UPAYA HUKUM REPRESIF BAGI KONSUMEN DALAM HAL PENGIRIMAN BARANG

TIDAK SESUAI DENGAN YANG DIBELI

Mitra Junata Togatorop, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Made Dedy Priyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Putu Sudarma Sumadi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan dari penulisan junal ini adalah untuk mengetahui perlindungan hukum pada konsumen yang tidak menerima barang sesuai dengan pesanan dilihat dari UUPK dan UU ITE serta upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen apabila mengalami kerugian dari pihak e-commerce. Metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang merajuk pada ketentuan UUPK dan UU ITE dan juga dengan mengumpulkan data kepustakaan, mengaitkan pokok permasalahan dengan peraturan perundang-undangan, mengutip dari beberapa peraturan perundang-undangan yang relevan. Perlindungan hukumnya terdapat pada UU ITE No. 11 Tahun 2008 dan Pasal 38 dan pasal 45 ayat (1) serta ayat (2) UUPK. Yang memuat tentang menyelesaikan masalah jika barang yang dibeli tidak sesuai dapat diselesaikan secara litigasi atau non litigasi.

Kata Kunci: e-commerce, Perlindungan Hukum, Litigasi, Nonlitigasi

ABSTRACT

The purpose of writing this journal is to find out how legal protection for consumers who do not receive goods according to orders is seen from the UUPK and ITE Law and what legal remedies consumers can make if they experience losses from the e-commerce party. The method used is a method that refers to the provisions of UUPK and UU ITE and also collects bibliographical data, relates the subject matter to laws and regulations, quotes from several relevant laws and regulations. The legal protection is contained in UU ITE No. 11 of 2008 and Article 38 and article 45 paragraph (1) and paragraph (2) UUPK. Which stipulates that in order to resolve the problem if the goods purchased are not suitable, they can be resolved through litigation or non-litigation.

Key Words: e-commerce, Legal Protection, Litigation, Nonlitigation.

  • 1.    Pendahuluan

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Pada era sekarang berkembangannya zaman adalah suatu peristiwa yang tidak dapat terhindarkan. Sebab majunya di semua bidang ilmu pengetahuan dan juga teknologi berdampak yang sangat besar terutama dalam hal meringankan pekerjaan manusia yang dimana pada era sekarang semua bisa dilakukan dimana saja dan juga sangat praktis. Salah satu kemudah mengakses semua dengan teknologi sekarang, maka dari itu munculnya banyak sekali konsumen yang membeli barang secara online hanya mengandalkan ponsel kemudian barang tersebut sudah bisa didapatkan. Hal ini sangat wajar mengingat internet telah memberikan keleluasaan lebih kepada masyarakat dalam menentukan (barang dan jasa) mana yang akan dibeli dan dikonsumsi, pastinya memilki kualitas dan kuantitas yang beragam yang tepat dengan apa yang dibutuhkan.1

Dengan kemajuan teknologi internet dewasa ini banyak orang melakukan perdagangan atau yang biasa disebut e-commerce yang dulunya hanya dilakukan dengan bertemu dan datang langsung ke tempat perbelanjaan namun sekarang bisa dilakukan dimanpun dan kapanpun. Debjani Nag dan Kamlesh K. Bajaj, berpendapat bahwa “ecommerce merupakan suatu cara pertukaran informasi dalam bidang usaha tanpa perlu memakai kertas, tapi sebagai gantinya kegiatan ini menggunakan media seperti Electronic Mail, Electronic Data Interchange, dan melalui jaringan internet lainnya”.2 Kemudian menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), “Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya”.

