VICTIMISASI KRIMINAL TERHADAP PEREMPUAN

Oleh :

SAGUNG PUTRI M.E PURWANI

( Bagian Hukum Pidana )

ABSTRAK

Kejahatan tidak mungkin ada tanpa adanya pelaku dan korban. Victimologi sebagai bidang ilmu yang lebih menyoroti korban maka victimisasi kriminal terhadap perempuan, akan lebih menyoroti perempuan sebagai korban suatu kejahatan.

Perempuan adalah mahluk yang dianggap mempunyai fisik dan psikis yang lemah sehingga selalu bergantung pada orang lain, dianggap bodoh, dianggap pasti akan kalah jika berhadapan dengan kekuatan dan kekuasaan karena tidak ada yang melindung.

Victimisasi criminal terhadap perempuan akan lebih menyoroti perempuan sebagai korban karena korban juga mempunyai peranan penting untuk mendorong timbulnya atau terjadinya kejahatan, baik disadari atau tidak disadari, victimisasi criminal terhadap perempuan juga terjadi karena sikap dan prilakunya sendiri yang melampaui batas kewajaran seperti berpenampilan terlalu vulgar, memakai perhiasan yang berlebihan dan dianggap mempunyai serta didukung oleh siruasi dan kondisi pada saat kejahatan berlangsung, seperti berada di tempat yang rawan.

Kata kunci : Victimisasi Kriminal, Perempuan, Victimologi.

A. PENDAHULUAN

Setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Apapun model dan bentuk kekerasan yang dilakukan baik itu berupa ancaman kekerasan, penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan adalah merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan.

Walaupun telah diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang “Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga” serta telah pula diratifikasi. Konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita yang termuat dalam. Undang-Undang Republik Indonesia No.7 Tahun 1984, namun dalam kenyataannya kasus kekerasan terhadap perempuan masih tetap banyak terjadi. Diakui bahwa angka tindak kekerasaan terhadap laki-laki jauh lebih tinggi dibandingkan terhadap perempuan, tetapi perlu diingat pula bahwa kedudukan wanita disebagian dunia ini tidak mampu sejajar dengan

laki-laki. Dalam kondisi yang tidak menguntungkan seperti ini, jika dikaitkan dengan tindak kekerasan atau viktimisasi kriminal terhadap perempuan dapat dipahami bahwa kerentaan perempuan secara kodrati (dalam aspek jasmaniah ) membuat rasa takut perempuan terhadap kejahatan (“fear of crime”) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan apa yang dirasakan oleh kaum laki-laki, karena derita yang dialami perempuan baik pada saat kekerasan terjadi maupun setelah terjadinya tindak kekerasan yang pada kenyataannya perempuan jauh lebih traumatis dari pada yang dialami oleh kaum laki-laki seperti: korban kekerasan dalam rumah tangga, korban sebagai akibat perkosaan, korban sebagai akibat poligami maupun sebagai korban kejahatan lainnya. Trauma yang lebih besar ini umumnya terjadi bila kekerasan ini dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai hubungan khusus dengan dirinya, seperti : paman, suami, pacar, teman kencan, dan orang-orang yang berkaitan dengan pekerjaannya seperti, atasan maupun teman sekerjanya, demikian pula dengan orang-orang yang mempunyai kekuatan ataupun kekuasaan. Apapun bentuknya, dilihat dari tindak kekerasan terhadap perempuan mempunyai

dampak yang sangat traumatis bagi perempuan itu sendiri, baik itu dikaitkan maupun tidak dikaitkan dengan kodratnya sebagai perempuan. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah ingin membahas permasalahan viktimisasi kriminal kekerasan terhadap perempuan berkaitan dengan pandangan, pemikiran dalam viktimologi mengapa perempuan selalu menjadi korban kekerasan ?.

A. PEMBAHASAN

  • 1.    Viktimologi

Perlu dijelaskan terlebih dahulu perumusan viktimologi yang akan digunakan untuk membahas masalah kekerasan terhadap perempuan dalam tulisan ini. Viktimologi adalah suatu pengetahuan ilmiah/ studi yang mempelajari suatu viktimisasi (kriminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial (Arif Gosita:2004 ; 38)

Dikaji dari rumusan tersebut suatu ruang lingkup yang menjadi perkataan viktimologi dan juga kriminologi adalah hal-hal yang berkaitan dengan:

  • 1.    Berbagai viktimisasi kriminal atau kriminalitas.

