STOLEN ASSET RECOVERY INITIATIVE, SUATU HARAPAN DALAM PENGEMBALIAN ASET NEGARA

Oleh :

I GUSTI KETUT ARIAWAN

( Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana )

ABSTRAK

Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang korupsi 2003 oleh pemerintah Indonesia, secara politis telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi melalui kerjasama Internasional.

Dengan konvensi PBB tersebut telah terjadi perubahan paradigma dalam melihat fenomena serta multi aspek korupsi sebagai kejahatan transnasional. Makin disadari, bahwa pencegahan korupsi, tidaklah dapat dilakukan oleh suatu negara tanpa adanya kerjasama dengan negara lain yang mempunyai komitmen sama dalam pemberantasan korupsi. Pengembalian aset negara yang dikorupsi di negara-negara sedang berkembang (termasuk Indonesia) yang umumnya disimpan di sentra-sentra finansial negara maju, merupakan agenda kerjasama internasional dalam konvensi ini. Bagi Indonesia pengembalian aset negara sangatlah penting, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik, sebagai suatu perbuatan yang sangat merugikan serta dapat merusak sendi-sendi kehidupan perekonomian suatu negara.

Kata Kunci : Penanggulangan korupsi, pengembalian aset hasil korupsi

ABSTRACT

Ratificaton of United Nations Covention Againts Corruption 2003 by the Indonesian government politically places Indonesia as one of the countries in South East Asia to have the commitment of corruption eradication through international cooperation. What is intersesting in the convention is the change of paradigm in seeing the multi aspects and the phenomenon of corruption as a transnational crime. Corruption eradication cannot be done by a state without forging a cooperation with other countries having the same commitment. The returning assets as a result of corruption in developing countries (including Indonesia) are usually invested or deposited in developed countries which become the agenda of international cooperation. The returning of asset for Indonesia is very important because corruption in Indonesia has occurred systematiccaly as an act that has suffered Indonesia and damage the pillars of Indonesian economy.

Keyword : Corruption eradication, returning of asset as result of corruption.

  • 1.    PENDAHULUAN.

Tindak pidana korupsi, pada awalnya dimasukkan sebagai delik-delik jabatan (ambsdelicten) dalam Buku II KUHP. Kompleksnya permasalahan serta perkembangan serta modus operandi tindak pidana korupsi mengakibatkan makin melemahnya kemampuan KUHP untuk menyeret pelaku korupsi. Untuk itu, berbagai peraturan perundang-undangan telah dikeluarkan, yang kesemuanya dimaksudkan untuk menanggulangi korupsi di Indonesia. Dapat dicatat

beberapa produk perundang-undangan yang bertalian dengan penanggulangan tindak pidana korupsi, antara lain : 1) Peraturan Penguasa Militer Nomor. Prt / Perpu / 1957; 2) Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor Prt / Perpu / 013/1958; 3) Undang-undang Nomor 24/Prp/1960 dan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967; 4) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971; 5) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999; 6) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.

Adanya peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi diatas, memberikan petunjuk bahwa pemerintah Indonesia secara serius telah melakukan kebijakan guna menanggulangi korupsi mengingat korupsi adalah sebagai kejahatan yang tidak saja merugikan keuangan dan perekonomian negara melainkan juga merugikan individual maupun kelompok masyarakat lainnya.

Keseriusan pemerintah untuk memberantas tindak pidana korupsi terlihat secara sungguh-sungguh dengan dikeluarkannya beberapa produk perundang-undangan dan kebijakan, antara lain Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tindak lanjut dari perintah Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Di samping itu, dapat dicatat pula Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2004 tentang Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Keppres Nomor 4 Tahun 2005 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Untuk menunjang tekad pemerintah dalam pemberantasan korupsi telah dikeluarkan pula Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-undang anti ”money laundering”, di samping pula Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi. Sejalan dengan kebijakan tersebut, berbagai lembaga independent juga dibentuk, seperti PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) sebagai Financial Inteligent Unit, lembaga perlindungan saksi dan korban. Tidak kalah pentingnya adalah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berperan serta aktif menunjang program pemerintah dalam pemberantasan korupsi dengan memberikan kesempatan serta peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Yang menarik, dari berbagai kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, terungkap karena peran LSM.