Dengan banyaknya e-commerce atau perdangan secara online ini mengakibatkan sering terjadinya penipuan terhadap konsumen dikarenakan banyak barang yang dibeli kerap kali barang yang tiba tidak sesuai. Oleh karena itu, diperlukan kerangka hukum yang dapat memberikan perlindungan kepada konsumen saat melakukan belanja online, yang mungkin saja dapat menyebabkan konsumen mengalami rugi atau wanprestasi yang dijalankan oleh pengusaha. Undang-Undang U Nomor 8 Tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen (UUPK) dan UU ITE adalah UU yang berkaitan tentang upaya melindungi konsumen dan transaksi online di e-commerce. Hal tersebut merupakan suatu kewajiban oleh pelaku usaha untuk memenuhi hak-hak konsumen, agar ketika melakukan transaksi online, konsumen tetap mendapatkan hak dan tanpa mengalami kerugian ditangan pengusaha yang kinerjanya buruk.3

Seperti kasus wanprestasi yang yang dialami oleh Hendrik melalui salah satu toko di Lazada. Hendrik membeli sebuah televisi TCL 43-inch dengan tipe 43A8 pada tanggal 7 Juli 2020 di Toko TCL Official Store. Setelah barang tersebut sampai, Hendrik langsung membuka paket pesanan telivisinya dan ternyata isinya adalah sebuah televisi bekas bermerek Toshiba. Mengetahui barang yang dipesan tidak sesuai dengan yang dipesan, Hendrik melakukan pelaporan pada toko TCL official Store, namun tidak ada respon dan tangggapan.4 Berdasarkan permasalahan di atas merugikan konsumen, seperti produk yang dipesan tidak sesuai dengan produk yang ditawarkan, dan hal-hal lainnya yang tidak sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Oleh karena itu dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada konsumen, pemerintah membuat suatu peraturan yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Dari peraturan diatas masyarakat dapat mengetahui hak dan kewaiban para pihak dan penyelesaiannya.

Sebagai dasar penulisan jurnal ini, dalam penulisan jurnal ini mempunyai beberapa kesamaan dengan jurnal berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Melakukan Transaksi Elektronik di Indonesia” ditulis oleh A.A.Bintang Evitayuni Purnama Putri dan Edward Thomas Lamury Hadjon5. Jurnal di atas hanya membahas perlindungan hukum yang diperoleh konsumen secara umum, sedangkan pada jurnal ini lebih memfokuskan kepada upaya hukum represif dan preventif.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana perlindungan hukum yang mengatur tentang konsumen yang tidak menerima barang sesuai pesanan berdasarkan UUPK dan UU ITE?

  • 2.    Bagaimana upaya hukum yang bisa dijalankan konsumen apabila dirugikan dalam hal tidak sesuainya barang yang sampai dengan barang pesanan?

  • 1.3    Tujuan Penelitian

Perlindungan konsumen merupakan istilah yang menjelaskan tentang pengaturan perlindungan konsumen atas kerugian dalam mengkonsumsi barang ataupun jasa. Adapun tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum pada konsumen yang tidak menerima barang sesuai dengan pesanan dilihat dari UUPK dan UU ITE serta apa saja upaya hukum yang bisa dijalankan konsumen apabila mengalami kerugian dari pihak e-commerce.

  • 2.    Metode Penelitian

Artikel ilmiah ini dengan metode penelitian yaitu menggunakan metode hukum normatif. Penelitian ini bersumber dan fokus terhadap peraturan hukum sesuai perlindungan hukum atas konsumen terkait pengiriman barang yang tidak sesuai dengan pesanan yang sebenarnya yaitu merajuk pada ketentuan UUPK dan UU ITE dan juga dengan mengumpulkan data kepustakaan, mengaitkan pokok permasalahan dengan peraturan perundang-undangan, mengutip dari beberapa peraturan perundang-undangan yang relevan, serta mengumpulkan data yang relevan dengan topik permasalahan yang akan ditelaah baik dari artikel maupun literatur terkait.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan ini dapat mengidentifikasi suatu perbedaan peraturan antara berbagai macam pertauran lainnya, mulai dari perihal defenisi, status hukum, hal dasar lainnya. Pendekatan ini juga dapat mengidentifikasi masalah hukum mengenai apakah undang-undang tersebut sudah cukup jelas, kelayakan penerapannya, dan keselarasannya dengan UU lainnya. Adapun undang-undang yang akan dianalisis dalam dalam penelitian ini, sebagai berikut:

  • 1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

  • 2.    Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

  • 3.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Selain itu, untuk menganalisis dan mejelaskan mengenai bahan hukum primer dibutuhkan buku-buku, jurnal, berita, dan karya tulis lainnya.

