PENGATURAN PRINSIP MOST FAVOURED NATION (MFN) WORLD TRADE ORGANIZATION DALAM PELAKSANAAN EKSPOR-IMPOR DI INDONESIA
on
PENGATURAN PRINSIP MOST FAVOURED NATION (MFN) WORLD TRADE ORGANIZATION DALAM PELAKSANAAN
EKSPOR-IMPOR DI INDONESIA
Elizabeth Sefanya Roulina, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan penulisan jurnal ini yaitu untuk menganalisa pengaturan Prinsip Most Favoured Nation dalam pelaksanaan perdagangan internasional dengan menggunakan metode normatif. Prinsip ini merupakan prinsip dasar yang disepakati oleh World Trade Organization. Salah satu urgensi disepakatinya General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang pada akhirnya menjadi organisasi internasional yang bernama World Trade Organization (WTO) adalah persaingan dagang antara negara maju dengan negara berkembang. Sebagai salah satu negara anggota dari WTO, Indonesia harus tunduk pada prinsip most favoured nation. Dimana prinsip ini menekankan setiap anggota WTO diharuskan untuk memberlakukan negara lain dengan sama dalam kebijakan ekspor-impor dan tidak diperbolehkan untuk memberi perlakuan yang mengistimewakan atau diskriminatif terhadap negara lain. Kesetaraan ini menimbulkan permasalahan yang menempatkan Indonesia sebagai negara berkembang pada posisi sulit, karena tidak dapat menetapkan pembatasan tariff pada negara pengekspor atau negara maju yang terikat pada prinsip most favoured nation.
Kata kunci: Most Favoured Nation, WTO, Ekspor, Impor, Indonesia
ABSTRACT
The purpose of writing of this journal is to analyze the regulation of Most Favored Nation principles in international trade using normative methods. This principle is one of the basic principle agreed upon by the World Trade Organization. Competition between developed and developing countries became, to some extent, the origin of the formation of the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) that eventually became the World Trade Organization (WTO). Indonesia as a member of the WTO must adhere to the principle of most favoured nation. This principle emphasizes that WTO members are required to provide equal treatment in export and import policies and should not give preferential and discriminatory treatment to other countries. This equality raises problems that put Indonesia as a developing country in a difficult position, because it cannot set a tariff barrier on exporting countries or developed countries that are bound by the most favored nation principle.
Key word: Most Favoured Nation, WTO, Export, Import, Indonesia
Perdagangan internasional, yang dilahirkan oleh globalisasi, tidak dapat dihindari oleh bangsa-bangsa di dunia. Hal ini ditunjukkan dengan berdirinya World Trade Organization (selanjutnya disebut WTO), sebuah organisasi yang fokus pada perdagangan global, melalui Kesepakatan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia.1 yang diratifikasi menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (untuk selanjutnya disebut UU Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Putaran Uruguay, atau dikenal sebagai Uruguay Round (19861994), merupakan rangkaian diskusi yang disponsori oleh anggota GATT. Saat ini terdapat 164 negara anggota WTO, beberapa diantaranya adalah negara berkembang atau wilayah pabean yang berbeda. Sejumlah kesepakatan baru sekarang sedang dinegosiasikan oleh WTO sebagai bagian dari “Doha Development Agenda” (DDA), yang dimulai pada tahun 2001. Negara-negara anggota tersebut harus mengikuti rangkaian aturan atau kebijakan yang dibuat oleh WTO.
