PERLINDUNGAN TERHADAP INVENSI BENDA RUANG ANGKASA YANG DITEMUKAN DI LUAR ANGKASA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PATEN

Chiristyn Ayu Monicha, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: ayuchiristyn@gmail.com

Putri Triari Dwijayanthi, Fakuktas Hukum Universitas Udayana, e-mail: putritriari@unud.ac.id

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaturan paten saat ini atas invensi benda angkasa yang ditemukan di luar angkasa dalam perspektif hukum paten serta untuk menganalisa upaya perlindungan hukum kedepannya atas invensi benda angkasa yang ditemukan di luar angkasa berdasarkan rezim hukum paten. Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan analisis konsep hukum dengan teknik analisis data secara deskriptif kualitatif. Adapun hasil penelitian yaitu bahwa pengaturan paten saat ini atas invensi benda angkasa yang ditemukan di luar angkasa dalam perspektif hukum paten belum terdapat pengaturan yang jelas dan khusus, sehingga terjadi kelambatan hukum dalam merespon perkembangan zaman beserta kemajuan teknologinya yang menimbulkan ketidakpastian hukum dalam perlindungan paten invensi benda angkasa yang ditemukan di ruang angkasa. Serta upaya perlindungan hukum kedepannya atas invensi benda angkasa yang ditemukan di luar angkasa berdasarkan rezim hukum paten yaitu memberlakukan hukum paten nasional terhadap benda di luar angkasa yang berada di bawah yurisdiksi dan kontrol dari negara tertentu berdasarkan peluasan penafsiran Pasal 7 The Outer Space Treaty 1967 dan melakukan pendaftaran patennya melalui Patent Cooperation Treaty agar memperoleh perlindungan paten dari negara anggota Patent Cooperation Treaty secara mutatis mutandis.

Kata Kunci: Invensi, Benda Angkasa, Luar Angkasa, Paten

ABSTRACT

The purpose of this study is to determine the current patent arrangements for the invention of celestial bodies found in outer space from the perspective of patent law and to analyze future legal safeguards for inventions of celestial bodies found in space based on the patent law regime. The research method used is normative legal research with a statutory approach and legal concept analysis with descriptive qualitative data analysis techniques. The results of the research are that the current patent arrangements for the invention of celestial bodies found in outer space from the perspective of patent law have not yet clear and specific regulations so that there is a legal delay in responding to the times and technological advances that have created legal uncertainty in protection. the patent invention of celestial bodies found in space. As well as future legal protection efforts for the invention of celestial bodies found in outer space based on the patent law regime, namely imposing national patent law on objects in outer space that are under the jurisdiction and control of certain countries based on broadening the interpretation of Article 7 of the 1967 The Outer Space Treaty and registering patents. through Patent Cooperation Treaty to obtain patent protection from Patent Cooperation Treaty member countries mutatis mutandis.

Key Words: Invention, Space Object, Outer Space, Patent

  • 1.    Pendahuluan

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Peradaban manusia akan berkembang pesat sejalan dengan dinamisnya perkembangan pengetahuan (science), teknologi dan budaya. Hal ini terjadi dikarenakan peradaban manusia dikonstruksikan sedemikian rupa oleh manusia pada zaman dimana pengetahuan, teknologi dan budaya berkolaborasi menghasilkan suatu peradaban baru. Bahwa hal yang paling mencolok untuk membedakan peradaban baru dengan sebelumnya, salah satunya dapat melihat bagaimana perkembangan teknologi zaman itu. Hal ini mengingat jika perkembangan teknologi telah merambah hampir seluruh bidang kehidupan manusia saat ini. Pesatnya perkembangan teknologi yang semakin canggih memberikan kegunaan yang amat besar bagi hidup manusia. Misalnya, dengan adanya teknologi akhirnya mempermudah setiap pekerjaan manusia saat ini. Penggunaan teknologi yang mampu mempermudah pekerjaan manusia salah satunya teknologi di bidang komunikasi. Adanya perkembangan yang pesat dalam teknologi komunikasi telah mampu memperpendek jarak antara orang ketika ingin berkomunikasi.1

Apabila kita melihat bagaimana dahulu ketika seseorang ingin melakukan komunikasi dengan jarak yang jauh sangatlah susah dan memerlukan biaya yang tidak murah. Setelah ditemukannya telepon dan akhirnya ditemukannya internet semakin mempermudah manusia untuk melakukan komunikasi lintas daerah bahkan lintas Negara. Bahwa saat ini pergaulan masyarakat tidak hanya dengan orang-orang di lingkungan lokalnya saja, namun juga mampu bergaul dengan orang dari seluruh dunia. Perkembangan yang sangat dinamis di bidang teknologi tidak dapat dinikmati seperti sekarang ini tanpa adanya alat bantu pemancar yang disebut satelit. Satelit merupakan benda-benda angkasa yang mengorbit benda angkasa lainnya dalam rentang periode revolusi dan rotasi tertentu yang digunakan untuk membantu kehidupan manusia baik untuk kehidupan sehari-hari maupun kegunaan khusus atau tertentu lainnya.2

Adanya peluncuran berbagai jenis satelit buatan manusia menandai perkembangan teknologi khususnya di bidang antariksa, dibuktikan dengan terjadinya kemajuan dan keberhasilan manusia dalam mendayagunakan ruang angkasa dengan baik melalui peluncuran berbagai satelit untuk membantu kehidupan manusia era ini. Bahwa dengan adanya satelit buatan yang diluncurkan ke ruang angkasa dapat memperluas jangkauan transmisi sinyal, sehingga setiap wilayah dapat mendapatkan akses sinyal yang dapat digunakan sebagai sarana komunikasi nirkabel dalam bentuk internet dan sejenisnya. Banyaknya dampak positif dari peluncuran satelit ke ruang angkasa yang telah dirasakan masyarakat saat ini hampir di seluruh dunia membuka peluang yang besar bagi semua pihak untuk melakukan eksplorasi ruang angkasa oleh pemerintah selaku penyelenggara negara ataupun pihak swasta yang telah berizin.