Teknik analisis bahan hukum ini menggunakan teknik analisis deskriptif. Teknik analisis deskriptif adalah Teknik atau metode yang menganalisis suatu permasalahan tertentu dan akan menghubungkannya dengan opini atau pendapat para ahli hukum yang akan didasari perundang-undang. Selanjutnya dalam melakukan penafsiran, penelitian ini

menggunakan teknik gramatikal. Teknik gramatikal adalah pengertian yang berdasarkan peraturan perundang-undangan. Peneliti melakukan analisis peraturan perundang-undangan yang memiliki hubungan dengan permasalahan pokok penelitian ini.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1 . Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Yang Tidak Menerima Barang Sesuai Pesanan Berdasarkan UUPK dan UU ITE

Semakin berkembangnya zaman membuat keberadaan e-commerce saat ini mudah didapatkan dan mempunyai banyak sekali jenis yang ditawarkan baik dari barang kebutuhan sehari-hari sampai dengan hal yang sulit ditemukan, namun sekarang sudah sangat cepat untuk ditemukan semua berkat internet dan kecanggihan teknologi. Supaya penggunaan teknologi informasi tdak disalahgunakan dan juga bermanfaat maka dari itu sudah diatur dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terutama dalam Pasal 3 menyebutkan bahwa “Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan prinsip kepastian hukum, iktikad baik, kehati-hatian, manfaat, dan kebebasan memilih teknologi maupun netral teknologi”.

Dalam melakukan transaksi barang maupun jasa yang masuk dalam jual beli secara online, terdapat dua individu yang mengalami keterikatan, di antaranya pihak yang menyediakan produk dikatakan sebagai pengusaha, dan juga orang yang menggunakan atau mengonsumsi produk dikatakan sebagai konsumen.6 Menurut Pasal 1 angka 3 UUPK “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. Kemudian pengertian konsumen jika dilihat dari Pasal 1 angka 2 UUPK “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Permasalahan terkait hukum perlindungan konsumen sudah banyak merugikan konsumen dan semakin marak terjadi baik dalam kasus transaksi e-commerce dengan pedagang di Indonesia maupun dengan pedagang di negara lain.7 Konsumen yang melakukan transaksi e-commerce dengan para penjual semakin dihadapkan pada persoalan perlindungan hukum konsumen. Kasus penipuan sangat umum terjadi dalam jual beli jarak jauh oleh karena itu konsumen perlu dilindungi, kasus penipuan seperti itu terjadi pada saat penjual terkait keberadaan penjual, barang yang dibeli serta pesanan dan pembayaran pembeli, kasus penipuan yang berkaitan dengan keberadaan penjual contoh bahwa penjual yaitu transaksi yang dimaksud adalah virtual merupakan transaksi fiktif. Barang yang dikirim oleh penjual antara lain barang yang tidak terkirim ke pembeli, barang yang sampai terkadang yang dipesan oleh pembeli tidak sesuai. Pengiriman yang terlambat dalam waktu lama, kerusakan atau cacatnya barang yang dikirimkan dan lain sebagainya.8

Berdasarkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 bahwa seseorang mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum yang sama di mata hukum. Perlindungan konsumen telah diatur dalam UU Perlindungan Konsumen, yang mendefinisikan perlindungan konsumen sebagai segala upaya yang menjamin kepastian hukum untuk

melindungi hak-hak konsumen (Pasal 1 Angka 1 UU Perlindungan Konsumen). Perlindungan dan penegakan hukum ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap individu yang menjadi subjek hukum memperoleh hak-haknya. Apabila hak-hak ini dilanggar, sistem perlindungan hukum akan memberikan perlindungan penuh kepada subjek hukum yang menjadi korban. Untuk mencegah adanya suatu wanprestasi UUPK Pasal 29 ayat yang memuat mengenai pembinaan konsumen, yang sangat penting mengingat kondisi saat ini. Pembinaan konsumen bertujuan untuk meningkatkan kesadaran konsumen tentang informasi terkait transaksi online, serta memastikan bahwa konsumen memahami hak-hak perlindungan konsumen mereka.