  • 2.    Teori-teori etiologi viktimisasi kriminal.

  • 3.    Para peserta yang terlibat dalam terjadinya suatu viktimisasi kriminal atau kriminalitas seperti para korban, pelaku, pengamat, pembuat Undang-Undang, polisi, jaksa, hakim, pengacara dan sebagainya.

  • 4.    Reaksi terhadap suatu viktimisasi kriminal

  • 5.    Respons terhadap suatu viktimisasi kriminal seperti argumentasi kegiatan-kegiatan penyelesaian suatu viktimisasi atau viktimologi, usaha-usaha prefensi, represi, tindak lanjut (ganti kerugian dan pembuatan peraturan hukumnya). (Arif Gosita: 2004; 39)

Dilihat dari ruang lingkup seperti tersebut diatas, jika dibandingkan antara viktimologi dengan kriminologi, maka dapat diketahui bahwa keduanya mempunyai obyek studi yang sama, yaitu pelaku dan korban. Sedangkan perbedaannya yaitu viktimologi lebih menekankan pada korban sedangkan kriminologi pada pelaku. Sehingga lebih lanjut yang dibahas dalam tulisan ini adalah perempuan sebagai korban dalam

tindak kekerasan atau kejahatan, walaupun sebenarnya tidak ada timbul viktimisasi kriminal (viktimitas) atau kejahatan (kriminalitas) tanpa adanya pihak korban dan pelaku. Karena masing-masing merupakan kompenen suatu interaksi (mutlak) yang hasil interaksinya adalah suatu viktimisasi kriminal (kriminalitas). Perlu diketahui bahwa suatu viktimisasi kriminal atau kriminalitas itu adalah:

  • 1.    Merupakan masalah manusia yang sebenarnya secara dimensional.

  • 2.    Merupakan suatu hasil interaksi akibat adanya suatu interaksi anatar fenomena yang ada dan saling mempengaruhi.

  • 3.    Merupakan tindakan seseorang (individu) yang dipengaruhi oleh suatu struktur sosial tertentu dari suatu masyarakat tertentu.

Jadi yang dimaksud dengan viktimisasi kriminal kekerasan adalah tindakan-tindakan yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja oleh seseorang terhadap orang lain, baik untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain dan yang menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosial.

Seperti telah dikemukakan diatas bahwa setiap permasalahan manusia adalah merupakan hasil interaksi sebagai akibat adanya suatu interaksi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi, maka hal ini dapat pula berlaku untuk suatu viktimisasi kriminal yaitu berupa kekerasan yang dilakukan oleh dan terhadap kaum perempuan. Sehingga dengan demikian dapat dicari dan dipahami faktor-faktor yang dominan pengaruhnya pada adanya suatu viktimisasi kriminal serta akan dapat diteliti pula semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak kekerasan pada terjadinya suatu kejahatan dan tidak hanya memperhatikan pelaku saja tetapi perlu pula memperhatikan pihak korban, pengamat (saksi), pembuat Undang-Undang, polisi, jaksa, hakim, orang tua, anak dan sebagainya.

  • 2.    Tindak kekerasan dan bentuk-bentuknya

Yang dimaksud dengan tindak kekerasan disini adalah tindak pidana yang telah dirumuskan dalam Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) sebagai berikut:

  • -    Pasal 89: perbuatan membuat seseorang dalam keadaan pingsan.

  • -    Pasal 285: perkosaan: memaksa seorang perempuan untuk melakukan persetubuhan dengan dirinya diluar perkawinan.

  • -    Pasal 289: memaksa orang lain untuk melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan atau membiarkan orang lain untuk melakukan tindakan melanggar kesusilaan.

  • -    Pasal 335: memaksa orang lain melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu atau membiarkan sesuatu melawan hukum.

