum procedural dan nilai hukum substantive, titik berat tentang budaya hukum adalah terhadap nilai-nilai yang berhubungan hukum dan proses hukum 13 . Hilman Hadikusuma
mengemukakan, budaya hukum adalah menunjukkan tentang pola perilaku individu sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan tanggapan (orientasi) yang sama terhadap kehidupan hukum yang dihayati masyarakat bersangkutan14 . Begawan hukum Satjipto Rahardjo dalam Derita Prati Rahayu mengemukakan bahwa budaya hukum adalah sebagai landasan bagi dijalankannya atau tidak suatu hukum positif di dalam masyarakat karena pelaksanaan hukum positif banyak ditentukan oleh sikap, pandangan serta nilai yang dihayati15. Any Ismayawati menguraikan bahwa budaya
hukum itu sebagai suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan, berikut sikap-sikap dan nilai-nilai yang memberikan pengaruh positif maupun negative kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum16. Terkait budaya hukum, Zainab Ompu Jainah juga mengemukakannya bahwa budaya hukum adalah jaringan nilai-nilai dan sikap yang berhubungan dengan hukum, sehingga menentukan kapan dan mengapa, atau orang berpaling kepada hukum, atau kepada pemerintah, atau meninggalkannya sama sekali17 . Sehubungan dengan budaya hukum yang telah diuraikan di atas adalah terdapat pada semua lapangan kehidupan yaitu politik, social- budaya, hukum dan lain sebagainya.
Dalam kaitan budaya hukum masyarakat terhadap eksistensi perkawinan beda wangsa disajikan hasil penelitian sebagai berikut; dari beberapa responden yang diwawancarai didapat jawaban yang sangat variatif. Untuk perkawinan beda wangsa dilakukan dengan cara meminang (memadik) dan lari bersama (ngerorod) terdapat perbedaan. Untuk perkawinan beda wangsa yang dilakukan dengan cara meminang, para pihak tidak mempermasalahkan adanya perbedaan wangsa tersebut dan perbedaan itu dipandang sebagai suatu yang wajar terutama orang tua dari kedua belah pihak karena sangat memahami situasi di jaman sekarang begitu berbeda dibandingkan dengan jaman dahulu. Artinya pada cara ini adanya persetujuan dari kedua orang tua ke dua belah pihak. Di samping itu para orang tua sudah memahami tentang adanya peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada cara perkawinan seperti ini tidak dilakukan upacara patiwangi dan perubahan bahasa dari anak terhadap orang tuanya. Patiwangi artinya upacara penurunan wangsa bagi si perempuan. Maksudnya menghilangkan bau harum si perempuan agar sama dengan si laki-laki yang dimaksud. Maknanya adalah upacara penurunan wangsa si perempuan agar sama atau sederajat dengan wangsanya si laki-laki (wawancara dengan I G. Ayu D.). Pada perkawinan beda wangsa dengan cara lari bersama, dimana perkawinan dilakukan tidak ada persetujuan dari salah satu pihak orang tua yaitu keluarga pihak si gadis. Terhadap cara perkawinan ini, beberapa responden dilakukan upacara patiwangi, bahkan ada seorang responden menuturkan bahwa dia “dibuang” ke laut (wawancara dengan I Dw. Ayu N.) . Makna dibuang hanya simbolis, realitanya tidaklah demikian. Pada perkawinan dengan cara meminang, tidak terjadi perubahan bahasa, sebaliknya pada perkawinan dengan cara lari bersama terjadi perubahan bahasa sehari-hari misalnya tidak lagi memanggil ayah dan ibunya dengan sebutan aji (ayah) dan biang (ibu) dan lain-lainnya. Jadi ada diskriminasi verbal terhadap anak kandungnya. Ironisnya hal ini hanya berlaku terhadap perempuan yang kawin dengan laki-laki jaba wangsa, sementara hal yang sama tidak berlaku terhadap anak perempuan yang kawin dengan laki-laki dari agama lain, suku lain, dan Warga Negara Asing. Terhadap perlakuan demikian jelas mencerminkan diskriminasi gender.
Kondisi tersebut di atas sangat relevan dikaji dari teori Sistem Hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman, dimana hukum terdiri dari tiga komponen; struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum18. Kondisi tersebut juga relevan
dikaji dengan teori Semi-Aoutonomus. Teori Semi-Aoutonomus (Sosial Field Theory) dikemukakan oleh Sally Falk Moor, bahwa setiap kelompok social (social field) mempunyai kapasitas dalam menciptakan mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self regulation) dengan disertai kekuatan-kekuatan yang memaksa. Bidang yang kecil dan untuk sebagian otonomi itu dapat menghasilkan aturan-aturan dan adat istiadat serta simbol-simbol yang berasal dari dalam. Di lain pihak, bidang tersebut juga rentan terhadap aturan-aturan, keputusan-keputusan dan kekuatan-kekuatan lain yang berasal dari luar yang mengelilinginya19. Inti teori ini adanya peraturan hukum antara hukum nasional dengan hukum yang hidup (the living law) di masyarakat.