Penetapan pendirian WTO oleh negara-negara anggota terdiri dari 4 Annex atau pilar, yaitu “the rule against the use of quantities restrictions, the rule reduction tariffs and others barrier for trade, the rule of national treatment and the principle of most favoured nation” yang digagaskan pada Pasal 1 GATT 1994 dan kemudian dinyatakan dalam perjanjian WTO 1995, sehingga dengan adanya 4 pilar utama WTO telah mendukung liberalisasi dan perdagangan bebas, yang pada akhirnya akan menguntungkan setiap negara anggotanya, termasuk pulau-pulau kecil di negara berkembang, lebih khusus lagi the Small Island Developing States (SIDS), sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 GATT 1994 dan perjanjian WTO 1995.2
Indonesia telah menjadi anggota WTO sejak ditarifikasinya perjanjian pembentukan WTO. Keikutsertaan Indonesia pun terlihat jelas saat merundingkan DDA dengan tujuan peningkatan perekonoman dan pengurangan tingkat kemiskinan di Negara Indonesia. Dalam hal ini, Indonesia bergabung dalam beberapa koalisi untuk memperkuat posisi negosiasinya. Koalisi-koalisi ini, yang sebagian besar memiliki tujuan yang sama, antara lain G33, G-20, dan NAMA-11. Indonesia pun secara aktif berpartisipasi untuk membangun kesamaan posisi yang mengutamakan tercapainya tujuan DDA. Indonesia pun turut aktif terlibat dalam isu-isu penting bagi Indonesia, seperti kekayaan intelektual, lingkungan, pembangunan, dan pembuatan aturan WTO untuk perdagangan multilateral.3
Ekspor-impor dalam perdagangan internasional merupakan kegiatan penting bagi negara, sebab dampak dari kegiatan ekspor-impor dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan dilaksanakannya ekspor-impor akan mempengaruhi produk domestik bruto (PDB) yang akan mendorong tumbuhnya perekonomian suatu negara. Kenaikan produk ekspor akan merangsang kenaikan output domestik. Roda perekonomian nasional akan didorong oleh peningkatan produksi yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi yang lebih besar. Sebaliknya, komoditas dan jasa yang dibutuhkan untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan
berfungsi sebagai input manufaktur diimpor dari negara lain. Impor produk dan jasa dapat mendukung pertumbuhan produksi, konsumsi, dan distribusi komoditas dan jasa negara. Sehingga, apabila kegiatan perekonomian berjalan dengan baik maka pertumbuhan ekonomi negara dapat meningkat.4
Dalam memastikan kegiatan ekspor-impor dalam perdagangan internasional berjalan dengan baik, maka salah satu prinsip dalam 4 Annex yaitu prinsip most favoured nation (selanjutnya disebut dengan MFN) harus diterapkan oleh negara-negara anggota WTO. Dengan prinsip MFN, WTO berupaya untuk menciptakan lingkungan perdagangan yang adil dan tidak diskriminatif. Namun, dalam pelaksanaannya pengaplikasian prinsip MFN tidak senantiasa berjalan sebagaimana yang telah disepakati dan kerap menimbulkan kerugian bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Untuk itu penelitian ini menganalisis untuk melihat bagaimana pentingnya prinsip most favoured nation dalam perdagangan internasional, serta bagaimana pengaturan prinsip most favoured nation (MFN) menurut GATT/WTO dalam pelaksanaan ekspor-impor di Indonesia. Lebih lanjut, penulisan karya ilmiah ini bersinggungan dengan penulisan karya ilmiah milik FX. Joko Priyono dalam karya yang berjudul “Prinsip Most Favoured Nations dan Pengecualiannya dalam World Trade Organization”5 pada tahun 2017. Dalam penelitian tersebut mengulas tentang prinsip most favoured nation dan pengecualian prinsip tersebut dalam hukum World Trade Organization. Sedangkan, penulisan karya ilmiah ini lebih memfokuskan bagaimana pengaturan prinsip most favoured nation dalam pelaksanaan ekspor-impor di Indonesia.