  • -    Pasal 351, 353, 354, 355, (penganiayaan berat)

  • -    Pasal 352: (penganiayaan ringan) (Arif Gosita: 2004; 43)

Tindak kekerasan yang tertuang dalam KUHP tersebut lebih banyak merupakan tindak kekerasan secara fisik. Apabila dilihat dari segi korban maka rumusan mengenai tindak kekerasan ini sangat umum sifatnya seperti pornografi (Pasal 282, dst), Pasal 290 tentang perbuatan cabul, Pasal 338 tentang pembunuhan dan Pasal 328 tentang penculikan.

Sedangkan pengertian kejahatan dengan kekerasan yang diberikan oleh B. Mardjono Reksodiputro dapat diketahui bahwa dalam pengertian kejahatan kekerasan ada dua faktor penentu yaitu :

  • -    Adanya penggunaan kekerasan

  • -    Dan adanya tujuan untuk mencapai tujuan pribadi yang bertentangan dengan orang lain. (B. Mardjono Reksodiputro: 1982; 2)

Ketentuan pidana yang secara khusus menyangkut perempuan hanyalah yang berkaitan dengan perkosaan (Pasal 282), pengguguran kandungan tanpa seijin perempuan yang bersangkutan (Pasal 347), perdagangan perempuan (Pasal 287) dan melarikan perempuan (Pasal 332). Disamping tindak kekerasan seperti disebutkan diatas, beberapa tindak kekerasan fisik lainnya seperti incest, marital rape dan sosial harassment, ternyata tidak diberikan sanski pidana sehingga walaupun terjadi viktimisasi kriminal terhadap perempuan terkadang pelakunya tidak dapat dilakukan tindakan hukum.

Sedangkan tindak kekerasan non fisik yang dapat terjadi pada perempuan dan ada sanksi pidananya misalnya penghinaan dimuka umum (Pasal 310, dst), apabila dalam kenyataannya benar-benar terjadi pasal

ini sangat jarang digunakan untuk menjerat pelakunya karena sering terbentur pada budaya dan struktur masyarakatnya, termasuk persepsi perempuan itu sendiri terhadap kedudukannya dalam masyarakat.

Yang menjadi permasalahan sekarang adalah apabila penyebab rasa sakit atau luka itu bukan yang dikehendaki oleh pelaku tetapi lebih merupakan cara untuk mencapai tujuan yang dapat dibenarkan maka dalam kasus tersebut tidak terdapat penganiayaan, tetapi lebih merupakan penghukuman dalam batas-batas keperluan secara terbatas yang dilakukan oleh para orang tua, oleh guru atau oleh orang lain. Dan dalam hal seperti ini yang lebih sering menjadi korban adalah anak-anak gadis, perempuan dewasa yang termasuk golongan lemah mental, fisik dan sosial yang peka terhadap ancaman kekerasan baik dari dalam maupun dari luar keluarganya. Ancaman kekerasan yang datang dari luar keluarganya atau rumahnya seringkali dapat dihindari karena dapat dilihat oleh lingkungannya. Namun ancaman kekerasan yang terjadi dalam rumahnya yang sering dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri sulit dapat dilihat oleh orang luar seperti KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang dialami oleh istri, ibu, anak perempuan, pembantu rumah tangga perempuan. Korban seperti ini sering tidak berani melapor, antara lain karena ikatan-ikatan keluargaan, nila-nilai sosial tertentu, nama baik (prestise) keluarga maupun dirinya atau korban merasa khawatir apabila si pelaku melakukan balas dendam. Kesulitan-kesulitan seperti inilah yang diperkirakan akan muncul apabila korban melapor. Para pelaku dan korban dari suatu viktimisasi kriminal kerap kali pernah berhubungan atau saling mengenal satu sama lainnya terlebih dahulu. Jadi masing-masing adalah fungsional atau mempunyai peran tertentu pada adanya atau timbulnya suatu kejahatan atau viktimisasi kriminal tertentu.