Secara kuantitas tindak pidana korupsi di Indonesia telah merambah berbagai sektor, korupsi tidak saja terjadi di lembaga eksekutif tetapi telah merambah lembaga legislatif dan yudikatif. Korupsi sebagai kejahatan, tidak saja merugikan keuangan dan perekonomian negara melainkan juga merugikan individual maupun kelompok masyarakat lainnya. Dalam perspektif mikro, implikasi yang dapat dimunculkan oleh korupsi adalah : di bidang politik korupsi telah mengkikis demokrasi dan good

governance; korupsi dalam pemilihan anggota legislatif berdampak pada akuntabilitas dan representasi penyusunan suatu kebijakan; korupsi di pengadilan berakibat terhambatnya kepastian hukum; korupsi di bidang pemerintahan berakibat adanya diskriminasi pelayanan terhadap publik (Philip Dinino & Sahr John Kpundeh, 1999 : 5)

Korupsi terjadi hampir di semua negara-negara sedang berkembang (NSB) termasuk Indonesia, selain Nigeria, Peru, Filipina. Kini berkembang suatu issue bahwa korupsi mempunyai kaitan pula dengan kejahatan-kejahatan lain yang terorganisasi, khususnya dalam upaya koruptor menyembunyikan hasil korupsinya melalui pencucian uang (money laundering) dengan pemanfaatan transaksi derivatif yakni melalui transfer-transfer internasional yang efektif. Sebagai suatu kejahatan yang melintasi batas teritorial suatu negara (trans-nasional) dan sebagai kejahatan terorganisasi (organized crime), bahkan korupsi seringkali melibatkan korporasi sebagai pelaku. Gambaran ini mengingatkan kepada kita bahwa penanganan korupsi menjadi semakin rumit. Persoalan ini akan menjadi semakin rumit, dengan semakin banyaknya aset publik yang dikorup kemudian disimpan pada sentra-sentra finansial di negara-negara maju terlindungi oleh sistem hukum yang berlaku di negara tersebut, ditambah lagi dengan jasa para profesional yang disewa oleh koruptor sehingga tidak mudah untuk melacak, apalagi memperoleh kembali aset tersebut. Pengembalian aset menjadi issue penting karena pencurian aset negara di negara-negara berkembang yang dilakukan oleh orang-orang yang pernah berkuasa di negara yang bersangkutan merupakan masalah serius. Daftar korupsi mantan peminpin-peminpin negara berkembang sangat fantatis. PBB berdasarkan Transparancy Internasional 2004 mengeluarkan daftar nilai aset korupsi sebagai berikut :

No

N a m a

Periode Berkua sa

Negara Asal

Perkiraan Nilai Aset Negara yang Dikorup

1

H.M. Soeharto

19671998

Indonesia

US$ 15 – 35 miliar

2

Ferdinand Marcos

19721986

Filipina

US$ 5 – 10 miliar

3

Mobutu Sese seko

19651997

Zaire

US$ 5 miliar

4

Sani Abacha

19931998

Nigeria

US$ 2 – 5 miliar

5

Slobodan

Milosevic

19892000

Serbia/Yu goslavia

US$ 1 miliar

6

Jean Claude Duvalier

19711986

Haiti

US$ 300-800 Juta

7

Alberto

Fujimori

19902000

Peru

US$ 600 Juta

8

Pavlo Lazarenko (Perdana Menteri)

