KEBERADAAN REGULASI DESAIN INDUSTRI BERKAITAN DENGAN PERLINDUNGAN HUKUM ATAS KARYA DESAIN DI BALI
on
KEBERADAAN REGULASI DESAIN INDUSTRI BERKAITAN DENGAN PERLINDUNGAN HUKUM ATAS KARYA DESAIN DI BALI
Oleh :
NI KETUT SUPASTI DHARMAWAN, NYOMAN MAS ARYANI
( Bagian Hukum Keperdataan )
ABSTRACT
Effectiveness of Industrial Design registration provision based on Act No. 31, 2000 concerning Industrial Design in Bali has not been fully enforced. It was caused by some factors such as: lack of understanding of Industrial Design in societies and some of them do not know the existence of this regulation which regulate the first file system, some societies who has not developed the need to have laws on Industrial Design as well as the presence of communal cultures of the Indonesian people, which is completely different from the basic concept of individual right protection of IPR, which based on legal cultures of west countries have contributed to the difficulties in fully implementing IPR. The other factors caused by lack of awareness Industrial Design protection both the substance and the existence of this provision among law enforcers and the inadequate infrastructure required to administer IPR.. The concept protection of Industrial Design protect designer / owner or recipient of the right who register their right based on first to file system. Through this system the designer would have an exclusive rights in the form of economic and moral right. The legal consequence of the inefficiency in enforcing article 10 jo article 12 of the Act No. 31 of 2000 concerning Industrial Design , which regulate first to file, might result in the failure of the designer to secure their right over their designs, whereas the legal protection shall be go to the person who registers and have evident in form of certificate registration.
Key words : The provision of Industrial Design, law enforcement of Industrial Design, legal protection of Industrial Design, the legal conscience of first to file system.
ABSTRAK
Menurut TRIPs Agreement, Konvensi Internasional di bidang HKI yang diikuti oleh beberapa negara termasuk Indonsia, menentukan bahwa setiap anggota wajib mentaati Agreement tersebut. Di Indonesia melalui Undang-Undang No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri mengatur bahwa perlindungan hukum hak atas karya desain industri diberikan berdasarkan sistem pendaftaran pertama ( first to file system ) atas karya desain yang baru. Ketentuan hukum ini wajib ditegakkan segera setelah diundangkan. Dalam prakteknya termasuk di Bali masih banyak karya-karya desain yang dihasilkan tidak didaftarkan oleh pemiliknya sesuai dengan ketentuan UU No. 31 tahun 2000, dan bahkan banyak karya-karya tersebut diperbanyak tanpa ijin pemiliknya oleh pihak yang tidak berhak. Untuk mengetahui efektifitas pelaksanaan ketentuan Desain Industri berkaitan dengan perlindungan hukum atas karya desain di Bali serta akibat hukum dari tidak didaftarkannya hasil karya desain oleh pendesainnya, maka penelitian ini penting untuk dilakukan.
Penelitian ini adalah jenis penelitian hukum dengan aspek empiris. Data yang diteliti meliputi data sekunder yang bersumber dari penelitian kepustakaan dengan meneliti bahan-bahan hukum seperti : U.U. No. 31 Tahun 2000 dan TRIPS Agreement, serta data primer yang bersumber dari penelitian lapangan yang berlokasi di Kabupaten Gianyar, Badung dan Denpasar. Sampel penelitian diperoleh menggunan metode Non Probability Sampling dan analisa data dengan analisa kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan ketentuan Undang-Undang desain Industri No. 31 tahun 2000 di Bali masih belum efektif dan belum diterapkan secara maksimal. Kurang efektifnya pelaksanaan regulasi dibidang Desain Industri disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : kurangnya pemahaman para pendesain tentang
keberadaan peraturan ini dan bahkan banyak diantara mereka yang tidak mengetahui sistem pendaftaran first to file yang dianut oleh Undang-Undang Desain Industri, sebagian diantara masyarakat pendesain yang mengetahui tentang peraturan ini tapi merasa belum membutuhkan, Budaya hukum masyarakat Indonesia yang bersifat komunal berbeda dengan sistem yang melandasai perlindungan HKI yang berakar dari budaya hukum negara-negara barat yang menganut konsep perlindungan hukum individual right cendrung menyulitkan penegakan hukum HKI dalam praktek, kurangnya pemahaman para penegak hukum tentang substansi dan keberadaan ketentuan hukum Desain Industri, serta kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan Undang-Undang Desain Industri,
Desain Industri yang termasuk dalam kelompok Industrial Right menganut sistem perlindungan fist to file yaitu memberi perlindungan ekslusif berkaitan dengan hak moral dan hak ekonomi pada pendaftar pertama. Konsekuensi yuridis dari tidak efektifnya ketentuan pasal 10 jo pasal 12 Undang-Undang No. 31 tahun 2000 Tentang Desain Industri yang mengatur prihal pendaftaran hak ( first to file ) yaitu tidak dilakukannya pendaftaran hak atas karya desain industri oleh pendesainnya berakibat pendesain tidak mendapat perlindungan hukum dan secara yuridis tidak berhak atas karya desainnya. Perlindungan hukum akan berada pada pihak yang melakukan pendaftaran atas karya tersebut dan memiliki bukti sertifikat pendaftaran.