Sudah menjadi hal yang lazim ketika ditemukan penemuan baru dalam kehidupan manusia, akan menimbulkan persaingan dan permasalahan yang tidak

terpisahkan dari adanya keuntungan dan manfaat yang diperoleh. Terlebih lagi saat ini kondisi persaingan antar negara yang semakin mengarah pada tatanan kehidupan yang kapitalis yang menimbulkan tidak sedikit permasalahan dalam berbagai aspek, khususnya pada aspek ekonomi dan teknologi. Permasalahan ini disebabkan adanya persaingan yang sengit antar negara untuk menjadi negara termaju dan terdepan dalam hal penguasaan teknologi. Hanya dengan hal tersebut, negara tersebut dapat dikatakan mampu menguasai dunia saat ini. Untuk mencapai hal tersebut, masing-masing negara memiliki caranya tersendiri, yang kemudian melahirkan tindakan komersialisasi pada hampir seluruh aspek kehidupan termasuk komersialisasi ruang yang dulunya menjadi hak bersama, kini mulai diakuisisi oleh pihak tertentu sebagai hak privatnya salah satunya ruang angkasa. Bahwa anggapan saat ini, siapa yang mampu menguasai ruang angkasa adalah penguasa dunia, hal ini muncul sejak terjadinya penemuan dan penelitian untuk mengeksplorasi ruang angkasa dengan ditandai oleh peluncuran satelit buatan manusia ke ruang angkasa. Menjadikan ruang angkasa sebagai lahan privat untuk dikomersialisasi untuk peletakan berbagai satelit milik negara-negara maju maupun oleh pihak swasta.

Semakin maraknya pemanfaatan ruang angkasa oleh berbagai pihak di era modern dimulai sejak berakhirnya perang dunia kedua tahun 1945. Untuk itu, pada tanggal 20 Desember 1961 Majelis Umum PBB dengan suara bulat menyetujui sebuah resolusi yang pada prinsipsinya menyatakan bahwa hukum internasional dalam Piagam PBB diterapkan di ruang angkasa, bulan dan benda-benda langit lainnya. Langkah nyata ini kemudian diikuti dengan pembentukan “The United Nations Committee On The Peaceful of Outer Space (UNCOPUOS)” yang kemudian berdasarkan hasil kerja komite ini lahir “The Outer Space Treaty 1967 the Treaty on the Principles Governing the Activities of State in The Exploration an Use of Outer Space, including the Moon and Other Celestial Bodies3 (untuk selanjutnya disebut The Outer Space Treaty 1967)

Pasal Pasal I paragraph (2) The Outer Space Treaty 1967 meletakan dasar konsepsi pemanfaatan ruang angkasa oleh semua pihak bahwa “Outer space, including the moon and other celestialbodies shall be free for exploration and use by all states without discrimination of any kind, on a basis of equality and in accordance with international law, and there shall be free access to all areas of celestial bodies.”4 Ketentuan sebagaimana diatur pada Pasal I paragraf (2) Outer Space Treaty 1967 dikenal sebagai prinsip pintu terbuka atau free access principles. Sejalan dengan kebebasan yang diberikan oleh The Outer Space Treaty 1967, kegiatan Negara-Negara diruang angkasa makin hari makin meningkat. Salah satu indikasinya adalah bahwa sampai saat ini sudah hampir ribuan benda angkasa buatan manusia baik yang masih dapat difungsikan maupun tidak.5

Akhirnya, saat ini ruang angkasa berubah menjadi aset yang sangat berharga sekaligus berbahaya. Ruang angkasa berharga dikarenakan menjadi ruang eksplorasi baru untuk pengembangan teknologi agar semakin mutakhir. Menjadi berbahaya apabila ruang angkasa dikuasai oleh elite tertentu untuk menguasai dunia melalui monopoli pemanfaatan ruang angkasa dengan benda-benda hasil penemuannya yang

mungkin digunakan untuk kepentingan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip perdamaian dunia.

Hal tesebut menjadikan banyak negara maupun pihak swasta mulai mengembangkan teknologi baik secara mandiri maupun kerjasama untuk memanfaatkan ruang angkasa dengan optimal. Hal inilah yang kemudian menimbulkan tindakan komersialisasi ruang angkasa untuk berbagai kepentingan. Bahwa pada prinsipnya pemanfaatan ruang angkasa baik untuk tujuan bersama atau komersil memerlukan kemajuan teknologi yang didapatkan dari hasil kerja sama semua pihak, baik negara maupun pihak swasta yang berkompetensi. Hasil dari kemajuan teknologi di ruang angkasa salah satunya adalah benda-benda yang diciptakan dan/atau digunakan di ruang angkasa seperti roket, satelit atau pun baju-baju astronot yang tentunya lahir sebagai karya intelektual manusia hasil penggunaan teknologi yang perlu dilindungi. Atas dasar tersebut, penting bagi masing-masing negara maupun pihak swasta yang mengembangkan invensi benda angkasa untuk mendapatkan perlindungan hukum sebagai bagian dari rezim hukum kekayaan intelektual yaitu paten.