19961997

Ukraina

US$ 114-200 Juta

9

Arnoldo Aleman

19972002

Nikaragua

US$ 100 Juta

10

Joseph Estrada

19982001

Filipina

US$ 78-80 Juta

Sumber : http://www.antara.co.id/arc/2007/9/18/

Dari urutan besarnya nilai aset negara yang dikorup, mantan penguasa Indonesia periode 1967 1998, H.M. Soeharto menduduki posisi pertama disusul dengan Ferdinand Marcos di urutan kedua. Walau masih ada kontroversial mengenai jumlah asset negara yang dikorup, tetapi issue tersebut telah mampu menggeser konsep : bagaimana menyusun suatu kebijakan dalam penanggulangan tindak pidana korupsi, telah bergeser pada issue, bagaimana mengembalikan aset negara yang dikorup, yang diinvestasikan pada sentra-sentra finansial di negara-negara maju. Di samping itu, yang lebih penting lagi, adalah munculnya kesadaran dunia Internasional bahwa penanganan korupsi bukan lagi merupakan masalah intern suatu negara, tetapi memerlukan upaya global.

Upaya yang telah dirintis sejak tahun 1997 mencapai puncaknya dengan munculnya United Nations Convention Againts Corruption 2003, yang lebih dikenal dengan sebutan UNCAC 2003. Walaupun sampai saat ini beberapa negara G-8 dan negara-negara sentra finansial belum meratifikasi, namun dapat dicatat langkah PBB dengan UNCAC 2003 merupakan the first legally binding global anti corruption agreement. UNCAC 2003 adalah konvensi anti korupsi pertama yang berlaku secara global, yang dirancang untuk mencegah dan memerangi korupsi secara komprehensif. UNCAC 2003 terdiri dari 8 bab dan 71 pasal, yang materi muatannya cukup ekstensif dan mengatur secara terperinci dengan mewajibkan negara-negara yang menjadi pihak untuk menerapkan langkah-langkah anti korupsi secara meluas sehingga akan berdampak langsung pada berbagai undang-undang, institusi maupun pelaksanaannya, dalam artian adanya

keterpaduan antara konvensi anti korupsi 2003 dengan peraturan perundang-undangan nasional.

  • 2.    Permasalahan

Kewajiban bagi negara-negara yang telah meratifikasi UNCAC 2003 adalah menerapkan langkah-langkah anti korupsi secara meluas, akan berimplikasi pada konsep-konsep kebijakan perundang-undangan nasional, khususnya undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Implikasi ratifikasi juga bertalian dengan institusi serta pelaksanaannya. Langkah untuk melakukan re-evaluasi serta reformasi hukum nasional, nampaknya masih memerlukana suatu kajian-kajian yang intensif, guna mewujudkan harapan-harapan dalam upaya pengembalian aset negara yang dikorup untuk dikembalikan ke Indonesia. Dari latar belakang pemikiran ini 2 permasalahan yang akan dibahas dalam paragraf berikut adalah :

  • a.    Implikasi ratifikasi UNCAC 2003 terhadap kebijakan            perundang-undangan

pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia

  • b.    Stolen Aset Recovery (StAR) suatu harapan yang optimis atau pesimis

  • 3.    Implikasi UN Convention Against Corruption (UNCAC) 2003

Ratifikasi UNCAC 2003 dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 oleh pemerintah Indonesia, secara politis telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi melalui kerjasama Internasional. Hal ini penting, karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik, sebagai suatu perbuatan yang sangat merugikan serta dapat merusak sendi-sendi kehidupan perekonomian suatu negara. Dari hasil penelitian lembaga Transparansy International Corruption Perceptions tahun 2004 Indonesia termasuk ranking 4 terbesar dunia dan bahkan tertinggi di Asia Tenggara (Todung Mulya Lubis 2005 : 7) Keberadaan korupsi demikian tersebut telah menjadi perhatian secara global/universal seperti yang dinyatakan dalam laporan USAID (United States Agency for International Development) yaitu : “the global anti-corruption movement owes much of its

impetus to the end of the Cold War. Donor governments are able to pay greater attention in their allocation decisions to directing resources to government and organization that will employ their contribution most effectively” (USAID, 2000 : 22)