  • 3.    Perempuan sebagai korban tindak kekerasan

Walaupun viktimologi dan kriminologi dapat dikatakan sama yaitu antara pelaku dan korban masing-masing merupakan komponen-komponen suatu interaksi yang hasilnya adalah suatu viktimisasi kriminal atau kriminalitas tetapi tetap saja antara viktimologi dan kriminologi dapat dibedakan apabila dilihat dari

obyeknya yaitu viktimologi pengamatannya lebih kepada korban sedangkan kriminologi lebih kepada pelaku kejahatan. Seperti yang diungkapkan oleh Von Hentig dalam bukunya “The Criminal and His Victim” yang dikutip dari Arif Gosita: bahwa korban sangat berperanan dalam timbulnya kejahatan karena si korban tidak hanya sebab dan dasar proses terjadinya kriminalitas tetapi juga memainkan peranan penting dalam usaha mencari kebenaran, dan mengerti masalah kejahatan, delikuensi dan deviasi. (Arif Gosita: 2004; 63)

Menurut The Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, Perserikatan Bangsa-Bangsa (1985), bahwa yang dimaksud dengan korban (victim) adalah orang-orang yang secara individual atau kolektif telah mengalami penderitaan, meliputi penderitaan fisik atau mental, penderitaan emosi, kerugian ekonomis atau pengurangan substansial hak-hak asasi melalui perbuatan-perbuatan atau pembiaraan-pembiaraan (omisionaris) yang melanggar hukum pidana yang berlaku dinegara-negara anggota yang meliputi juga peraturan hukum yang lmealrang penyalahgunaan kekuasaan. (Arif Gosita: 2004; 44)

Isitilah korban yang dimaksudkan disini juga meliputi keluarga langsung korban, orang-orang yang menderita akibat melakukan intervensi untuk membantu korban yang dalam kesulitan atau mencegah viktimisasi.

Berkaitan dengan korban kejahatan ini John A. Mack menulis ada tiga tipologi keadaan sosial dimana seseorang dapat menjadi korban kejahatan yaitu:

  • -    calon korban sama sekali tidak mengetahui akan terjadi kejahatan, ia sama sekali tidak ingin jadi korban bahkan selalu berjaga-jaga atau waspada terhadap kemungkinan terjadi kejahatan.

  • -    calon korban tidak ingin menjadi korban, tetapi tingkah laku korban atau gerak-geriknya seolah-olah menyetujui untuk menjadi korban.

  • -    calon korban tahu ada kemungkinan terjadi kejahatan, dan ia sendiri tidak ingin jadi korban tetapi tingkah laku seolah-olah menunjukkan persetujuannya untuk menjadi korban. (John A. Mack: 1974; 130)

Sedangkan menurut Herman Manntienn yang mengutip pendapat B. Mendelsohn membedakan lima macam korban berdasarkan derajat kesalahannya yaitu :

  • a.    Yang sama sekali tidak bersalah

  • b.    Yang jadi korban karena kelakuannya

  • c.    Yang sama salahnya dengan pelaku

  • d.    Yang lebih bersalah dari pelaku

  • e.    Dimana korban adalah satu-satunya yang bersalah (Arif Gosita:1983;44)

Jadi dari penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa pengaruh si korban menentukan timbulnya kejahatan sebagai manifestasi dari sikap dan tingkah laku korban sebelum saat dan sesudah kejadian. Oleh karena itu pihak korban dapat berperanan dalam keadaan sadar atau tidak sadar secara langsung atau tidak langsung, sendiri atau bersama-sama, secara aktif maupun pasif yang bergantung pada situasi dan kondisi sebelum saat dan sesudah kejadian berlangsung. Secara logika tidak akan ada orang yang mau menjadi korban dari suatu kejahatan. Tetapi kondisi-kondisi tertentu dapat menyebabkan calon korban ikut berperan serta sehingga terjadilah kejahatan dan dia sendiri yang menjadi korban.

Sepintas orang tidak dapat melihat peranan korban dalam hal terjadinya kejahatan. Bahkan si korban sendiri seringkali tidak menyadari bahwa dirinyalah yang sebenarnya memegang peranan penting pada saat ia menjadi korban kajahatan. Demikian juga Von Hentig telah lama menulis bahwa ternyata pada korbanlah yang kerap kali merangsang untuk melakukan kejahatan, membuat seseorang menjadi penjahat. (J. E. Sahetapy dan