Budaya hukum masyarakat adat, lebih mentaati dan menghormati hukum adat dari pada hukum nasional dalam perkawinan beda wangsa terutama perkawinan yang dilakukan dengan cara lari bersama. Artinya dimana beberapa individu dalam masyarakat masih mentaati aturan hukum adat di masa lampau yang melarang adanya perkawinan beda wangsa tersebut. Dimana larangan perkawinan beda wangsa tersebut secara yuridis formal sudah dicabut melalui Keputusan DPRD Bali No. 11 Tahun 1951. Ini mencerminkan bahwa hukum adat masih kuat mengikat pola pikir segelintir orang dan sebaliknya hukum Negara atau hukum nasional dalam posisi yang lemah. Selain berdasarkan teori system hukum, budaya hukum masyarakat yang masih mentaati aturan adat dalam hal perkawinan beda wangsa, jelas menunjukkan perilaku yang menghindari aturan hukum Negara yang berlaku. Dikaji dari perspektif gender, budaya hukum masyarakat yang masih mempertahankan larangan perkawinan beda wangsa mencerminkan diskriminasi gender terhadap laki-laki jaba wangsa dalam masyarakat adat Bali. Hal tersebut sangat tidak sejalan dengan tujuan dan jiwa dari Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasioanl (PUG). Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan Muhtarom, bahwa dari keseluruhan dinamika system hukum tampak dalam seluruh respon yang mengintervensi, baik berupa permintaan maupun tuntutan dari masyarakat. Dibalik tuntutan atau permintaan dari masyarakat tersebut, selain kepentingan terlihat juga faktor- faktor lain seperti nilai-nilai, ide, sikap, keyakinan, harapan-harapan, motif dan pendapat mengenai hukum20.
Secara keseluruhan hasil penelitian menujukan bahwa sebagian besar responden (individu) dalam masyarakat tidak mempertahankan secara utuh larangan perkawinan beda wangsa tersebut; a. karena adanya perkembangan jaman, b. kemajuan di bidang pendidikan, teknologi informasi yang mengubah pola pikir sebagian warga masyarakat adat dan, c. tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sebagian kecil responden (individu) dalam masyarakat masih ada yang mempertahankan larangan perkawinan beda wangsa dikarenakan adanya beberapa hal yaitu; a. ingin mempertahankan eksistensi atau keberadaan kewangsaannya yang berpandangan bahwa golongan tri wangsa atau juga disebut darah biru berada pada posisi yang lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan golongan jaba wangsa, b. masih kuat menjunjung tinggi hukum adat Bali yang sudah usang bahkan sudah mati dengan adanya Keputusan DPRD Bali No. 11 Tahun 1951 dan, c. kurangnya pengetahuan dan
pemahaman tentang hukum yang berlaku. Hal tersebut selaras dengan pendapat Didik Sukriono bahwa budaya hukum masyarakat merupakan barometer utama dalam proses penegakan hukum21. Hal yang tidak jauh berbeda juga dikemukakan oleh Jamiat Akadol bahwa budaya hukum birokrasi sebagai faktor utama yang menyebabkan perilaku birokrasi yang buruk22. Sehubungan dengan budaya hukum tersebut maka budaya hukum itu dapat terjadi dalam beberapa aspek kehidupan seperti yang sudah diuraikan di atas.
Budaya hukum masyarakat adat Bali terkait perkawinan beda wangsa sebagaimana sudah disebut di atas yang menjadi fokus kajian, dimana sebagian besar warga masyarakat adat Bali sudah meninggalkan tradisi lama tersebut dengan alasan yang sangat bervariatif seperti larangan perkawinan beda wangsa tersebut sudah dicabut berdasarkan Keputusan DPRD Bali No. 11 Tahun 1951, adanya perkembangan jaman, majunya tingkat pendidikan masyarakat, kemajuan di bidang teknologi dan paham akan hukum yang berlaku, akan tetapi sebaliknya masih ada sebagian kecil atau beberapa warga masyarakat yang masih mentaati larangan tersebut dalam hal tertentu seperti masih ada yang melakukan upacara pati wangi.
-
4. Kesimpulan
Perkawinan beda wangsa adalah sebuah perkawinan yang dalam kajian ini dilakukan oleh perempuan tri wangsa dengan laki-laki jaba wangsa. Pada perkawinan ini golongan perempuan tri wangsa dimaknai mempunyai posisi atau derajat yang lebih tinggi dibandingkan dengan derajat laki-laki dari golongan jaba wangsa. Sehingga terhadap laki-laki jaba wangsa tersebut patut dijatuhi sanksi atau hukuman yang berat karena dapat menimbulkan keguncangan dalam masyarakat.