Kata Kunci : Ketentuan Hukum Desain Industri, Efektifitas penegakan Hukum Desain Industri, Sistem perlindungan Desain Industri, Akibat hukum sistem perlindungan First to File.
Indonesia sebagai salah satu anggota WTO (World Trade Organization) yang didalamnya menyangkut TRIPs Agreement, wajib mengharmoniskan sistem hukum HKI-nya dengan mematuhi standar-standar international sesuai TRIPs. Salah satu kewajiban dalam TRIPs Agreement adalah Indonesia harus memiliki peraturan dan ketentuan hukum yang dapat melindungi karya-karya di bidang Desain Industri. Dengan ikut sertanya Indonesia menandatangani perjanjian TRIPS Agreement, itu berarti Indonesia wajib mentaati kewajiban-kewajiban dalam perjanjian tersebut. Salah satu kewajiban yang dipersyaratkan adalah seluruh negara anggota termasuk Indonesia wajib melaksanakan penegakan hukum HKI ( IPR Law Enforcement ), termasuk didalamnya dalam bidang Desain Industri yang merupakan salah satu jenis dari HKI.
Menurut Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri mengatur bahwa perlindungan hukum hak atas karya desain industri diberikan berdasarkan sistem pendaftaran pertama ( first to file system ) atas karya desain yang baru. Ketentuan hukum ini wajib ditegakkan segera setelah diundangkan. Dalam prakteknya termasuk di Bali masih banyak karya-karya desain yang dihasilkan tidak didaftarkan oleh pemiliknya sesuai dengan ketentuan UU No. 31 tahun 2000, dan bahkan banyak karya-karya tersebut
diperbanyak tanpa ijin pemiliknya oleh pihak yang tidak berhak. Untuk mengetahui apakah ketentuan perundang-undangan tersebut sudah diterapkan dalam praktek, bagaimana efektifitas pelaksanaan ketentuan Desain Industri berkaitan dengan perlindungan hukum atas karya desain di Bali, serta akibat hukum dari tidak didaftarkannya hasil karya desain oleh pendesain yang menghasilkan karya desain industri seperti berbagai bentuk souvenir seperti gantungan kunci, gelang perak, dan hasil karya desian lainnya, maka penelitian ini penting untuk dilakukan di Bali mengingat Bali adalah salah satu daerah yang sangat potensial menghasilkan karya-karya desain terutama karya desain industri yang berkaitan dengan kegiatan pariwisata.
II PEMBAHASAN :
1. Tinjauan Umum Perlindungan Desain Industri dan Dasar Hukum Pengaturannya
Perlindungan hukum Desain Industri secara internasional selain diatur dalam TRIPs Agreement juga diatur dalam berbagai Konvensi seperti :The Hague Agreement dan Paris Convention for the Protection of Industrial Property. Paris Convention / Konvensi Paris telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 24 tahun 1979, kemudian dilakukan perubahan melalui Keputusan Presiden Nomor 15 tahun 1997 tentang pengesahan Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Conventions
Establishing The World Intellectual Property Organization. Sesuai Paris Convention, Desain Industri termasuk dalam lingkup Hak Milik Industri.
Konvensi Paris menentukan bahwa : The protection of industrial property has as its object patents, utility models, industrial designs, trademarks, service marks, trade names, indications of source or appellations of origin, and the repression of unfair competition. (Article 1 ( 2 ) Paris Convention for the Protection of Industrial Property )
Di Indonesia Desain Industri diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri. Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 2000, Desain Industri merupakan suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan dari padanya yang berbentuk tiga dimensi, atau dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi, atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.