Menurut Kholis Raisah bahwa “paten merupakan hak ekslusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas penemuan atau hasil invensinya sebagai bentuk penghargaan terhadap inventor, dan paten juga digunakan untuk merangsang perkembangan teknologi pada suatu negara.”6 Akan tetapi, permasalahan mengenai paten saat terjadi pemberian atas hak paten pada invensi benda angkasa yang ditemukan di bumi, apakah berlaku pula terhadap invensi benda angkasa yang tercipta atau ditemukan oleh inventornya saat mereka berada di ruang angkasa. Meskipun sampai saat ini semua invensi benda angkasa ditemukan di bumi, tidak menutup kemungkinan invensi tersebut ditemukan di luar angkasa. Melihat semakin masifnya arus perjalanan luar angkasa oleh berbagai pihak baik negara ataupun swasta serta banyaknya muncul gagasan untuk menemukan/mendirikan pemukiman di luar angkasa. Hal ini penting untuk kemudian dipertimbangkan mengingat paten merupakan salah satu bentuk komersialisasi di era modern.7 Untuk itu, isu paten yang berkaitan dengan teknologi ruang angkasa dinilai menjadi penting oleh semua negara, khusunya Indonesia untuk ikut serta secara aktif dalam mengantisipasi dan mengikuti perkembangan teknologi di bidang keantariksaan. Hal ini karena, dengan memanfaatkan ruang angkasa diharapkan mampu mendorong perkembangan dan kemajuan negara Indonesia diberbagai bidang. Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dikaji kembali dalam jurnal yang berjudul “Perlindungan Terhadap Invensi Benda Ruang Angkasa Yang Ditemukan Di Luar Angkasa Dalam Perspektif Hukum Paten.

Sebelum melakukan penelitian ini, telah dirujuk acuan pembanding terhadap penelitian sebelumnya yang meneliti pokok permasalahan yang serupa, namun memiliki beberapa perbedaan. Penelitian tersebut dilakukan oleh I Putu Destra Markandeya dengan judul “Komersialisasi Ruang Angkasa Oleh Perusahaan Swasta Dalam Perspektif Hukum Internasional.”8 Artikel terbit pada Jurnal Kertha Semaya, Vol.

9 No. 6 Tahun 2021 dengan bahasan yang lebih mengkhusus mengenai pengaturan aktivitas komersialisasi ruang angkasa yang dilakukan oleh perusahaan swasta berdasarkan perspektif hukum internasional. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Edward Pardamean Purba dengan judul “Legalitas Aktivitas Militer di Ruang Angkasa Berdasarkan Ketentuan Piagam PBB dan Space Treaty 1967.”9 Artikel ini terbit pada Jurnal Kertha Negara Vol. 8 No. 6 Tahun 2020 dengan pokok bahasan adalah bentuk-bentuk pemanfaatan ruang angkasa untuk aktivitas militer saat ini dan legalitas aktivitas militer di ruang angkasa berdasarkan Piagam PBB dan Space Treaty 1967. Kedua penelitian sebelumnya memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan penelitian ini yang menitikberatkan pada bagaimana pengaturan paten saat ini atas invensi benda angkasa yang ditemukan di luar angkasa dalam perspektif hukum paten. Sehingga penelitian ini memiliki fokus yang berbeda dengan penelitian terdahulu.

  • 1.2 Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana pengaturan paten saat ini atas invensi benda angkasa yang ditemukan di luar angkasa dalam perspektif hukum paten?

  • 2.    Apa upaya-upaya perlindungan hukum kedepannya atas invensi benda angkasa yang ditemukan di luar angkasa berdasarkan rezim hukum paten?

  • 1.3 Tujuan Penulisan

Atas dua rumusan masalah di atas, dapat ditarik dua tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaturan paten saat ini atas invensi benda angkasa yang ditemukan di luar angkasa dalam perspektif hukum paten serta untuk menganalisa upaya perlindungan hukum kedepannya atas invensi benda angkasa yang ditemukan di luar angkasa berdasarkan rezim hukum paten.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari metode, sistematika dan pemikiran yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu.10 Dalam penelitian ini, untuk dapat menjawab permasalahan dalam penulisan jurnal ini maka digunakan jenis penelitian yaitu penelitian hukum normatif.11 Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis konsep hukum. Pendekatan perundang-undangan, peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam bidang hukum kekayaan intelektual yaitu hukum paten dan hukum ruang angkasa.12 Sedangkan pendekatan analisis konsep hukum yaitu menelaah doktrin dan teori yang berkaitan dengan isu ataupun permasalahan hukum yang sedang diteliti. Terkait teknik pengolahan data digunakan teknik analisis kualitatif.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1 Keabsahan Pengaturan Paten Saat Ini Atas Invensi Benda Angkasa Yang Ditemukan Di Luar Angkasa Dalam Perspektif Hukum Paten

Dominasi aktivitas di ruang angkasa dengan adanya teknologi di bidang keruangangkasaan menjadi solusi akselerasi alih teknologi untuk mempermudah kehidupan manusia. Adanya teknologi keruangangkasaan yang semakin canggih dengan bertransformasinya ruang angkasa menjadi telinga dan mata bagi semua orang di dunia. Kini pun telah berkembang opini bahwa seluruh kegiatan manusia terkonsentrasi di ruang angkasa demi menyejahteraakan manusia di bumi dari terjadinya situasi di bumi yang tak terkendali atau out of control. Artinya semua pihak yaitu negara dapat memanfatkan dan mengunakan ruang angkasa selama tidak merugikan dan untuk tujuan-tujuan yang membawa kemaslahatan umat manusia.13 Keadaan ini menjadi pemicu terjadinya persaingan antar negara ataupun pihak swasta lainnya untuk memperoleh manfaat yang semaksimal mungkin dari pemanfaatan ruang angkasa melalui tindakan komersialisasi dan privatisasi yang dianggap lazim dan sah dilakukan.