Budaya hukum masyarakat adat Bali Hindu terhadap eksistensi perkawinan beda wangsa ada dua versi yaitu perkawinan beda wangsa yang dilakukan dengan cara meminang dan lari bersama. Dalam hal perkawinan dilakukan dengan cara meminang, tidak ada upacara penurunan wangsa, istilah dibuang dan, perubahan bahasa sebaliknya hal itu tidak berlaku mana kala perkawinan dilakukan dengan cara lari bersama. Jadi sebagian besar informan dan responden serta warga masyarakat adat Bali tidak mempertahankan secara utuh larangan perkawinan beda wangsa tersebut. Hal mana terjadi karena memang secara yuridis formal sudah dicabut berdasarkan Keputusan DPRD Bali No. 11 Tahun 1951, juga adanya perkembangan jaman, kemajuan di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi informasi sehingga dapat mengubah pola pikir dari sebagian warga masyarakat adat Bali dan tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, sebaliknya sebagian kecil masih mentaati larangan tersebut hanya dalam hal tertentu contohnya masih ada melakukan upacara pati wangi .
Ucapan Terima Kasih
Terima Kasih kami haturkan karena penelitian ini telah dibiayai oleh Fakultas Hukum Universitas Udayana dan semoga penelitian semacam ini terus berkesinambungan.
Daftar Pustaka
Buku
Ali, A. (2001). Keterpurukan Hukum di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Budiana, I. N. (2009). Perkawinan Beda Wangsa Dalam Masyarakat Bali, Yogyakarta: Graha Ilmu.
Departemen Pendidikan Nasional, (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Fajar, M., & Achmad, Y. (2010). Dualisme penelitian hukum normatif dan
empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hadikusuma, H. (1986). Antropologi Hukum Indonesia, Bandung: Alumni.
Moore, S. F. (2001). Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sosial Semi-Otonom Sebagai Suatu Topik Studi Yang Tepat, dalam Antroplogi Hukum Sebuah Bunga Rampai, editor T. O. Ihromi, Jakarta: Yayasan Obor.
Rahayu, D.P. (2014). Budaya Hukum Pancasila, Yogyakarta: Thafa Media.
Jurnal
Akadol, J. (2018). Budaya Hukum sebagai Faktor Pendorong Terwujudnya Reformasi Birokrasi Daerah di Indonesia.Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 7(1), 12-23. https://doi.org/10.24843/JMHU.2018.v07.i01.p02
Budawati, N. N. (2016). Sejarah Hukum Kedudukan Perempuan dalam Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali (Kaitannya dengan Perkawinan Nyentana Beda Wangsa). Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 5(2), 301320. https://doi.org/10.24843/JMHU.2016.v05.i02.p07
Dewi, L. (2013). Dinamika Perkawinan Nyerod di Bali, Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undksha, 1(6).
Jainah, Z. O. (2011). Membangun Budaya Hukum Masyarakat Penegak Hukum dalam Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika. Keadilan Progresif, 2(2). 123-136
Ismayawati, A. (2011). Pengaruh Budaya Hukum Terhadap Pembangunan Hukum Di Indonesia (Kritik Terhadap Lemahnya Budaya Hukum di Indonesia). Pranata Hukum, 6(1).
Muhtarom, M. M. M. (2015). Pengaruh Budaya Hukum Terhadap Kepatuhan Hukum Dalam Masyarakat.Suhuf, 27(2), 121-144.
Sudantra, I. K. (2007). Asupundung dan Alangkahi Karang Hulu: Ketidakadilan Gender dalam Sistem Wangsa. Srikandi, Jurnal Studi Gender. VII(2).
Sudarma, I. P. (2015). Bias Gender dalam Perkawinan Beda Wangsa pada Masyarakat Hindu di Bali. Harmoni, 14(3), 158-165.
Sukriono, D. (2014). Penguatan Budaya Hukum Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik Sebagai Upaya Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum. 1(2). 228-247.
Purnomo, I. M. D., Natajaya, I. N., Sudiatmaka, I. K. (2014). Pelaksanaan Perkawinan Beda Kasta di Banjar Dauhwaru, Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana, Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, 2 (1).
Yanti, K. L., Arif, S., & Imron, A. (2014). Perkawinan Beda Kasta Pada Masyarakat Balinuraga Di Lampung Selatan. Pesagi (Jurnal Pendidikan dan Penelitian Sejarah),2(2).
Widetya,A.B.C. (2015). Akibat Hukum Perceraian Terhadap Kedudukan Perempuan Dari Perkawinan Nyerod Beda Kasta Menurut Hukum Kekerabatan Adat Bali, Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum.
Perundang-undangan
……., (2004). Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam Himpunan Peraturan Perundang-undangan, Perkawinan, Yogyakarta: Lintang Pustaka.
……., (2009). Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional, dalam Himpunan Pearturan Perundang-Undangan, Bandung: Fokusmedia.
528
Discussion and feedback