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam karya ilmiah ini sebagai berikut:
-
1. Mengapa Prinsip Most Favoured Nation (MFN) dibutuhkan dalam Perdagangan Internasional?
-
2. Bagaimana pengaturan Prinsip Most Favoured Nation (MFN) menurut GATT/WTO dalam Pelaksanaan Ekspor-Impor di Indonesia?
Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah untuk memahami salah satu prinsip dasar dari WTO yaitu, Most Favoured Nation (MFN). Selain itu, untuk menganalisa bagaimana urgensi dan pengaturan dari prinsip Most Favoured Nation (MFN) yang harus dilaksanakan oleh negara-negara anggota WTO, salah satunya Indonesia. Mengingat bahwa Indonesia adalah negara berkembang sehingga Indonesia seringkali melakukan kegiatan ekspor-impor dengan sesama negara anggota WTO, dimana asas Most Favoured Nation (WTO) harus diberlakukan.
Metode penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan menggunakan bahan pustaka atau data sekunder.6 Metode penelitian yang digunakan pada
karya ilmiah ini adalah metode normatif yang menggunakan bahan pustaka atau data sekunder juga dikenal sebagai penelitian doktrinal. Dalam penelitian doktrinal, hukum sering kali dikonseptualisasikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau sebagai kaidah atau norma yang menjadi pedoman perilaku manusia yang dianggap tepat.7 Metode normatif yang penulis lakukan dalam menulis karya ilmiah ini adalah meneliti bahan hukum primer, seperti yurisprudensi, perundang-undangan, dan perjanjian internasional dan bahan hukum sekunder, seperti hasil karya dari kalangan hukum dan rancangan penelitian Pendekatan perundang-undangan (statute approach).
Sebelum terbentuknya organisasi internasional yang terdedikasi pada perdagangan internasional, negara di dunia memiliki acuan dalam melaksanakan perdagangan internasional, yaitu General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang merupakan pakta internasional. GATT 1947 awalnya adalah perjanjian internasional yang sifatnya sementara karena belum adanya organisasi perdagangan internasional. Namun, hingga saat ini GATT menjadi perjanjian internasional dalam lingkup perdagangan internasional walaupun WTO sudah terbentuk. Pembentukan WTO pada tahun 1994 tidak mengakhiri berlakunya GATT dan tetap menjadi perjanjian internasional yang wajib dipatuhi oleh setiap negara anggota WTO.
Keberadaan WTO tentu memiliki tujuan dan fungsi. Dalam pembukaan Perjanjian Marrakesh atau Marrakesh Agreement yang memuat penetapan pembentukan WTO, tiap-tiap negara yang turut serta menyepakati tujuan yang ingin dicapai oleh sistem perdagangan multilateral: (1) Peningkatan taraf hidup; (2) Memastikan lapangan pekerjaan; (3) Meningkatkan produktivitas dan perdagangan sekaligus memaksimalkan penggunaan sumber daya global.8 Selain tujuan berdirinya WTO, ada juga fungsi utama WTO yang merupakan wadah bagi para anggotanya untuk melakukan negosiasi perdagangan dan mengelola semua hasil dari negosiasi dan peraturan perdagangan internasional, Selain itu, adapun fungsi WTO diantaranya adalah:
-
1. Mengatur perjanjian perdagangan internasional;
-
2. Mendorong perdagangan internasional, dengan memangkas serta menghilangkan berbagai hambatan yang dapat menghambat lancarnya arus perdagangan barang dan jasa;
-
3. Menyediakan tempat yang lebih tahan lama untuk negosiasi, sehingga negosiasi dapat terfasilitasi;
-
4. Menyelesaikan perselisihan, karena hubungan dagang seringkali menimbulkan konflik kepentingan;
-
5. Penyelesaian sengketa perdagangan internasional;
-
6. Wadah untuk negosiasi perdagangan;
-
7. Mengawasi kebijakan perdagangan negara;
-
8. Membantu negara-negara berkembang.9