Kompetisi antar pihak yang mengeksplorasi ruang angkasa memicu dampak bidang ekonomi menuntut setiap pihak baik negara maupun pihak swasta untuk terus berinovasi dan menemukan alternatif dalam mendapatkan keuntungan dari eksplorasi tersebut. Hal inilah yang menjadikan tindakan komersialisasi dan privatisasi sumber daya ruang angkasa menjadi hal yang penting. Tindakan komersialisasi ruang angkasa mencakup segala jenis kegiatan yang menyangkut aspek keruangangkasaan untuk memperoleh manfaat ekonomisnya. Saat ini tindakan komersialisasi ruang angkasa telah terbuka bagi semua pihak baik badan pemerintahan maupun swasta, baik nasional ataupun internasional.

Dalam kegiatan eksplorasi ruang angkasa setiap negara atau pihak swasta memperoleh slot orbit yang menjadi lokasi atau tempat penempatan satelit buatan manusia. Untuk memperoleh slot orbit tersebut tidaklah mudah karena proses antrian dan perjuangan mendapatkan hak penggunaan slot orbit dari The International Telecommunication Union (ITU).14 Penggunaan slot orbit untuk meletakkan satelit buatan yang telah diperoleh dari ITU hendaknya digunakan sesuai dengan aturannya dan dimaksimalkan, hal ini karena hak penggunaan slot orbit satelit ada waktunya. Jika periode waktu telah habis, slot orbit tersebut harus segera diisi pengguna lainnya. Adapun jangka waktu hak penggunaan slot orbit selama 2 (dua) tahun sejak slot didapatkan dan satelit setelah diluncurkan. Bahwa perlu diketahui untuk mempertahankan slot orbit sangatlah sulit. Hal inilah yang membuat kegiatan komersialisasi ruang angkasa memerlukan modal yang besar dan tentunya menghasilkan keuntungan yang sebanding. Maka, pemanfaatan ruang angkasa untuk kemajuan teknologi menjadi kesempatan yang besar bagi semua pihak agar menciptakan berbagai industri yang menguntungkan.15

Banyak yang menyatakan bahwa tindakan komersialisasi ruang angkasa dianggap membawa dampak positif, namun mengabaikan dampak-dampak negatif

yang terjadi. Bahwa telah dijelaskan sebelumnya untuk dapat memperoleh hak penggunaan slot orbit tidaklah mudah, mengingat untuk komersialisasi ruang angkasa memerlukan kemampuan yang tinggi dalam alih teknologi keantariksaan. Itulah yang menjadikan komersialisasi ruang angkasa memerlukan sumber daya yang tinggi dan memacu perkembangan teknologi.

Untuk itulah, perlunya pengaturan pemanfaatan ruang angkasa yang telah dituangkan dalam hukum ruang angkasa yaitu The Outer Space Treaty 1967 dan pada aturan tersebut sebenarnya tidak melarang adanya tindakan komersialisasi ruang angkasa, sepanjang dimanfaatkan untuk dan demi kepentingan perdamaian dengan mematuhi ketentuan yang berlaku.16 Oleh karena itu, masing-masing negara tidak diperkenankan untuk menghambat dan menghalangi negara lainnya untuk ikut berpartisipasi dalam memanfaatkan ruang angkasa sepanjang untuk kepentingan damai. Salah satunya dengan menghasilkan invensi benda-benda ruang angkasa sebagai salah satu bentuk kreativitas atas pengetahuan di bidang teknologi keantariksaan yang lahir dari proses yang panjang.

Proses yang panjang tersebut merupakan sebuah tahapan yang memadukan antara logika manusia dengan rasionalitas yang kemudian menghasilkan karya intelektualitas yang menjadi sebuah gagasan yang terekspresikan menjadi sebuah kekayaan intelektualitas manusia. Gagasan inilah yang menjadi karya intelektualitas yang bernilai tinggi karena tidak semua pihak dapat menghasilkan invensi di bidang keantariksaan.

Untuk itu penting menghargai karya intelektualitas yang dihasilkan di bidang keantariksaan dengan memberikan perlindungan yang optimal bagi pihak yang menghasilkannya. Bahwa perlindungan atas karya intelektualitas invensi benda ruang angkasa dengan bentuk perlindungan hukum melalui rezim hukum kekayaanan intelektual. Perlindungan hukum atas hak kekayaan intelektualitas bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam hal hubungan antara penemu atau penciptanya dengan karya intelektualitasnya untuk mempergunakan hasil invensinya untuk kepentingannya selaku pemegang hak. Bahwa penemuan dalam bidang teknologi keantariksaan merupakan ranah rezim hukum perlindungan kekayaan intelektual pada bidang hak paten.

Pengaturan mengenai hak paten dalam pengaturan hukum internasional diatur dalam TRIPs Agreement dan pengertian paten dapat merujuk pada pengertian paten sebagaimana diberikan oleh World Intellectual Property Organization (WIPO) yang merupakan badan internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengelola atau membidangi perihal Hak Kekayaan Intelektual, dengan memberikan pengertian yaitu:

"A patent is a legally enforceable right granted by virtue of a law to a person to exclude, for a limited time, others from certain acts in relation to describe new invention, the privilege is granted by a government authority as a matter of right to the person who is entitled to apply for it and who fulfils the prescribed condition."17

Terjemahan bebas:

“Paten adalah hak yang dapat ditegakkan secara hukum, diberikan kepada seseorang dalam jangka waktu tertntu untuk mencegah pihak lain melakukan tindakan-tindakan tertentu terhadap invensi baru. Yang oleh pemerintah berwenang, diberikan hak-hak istimewanya kepada seseorang dengan mengajukan invensi memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah diatur.”