Dalam permasalahan barang atau produk yang mengalami ketidaksuesuaikan dengan pesanan konsumen, banyak pelaku e-commerce terkadang lepas dari tanggung jawab atau tidak ada iktikad baik kepada pembeli, oleh karena itu pelaku bisa saja dikenakan pidana berdasarkan Pasal 62 UUPK “Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2),Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).”

Dalam pelaksanaan perjajian yang dilandasi dengan iktikad baik memberikan dampak yang besar supaya para pihak yang berkewajiban menghindari melakukan perbuatan yang dapat kerugian bagi pihak manapun. Namun terkadang kenyataannya tidak sedikit dari pelaku e-commerce tidak memperhatikan asas iktikad baik dalam menjalankan jual beli maka dari itu menyebabkan pembeli mengalami kerugian. Misalnya permasalahan yang sering terjadi saat pembelian barang terkadang pelaku e-commerce mengiklankan barang A namun yang sampai melainkan barang B, hal ini tentu saja merugikan bagi pihak pembeli dikarenkan sudah melakukan transaksi dan barang yang tiba tidak sesuai dengan keinginan.9 Di dalam UUPK sudah diatur terkait dengan aturan tersebut berdasarkan Pasal 16 huruf a berbunyi: “pelaku usaha dilarang untuk tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan”.10

Terkadang konsumen mencari mudah dan praktisnya saja, namun diluar semua hal tersebut yang menyebabkan kerugian dari jual beli online, terlebih lagi pihak e-commerce dan pembeli tidak bertatapan muka secara langsung membuat konsumen berada dalam posisi yang yang sangat rentan dan lebih mudah mengalami kerugian dibandingkan dengan pelaku usaha atau pihak e-commerce yang memungkinkan pembeli dapat melihat sebagian kecil dari haknya, maka dari itu seringkali pengusaha memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menipu konsumen.11 Sehingga, kosnumen diharapakan dalam melakukan jual beli harus menelitinya terlebih dahulu sebelum melakukan pembelian produk sebab telah diterangkan sebelumnya pembeli cenderung lebih mudah terkena kerugian saat melakukan transaksi secara online.

Untuk menjamin keamanan kosumen dalam melakukan pembelian secara online di ecommerce, berdasarkan pasal 4 UUPK sudah dijelaskan terkait contoh hak pembeli yaitu memperoleh kejelasan yang lengkap terkait barang atau jasa. Hal tersebut suaya tidak mengalami kesalahpahaman didalam bertransaksi online baik antara pihak-pihak yang berkaitan. Pasal 4 UUPK ini juga ada aturan tentang mengganti kerugian atau penggantian barang disebabkan produk yang tiba berbeda atau tidak sesuai pesanan. Dalam pasal 7 UUPK juga mengatur mengenai dengan kewajiban para pelaku e-commerce untuk beretikad baik agar

transaksi secara online berjalan dengan sebagaimana mestinya dan para pihak e-commerce terbuka terkait dengan produknya. Apabila pengusaha dalam menjalankan penjualan online tidak menyerahkan barang atau jasa yang sudah dijanjikan sebelum melakukan transaksi, maka pengusaha harus membayar kerugian berdasarkan pasal 7 UUPK.12

Dalam mengedepankan pengaturan tentang kewajiban dan hak yang sudah ada sebagaimana ditetapkan oleh UUPK di atas, sehingga pihak-pihak yang menjalankan transaksi online melalui e-commerce dijamin dan menghindari kerugian. Dengan adanya UUPK tentu saja bisa melindungi hak yang harus dimiliki konsumen dapat juga menghentikan berbagai wujud penipuan pengusaha yang tidak bertanggung jawab terhadap usaha yang dimilikinya dalam jual beli online dan dapat memberikan sanksi kepada pengusaha yang melakukannya kecurangan.13

Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), Perlindungan hukum bagi konsumen juga tertuang dalam undang-undang ITE. Pengikatan terhadap pihak-pihak dalam jual beli online yang dijalankan oleh para pihak juga diatur pada pasal 18 Ayat (1). Sementara itu pasal 28 (1) memberi perlindungan hukum dalam hal adanya berita bohong yang disengaja maupun tidak disengaja yang merugikan pembeli. Tidakan yang ditetapkan di Pasal 28 Ayat (1) dengan ancaman pidana penjara paling lambat 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp1.000.000.000,00, peraturan ini termasuk dalam Pasal 45 Ayat (2) UU ITE.

  • 3.2    Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Konsumen Apabila Dirugikan Dalam Hal Tidak Sesuainya Barang Yang Sampai Dengan Barang Pesanan

Dalam beberapa tahun terakhir, jual beli online dengan menggunakan media ecommerce semakin populer di kalangan masyarakat. Perdagangan telah bergeser dari yang sebelumnya dijalankan secara konvensional secara tatap muka antara konsumen dan pelaku usaha menjadi secara digital di internet. Konsep perdagangan online adalah konsep yang mengharuskan konsumen dan pelaku usaha bertemu secara tidak langsung. Padahal, proses perdagangan antar kota dan pulau dapat dijalankan dengan mudah. Hal tersebut adalah salah satu pengaruh positif dari berkembangnya teknologi yang dipergunakan dengan baik oleh pengusaha. Lebih baik lagi, publik menyambut fenomena perdagangan ini dengan umpan balik positif.

E-commerce merupakan gabungan dari dua kata yaitu electronic dan commerce. Jika menurut harfiah berrati perdagangan elektronik. berarti, semua wujud perdagangan melibatkan cara memasarkan barang hingga distribusi, dijalankan dengan media elektronik atau online. Secara praktisnya, e-commerce merupakan wujud perdagangan yang dijalankan secara online dengan memanfaatkan internet. E-commerce dapat dijalankan dengan komputer, laptop, sampai smartphone.

Tentunya dengan banyaknya transaksi yang terjadi dalam e-commerce masih banyak permasalahan yang muncul. Contohnya seperti mutu produk yang belum tentu benar dan sesuai, dikarenkan wujud fisik produk yang tidak dilihat secara langsung. Suatu produk yang telah sampai sering juga rusak atau sudah tidak berfungsi karena terbanting pada saat proses pemgiriman. Permasalahan penipuan juga masih sering terjadi, dikarenakan konsumen tergiur dengan murahnya suatu produk dan dalam pemesanan barang konsumen harus terlebih dahulu melakukan pembayaran. Oleh karena permasalahan di atas, diperlukan dasar hukum yang menjadi perlindungan bagi individu-individu yang melakukan jual beli online.14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Perlindungan

Konsumen (UUPK) adalah hukum yang mampu melindungi transaksi online melalui ecommerce. Berdasarkan UUPK dijelaskan larangan bagi pengusaha dalam bertindak, yaitu: Pasal 8:

  • 1)    Larangan bagi pengusaha menciptakan dan/atau memperjualkan barang dan/jasa seperti berikut ini:

  • a.    Barang atau jasa yang standarnya tidak menyesuaikan dan memenuhi syarat aturan dalam peraturan perundang-undangan

  • b.    Barang atau jasa yang memiliki netto atau isi bersih, dan hasil perhitungan yang tidak sesuai dengan yang dicantumkan berbentuk label atau kriteria produk tersebut;

  • c.    Barang atau jasa yang memiliki kadar, dosis, berat serta jumlah yang tidak sesuai dengan takaran yang semestinya;

  • d.    Barang atau jasa dengan keadaan, penjaminan, kelebihan atau keampuhan yang dicantumkan tidak sesuai dengan label, etika yang dituliskan pada barang atau jasa;