Hal yang senada disepakati dalam deklarasi “Global Forum on Fighting Corruption and Safeguarding Integrity ke-II yang diselenggarakan di Hague Belanda tanggal 31 Mei 2001, yaitu : We are all deeply concerned about the spread of corruption which is virus capable of crippling government, discrediting public institutions and private corporations and giving a devastating impact on the human rights of populations, and thus undermining society and developments, affecting in particular the poor. We are determined to prevent and combat all forms corruption (Global Forum, 2001 : 1)

UNCAC 2003 merupakan perjanjian internasional (treaty based crime) yang mengutamakan prinsip kesamaan kedaulatan, persamaan hak dan dan integritas teritorial serta prinsip non intervensi. Di dalam ketetentuan Pasal 4 UNCAC 2003 secara jelas ditentukan : “convention in a manner consistant with the principles of souverign equality and territorial integrity of state and that of non-intervention in the domestic affairs of other states” Ketentuan ini mencerminkan bahwa implementasi konvensi oleh setiap negara peserta tidak boleh melanggar prinsip-prinsip kesamaan kedaulatan, persamaan hak dan dan integritas teritorial serta prinsip non intervensi. Ketentuan Pasal 4 ini berhubungan dengan Bab IV yang mengatur tentang kerjasama internasional (Pasal 43) serta ketentuan Bab V tentang pengembalian asset (Asset Recovery) dan juga ketentuan Pasal 31 tentang pembekuan, perampasan dan penyitaan (freezing, seizure and confiscation).

Suatu kemajuan yang dapat dicatat bahwa ketentuan mengenai ekstradisi, seperti prinsip “dual criminality” tidak lagi merupakan prinsip yang mengikat. Hal ni dapat dilihat dengan mencermati Pasal 44 butir 2 yang menentukan :”state party whose law so permits my grant the extradition of a person for any of the offences covered by this convention that are not punishable under its own domestic law”. Terobosan lain terhadap prinsip umum ekstradisi juga dapat dilakukan terhadap negara yang masih mengadopsi prinsip nasionalitas. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal

44 angka 11 dan 12, yang memberikan kelonggaran terhadap negara yang menganut prinsip nasionalitas untuk segera menyerahkan seorang warganya yang dimintakan ekstradisi ke negara pemohon dengan syarat tertentu. Dalam butir 11 ditentukan bahwa apabila suatu negara peserta yang di dalam wilayahnya ditemukan orang yang disangka sebagai pelaku kejahatan, tidak mengekstradisikan orang tersebut, dengan alasan orang tersebut adalah warga negaranya, maka negara tersebut, atas permintaan negara peserta yang memohon ekstradisi wajib untuk menyerahkan kasus tersebut pada badan yang berkompetensi untuk tujuan penuntutan. Badan yang berkompetentsi dimaksud, punya kewajiban untuk mengambil keputusan serta melaksanakan proses peradilannya dengan cara-cara yang sama dan berdasarkan hukum nasional negara peserta. Negara-negara peserta punya kewajiban untuk bekerjasama, khususnya dalam hal prosedur serta pembuktian guna efisiensi penunutan. Selanjutnya dalam angka 12 ditentukan pula bahwa; bilamana suatu negara peserta diijinkan oleh hukum nasionalnyua untuk mengekstradisi atau sebaliknya menyerahkan seorang warga negaranya, hanya pada kondisi bahwa orang tersebut akan dipulangkan ke nagara peserta itu untuk menjalani hukuman yang dijatuhkan karena putusan pengadilan untuk mana atau penyerahan orang yang dicari negara peserta itu dan negara peserta yang meminta ekstradisi orang itu setuju dengan opsi ini dan syarat-syarat lain yang menurut penilaiannya, layak, ekstradisi atau penyerahan dengan syarat akan cukup untuk membebaskan kewajiban sebagaimana ditentukan dalam angka 11 pasal ini.