Lebih lanjut, pada tataran hukum positif Indonesia, hak paten diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (selanjutnya di singkat UU Paten) dan pada Pasal 1 ayat 1 UU Paten memberikan pengertian paten yaitu “paten adalah hak ekslusif yang diberikan negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk pelaksanaannya.” Singkatnya, “Hak Paten adalah hak yang diberikan oleh negara kepada penemu atau pemegang paten atas hasil dari kekayaan intelektual manusia tersebut.” Lebih lanjut, dapat dirujuk pula

Berdasarkan pengertian tersebut, jelas bahwa setiap invensi baru yang dihasilkan oleh seseorang dengan pengembangan teknologi mendapat perlindungan hak paten termasuk invensi benda ruang angkasa seperti roket dan sebagainya. Hak paten menjadi piranti yang digunakan untuk menandai adanya bentuk komersialisasi saat ini. Bahwa menurut Rahmi Jened, yang menyatakan bahwa “pemegang paten memiliki hak khusus (eksklusif) untuk melaksanakan paten yang dimilikinya dan melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menggunakan hak tesebut baik untuk paten produk maupun paten proses.” Lebih lanjut, dijelaskan oleh Rahmi Jened bahwa “pemberian hak eksklusif pada pemegang paten ini adalah salah satu bentuk komersialisasi dimana pemegang paten dapat melakukan monopoli atas invensinya dan pihak lain baru dapat mengakses teknologi tersebut setelah membelinya dari pemegang paten melalui cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang, misalnya saja melalui lisensi.”

Paten diberikan kepada perseorangan atau badan hukum perdata maupun publik yang berdasarkan pada adanya invensi atau penemuan yang dihasilkan secara nyata. Merujuk pada Natural Rights Theory yang dikemukakan oleh John Locke, yang menyatakan bahwa “manusia sejak lahir memiliki hak mewarisi dunia yang diberikan oleh Tuhan, salah satu pengaruh dari pemikiran hukum alam ini adalah kekayaan intelektual, selain dipandang sebagai hak ekonomi atau komersial, juga dipandang sebagai hak politik atau hak asasi manusia.”18 Menurut Sudikno Mertokusumo, “kekayaan intelektual juga dapat digolongkan merupakan hak-hak atas barang-barang yang tak berwujud (rechten op immateriele goerderen) atau intangible asset, karena jika ide-ide tersebut keluar dari fikiran manusia dan menjelma dalam suatu ciptaan kesusasteraan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain, maka menjadi benda berwujud (lichamelijke zaak) dan dapat menjadi sumber keuntungan.”19 Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU Paten disebutkan bahwa “Invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.” Untuk itu, sebuah penemuan di bidang teknologi keantarikasaan tidaklah serta merta dapat mendapatkan atau diberikan hak paten, karena ada persyaratan yang telah diatur agar terpenuhi terlebih dahulu yaitu adanya Novelty, Inventive step, dan Industrial

aplicability.20 Pertama, novelty atau kebaharuan merupakan salah satu syarat agar penemuan tersebut dapat dimintakan paten, artinya suatu penemuan di bidang teknologi keantarikasaan haruslah merupakan penemuan yang baru dan sebelumnya belum ada dikembangkan dan tidak memiliki persamaan yang ketentuannya telah diatur dengan dibuktikan oleh adanya state of art saat tanggal penerimaan invensi tersebut oleh inventornya atau sebelum adanya publikasi terkait atau priority date. Bahwa unsur kebaharuan tersebut khususnya pada invensi benda angkasa sejatinya dapat ditelusuri pada sifat prior art atas produk paten lainnya.21

Kedua, inventive step atau langkah inventif yaitu sebuah invensi yang tidak terduga dapat terwujudkan yang oleh penemunya sendiri meskipun dirinya telah memiliki keahlian di bidang itu, dalam hal invensi benda angkasa oleh ilmuan di bidang keantariksaan. Adanya syarat ini bermaksud agar paten diberikan hanya kepada mereka yang memiliki pencapaian yang inovatif dan kreatif serta inventif pada invensinya, bukan hanya sekadar pengembangan dari apa yang telah ada sebelumnya atau memperbaiki kesalahan teknologi yang telah ada sebelumnya oleh mereka yang tanpa keahlian khusus dengan mudah dapat dilakukan.22

Ketiga, industrial applicability dimaksudkan bahwa invensi tersebut dapat diterapkan dengan nyata pada dunia industry sesuai dengan pokok permohonan yang diuraikannya, artinya tidak hanya sebuah gagasan yang hanya dapat dilakukan oleh inventornya, melainkan dapat dieksekusi oleh pihak lain dalam dunia industri. Misalnya, invensi tersebut berupa produk industry otomotif, produk tersebut haruslah mampu diproduksi secara berulang atau dalam jumlah yang besar (massal) dengan mempertahankan kualitas yang sama. Sedangkan untuk invensi proses, dimaksudkan bahwa invensi proses harus dapat dijalankan atau digunakan dalam tindakan praktik oleh dirinya atau pihak yang telah mendapatkan pelatihan oleh inventornya. Serta selalu memperhatikan perihal adanya pengungkapan yang jelas dan lengkap dari invensi yang dimintakan paten (clear and complete disclosure).23

