AKIBAT HUKUM SERIKAT PEKERJA YANG TIDAK MEMBERI NOTIFIKASI TERTULIS MENGENAI KEBERADAANNYA KEPADA MITRA KERJANYA
on
AKIBAT HUKUM SERIKAT PEKERJA YANG TIDAK MEMBERI NOTIFIKASI TERTULIS MENGENAI KEBERADAANNYA KEPADA MITRA KERJANYA
I Dewa Made Daghanam Prabu, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: dewaganam34@gmail.com
I Made Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: made_sarjana@unud.ac.id
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah akibat hukum yang akan timbul apabila serikat pekerja/serikat buruh tidak memberi notifikasi tertulis mengenai keberadaannya kepada mitra kerjanya. Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode hukum normatif yang menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Penelitian ini menunjukkan tidak adanya sanksi yang timbul akibat serikat pekerja/serikat buruh yang tidak memberi notifikasi tertulis mengenai keberadaannya kepada mitra kerjanya. Namun, akibat hukum lain yang ditimbulkan apabila serikat pekerja/serikat buruh tidak memberi notifikasi tertulis mengenai keberadaannya kepada mitra kerjanya adalah tidak adanya legal standing bagi serikat pekerja/serikat buruh untuk bergabung ke dalam perjanjian kerja bersama yang telah ada, serta serikat pekerja/serikat buruh tidak memiliki kekuatan hukum untuk mengajukan permintaan secara tertulis untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dengan mitra kerjanya. Dengan kata lain, serikat pekerja/serikat buruh dengan mitra kerjanya tidak memiliki hubungan hukum secara langsung.
Kata Kunci: Akibat Hukum, Pemberitahuan Tertulis, Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Ketenagakerjaan.
ABSTRACT
This study aims to examine the legal consequences that will arise if the trade union / trade union does not provide written notification of its existence to its partners. This research is a research with normative legal methods that use a statutory approach and a conceptual approach. This research shows that there are no sanctions arising from trade unions that do not provide written notification of their whereabouts to their partners. However, another legal consequence that arises if the trade union / trade union does not give written notification of its existence to its partners is that there is no legal standing for the trade union / trade union to join the existing collective labor agreement, and the trade union / trade union does not have the legal force to submit a request in writing to negotiate a collective labor agreement with its partners. In other words, a trade union/trade union with its partners has no direct legal relationship.
Key Words: Legal Effect, Written Notice, Trade Union, Employment.
Pekerja yang merupakan Warga Negara Indonesia mempunyai berbagai macam hak yang dilindungi secara tersurat maupun tersirat oleh Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 (Selanjutnya disebut UUD NRI 1945) sebagai hukum konstitusi.1 Adapun berbagai hak pekerja yang dilindungi, yakni hak dalam bekerja serta memiliki hidup yang layak, hak untuk berserikat, berkumpul, menyampaikan aspirasinya secara lisan maupun tulisan, hak untuk berorganisasi, baik membentuk, menjadi anggota ataupun pengurus dalam organisasi, khususnya organisasi serikat pekerja/serikat buruh (Selanjutnya disebut dengan serikat buruh). Wujud implementasi dari perlindungan hak yang diatur dalam konstitusi tersebut ialah adanya organisasi serikat buruh yang diatur oleh hukum positif Indonesia, yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Selanjutnya disebut UU SP/SB).
Sebagaimana asas equality before the law, negara telah memberikan kepastian bagi segenap warga negara bahwasanya setiap orang memiliki kesamaan kedudukan di hadapan hukum dan wajib menjunjung hukum tanpa kecuali. Namun pada kenyataannya, dalam ranah hukum ketenagakerjaan, pengusaha sebagai pemberi pekerjaan dan upah memiliki kedudukan sosial dan ekonomi yang lebih tinggi dari para pekerja. Oleh karenanya, pihak pekerja dalam melakukan hubungan hukum dengan pengusaha memiliki kedudukan yang lebih lemah dan keterbatasan kebebasan dalam melakukan hubungan hukum, terutama pembuatan perjanjian dengan pihak pengusaha.