Salah satu prinsip dasar WTO adalah prinsip MFN, dimana dalam pengertian prinsip ini mengamanatkan bahwa anggota WTO tidak mendiskriminasi satu sama lain dan mengharuskan tiap anggota WTO memberikan hal yang sama, tanpa syarat, kepada tiap anggota WTO lainnya. Pada Article 1.1 GATT tertulis bahwa Prinsip MFN:
“With respect to customs duties and charges of any kind imposed on or in connection with importation or exportation or imposed on the international transfer of payments for imports or exports, and with respect to the method of levying such duties and charges, and with respect to all rules and formalities in connection with importation and exportation, and with respect to all matters referred to in paragraphs 2 and 4 of Article III,* any advantage, favor, privilege or immunity granted by any contracting party to any product originating in or destined for any other country shall be accorded immediately and unconditionally to the like product originating in or destined for the territories of all other contracting parties.”10
Menurut bunyi dari Pasal tersebut, maka perlakuan yang sama diperlukan bagi setiap negara anggota WTO dalam perjanjian perdagangan internasional, termasuk impor dan ekspor. Suatu negara tidak boleh untuk memberikan perlakuan yang istimewa kepada negara lain. Terdapat 2 konsep dalam MFN, yaitu konsep MFN tanpa syarat (unconditional MFN) yang berartikan jika terdapat negara E mengistimewakan negara Z, maka negara E juga harus memperlakukan hal yang sama kepada negara N, dengan kata lain tidak ada negara yang diperlakukan berbeda dan kewajiban ini tanpa syarat. Yang kedua adalah konsep MFN bersyarat (conditional MFN), yang berartika jika negara E mengistimewakan negara Z berdasarkan kesepakatan antara mitra dagang, dan negara N ingin mendapatkan perlakuan istimewa dari negara E, negara-negara tersebut harus membuat perjanjian dengan negara E yang memuat persyaratan tertentu dan harus dilakukan oleh negara N.11
Pada dasarnya, prinsip MFN melarang negara anggotanya untuk melakukan diskriminasi sehingga negara-negara anggota harus mendapatkan manfaat yang sama berdasarkan prinsip MFN. Namun demikian, sebagaimana tertuang dalam GATT 1994, terdapat beberapa pengecualian terhadap prinsip MFN, antara lain:
-
1. Jika suatu negara anggota memenuhi persyaratan Pasal XXIV GATT, mereka tidak diwajibkan untuk memperlakukan negara anggota lainnya secara setara karena prinsip ini tidak relevan untuk negara anggota yang memiliki ikatan serikat pabean/kawasan perdagangan bebas dengan negara non-anggota;
-
2. GSP (Generalized System of Preferences) adalah semacam dukungan perdagangan internasional yang diberikan oleh negara-negara maju kepada negara-negara berkembang dalam rangka interaksi ekonomi antara negara maju dan negara berkembang;
-
3. Anggota GATT lainnya tidak boleh tunduk pada keuntungan lalu lintas perbatasan (Pasal VI).;12
-
4. Pembatasan untuk melindungi saldo pembayaran (Pasal XII), salah pengecualian GATT terhadap ketidakabsahan prinsip MFN, memungkinkan suatu negara untuk memberlakukan hambatan impor barang untuk melindungi neraca pembayarannya;13
-
5. Pengecualian terhadap aturan umum non-diskriminasi (Pasal XIV), pembatasan pada produk yang dapat menjadi pengecualian terhadap aturan non-diskriminasi;14
-
6. Tindakan darurat atas impor produk tertentu (Pasal XIX), hal ini memungkinkan penerapan tindakan darurat pada masuknya barang ke suatu negara, dan keberadaan komoditas tersebut telah merugikan produsen dalam negeri;15
-
7. Pengecualian Umum (Pasal XX), Terhadap moralitas publik, kehidupan atau kesehatan manusia, tumbuhan, hewan, dan hak kekayaan intelektual, hal ini dilakukan untuk memberikan perlindungan;16
-