Akan tetapi, secara teoritis menurut Yoyon M. Darusman, menyatakan bahwa “pemberian hak paten terhadap penemuan benda angkasa di ruang angkasa terdapat dua jenis yakni penemuan yang dibuat di bumi dan penemuan yang dibuat atau ditemukan di luar angkasa.”24 Lebih lanjut dijelaskan oleh Yoyon M. Darusman bahwa “meskipun hingga saat ini belum ada invensi yang ditemukan di ruang angkasa, tetapi pada masa depan potensi akan ditemukannya suatu invensi di ruang angkasa karena manusia akan semakin sering berada di sebuah pesawat ruang angkasa untuk tinggal dan melakukan riset.”25 Bahwa menurut Agus Pramono, bahwa “invensi di ruang angkasa bentuknya dapat berupa prototype dan produksinya berada di bumi dimana industri pengguna teknologi tersebut dibangun, atas kondisi ini menyebabkan belum

adanya pengaturan yang pasti terkait paten atas benda-benda ruang angkasa yang dibuat di bumi dan/atau digunakan di ruang angkasa.”26

Keadaan ini menjadi tanda bahwa sampai saat ini belum terdapat kepastian hukum terkait pengaturan perlindungan paten terhadap penemuan teknologi keantariksaan di ruang angkasa baik dalam hukum internasional maupun dari kebanyakan hukum positif negara mengenai hukum paten. Padahal, perlindungan paten terhadap penemuan tersebut penting untuk segera diatur agar mampu mengikut perkembangan teknologi dan peradaban manusia agar tetap terjaga dengan damai.

  • 3.2 Upaya Perlindungan Hukum Kedepannya Atas Invensi Benda Angkasa Yang Ditemukan Di Luar Angkasa Berdasarkan Rezim Hukum Paten

Setiap penemuan di bidang teknologi yang selama ini ditemukan oleh manusia di bumi pada prinsip dasar hukum kekayaan intelektual mendapatkan perlindungan sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan. Hal tersebut juga seharusnya berlaku pada penemuan teknologi terbaru di bidang keantariksaan baik yang ditemukan di bumi ataupun di ruang angkasa. Mengingat dalam bagian hukum kekayaan intelektual yang memberikan perlindungan atas penemuan di bidang teknologi yaitu hukum paten dapat dikatakan berlaku secara mutatis mutandis terhadap invensi teknologi keantariksaan yang ditemukan oleh inventornya. Meskipun ditemukan di ruang angkasa yang merupakan wilayah tanpa yurisdiksi atau penguasaan oleh negara tertentu, pemberian hak paten atas invensi tersebutnya seharusnya dapat dilakukan karena sejatinya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pemanfaatan ruang angkasa berdasarkan ketentuan hukum ruang angkasa. Paten sebagai bagian dari hak milik industri dalam rezim hukum kekayaan intelektual merupakan bagian dari hukum kebendaan dari benda tidak berwujud, sehingga paten memiliki hak immaterial yaitu hak atas karya yang bersumber dari ide pikiran manusia yang temukan dimana pun tempatnya.27

Menurut H. M. Kabul Supriyadhie bahwa “merujuk pada prinsip dasar hukum ruang angkasa dalam The Outer Space Treaty 1967 dinyatakan bahwa negara dilarang menyatakan menjadikan ruang angkasa menjadi hak milik pribadi mengingat bahwa ruang angkasa merupakan wilayah warisan seluruh umat manusia atau common heritage of mankind.”28 Keterkaitan dengan hukum paten yaitu, paten atas invensi benda angkasa yang ditemukan di ruang angkasa sebagai tempat ditemukannya gagasan ataupun sekaligus menjadi lokasi dipraktikannya penemuan itu. Menurut Yoyon M. Darusman,” meskipun terdapat prinsip monopoli oleh pemegang hak paten dengan hak ekslusifnya dapat melarang orang lain tanpa izin darinya menggunakan atau memanfaatkan temuannya yang menghasilkan keuntungan ekonomis.”29

Berdasarkan penjelasan tersebut, terlihat adanya beberapa perbedaan yang cukup fundamental antara hukum paten dengan hukum ruang angkasa perihal tafsiran pemberian paten di ruang angkasa. Pertama, hukum paten memberlakukan batasan wilayah keberlakuan hak paten atas invensi tertentu, artinya bahwa hak paten dibatasi oleh adanya ketentuan teritorial berlakunya hak ekslusif hak paten tersebut yaitu di

wilayah atau negara dimana paten atas invensi tersebut diajukan dan diberikan.30 Hal tersebut tidak sama dengan prinsip-prinsip dasar dalam The Outer Space Treaty 1967 yang selama ini diterapkan oleh seluruh negara yaitu tidak adanya batas teritorial antar negara di ruang angkasa, mengingat wilayah ruang angkasa merupakan wilayah warisan umat manusia. Oleh karena itu, perbedaan prinsip teritorial tersebut yang menyebabkan invensi yang ditemukan di ruang angkasa menjadi tidak jelas wilayah teritorial keberlakuannya.31

Kedua, dalam hukum kekayaan intelektual terdapat sifat yang membedakan antara negara mengenai jumlah keberlakuan paten antar negara yang dikenal dengan sifat different each state, hal mana ini berbeda dengan sifat yang berlaku dalam The Outer Space Treaty 1967. Menurut Pebri Tuwanto, “meskipun ketentuan sifat different each state tertuang dalam TRIPs Agreement mengenai adanya ketentuan minimal yang harus dilaksanakan setiap negara untuk pemenuhan paten.”32 Ketiga, perbedaan berikutnya yaitu mengenai lokasi objek invensi yang berbeda dari kedua rezim hukum tersebut. Bahwa oleh Pebri Tuwanto dijelaskan bahwa “dalam hukum ruang angkasa, jelas mengatur bahwa benda angkasa berlaku secara ekstraterestrial atau di luar bumi, sedangkan hukum paten belum menjelaskan keberlakuan perihal objek invensi di ruang angkasa, dan juga selama ini dalam Paris Convention atau TRIPs Agreement hanya mengatur tentang invensi di wilayah yang memiliki batas teritorial di bumi (terestrial).”33