Dapat diidentifikasi pula bentuk-bentuk kerjasama internasional yang baru dalam UNCAC 2003, yaitu : pengalihan narapidana (transfer of sentenced person) (lihat ketentuan Pasal 45) dan pengalihan proses peradilan pidana (transfer of criminal proceeding) (lihat Pasal 47). Inovasi yang telah dipaparkan di atas bukan berarti tidak ada hambatan-hambatan, kalau dihubungkan dengan ketentuan Pasal 4, khususnya penggunaan prinsip-prinsip non intervensi yang kaku, karena akan dapat menghambat kerjasama internasional.

Kriminalisasi tindak pidana baru dalam UNCAC 2003 membedakan secara tegas masalah “penyuapan” atau bribery antara bribery in the public sectror (Pasal 15) dengan bribery in the private sector (Pasal 21). Di dalam ketentuan Pasal 15 ditentukan bahwa :

Menjanjikan, menawarkan atau memberikan kepada seorang pejabat (publik) baik secara langsung maupun tidak langsung suatu keuntungan yang tidak layak untuk pejabat yang bersangkutan atau orang lain atau badan hukum, agar pejabat (publik) tersebut melakukan ataupun tidak melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan jabatannya. Sedangkan bribery in the private sector, di dalam Pasal 21, ditentukan : perlunya mengkriminalisasikan suatu perbuatan penggelapan yang berhubungan dengan menjalankan kegiatan ekonomi, keuangan atau perdagangan oleh orang yang meminpin ataupun bekerja dalam kapasitasnya sebagai apapun pada suatu badan di sektor swasta atas suatu kekeyaan, dana swasta ataupun surat berharga atau segala sesuatu yang bernilai yang dipercayakan kepadanya karena kedudukannya. Kebijakan ini mengidentifikasikan bahwa antara sektor publik dengan sektor swasta ada keterkaitan yang demikian erat dalam masalah korupsi di negara-negara sedang berkembang (NSB). Kebijakan ini tidak terlepas dari laporan penjelasan mengenai criminal law convention bahwa korupsi di sektor swasta telah berdampak pada melemahnya nilai-nilai, seperti kepercayaan, loyalitas yang sangat diperlukan dalam upaya memelihara serta meningkatkan hubungan sosial dan ekonomis. Di samping itu, perlunya perlindungan atas persaingan tidak sehat di sektor swasta.

Kebijakan kriminalisasi penting lain dalam UNCAC 2003 menyangkut perbuatan memperkaya diri sendiri (illicit enrichment), yang merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri. Rumusan ini justru tidak bersesuaian dengan rumusan tindak pidana dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No 20 Tahun 2001 dan berimplikasi mempersempit rumusan tindak pidana korupsi dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No 20 Tahun 2001. Berhubungan pula dengan kriminalisasi tersebut adalah unsur 'kerugian negara' dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No 20 Tahun 2001, dalam UNCAC 2003 tidak lagi sebagai unsur penting (lihat Pasal 3 butir 2 tentang scope and aplication), yang menentukan bahwa : “for the purpose of implementing this convention, it shall not be necessary, except as otherwise stated herein, for the offences set forth in it to result in damage or harm to state property”. Artinya bahwa untuk tujuan pelaksanaan konvensi ini, tidak diperlukan (kecuali ditentukan lain) dalam konvensi ini, bahwa kejahatan-

kejahatan dalam konvensi ini mengakibatkan kerugian keuangan negara.

Dalam mengimplemantasikan UNCAC 2003, persoalan ini masih memerlukan kajian mendalam prihal persoalan-persoalan menyangkut : apakah unsur kerugian negara masih dapat dipertahankan pasca ratifikasi konvensi tersebut, sedangkan rumusan Pasal 3 tentang scope and application bersifat wajib. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah masalah “illicit enrichment” sebagai suatu tindak pidana yang berdiri sendiri dapat menggantikan rumusan Pasal 2 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No 20 Tahun 2001 ? Untuk jelasnya, berikut dikutip kembali rumusan Pasal 2 dimaksud, sebagai berikut :

  • (1)    Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan/memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 (Dua ratus juta rupiah) dan paling banyak          Rp

1.000.000.000 (Satu milyar rupiah).