8. Pengecualian Keamanan (Pasal XXI), Untuk tujuan menjamin keamanan warganya, pasal ini menjustifikasi suatu negara yang mengesampingkan prinsip-prinsip GATT tertentu, termasuk prinsip-prinsip MFN. Kriteria khusus tersebut antara lain: kondisi barang, perdagangan yang berkaitan dengan perang, seperti perolehan barang untuk menciptakan kekuatan militer ilegal, perdagangan senjata, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan perang.17
Prinsip MFN sendiri memiliki keududukan penting dalam perdagangan internasional. Prinsip MFN melarang anggota WTO melakukan diskriminasi terhadap mitra dagang yang juga merupakan anggota WTO. Produk yang akan diajukan atau berasal kepada sesama negara anggota WTO lainnya akan mendapatkan perlakuan yang sama dengan segera dan tanpa syarat (immediately and unconditionally). Akibatnya, tidak dapat diterima bagi suatu negara untuk mendiskriminasi atau memperlakukan negara lain secara istimewa.18
-
3.2 Pengaturan Prinsip Most Favoured Nation (MFN) Menurut GATT/WTO dalam
Pelaksanaan Ekspor-Impor di Indonesia
Sebagai negara anggota WTO, Perjanjian pendirian Organisasi Perdagangan Dunia telah diratifikasi oleh Indonesia dan dimasukkan ke dalam UU Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Implikasinya adalah jika suatu negara menyetujui suatu perjanjian internasional, maka tersirat bahwa negara tersebut terikat oleh ketentuan-ketentuan pakta tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Wayan Prathiana, bahwa “sebuah perjanjian internasional memiliki dua unsur: aspek internal dan aspek eksterior. Ratifikasi merupakan deklarasi yang mengikat secara hukum atas kedua aspek tersebut.”19 Prinsip MFN merupakan prinsip yang tidak kalah penting dengan prinsip lainnya dalam WTO, adapun ahli bernama Rasheed Khalid meyakini bahwa konsep MFN merupakan prinsip utama WTO, yang diperkuat dengan pernyataannya dalam bukunya yang berjudul “The World Trade Organizations and Developing Countries”:
“The most important and fundamental principle of the WTO is nondiscriminatory treatment or, to be legally precise, most favoured nation (MFN) treatment. What it means is simply that any advantage, favor, privilege, or immunity granted by one WTO member to another has to be granted immediately and unconditionally to all other members.”20
Terlepas dari apakah suatu negara maju atau berkembang, Indonesia harus mengenakan tarif impor yang sama dan berlaku untuk semua anggota WTO sesuai dengan prinsip MFN. Menurut prinsip ini, Indonesia dilarang untuk mendiskriminasikan sesama negara anggota WTO.
Prinsip MFN ini terimplementasi terhadap jalannya proses ekspor-impor di Indonesia. Ekspor dan impor berkaitan erat dengan prinsip Most-Favored-Nation (MFN) dalam kerangka Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Prinsip MFN adalah prinsip non-diskriminasi yang menyatakan bahwa setiap anggota WTO harus memberikan perlakuan yang sama kepada semua anggota lainnya, tanpa membedakan negara asal produk atau layanan yang diperdagangkan. Dalam konteks ekspor, prinsip MFN berarti bahwa negara-negara anggota WTO tidak dapat memberikan perlakuan yang lebih baik kepada satu negara tujuan ekspor daripada negara tujuan ekspor lainnya. Misalnya, jika sebuah negara memberikan tarif impor yang rendah kepada satu negara, maka negara tersebut juga harus memberikan tarif yang sama rendahnya kepada semua negara anggota WTO lainnya. Dalam konteks impor, prinsip MFN berarti bahwa negara-negara anggota WTO tidak dapat memberikan perlakuan yang lebih buruk kepada satu negara pemasok impor daripada negara pemasok impor lainnya. Misalnya, jika sebuah negara memberlakukan hambatan impor, seperti kuota atau tarif yang tinggi, terhadap produk dari satu negara, maka negara tersebut juga harus memberlakukan hambatan yang sama kepada semua negara anggota WTO lainnya.