Suatu karya intelektual agar mendapat perlindungan hukum Desain Industri ciri-cirinya adalah: harus berupa kreasi tentang bentuk, berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi, mempunyai nilai estetis, dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi dan mampu menghasilkan produk atau komoditas industri atau kerajinan tangan. Selain itu karya Desain Industri tersebut harus baru. Desain Industri dianggap baru apabila pada tanggal penerimaan dalam proses pendaftaran, Desain Industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya.
Perlindungan Desain Industri diperoleh melalui sistem pendaftaran, dalam hal ini berarti Pendesain yaitu seorang atau beberapa orang yang menghasilkan karya Desain Industri baru akan memperoleh perlindungan hukum atas karyanya atau akan memperoleh Hak Desain Industri bila pihaknya telah mendaftarkan karya desainnya tersebut pada Direktorat Jenderal Hak kekayaan Intelektual. Jadi yang menjadi obyek / lingkup Desain Industri adalah hasil karya intelektual yang berupa kreasi tentang bentuk, berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi, mempunyai nilai estetis, dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi dan mampu menghasilkan produk atau komoditas industri atau kerajinan tangan. Sedangkan subyek dari Desain
Industri adalah Pendesain atau Pihak lain yang menerima Hak Desain dari Pendesain.
Dalam proses pendaftaran Desain Industri, pendaftaran disertai dengan proses pemeriksaan oleh pemeriksa dari Direktorat Jenderal, proses tersebut sama dengan Paten. Sedangkan dalam Hak Cipta pendaftaran tidak disertai proses pemeriksaan. Lebih lanjut dalam penjelasan umum Undang-Undang Desain Industri dikemukakan bahwa dalam pemeriksaan permohonan hak atas Desain Industri dianut asas kebaruan dan pengajuan pendaftaran pertama. Asas kebaruan dalam Desain Industri dibedakan dari Asas Orisinal dalam Hak Cipta. Pengertian Baru atau “Kebaruan” ditetapkan dengan suatu pendaftaran pertama diajukan dan pada saat pendaftaran itu diajukan, tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan bahwa pendaftaran tersebut tidak baru atau telah ada pengungkapan/ publikasi sebelumnya, baik tertulis maupun tidak tertulis. Sedangkan “Orisinal” dalam Hak Cipta berarti sesuatu yang langsung berasal dari sumber asal orang yang membuat atau mencipta atau suatu yang langsung dikemukakan oleh orang dapat membuktikan sumber aslinya.
Asas pendaftaran pertama dalam Desain Industri ( First to file ) berarti bahwa orang yang pertama mengajukan permohonan atas Desain Industri yang akan mendapat perlindungan hukum dan bukan orang yang mendesain pertama kali.
Desain Industri sering bersinggungan dengan bidang HaKI lainnya, seperti misalnya dengan Paten dan Hak Cipta, namun demikian tetap dapat dibedakan. Misalnya dapat dibedakan dengan Paten yang penekanan perlindungannya pada aspek fungsi atau pemecahan masalah di bidang teknologi, sementara itu Desain Industri melihatnya dari kreasi tentang bentuk ( appearance ).
Elemen-elemen Desain Industri juga sering bersinggungan dengan elemen-elemen dalam karya Hak Cipta , terutama dengan lingkup Hak Cipta dalam Pasal 12 huruf f yaitu obyek Hak Cipta yang berupa seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan.. Elemen Seni ukir, seni pahat dan seni patung dalam Hak Cipta sering bersinggungan dan over laving dengan elemen Desain Industri terutuma dalam karya Desain Industri yang berupa Kerajinan Tangan. Meskipun elemen-elemen antara karya Desain Industri
mungkin saja bersinggungan dengan elemen-elemen karya Hak Cipta, namun sebagaimana telah dikemukakan tetap dapat dibedakan antara keduanya. Hak Cipta obyek perlindungannya lebih pada karya tentang seni, sedangkan Desain Industri penekanannya pada karya tentang bentuk ( appearance ) yang mempunyai nilai estetika, dan dibuat untuk menghasilkan komoditas industri / mass production ( NK Supasti Dharmawan, Perlindungan Hukum Atas Karya Intelektual Hak Cipta dan Desain Industri, Makalah Seminar HAKI , Denpasar, 2003, hal 5.)