  • (2)    Dalam hal tindak pidana korupsi, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Apabila diterima, konsekuensinya adalah dalam masalah beban pembuktian. Perbuatan memperkaya diri sendiri (illicit enrichtment) sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri dapat digunakan sistem beban pembuktian melalui upaya keperdataan dan tidak hanya tergantung pada jalur proses peradilan pidana, dan jalur keperdataan inipun telah digunakan oleh beberapa negara. Jalur keperdataan dalam pengembalian aset negara, dibandingkan jalur pidana relatif lebih mudah karena dalam hal pembuktian, pemerintah cukup mempunyai bukti awal bahwa aset yang akan diambil adalah hasil, atau berhubungan dengan tindak pidana. Implementasinya adalah apa yang disebut ”civil forfeiture”. Dalam masalah pembuktian, pemerintah cukup menghitung berapa pendapatan yang layak bagi pelaku, kemudian membandingkan dengan aset yang dimiliki. Jika aset yang dimiliki melebihi jumlah pendapatannya, maka pelaku berkewajiban membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara legal (Anthony Kennedy, 2006 : 38). Kemudahan dalam

masalah pembuktian melalui jalur civil forfeiture, merupakan alternatif yang potensial, karena lebih efektif dalam upaya pengembalian aset, walaupun prosedur ini tidak luput dari berbagai kelemahan, seperti lambat dan biaya tinggi. Di samping itu, perlu dipertimbangkan bahwa pemanfaatan potensi civil forfeiture harus diikuti dengan adanya perjanjian bilateral disamping pula memerlukan suatu re-strukrisasi hukum nasional. Re-strukrisasi di bidang hukum, antara lain menghendaki adanya reformasi bidang hukum materiil dan formil. Bidang hukum formil antara lain, hukum acara perdata yang harus diformat kembali, mengingat Indonesia masih menggunakan hukum acara perdata yang hanya berlaku dalam kasus-kasus yang bersifat individual atau private to private. Di samping itu pula civil forfeiture menuntut legal expertise dan pengetahuan teknis yang tinggi, dan dikhawatirkan Indonesia masih belum memiliki sumber daya yang bisa memenuhi tuntutan ini. Perluasan jurisdiction scope dari civil forfeiture merupakan suatu hal yang mutlak, mengingat aset hasil korupsi lebih banyak disembunyikan di negara lain. Yang lebih penting, adalah perlu dipertimbangkannya aspek check and balance karena jalur ini rawan penyalahgunaan oleh aparat penegak hukum (Bismar Nasution, 2007 : 11)

  • 4.    ”Stolen Asset Recovery Initiative” : harapan optimis atau pesimis

Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa Indonesia telah meratifikasi UNCAC 2003 dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Korupsi. UNCAC 2003 telah diadopsi oleh sidang Majelis Umum PBB dalam resolusinya No 58/4 tangal 31 Oktober 2003, dan terbuka untuk ditandatangani di Meksiko dari tanggal 9 Desember 11 Desember 2003. Sebelum UNCAC 2003, ada dua konvensi yang dikeluarkan oleh negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (Organization of Council of Europe) yaitu Criminal Law Convention on Corruption yang telah berlaku sejak tanggal 1 Juli 2002, dan Civil Law Convention on Corruption yang berlaku efektif sejak tanggal 1 November 2003, dan telah diratifikasi oleh 21 negara Uni Eropa. Selain itu, dapat dicatat bahwa negara-negara yang tergabung dalam Uni Afrika telah pula menghasilkan Africa Union Convention on Preventing and Combating Corruption, yang ditetapkan di Adis Ababa 18- 19 September 2002.