  • e.    Kualitas, kadar, proses pembuatan, bahan, energi, proses yang tidak sesuai atau pemakaian khusus yang dicantumkan dalam label atau informasi yang terdapat pada produk tersebut;

  • f.    Jaminan yang ditawarkan berbeda dengan yang dijelaskan dalan label, etika, informasi dalam iklan atau saat mempromosikan produk tersebut;

  • g.    Keterangan masa simpan atau kadaluarsa tidak dicantumkan pada barang atau jasa tersebut;

  • h.    Jangka permakaian atau konsumsi yang tepat terhadap barang khusus;

  • i.    Tidak menjalankan peraturan dalam menciptakan produk halal, dimana sesuai dengan yang dipaparkan pada label;

  • j.    Pemasangan label tidak dilakukan atau memberikan informasi terkait produk berupa kadar, nama produk, bahan, berat/isi bersih, cara memakainya, tanggal produksi, efek samping, alamat atau nama pengusaha dan sebagainya yang sesuai dengan seharusnya.

  • k.    Barang atau jasa tidak disertakan cara pemakaian atau arahan dalam menggunakan barang dengan bahasa Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan.

  • 2)    Larangan bagi pengusaha menjual barang yang sudah mengalami kerusakan, kecacatan bekas, serta ternoda tanpa menyertakan kelengkapan informasi yang tepat terkait produk tersebut.

  • 3)    Larangan bagi pengusaha menjual ketersediaan pangan atau farmasi yang sudah mengalami kerusakan, kecacatan maupun ternoda tanpa menyertakan indormasi yang tepat terkait produk tersebut.

  • 4)    Pengusaha yang melanggar aturan pada ayat (1) dan ayat (2) terkait larangan menjual produk tersebut dan berkewajiban menarik produk yang telah beredar.

Wujud pengusaha melanggar hak-hak konsumen serta menciptakan kerugian disebut juga kasus wanprestasi. Jika pelanggaran terhadap hak-hak konsumen atau terjadi wanprestasi dalam transaksi secara langsung maupun online, maka pembeli dapat menuntut secara hukum, hal tersebut dilakukan dengan maksud melakukan pencegahan perselisihan serta memberikan penyesalan supaya pelaku usaha dapat berbuat baik. Terdapat bermacam-macam cara hukum yang dijalankan sesuai dengan wujud wanprestasi yang dihadapi oleh konsumen.15 Adapun beberapa upaya hukum yang dapat dijalankan yaitu antara lain: 1) Menuntut pelaku usaha untuk menyerahkan barang. 2) Menuntut penggantian barang. 3)

Menuntut kerugian. 5) menuntut membatalkan janji. 6) Menuntut harga diturunkan. 7) Melapor tindakan penjual ke polisi

Apabila dalam melakukan transaksi jual beli online pembeli mengalami kerugian, UUPK menjalankan pilihan menyelesaikan permasalahan terkait konflik yang muncul dalam jual beli online melalui pengadilan maupun non pengadilan. Adapun penyelesaian melalui pengadilan, pasal yang mengatur yaitu Pasal 45 ayat (1) UUPK “Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.” Pasal 45 ayat (2) UUPK “Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa”. Sementara itu untuk mengakhiri permasalahan konsumen di luar pengadilan yaitu terdapat pada Pasal 47 UUPK “penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselengarakan untuk mencapai kesempakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu unutuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen”.