Dengan menerapkan prinsip MFN, WTO berusaha mencegah diskriminasi dalam perdagangan internasional dan mendorong adanya perlakuan yang sama untuk semua anggota. Prinsip ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan perdagangan yang lebih adil, transparan, dan terbuka bagi semua negara anggota. Namun, pada kenyataannya prinsip MFN sendiri mengakibatkan kerugian yang signifikan, terutama bagi keberlanjutan manufaktur lokal. Di Indonesia, beras merupakan salah satu komoditas pertanian terpenting dan dapat dikatakan unggulan. Meskipun demikian, beras Vietnam benar-benar diminati di dalam pasar global; pada kenyataannya, barang impor yaitu beras Vietnam dimaanfaatkan oleh Indonesian Bureau of Logistics (Badan Urusan Logistik Indonesia).21 Adapun mayoritas barang pertanian lainnya yang ada di pasaran juga merupakan barang impr. Hal ini dapat terjadi dikarenakan:
-
1. Meningkatnya permintaan barang impor di pasar global dan harga barang impor yang lebih rendah, sehingga permintaan impor secara signifikan lebih besar;
-
2. Barang impor memiliki kualitas yang lebih baik daripada barang lokal.
Hal ini tentunya merugikan negara-negara berkembang yang menjadi pasar ekspor barang-barang buatan negara lain, seperti Indonesia. Merupakan tantangan bagi Indonesia untuk
mengambil tindakan dari segi hukum untuk menetapkan hambatan terhadap produk negara maju untuk melindungi manufaktur dalam negeri, khususnya dengan melalui hambatan tarif.
Jika dilihat dari sisi daya saing, permasalahan ini tentu akan menjadi masalah besar, terutama mengingat adanya kesenjangan daya saing antara negara-negara maju dan berkembang. Penerapan prinsip MFN di lingkup internasional bagaikan “kapak bermata dua”. MFN secara tidak langsung melindungi tarif impor Indonesia sebagai negara berkembang, ditengah gempuran dari negara-negara maju, namun disisi lain prinsip ini juga sangat membatasi Indonesia dalam menentukan biaya ekspor. Namun demikian, Indonesia tidak berdaya karena wajib menjunjung tinggi prinsip MFN, yang merupakan salah satu prinsip GATT/WTO. Sehingga dalam menetapkan tariff barrier, Indonesia tidak bisa melangkah terlalu jauh.
Indonesia sebagai negara agraris yang juga memproduksi beras kualitas Indonesia tidak dapat dikatakan bahwa Indonesia sejahtera secara sepenuhnya dalam aspek impor beras. Hal ini terbukti dari keadaan situasi Indonesia per januari 2023 yang masih mengimpor beras sebesar 243,65 juta kilogram. Menteri Zulkifli Hasan memberikan pernyataan bahwa impor beras ini masih dilakukan Indonesia untuk menstabilkan harga beras akibat supply & demand beras yang sangat tumpang tindih di Indonesia.22 Situasi ini yang akhirnya menempatkan Indonesia sebagai negara berkembang ada pada posisi sulit yang tidak dapat menetapkan tariff barrier pada negara pengekspor atau negara maju, selain dari alasan kualitas dan terikat pada prinsip most favoured nation.