Keempat, perbedaan prinsip pembagian manfaat atau benefit sharing atas invensi dalam rezim hukum paten dan hukum ruang angkasa. Hal mana dalam hukum paten yang memberikan hak untuk memonopoli atas penemuan kepada inventor sebagai pemegang hak patennya, sedangkan dalam rezim hukum ruang angkasa yang menganut prinsip common heritage of mankind menuntut pihak yang memanfaatkan ruang angkasa untuk melakukan pembagian manfaat atas tindakan eksploitasi ruang angkasa. Intinya, bahwa hukum paten memberlakukan prinsip granted monopoly, sedangkan hukum ruang angkasa memberlakukan the common interest principle yaitu prinsip benefit sharing.34 Hal-hal tersebutlah yang kemudian menyebabkan terjadinya permasalahan hukum tentang tidak adanya kepastian hukum mengenai perlindungan paten terhadap invensi benda angkasa yang ditemukan di luar angkasa selama ini.

Fakta tersebut yang kemudian banyak merugikan berbagai pihak yang terjadi akibat terjadi kekosongan norma. Bahwa tidak jarang terjadi sengketa yang berlarut-larut antar negara ataupun penanam modal yang melakukan penelitian dan pengembangan teknologi keantariksaan selama ini. Tidak jarang pula, kekosongan norma tersebut menjadi alasan banyak penanam modal tidak mau melakukan investasi di bidang teknologi keantariksaan. Hal ini menunjukkan adanya keterlambatan adaptasi hukum dengan kemajuan peradaban manusia khususnya di bidang hukum ruang angkasa dan hukum paten yang seharusnya selaras dengan perkembangan manusia yang semakin maju dengan pesatnya kemajuan teknologinya.

Atas permasalahan tersebut, dapat merujuk pada bagaimana keberlakuan hukum paten di Amerika Serikat yang memberlakukan ketentuan bahwa hak paten di ruang angkasa berlaku hukum paten nasional masing-masing negara yang berada dibawah yuridiksi dan control negaranya dalam wilayah ekstrateritorialnya yaitu pesawat luar angkasa. Hal ini tertuang dalam Article 35 paragraph 105 Undang-Undang Paten Amerika Serikat yaitu “penemuan yang dibuat, digunakan atau dijual di ruang angkasa dan pesawat ruang angkasa yang berada di bawah yurisdiksi atau kontrol Amerika Serikat dianggap dibuat, digunakan atau dijual di wilayah Amerika Serikat, kecuali perjanjian internasional telah menyimpulkan bahwa menyatakan lain (terjemahan bebas)”.35 Negara lainnya di benua Eropa yaitu Jerman juga melakukan perubahan ketentuan hukum patennya seperti halnya Amerika Serikat. Menurut Rinayah Nasir bahwa “invensi yang terjadi di ruang angkasa selalu berada di suatu pesawat ruang angkasa, yang mana pesawat tersebut tentu diluncurkan oleh negara peluncur (launching state) dengan membawa bendera negaranya ke ruang angkasa.” Berdasarkan Article 8 The Outer Space Treaty 1967 menyatakan “A State Party to the Treaty on whose registry an object launched into outer space is carried shall retain jurisdiction and control over such object...”.36 terjemahan bebas yaitu “suatu negara berhak atas yurisdiksi dan kontrol dari objek ruang angkasa yang diluncurkan, selama objek tersebut telah didaftarkan (registered) di Sekjen PBB,” serta ditegaskan pula dalam Article 27 TRIPs Agrement tentang Patentable Subject Matter “...patents shall be available and patent rights enjoyable without discrimination as to the place of invention...”37

Lebih lanjut, dapat juga ditafsirkan dalam Paris Convention pada frasa “place” yang seharusnya dapat diperluas makna dan pengertiannya yang tidak hanya terbatas pada wilayah planet bumi, namun juga frasa “place” seharusnya dapat mencakup wilayah luar planet bumi (angkasa). Hal ini seharusnya dapat dilakukan mengingat sudah sepatutnya ketentuan hukum selalu selaras dengan perkembangan zaman. Sehingga saat ini sudah dapat dikatakan bahwa frasa “place” juga meliputi wilayah ruang angkasa namun tidak terbatas pada benda ruang angkasa. Maknanya, bahwa setiap negara peluncur wajib memberikan perlindungan paten terhadap negara lainnya yang layak dan sesuai dengan ketentuan hukum paten yang berada di wilayahnya.

Berdasarkan ketentuan registration convention, bahwa benda ruang angkasa yang berada di wilayah teritorial negara peluncur yang mendaftarkannya, artinya paten terhadap benda angkasa yang ditemukan di ruang angkasa dapat diberikan kepada atau oleh negara peluncurnya melalui proses permohonan terlebih dahulu. Permohonan tersebut lebih efektif dan efisien jika didaftarkan melalui international ways yaitu lewat pendaftaran di Patent Cooperation Treaty (PCT).38 Hal ini untuk memberikan perlindungan hukum dan mengatasi permasalahan perbedaan penerapan prinsip wilayah dalam hukum paten dan hukum ruang angkasa, karena dengan melakukan pendaftaran melalui PCT sistem permohonan dan publikasinya bersifat internasional.39 Oleh karena itu, negara yang telah melakukan registrasi paten invensi benda

angkasanya melalui PCT akan secara lansung diberikan perlindungan oleh negara-negara yang menjadi anggota PCT tidak terbatas pada wilayah negaranya saja, namun juga pada wilayah negara anggota PCT tersebut.