B. Mardjono Reksodiputro,1982;9)

Dari paparan diatas dapat diketahui bahwa siapa saja dapat menjadi dan atau menimbulkan korban. Dengan kata lain dapat pula dikatakan bahwa semua manusia potensial untuk menjadi korban dan sebaliknya pula semua orang dapat menimbulkan korban. Atau jika ingin memahami para pembuat korban atau penjahat dengan baik, menurut proporsi yang sebenarnya, maka harus pula memahami korban dan begitu sebaliknya. Artinya jika ingin mengetahui faktor-faktor apa yang dapat menyebabkan perempuan menjadi korban kejahatan kekerasan atau viktimisasi criminal maka perlu pula mengetahui faktor-faktor apa yang dapat dipakai alasan dan pelaku menjadikan perempuan sebagai korban?.

Dikatakan tanpa korban tidak mungkin terjadi suatu kejahatan atau viktimisasi criminal. Jadi pihak korban merupakan partisipan utama memainkan peranan penting untuk terjadinya viktimisasi kriminal tersebut, bahkan juga setelah kejahatan tersebut dilaksanakan.

Pihak korban dapat berperan dalam keadaan sadar atau tidak sadar, secara langsung atau tidak langsung, sendiri atau bersama-sama, bertanggung jawab atau tidak secara aktif atau pasif dengan motivasi positif atau negatif. Semuanya adalah bergantung pada situasi dan kondisi pada saat kejahatan tersebut berlangsung. Jadi dapat dikatakan bahwa perempuan sebagai korban yang juga dapat sebagai partisipan utama untuk terjadinya viktimisasi criminal memainkan berbagai macam peranan tergantung pada situasi dan kondisi saat itu, walaupun dalam kenyataannya tidak mudah membedakan secara tajam setiap peran yang dimainkan pihak korban.

Sikap dan perilaku pihak korban dalam hal ini prempuan sebagai korban dengan didukung oleh situasi dan kondisi tertentu pada saat itu dapat merangsang pihak pelaku untuk melakukan viktimisasi kriminal terhadap perempuan tersebut. Pihak perempuan sebagai korban itu dapat tidak melakukan suatu tindakan, tidak ingin dijadikan korban atau dapat mengatakan tidak menyangka akan dijadikan korban, tetapi sikap dan perilaku serta keadaan yang ada pada perempuan itulah yang merangsang atau mendorong pelaku untuk melakukan viktimisasi criminal. Adapun sikap dan perilaku serta situasi dan kondisi tersebut antara lain karena fisik prempuan dianggap lemah sesudah diperdaya baik karena bodoh, cacat mental atau jiwa atau cacat tubuh, mereka yang dianggap sebagai musuh karena adanya rasa dendam, terlalu pamer dengan perhiasannya atau barang-barang yang dimilikinya. Bisa juga sikap perilaku dan penampilan perempuan itu sendiri sehingga menimbulkan kebencian, rasa iri, muak akhirnya muncullah tindakan yang merugikan perempuan sebagai korban. Dapat pula terjadi karena perempuan sebagai korban berada pada daerah yang rawan atau karena dianggap tidak akan berani melakukan perlawanan sebagai pembalasan yang memadai sehingga kelemahan ini sering dimanfaatkan seenaknya oleh sipelaku yang merasa dirinya lebih kuat, lebih berkuasa dari pada pihak korban. Seperti misalnya dalam keluarga, perempuan sebagai istri sering menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh suami karena

istri dianggap sangat bergantung pada suami. Hal inilah yang dipakai sebagai salah satu alasan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan kekerasan yang dimaksudkan disini tidak hanya kekerasan fisik tetapi juga kekerasan psikis, kekerasan seksual atau juga penelantaran rumah tangga. Demikian pula halnya dengan kondisi perempuan sebagai buruh, pembantu rumah tangga ataupun sebagai pegawai atau karyawan yang secara individual mempunyai kedudukan yang lebih lemah dibandingkan dengan pihak majikan sehingga majikan dapat melakukan tindakan seenaknya seperti penganiayaan, pebudakan dan perampasan hak asasinya, yang semua tindakan ini adalah termasuk kejahatan atau viktimisasi kriminal.