GATT/WTO sebagai organisasi yang hadir ditengah tengah masyarakat internasional memiliki tujuan utama yakni untuk meminimalisir adanya gesekan atau konflik antar negara memiliki kepentingan negaranya masing-masing baik itu negara maju atau negara berkembang. 23 Status negara berkembang dan negara maju membuat klasifikasi negara sebagai subjek hukum internasional seakan-akan tidak setara. Permasalahan ini melahirkan konsep “Perlakuan Khusus dan Berbeda yang Berpihak pada Negara-negara yang Paling Tidak Berkembang”(Special and Differrential Treatment), yang berlaku untuk negara maju dan berkembang. Prinsip ini bertujuan untuk memudahkan negara-negara berkembang yang menjadi anggota WTO untuk turut terlibat dalam negosiasi mengenai perdagangan global sesuai dengan kesepakatan WTO. Tujuan dari prinsip ini adalah untuk menawarkan lebih banyak kebebasan kepada pemerintah negara berkembang untuk membuat peraturan perdagangan. Realitanya Indonesia sebagai negara berkembang tetap tunduk pada prinsip most favoured nation, seakan-akan prinsip Perlakuan Khusus dan Berbeda yang Berpihak pada Negara-negara yang Paling Tidak Berkembang dikesampingkan.
Indonesia sebagai negara anggota dari WTO membuat Indonesia harus tunduk dengan prinsip yang dianut oleh WTO salah satunya adalah prinsip MFN. Dalam aspek ekspor-impor, prinsip most favoured nation dibutuhkan oleh Indonesia, mengingat bahwa sebagai negara berkembang, Indonesia bergantung pada negara lain untuk bertahan, salah satunya melalui
kegiatan ekspor-impor. Kegiatan ekspor-impor dapat mendorong tumbuhnya perekonomian negara karena ekspor-impor mempengaruhi produk domestik bruto (PDB) yang akan mendorong tumbuhnya perekonomian suatu negara. Prinsip MFN diatur dalam GATT Pasal 1 Ayat 1 yang menyatakan “Indonesia sebagai negara anggota WTO harus menetapkan tarif yang sama bagi seluruh anggota GATT/WTO.” Intinya, konsep ini melarang diskriminasi antar negara anggota WTO, dengan pengecualian yang diatur dalam Pasal GATT XIVXX, XXI, XXIV, dan XXV tahun 1994.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adolf, Huala. “Hukum Perdagangan Internasional” Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2016.
Amiruddin, Abidin Zainal. “Pengantar Metode Penelitian Hukum” Jakarta: Rajawali Pers, 2016.
Fuady, Munir. "Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Global." Bandung: Citra Aditya Bakti, 2016.
Kurnianingrum S.H., M.H., Trias Palupi, Dian Cahyaningrum, Luthvi Febryka Nola, S.H., M.Kn., Novianti, S.H., M.H. “Pelindungan Kepentingan Nasional dalam Perdagangan Internasional”, Publica Indonesia Utama, 2021.
Parthiana, I. Wayan. "Hukum Perjanjian Internasional Bagian 1, Edisi Revisi." Bandung: CV Mandar Maju, 2018
Pauwelyn, Guzman. “International Trade Law.” New York: Aspen Publisher Kluwer Law International, 2016.