Berdasarkan adanya dua jalur yang dapat digunakan oleh pembeli yang mengalami kerugian dari penjual, pembeli dapat memilih salah satu jalur demikian dalam mendapatkan haknya aturan yang diberlakukan dalam UUPK, dengan pengadilan ataupun di luar.16 Sengketa dapat diselesaikan oleh pengadilan dengan mengajukan gugatan ke pengadilan yang terdapat dalam cakupan pengadilan umum sesuai dengan Pasal 48 UUPK. Sementara itu dalam menyelesaikan di luar pengadilan dilakukan dengan menggugat atau mengadkan kepada lembaga yang berkuasa diatur dalam Pasal 45 ayat (1). yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Upaya dalam menyelesaikan permasalahan non pengadilan, pemerintah membangun BPSK bertujuan dalam upaya menyelesaikan permasalahan yang dialami pembeli dan penjual. BPSK memiliki tugas dan wewenang menyelesaikan permasalahan di luar pengadilan. Tugas dan wewenang BPSK tercantum pada pada Pasal 52 UUPK yang berisi 13 butir. Contoh wewenag dan tuags BPSK yaitu menuntaskan sengketa pembeli dengan arbitrase, konsiliasi atau mediasi. Aturan tentang wewenang dan tugas BPSK diatur dalam keputusan Menteri (Kepmen 13 Perindag 350/2001) dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Adapun beberapa metode BPSK untuk menyelesaikan permasalahan tercantum pada Pasal 4 ayat (1) yaitu dengan mediasi atau arbitrase dan juga konsiliasi apabila dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak yang berkepentingan.17

Penyelesaian masalah mengenai hal pengiriman barang tidak sesuai dengan yang dibeli dapat dilakukan melalui musyawarah, dimana konsumen dapat meminta ganti rugi berupa pertanggungjawaban berupa uang atau barang dari pelaku usaha. Jika dalam musyawarah tidak berjalan dengan baik, maka konsumen dapat menggugan atau mengadukan dan diserahkan ke BPSK.18 Dalam menyelesaikan masalah tersebut dengan pengadilan disebut tidak efisien karena berlarut-larut, mahal dan memberatkan, sehingga sebagian besar masyarakat yang merugi memilih untuk melakukan penyelesaian terkait masalahnya melalui jalur non pengadilan. Contohnya seperti kasus kasus Villa Di Bucu, dengan Nomor Registrasi: 26/P3K/BPSK/VI/2014, tanggal 3 Juni 2014, dengan pokok perkara gugatan konsumen karena tertipu dalam iklan yang menyesatkan adalah dengan cara mediasi.

Berdasarkan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur terkait permasalahan pembeli dengan pengadilan. Pasal 45 berbunyi: Pasal 45 (1) Pembeli yang mengalami kerugian akibat pengusaha dapat

mengajukan gugatan kepada lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan permasalahan antara pembeli dan pengusaha dengan pengadilan yang terdapat pada lingkunga pengadilan umum. (2) Upaya menyelesaikan permasalahan pembeli dapat diselesaikan dengan pengadilan atau luar pengadilan sesuai dengan permintaan sukarela pihak yang bersangkutan.

  • 4.    Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut, yaitu perlindungan hukum bagi konsumen yang tidak menerima barang sesuai pesanan berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) yaitu hak untuk memperoleh kompensansi, seperti Mengganti kerugian, apabila barang atau jasa yang didapatkan tidak berdasarkan atas perjanjian sebelumnya. Sedangkan kalau dalam UU ITE No. 11 Tahun 2008 Pasal 38 “Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan sistem elektronik dan/atau menggunakan teknologi informasi yang menimbulkan kerugian”. Konsumen yang mengalami kerugian dapat mengambil langkah hukum terkait tidak sesuainya barang yang sampai dengan barang pesanan adalah membawa sengketa tersebut ke pengadilan (litigasi) dengan berdasarkan kepada pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dan konsumen juga dapat menyeselaikan sengketa tersebut di luar pengadilan (non litigasi) diatur dalam pasal 45 ayat (2) UUPK.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Arief Mansur Dikdik M dan Elisatris Gultom, Cyber Law, Aspek Hukum Teknologi Informasi, Refika. Bandung, Refika Aditama, 2015.

Barkatullah, Abdul Halim, Perlindungan Hukum bagi konsumen dalam Transaksi E-commerce, Yogyakarta, Pascasarjana FH UII Press, 2014.

Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Goltom. Cyber Law, Aspek Hukum Teknologi Informasi, Bandung: Refika, 2015.