Dalam pergaulan anatara pria dan wanita juga sering ada kecenderungan berlangsungnya hubungan seks yang dipaksakan oleh salah satu pihak sehingga terjadilah kejahatan perkosaan baik yang dilakukan oleh pelaku individual maupun kolektif. Hal ini terjadi karena pihak korban yaitu perempuan memungkinkan terjadinya salah penafsiran dari pihak pelaku mengenai sikap dan perilaku korban dalam pergaulan tersebut yang mengakibatkan terjadinya kejahatan perkosaan. Demikian pula yang menyangkut para pelacur baik mereka itu termasuk kedalam kelompok heteroseksual maupun homoseksual, sebagai pihak yang menawarkan jasa yang mengundang pihak pemakai untuk datang kepadanya dan memanfaatkan dirinya untuk pemuasan seksual pemakai dengan bayaran. Tetapi dalam kenyataanya undangan tersebut seringkali pula memberi peluang untuk terjadinya kejahatan terhadap dirinya seperti pemerasan, penganiayaan, pencurian dan penipuan.

Seperti dikatakan oleh Von Hentig yang dikutip dari Ninik Widiyanti dan Julius Waskita, bahwa ternyata pada korbanlah yang kerap kali merangsang seseorang untuk melakukan kejahatan dan membuat orang menjadi penjahat. (Ninik Widiyanti dan Julius Waskita:1987;133)

Jadi perempuan koban kejahatan atau viktimisasi kriminal sebenarnya adalah juga sebagai penyebab atau memegang peranan penting dalam terjadinya kejahatan atau viktimisasi kriminal yang menimpa dirinya baik itu disadari ataupun tidak disadari, langsung ataupun tidak langsung. Semuanya terjadi sebagai akibat adanya sikap

dan perilaku dai perempuan misalnya berpakaian yang vulgar, memakai accesoris yang terlalu mencolok, berjalan ditempat yang rawan atau ditempat sepi tanpa teman, karena menyakiti hati pelaku sehingga ada niatnya untuk balas dendam dan lain sebagainya.

  • B.    PENUTUP

  • 1.    Simpulan

Beberapa simpulan dapat ditarik dari pemaparan uraian diatas antara lain :

  • -    Tindak kekerasan terhadap perempuan agaknya dapat terjadi karena peran perempuan itu sendiri dalam terjadinya viktimisasi kriminal.

  • -    Sikap dan perilaku perempuan disertai dengan situasi dan kondisi tertentu saat itu, merangsang dan mendorong seseorang untuk melakukan viktimisasi pada dirinya.

  • 2.    Saran

Adapun saran yang dapat disampaikan pada tulisan ini adalah: agar para perempuan tidak selalu menjadi orang yang turut berperan untuk terjadinya viktimisasi pada dirinya maka sebaiknya bersikap dan berperilakulah yang baik dan tidak terlalu demonstratif serta tingkatkan pengetahuan dan ilmu pengetahuan sehingga tidak lagi dianggap kaum yang lemah, bodoh dan tidak terlalu tergantung pada orang lain. Bersikaplah lebih sopan,

sederhana, mandiri dan menjadi orang pintar dalam segala hal. Disamping perlunya pemerintah khususnya aparat penegak hukum lebih bijaksana pula dalam menangani kasus kejahatan atau viktimisasi kriminal yang menimpa perempuan, sebagai usaha untuk menanggulangi meningkatnya viktimisasi kriminal terhadap perempuan.

DAFTAR PUSTAKA

Arif Gosita : 2004. ”Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan) Pemahaman Perempuan dan Kekerasan”, Jakarta : PT. Bhuwana Ilmu Populer.

Arif Gosita : 2004. ”Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan) Kedudukan Korban di Dalam Tindak Pidana”, Jakarta : PT. Bhuwana Ilmu Populer.

B. Mardjono Reksodiputro :1982. ”Beberapa Catatan Tentang Penganiayaan Sebagai Kejahatan Kekerasan”.

Sahetapy J.E dan B. Mardjono Reksodiputro : 1982. “Parodal Dalam Kriminologi”, Jakarta : Rajawali.

Ninik Widiyanti, Julius Waskita : 1987, ”Kejahatan Dalam Masyarakat dan Pencegahannya”, Jakarta : Bina Aksara.

Kertha Patrika Vol. 33 No. 1, Januari 2008

6