Sampai dengan Desember 2005 UNCAC 2003 telah ditandatangani oleh 140 negara, dan 92 negara telah meratifikasinya. Yang menarik dari UNCAC 2003 ini adalah adanya perubahan paradigma dalam melihat multi aspek serta fenomena korupsi. Di dalam bagian pembukaan secara jelas dikemukakan bahwa “corruption is no longer a local matter but a transnational phenomenon that affects all societies and economies, making international cooperation to prevent and control it essential”. Di samping itu, dalam materi UNCAC 2003 tercermin suatu perubahan cara pandang terhadap multi aspek korupsi, antara lain :

  • a.    masalah korupsi memiliki multi aspek, aspek hukum, HAM, pembangunan berkelanjutan, kemiskinan, keamanan;

  • b.    bahwa sistem pembuktian konvensional tidak selalu ampuh dalam pemberantasan korupsi, sehingga beban pembuktian terbalik merupakan alternatif solusi yang potensial.

Ratifikasi UNCAC 2003 oleh pemerintah Indonesia yang secara politis menempatkan posisi Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi lewat kerjasama internasional, diharap mampu memberikan dorongan terutama bagi negara- negara lain yang kurang kooperatif dalam pengembalian asset hasil korupsi di Indonesia, di samping pula langkah Indonesia untuk mencegah dan mengembalikan aset hasil korupsi dari negara lain akan menjadi bagian dari agenda kerjasama internasional dalam upaya pemberantasan korupsi secara global.

Dijelaskan pula bahwa pemberantasan korupsi sebenarnya bukanlah hanya dalam lingkup penegakan hukum pidana lewat penuntutan (conviction) lewat suatu proses peradilan pidana (criminal proceedings) semata-mata, melainkan juga dapat dilaksanakan lewat upaya keperdataan (civil proceeding). Strategi pencegahan korupsi harus dilihat sebagai upaya strategis di samping upaya pemberantasan (represif). Dan yang lebih penting lagi adalah strategi pengembalian asset (asset recovery) hasil korupsi.

Suatu hal yang paling mendasar dalam UNCAC 2003, adalah kerjasama internasional di bidang asset ecovery (lihat : Chapter V artikel 51 57 UNCAC 2003 khususnya tentang : Prevention and detection of transfers of proceeds of crime; Measures for direct

recovery of property; Mechanism for recovery of property through international cooperation in confiscation; International cooperation for purpose of confiscation; Special cooperation; Return and disposal of assets). UNCAC 2003 disusul dengan diluncurkannya StAR initiative, pada bulan Juni 2007, yang memuat challenges, opportunities dan action plan dalam upaya pengembalian aset hasil korupsi.

StAR (Stolen Asset Recovery) merupakan program bersama yang diluncurkan oleh Bank Dunia (World Bank) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa khususnya UNODC (United Nations Office on Drugs and Crimes) untuk meningkatkan kerjasama internasional dalam mengimplementasikan upaya pengembalian aset hasil korupsi, sebagai salah satu terobosan dalam hukum internasional yang menetapkan landasan mengenai pengembalian asset hasil kejahatan (terutama korupsi) di negara-negara sedang berkembang. StAR merupakan bagian integral dari Governance and Anti Corruption Strategy World Bank Group yang menyatakan perlunya bantuan bagi negara-negara berkembang dalam pengembalian asset. Progam yang diluncurkan oleh PBB ini sebenarnya terinspirasi dari keberhasilan Peru, Nigeria dan Filipina dalam mengembalikan aset-aset yang diinvestasikan di Negara lain oleh mantan kepala negaranya. Walaupun keberhasilan tersebut tidak mudah dan membutuhkan waktu yang relatif lama. Pengembalian asset tersebut dilakukan dengan melalui proses litigasi dan permintaan antar pemerintah melalui MLA (Mutual Legal Assistance). Bila dielaborasi, tujuan StAR adalah dalam rangkaian : 1) memberikan faktor deterence dengan menunjukkan bahwa tidak adanya safe haven bagi koruptor serta meningkatkan kewaspadaan komunitas internasional untuk memberikan komitmen penuh dalam pemberantasan korupsi; 2) meningkatkan kapasitas dalam mengembalikan aset-aset yang dicuri dan mencegah tindak pidana korupsi di masa depan. Aset-aset yang berhasil dikembalikan, dipergunakan untuk kepentingan pembangunan berkelanjutan; 3) meningkatkan kerjasama negara-negara berkembang dengan membantu mengurangi hambatan-hambatan yang dialami negara-negara tersebut dalam upayanya mengembalikan asset yang dicuri. Mendorong upaya-upaya bersama untuk mengembalikan asset-aset negara berkembang yang seringkali disimpan di negara maju (Eddy Pratomo, 2007 : 1)