JURNAL

A.A.Bintang Evitayuni Purnama Putri, & Edward Thomas Lamury Hadjon. “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Melakukan Transaksi Elektronik di Indonesia”. Jurnal Kertha Desa, Vol. 2, No. 3 (2014).

Belly Riawan, I Made Mahartayasa. “Perlindungan Konsumen Dalam Kegiatan Transaksi Jual Beli Online di Indonesia”. Jurnal Kertha Semaya, Vol. 3, No. 1 (2015).

Devi, Komang Bulan Tri Laksmi. “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Konsumen Terkait Cacat Tersembunyi Pada Barang Elektronik Dalam Transaksi Online.” Jurnal Kertha Semaya, Vol. 4, No.1 (2018).

Fawzi, M. Rizqa Anas, and Suantra Putrawan. “Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perjanjian Jual Beli Online Berdasarkan Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik”. Jurnal Kertha Semaya, Vol. 8, No. 4, (2020).

Haki, Aditya Ayu, Wijianti, Asri dan Kharismsari, Rizania. “Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Dalam Sengketa Jual Beli Online”. Justitia Jurnal Hukum, Vol 1, No. 1 (2017).

I Nyoman Ari Kurniawan, Putu Gede Arya Sumerthayasa, I Made Dedy Priyanto. “Akibat Hukum Penjualan Barang BerMerek Palsu”. Jurnal Kertha Semaya, Vol. 04, No. 04 (2016).

Mahardika, Putu Surya, dan Dewa Gde Rudy, “Tanggung Jawab Pemilik Toko Online Dalam Jual-Beli Online (E-Commerce) Ditinjau Berdasarkan Hukum Perlindungan Konsumen” Jurnal Kertha Semaya, Vol. 2, No. 5, (2018).

Mahawyahrty, Ni Ketut Esa Savitri, dan Ayu Putu Laksmi Danyathi. “Perlindungan Hukum

Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Perdagangan Barang Cacat Tersembunyi Melalui Internet”. Jurnal Kertha Negara, Vol. 8, No. 2, (2020).

Narayana, Anak Agung Hari. “Perlindungan Hukum Terhadap Konsume Dalam Transaksi Online Melalui Media Facebook.” Jurnal Kertha Negara, Vol 9, No. 2, (2021).

Ni Kadek Darmayanti, Yuwono. “Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Online di Indonesia”. Jurnal Kertha Semaya, Vol. 02, No. 2 (2014).

Pradnyaswari, Ida Ayu Eka. “Upaya Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Transaksi Jual-Beli Menggunakan Jasa E-Commerce.” Jurnal Kertha Semaya, Vol. 8 No.5 (2020).

Prawesti, Indah. “Perlingan Hukum Terhadap Konsumen Atas Penjualan Barang Bermerek Palsu Secara Online.” Jurnal Kertha Semaya, Vol. 8, No. 4 (2017).

Widyantari, Ni Putu Trisna, And Aa Ngurah Wirasila. “Pelaksanaan Ganti Kerugian Konsumen Berkaitan Dengan Ketidaksesuaian Produk Pada Jual Beli Online”. Jurnal Kertha Semaya, Vol. 7, No. 8 (2019).

Wijaya, I. Gede Krisna Wahyu, And Nyoman Satyayudha Dananjaya. “Penerapan Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian Jual Beli Online.” Jurnal Kertha Semaya, Vol. 6, No. 8 (2018).

INTERNET

Hendrik. 2020. “Beli TV TCL 43 Inch di TCL Official Store Lazada Diantar Kurir Ninja Xpress Isinya TV Bekas.” URL: https://mediakonsumen.com/2020/08/08/surat pembaca/beli-tv-tcl-43-inch-di-tcl-official-store-lazada-diantar-kurir-ninja-xpress-isinya-tv-bekas, diakses pada 22 September 2023.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (Staatsbald Tahun 1874 Nomor 23)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821)

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843)

Jurnal Kertha Negara Vol 11 No. 8 Tahun 2023 hlm 835-844

844