Jurnal
Astuti, Ismadiyanti Purwaning, and Fitri Juniwati Ayuningtyas. "Pengaruh Ekspor dan Impor Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia." Yogyakarta: Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan 19, no. 1 (2018): 1-10. DOI: doi.org/10.18196/jesp.19.1.3836
Ehring, Lothar. "De Facto Discrimination in World Trade Law National and Most-Favoured-Nation Treatment—or Equal Treatment?." Eropa: Journal of World Trade 36, no. 5 (2002): 921 – 977. DOI: https://doi.org/10.54648/5107794
Fajar, Ni Made Anggia Paramesthi "Implementasi Prinsip MFN (Most Favoured Nation Treatment) dan NT (National Treatment) GATT dalam Pelaksanaan Kegiatan Kepariwisataan Di Provinsi Bali." Denpasar: Jurnal Yustitia 13, no. 1 (2019): 68-79. DOI:
www.ojs.unr.ac.id/index.php/yustitia/article/view/274
Fithriah, Nurhani. "Penerapan Prinsip Non-Diskriminatif dan National Treatment oleh Indonesia dalam Rangka MEA Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal." Bengkulu: University of Bengkulu Law Journal 2, no. 1 (2016): 80-90. DOI
doi.org/10.33369/ubelaj.2.1.80-90
Julitasari, Evi Nurifah. "Dampak Restriksi Perdagangan Terhadap Penawaran dan Permintaan Beras di Pasar Dunia dan Kinerja Perberasan Indonesia." Malang: Jurnal Manajemen dan Akuntansi 3, no. 2 (2014). 64-80. DOI: http://publishing-widyagama.ac.id/ejournal-
v2/index.php/jma/article/view/258/253
Kurnia, Kana, and Teten Tendiyanto. "Analisis Hukum terhadap Prinsip Most Favoured Nations dalam Sengketa Dagang Impor Produk Besi." Kuningan: Jurnal Penelitian Universitas Kuningan 11, no. 01 (2020): 58-67. DOI: https://doi.org/10.25134/logika.v11i01.3196
Pebrianto, Dony Yusra. "Implikasi Prinsip Most Favoured Nation terhadap Pengaturan Tarif Impor Di Indonesia." Jambi: Wajah hukum 2.1 (2018): 29-41. DOI: doi.org/10.33087/wjh.v2i1.25
Priyono, FX Joko. "Prinsip Most Favoured Nations dan Pengecualiannya dalam World Trade Organization (WTO)." Semarang: Masalah-Masalah Hukum 42, no. 4 (2013): 593-600. DOI 10.14710/mmh.42.4.2013.593-600
Putra, Hananto Prabowo Hardi. "Analisis Dampak Pemanfaatan Kebijakan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) Terhadap Produktivitas Sektor Industri Tertentu." Jakarta: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan 23, no. 2 (2015): 113-123. DOI: https://doi.org/10.14203/JEP.23.2.2015
Santoso, M. Iman. "Kedaulatan dan Yurisdiksi Negara dalam sudut pandang Keimigrasian." Bekasi: Binamulia Hukum 7, no. 1 (2018): 1-16. DOI: https://doi.org/10.37893/jbh.v7i1.310
Sutanto, Marko Cahya. "Konsistensi Hukum World Trade Organization (WTO) Mengenai Prinsip Most Favored Nation (MFN) atas Regionalisme dan Pandangannya Terhadap Asean Economic Community (AEC)." Bandung: Veritas et Justitia 1, no. 2 (2015). DOI: https://doi.org/10.25123/vej.v1i2.1690
Widayanto, Sulistyo. "WTO Melindungi Kepentingan Domestik Negara Anggotanya Secara Optimal." Jakarta: Tinjauan Perdagangan Indonesia, Kementerian Perdagangan 35 (2016). DOI: https://ditjenppi.kemendag.go.id
Thalib, Prawita. "Implikasi Prinsip Most Favoured Nation Dalam Upaya Penghapusan Hambatan Pedagangan Internasional." Surabaya: Yuridikia 27, no. 1 (2012): 35-36. DOI:
https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail
Internet
Arrijal Rachman, 2023, Impor Beras Meroket di Awal 2023, dari Vietnam Naik 31.418%, URL: https://www.cnbcindonesia.com/news/20230216070041-4-414174/impor-beras-meroket-di-awal-2023-dari-vietnam-naik (Accessed February 20 2023)
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia 2014, World Trade Organization (WTO), URL: https://kemlu.go.id/portal/id (Accessed January 2 2023)
Kementerian Perdagangan, 2017, World Trade Organization (WTO), URL: http://pusdiklat.kemendag.go.id (Accessed January 2 2023)
Konvensi Internasional
Agreement Establishing The World Trade Organizations, Marrakesh, Maroko, 15 April 1994
The General Agreement on Tariffs and Trade 1994
The General Agreement on Tariffs and Trade 1947
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57.
Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 5 Tahun 2023 hlm 527-536
536
Discussion and feedback