Persyaratan yang sangat penting dan mendasar bagi sebuah karya masuk dalam konsep Desain Industri terutama jika elemen-elemennya bersinggungan dengan Hak Cipta adalah dilihat dari kemampuannya untuk dapat digunakan membuat produk. Wujud karya dalam hal ini lebih berupa pola atau moulding atau cetakan yang mampu digunakan untuk membuat / memproduksi barang secara berulang-ulang dengan hasil yang sama.. Dalam Desain Industri, kreasi tersebut harus dapat dipakai secara berulang-ulang dengan hasil yang sama. Prinsip ini sesungguhnya menjadi kata kunci yang membedakannya dengan Hak Cipta. (Henry Soelistyo Budi, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Materi Pelatihan HAKI, Surabaya, 2002, hal 29 ).
Jika kreasi itu hanya dibuat untuk satu buah produk dengan penekanan pada unsur seninya maka tidak dapat dikatagorikan sebagai Desain Industri. Contoh sebuah patung yang dibuat hanya satu (satu) buah yang diukir oleh penciptanya dengan segenap ekspresi seni yang sangat mendalam, dalam hal ini patung dibuat dengan cara diukir dimana pembuatnya menuangkan seluruh ekspresi seninya dalam karya tersebut, maka karya patung yang dihasilkannya akan mendapat perlindungan Hak Cipta. Namun kalau karya patung tersebut dibuat secara mass production / produksi masal meskipun tidak dibuat dengan pola/ moulding/ cetakan, maka patung tersebut akan mendapat perlindungan Desain Industri.
Dapat ditegaskan bahwa suatu Desain Industri mendapat perlindungan hukum apabila :
-
a. Terdaftar dalam Daftar Umum Desain Industri pada Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual
-
b. Desain Industri yang diajukan permohonan pendaftarannya itu baru ( new )
-
c. Desain Industri dianggap baru apabila belum pernah diumumkan atau telah pernah digunakan
melalui cara apapun sebelum tanggal penerimaan atau sebelum tanggal prioritas apabila permintaan diajukan dengan prioritas
Desain Industri yang tidak mendapat perlindungan hukum apabila Desain Industri itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum atau kesusilaan. (W. Simandjuntak, Desain Industri Di Indonesia, Makalah Seminar Kerjasama FH UNUD, Klinik HAKI Jakarta, JICA, Denpasar, 2000, h. 5.)
Contoh karya-karya yang mendapat perlindungan Desain Industri misalnya: desain tentang berbagai bentuk furniture seperti meja, kursi, desain pakaian, desain barang kerajinan seperti gantungan kunci, desain kerajinan buah-buahan yang dibuat dari kayu, dan lain sebagainya.
Perlindungan hukum terhadap karya-karya Desain Industri menurut TRIPS Agreement diberikan dalam jangka waktu 10 tahun, dihitung sejak tanggal penerimaan permohonan ( filing date ), jangka waktu ini tidak dapat diperpanjang. Dalam tenggang waktu tersebut pendesain / pemegang hak desain memiliki hak khusus untuk memakai, membuat, menjual, mengekspor dan atau mengedarkan barang yang dihasilkan dari desain industri yang dilindungi, termasuk memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian lisensi.
Dalam Undang-Undang Desain Industri di Indonesia khususnya dalam Pasal 5, juga dapat diketahui jangka waktu perlindungan yang sama dengan TRIPs Agreement yaitu karya Desain Industri mendapat perlindungan selama 10 tahun. dan tidak dapat diperpanjang.
Setelah masa perlindungan Desain Industri habis maka karya Desain Industri akan menjadi Public Domein ( milik masyarakat umum ), artinya siapapun boleh memproduksi dan menggunakan Desain tersebut tanpa harus meminta izin terlebih dahulu dan membayar royalty fee pada pendesainnya.
-
2. Pelaksanaan Ketentuan Desain Industri Berkaitan Dengan Perlindungan Atas Karya Desain Di Bali
Ketentuan Desain Industri di Indonesia masih tergolong relatif baru yaitu Indonesia baru memilikinya setelah penandatanganan TRIPS Agreement.-WTO . Menurut TRIPs Agreement, Konvensi Internasional di
bidang HKI yang diikuti oleh beberapa negara termasuk Indonsia, menentukan bahwa setiap anggota wajib mentaati Agreement tersebut. Di Indonesia melalui Undang-Undang No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri mengatur bahwa perlindungan hukum hak atas karya desain industri diberikan berdasarkan sistem pendaftaran pertama ( first to file system ) atas karya desain yang baru. Berdasarkan ketentuan ini dapat diketahui bahwa para pendesain baru akan mendapat perlindungan hukum atas karya-karyanya di bidang desain industri jika pihaknya melakukan pendaftaran hak ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang berkantor di Tangerang Jakarta. Sebagai bukti telah dilakukannya pendaftaran hak dan telah dipenuhinya baik persyaratan substantif dan persyaratan administrasi maka si pendaftar akan memperoleh Sertifikat Hak Desain Industri. Undang-Undang Desain Industri yang mengatur hal tersebut wajib ditegakkan di seluruh Indonesia segera setelah diundangkan.