Dengan telah diratifikasinya UN Convention Against Corruption dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Korupsi selayaknya pemerintah telah mulai memikirkan, bagaimana mempersiapkan segala sesuatu untuk menuju pembahasan pengembalian asset hasil korupsi di Indonesia yang diendapkan di negara lain. UN Convention Against Corruption telah mengatur berbagai ketentuan yang sifatnya khusus mengenai kerjasama internasional yang selama ini selalu menjadi hambatan signifikan. Perjanjian regional dan bilateral yang sudah ditandatangani harus segera diratifikasi, termasuk Asean Mutual Legal Assistancde Treaty (AMLAT's) tahun 2004 dengan 5 negara ASEAN di samping Indonesia.

  • 6.    Simpulan

  • a.    Ratifikasi UNCAC 2003 dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 oleh pemerintah Indonesia, secara politis telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi melalui kerjasama Internasional. UNCAC 2003 merupakan the first legally binding global anti corruption agreement. Ratifikasi UNCAC 2003, berimplikasi terhadap kebijakan perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

  • b.    Stolen Asset Recovery Initiative merupakan program bersama yang diluncurkan oleh Bank Dunia (World Bank) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam rangkaian peningkatan kerjasama internasional dalam mengimplementasikan upaya pengembalian aset hasil korupsi, sebagai salah satu terobosan dalam hukum internasional yang menetapkan landasan mengenai pengembalian aset hasil korupsi di negara-negara sedang berkembang.

DAFTAR BACAAN

Arif, Barda Nawawi, 1996, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Semarang : Penerbit Universitas Diponegoro.

---------2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Edisi Revisi, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Dinino, Philip & Sahr John Kpundeh 1999. A Handbook of Fighting Corruption. Washington DC : Center for Democracy and Governance.

Global Forum on Figting Corruption and Safeguarding Integrity II, Final Declaration, The Hague Netherland, 31 May 2001.

Kennedy, Anthony 2006. “Designing a civil forfeiture system: an issues list for policymakers and legislator” 13 (2) Journal of Financial Crime.

Laporan penelitian USAID (United States Agency for Internal    Development)    : “Promoting

Transparency and Accountability : USAID'S Anti corruption Experience”, Center Governance, Bureau for Global Programs, Field Support, and Research, U. S. Agency for International Development; Washington D. C; January 2000.

Mulya Lubis, Todung 2005. “Memerangi Korupsi di Peradilan Dari Sisi Advokat”, Makalah pada Seminar Anti Corruption Summit diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta 11-12 Agustus 2005

Nasution, Bismar 2007. ”Stolen Asset Recavery Initiative dari Perspektif Hukum Ekonomi di Indonesia” Makalah Narasumber dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN 2007), Jakarta 28 Nopember 2007

United Nations Convention Againts Corruption 2003

UU No. 31 thn. 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

UU No. 20 thn. 2001 Tentang Perubahan UU No. 31 thn. 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kertha Patrika Vol. 33 No. 1, Januari 2008

8