  • 4.    Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa pengaturan paten saat ini atas invensi benda angkasa yang ditemukan di luar angkasa dalam perspektif hukum paten belum terdapat pengaturan yang jelas dan khusus, sehingga terjadi kelambatan hukum dalam merespon perkembangan zaman beserta kemajuan teknologinya yang menimbulkan kekosongan norma mengenai perlindungan paten atas invensi benda angkasa yang ditemukan di ruang angkasa. Adapun upaya perlindungan hukum kedepannya atas invensi benda angkasa yang ditemukan di luar angkasa berdasarkan rezim hukum paten yaitu memberlakukan hukum paten nasional terhadap benda ruang angkasa yang terdapat di ruang angkasa dan dapat terkontrol oleh negara pemegang hak patennya berdasarkan peluasan penafsiran Pasal 7 The Outer Space Treaty 1967 dan melakukan pendaftaran patennya melalui Patent Cooperation Treaty agar memperoleh perlindungan paten dari negara anggota Patent Cooperation Treaty secara mutatis mutandis.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. (Sinar Grafika, Jakarta, 2021).

Efendi, Jonaedi, and Johnny Ibrahim. Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris. (Prenada Media, Jakarta, 2018).

Jenned, Rahmi. Interface Hukum Kekayaan Intelektual dan Hukum Persaingan. (Rajawali Press, Jakarta, 2013).

Palguna, I Dewa Gede. Ancaman Perang Dari Ruang Angkasa Telaah Yuridis Perspektif Hukum Internasional (Buku Arti, Denpasar, 2015).

Pranadita, Nugraha, Imas Rosidawati Wiradirja, and Tansah Rahmatullah. Teori Hukum Ruang Angkasa. (Deepublish, Yogyakarta, 2019).

Artikel Jurnal

Akase, Roy, Nanik Trihastuti, And Agus Pramono. "Pertanggungawaban Hukum Penyelenggara Kegiatan Pariwisata Ruang Angkasa Dari Perspektif Hukum Internasional." Diponegoro Law Journal 6, No.1 (2016).

Bahar, Djorghy Reo Angelo. "Penempatan Satelit Di Ruang Angkasa Menurut Hukum Internasional." Lex Et Societatis 3, No. 7 (2015).

Darusman, Yoyon M. "Kedudukan Serta Perlindungan Hukum bagi Pemegang Hak Paten dalam Kerangka Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional." Yustisia Jurnal Hukum 5, No.1 (2016).

Hanoraga, Tony, and Niken Prasetyawati. "Lisensi Wajib Paten Sebagai Salah Satu Wujud Pembatasan Hak Eksklusif Paten." Jurnal Sosial Humaniora 8, No.2 (2015).

Markandeya, I., and Yustisia Utami, P. “Komersialisasi Ruang Angkasa Oleh Perusahaan Swasta Dalam Perspektif Hukum Internasional.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 09, No. 6 (2021).

Nasir, Rinayah. "Paten Dalam Proses Produksi: Tinjauan Hak Yang Melekat pada Inventor." Jurnal Hukum POSITUM 1, No.1 (2016).

Noor, Dimitri Anggrea, and I. Ketut Sudiarta. "Tanggung Jawab Negara Berdasarkan Space Treaty 1967 Terhadap Aktivitas Komersial Di Luar Angkasa." Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum 04, No. 01 (2016).

Purba, E., and Laksana, I. “Legalitas Aktivitas Militer di Ruang Angkasa Berdasarkan Ketentuan Piagam PBB dan Space Treaty 1967.” Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum 08, No. 6, (2020).

Putra, Satria Diaz Pratama, Agus Pramono, & H. M. Kabul Supriyadhie, "Analisis Yuridis Eksistensi Yurisdiksi Satelit Ruang Angkasa Menurut Hukum Internasional," Diponegoro Law Journal 8, No. 1, (2019).

Ribowo, Mochammad Bambang, and Kholis Raisah. "Perlindungan Hukum Terhadap Paten Sederhana Dalam Sistem Hukum Paten Di Indonesia (Studi Komparasi Dengan Sistem Hukum Paten Di Negara China)." NOTARIUS 12, No.1 (2017).

Simatupang, Taufik H. "Hak Asasi Manusia dan Perlindungan Kekayaan Intelektual dalam Perspektif Negara Hukum." Jurnal HAM 12, No. 1 (2021).

Supriyono, Sachrizal Niqie. "Pengaturan Outer Space Treaty 1967 terhadap Penelitian yang Dilakukan oleh Amerika Serikat di Planet Mars." Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum 1, No.1 (2014).

Tuwanto, Pebri, Kholis Roisah, and Agus Pramono. "Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (Hki) Terhadap Invensi Di Ruang Angkasa." Diponegoro Law Journal 5, No.3 (2016).

Wartini, Sri. "Pertanggungjawaban Negara Dalam Kegiatan Komersiil Ruang Angkasa Yang Dilakukan Oleh Perusahaan Swasta." Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 12, No. 28 (2015).

Yodo, Sutarman. "Perlindungan Hak Paten (Studi Komparatif Lingkup Perlindungan di Berbagai Negara)." Fiat Justisia 10, No.4 (2016).

Yuliantiningsih, Aryuni. "Aspek Hukum Kegiatan Wisata Ruang Angkasa (Space Tourism) Menurut Hukum Internasional." Jurnal Dinamika Hukum 11, No.1 (2011).

Yusvitasari, Devi. "State Responsibility Dari Adanya Space Debris Luar Angkasa." Jurnal Media Komunikasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 2, No.1 (2020).

Peraturan Perundang-Undangan

United Nations Office for Outer Space Affairs. The Outer Space Treaty 1967 the Treaty on the Principles Governing the Activities of State in The Exploration an Use of Outer Space, including the Moon and Other Celestial Bodies.

Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Paten, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indoensia Nomor 5922.

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 12 Tahun 2022 hlm 1321-1334

1334