Melalui penelitian yang dilakukan dengan pendekatan penelitian hukum dengan aspek empiris ( yuridis empiris ) tentang efektivitas pelaksanaan ketentuan Desain Industri berkaitan dengan perlindungan hukum atas karya desain di Bali, hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan ketentuan Undang-Undang desain Industri No. 31 tahun 2000 di Bali masih belum efektif dan belum diterapkan secara maksimal. Kurang efektifnya pelaksanaan regulasi dibidang Desain Industri disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : kurangnya pemahaman para pendesain tentang keberadaan peraturan ini dan bahkan banyak diantara mereka yang tidak mengetahui sistem pendaftaran first to file yang dianut oleh Undang-Undang Desain Industri, sebagian diantara masyarakat pendesain yang mengetahui tentang peraturan ini tapi merasa belum membutuhkan, Budaya hukum masyarakat Indonesia yang bersifat komunal berbeda dengan sistem yang melandasai perlindungan HKI yang berakar dari budaya hukum negara-negara barat yang menganut konsep perlindungan hukum individual right cendrung menyulitkan penegakan hukum HKI dalam praktek, kurangnya pemahaman para penegak hukum tentang substansi dan keberadaan ketentuan hukum Desain Industri, serta kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan Undang-UndangDesain Industri,
Hasil penelitian tersebut diatas diperoleh dengan meneliti data sekunder yang bersumber dari penelitian
kepustakaan yaitu meneliti bahan-bahan hukum seperti : U.U. No. 31 Tahun 2000 dan TRIPS Agreement, pendapat sarjana, konsep-konsep perlindungan HKI, dokumen serta literatur HKI yang terkait, dan data primer yang bersumber dari penelitian lapangan yang dilakukan di Kabupaten Gianyar, Badung dan Denpasar. Adapun yang dijadikan sampel untuk diteliti dalam penelitian ini adalah : para pendesain yang membuat karya desain industri di daerah Celuk, Ubud, Kuta dan Denpasar, serta para penegak hukum yaitu ; Polisi, Hakim, dan Jaksa yang ditentukan dengan menggunakan metode penarikan sampel Non Probability Sampling dengan tehnik purposive sampling. Tehnik pengambilan data menggunakan tehnik wawancara mendalam dengan menggunakan instrumen pedoman wawancara dan kemudian data diolah dan dianalisa dengan menggunakan analisa deskriftif kualitatif.
Desain Industri yang termasuk dalam kelompok Industrial Right menganut sistem perlindungan fist to file yaitu memberi perlindungan ekslusif berkaitan dengan hak moral dan hak ekonomi pada pendaftar pertama. Arti penting yang mendasari perlunya perlindungan hak moral dan hak ekonomi diberikan kepada pendaftar pertama adalah merupakan pengakuan terhadap karya intelektual seseorang pendesain atas upaya kreatif, waktu, tenaga dan biaya serta resiko yang terkandung pada setiap karya dari kemungkinan adanya penggunaan secara ilegal. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan Robert M. Sherwood, yakni: Reward Theory,Recovery Theory, Incentive Theory, Risk Theory dan Economic Growth Stimulus Theory. (Ranti Fauza Mayana, Perlindungan Desain Industri Di Indonesia, Gramedia, Jakarta,2004, h.44).
Hak atas desain industri tercipta karena pendaftaran dan hak eksklusif atas suatu desain akan diperoleh karena pendaftaran. Pendaftaran adalah mutlak untuk terjadinya suatu hak desain industri. Oleh karena itu sistem pendaftaran yang dianut UU No. 31 Tahun 2000 adalah bersifat konstitutif, yakni sistem yang menyatakan hak itu baru terbit setelah dilakukan pendaftaran yang telah mempunyai kekuatan.Sistem konstitutif lebih menjamin adanya kepastian hukum dan ketentuan yang menjamin keadilan. ( Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual, Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2004, h. 175).
Hak desain industri diberikan atas dasar permohonan, yang diatur dalam Pasal 10 UU No 31 Tahun 2000, dan pihak yang untuk pertama kali mengajukan permohonan dianggap sebagai pemegang hak desain industri, kecuali jika terbukti sebaliknya (Pasal 12 UU No. 31 Tahun 2000)
Konsekuensi yuridis dari tidak efektifnya ketentuan pasal 10 jo pasal 12 Undang-Undang No. 31 tahun 2000 Tentang Desain Industri yang mengatur prihal pendaftaran hak (first to file ) yaitu tidak dilakukannya pendaftaran hak atas karya desain industri oleh pendesainnya berakibat pendesain tidak mendapat perlindungan hukum dan secara yuridis tidak berhak atas karya desainnya. Perlindungan hukum akan berada pada pihak yang melakukan pendaftaran atas karya tersebut dan memiliki bukti sertifikat pendaftaran.
PENUTUP :
Simpulan :
-
1. Ketentuan Undang-undang No 31 tahun 2000, khususnya yang berkaitan dengan pendaftaran hak atas karya desain industri masih belum efektif dilaksanakan di Propinsi Bali. Kurang efektifnya pelaksanaan ketentuan di bidang Desain Industri disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : kurangnya pemahaman para pendesain tentang keberadaan peraturan ini dan bahkan banyak diantara mereka yang tidak mengetahui bahwa sistem perlindungannya menganut sistem pendaftaran first to file, sementara itu ada sebagian masyarakat pendesain yang mengetahui tentang peraturan ini tapi merasa belum membutuhkan, di lain sisi faktor Budaya hukum masyarakat Indonesia yang bersifat komunal berbeda dengan sistem yang melandasai perlindungan HKI yang berakar dari budaya hukum negara-negara barat yang menganut konsep perlindungan hukum individual right, kenyataan ini cendrung menyulitkan penegakan hukum HKI dalam praktek, kurangnya pemahaman para penegak hukum tentang substansi dan keberadaan ketentuan hukum Desain Industri, serta faktor kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan Undang-Undang Desain Industri
-
2. Konsekuensi yuridis dari tidak efektifnya ketentuan pasal 10 jo pasal 12 Undang-Undang No. 31 tahun 2000 Tentang Desaian Industri yang
mengatur perlindungan hukum melalui sistem pendaftaran first to file, yaitu dengan tidak dilakukannya pendaftaran hak atas karya desain industri oleh pendesainnya berakibat pendesain tidak mendapat perlindungan hukum, secara yuridis pendesain menjadi tidak berhak atas karya desainnya. Perlindungan hukum akan berada pada pihak yang melakukan pendaftaran atas karya tersebut dan memiliki bukti sertifikat pendaftaran.
Saran :
-
1. Di masa yang akan datang untuk lebih meningkatkan efektifitas pelaksanaan Undang-Undang Desain Industri serta meningkatkan kualitas penegakan hukum (law enforcement) ketentuan Desain Industri di Bali, diharapkan dapat dilakukan sosialisasi Undang-Undang Desain Industri baik kepada masyarakat pengguna maupun masyarakat pendesain dan penegak hukum secara lebih intensif dan periodik
-
2. Meningkatkan sarana dan prasarana pelaksanaan U.U.desain Industri.
DAFTAR BACAAN
H. OK. Saidin, 2003. Aspek Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Muhamad Djumhana, 1999. Aspek-Aspek Hukum Desain Industri Di Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti.
Henry Soelistyo Budi, 2002. Hak Atas Kekayaan Intelektual, Surabaya : Materi Pelatihan HAKI.
Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, 2004. Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, Bandung : Pustaka Bani Quraisy.
Ranti Fauza Mayana, 2004. Perlindungan Desain Industri Di Indonesia , Jakarta : Gramedia.
W. Simandjuntak, 2000. Desain Industri Di Indonesia, Makalah Seminar Kerjasama FH UNUD, Denpasar : Klinik HAKI Jakarta, JICA.
NK Supasti Dharmawan, 2003. Perlindungan Hukum Atas Karya-Karya Intelektual Di Bidang Hak Cipta Dan Desain Industri, Denpasar Bali : Makalah Seminar HKI.
Kompilasi Undang-Undang Republik Indonesia di Bidang Hak kekayaan Intelektual, JICA dan Ditjen HKI, Jakarta, 2004.
Discussion and feedback