Dalam ranah hukum ketenagakerjaan, pekerja, pengusaha, dan pemerintah harus memahami substansi dan implikasi dari sistem Hubungan Industrial Pancasila dengan mendasarkan hubungan industrial pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD NRI Tahun 1945”).2 Sebagaimana yang telah diuraikan dalam bagian umum penjelasan Undang-Undang Serikat Buruh, pada pokoknya menjelaskan bahwa bagi pengusaha, pekerja/buruh merupakan rekanan kerja yang memiliki peranan esensial dalam kegiatan usaha guna mengoptimalkan kesejahteraan pekerja/buruh beserta dengan keluarganya, menjamin berlangsungnya kegiatan usaha yang dijalankan perusahaan dan membangun kesejahteraan para pekerja beserta dengan keluarganya. Dengan demikian, serikat buruh merupakan alat/tumpuan untuk memberikan perlindungan bagi kepentingan serta hak dari para pekerja guna
meningkatkan hubungan (kerja) industrial yang berkeadilan dan harmonis.3 Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU SP/SB menentukan pada pokoknya bahwa serikat buruh ialah organisasi yang pembentukannya dilakukan dari dan oleh para pekerja/buruh untuk kepentingan para pekerja dan keluarganya guna meningkatkan kesejahteraan dengan kebebasan, dijalankan secara terbuka, demokratis, dan kemandirian serta bertanggung jawab sebagai sifatnya, yang pendiriannya dilakukan oleh para pekerja/buruh di dalam perusahaan maupun luar perusahaan.
Dalam mendirikan serikat buruh tujuan yang hendak dicapai telah tertuang secara eskplisit dalam Pasal 4 ayat (1) UU SP/SB, yakni:
“Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/serikat dan keluarganya.” Lebih lanjut, fungsi yang dimiliki serikat buruh untuk sampai pada tujuan tersebut, telah diformulasikan pada Pasal 4 ayat (2) UU SP/SB sebagai berikut:
“Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serikat pekerja/serikat buruh mempunyai fungsi:
-
a. sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
-
b. sebagai wakil pekerja dalam lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya;
-
c. sebagai sarana untuk menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
-
d. sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya;
-
e. sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
-
f. sebagai wakil dalam memperjuangkan kepemilikian saham dalam perusahaan.”
Sebagai wadah komunikasi dan penyaluran aspirasi, serikat buruh dapat memberikan manfaat kepada pekerja dan pengusaha dalam mendukung kegiatan usaha. Bagi pengusaha, serikat buruh dapat berperan sebagai wadah untuk menyampaikan aspirasi tentang kondisi perusahaan, menjaga ketenangan kerja, dan pendorong moral kerja. Demikian pula bagi pekerja, serikat pekerja/serikat buruh dapat menjadi sarana protektif apabila terjadi perselisihan, sarana perjuangan bagi nasib pekerja dan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.4
Dengan memberi manfaat bagi kedua belah pihak, kehadiran organisasi serikat buruh haruslah disambut dengan baik oleh perusahaan sebagai mitra kerjanya. Apabila
kehadiran dari organisasi serikat buruh disambut dengan sebaliknya, maka hal yang demikian akan menimbulkan pertikaian yang dapat merugikan perusahaan. Jika pengusaha dan pekerja memiliki hubungan yang tidak baik, maka pertikaian dalam menjalankan hak dan kepentingan kedua pihak sudah tentu akan terjadi sehingga hak, kewajiban, dan tanggung jawab tidak akan terkoordinasi dengan baik.5 Tindakan preventif sangat diperlukan untuk mencegah disharmonisasi antara pengusaha dengan serikat buruh dengan merekonstruksi hukum yang bersifat independen, yakni perjanjian kerja bersama. Eksistensi perjanjian kerja bersama ini dengan signifikan akan mendorong dan melindungi peran serikat pekerja. Hal ini diperlukan oleh karena fungsi dari perjanjian kerja bersama dapat digunakan sebagai social control dan social engineering dalam ranah hukum ketenagakerjaan.6
Hubungan kerja yang tercipta diantara pekerja dengan pengusaha dilandasi oleh adanya perjanjian kerja yang disepakati oleh pekerja dengan pengusaha. Kemudian, antara serikat buruh dengan pengusaha didasari oleh adanya perjanjian kerja bersama.7 Mengenai definisi dari perjanjian kerja bersama telah dituangkan dalam Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan) yang menyebutkan bahwa “Perjanjian Kerja Bersama merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instransi yang bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha atau perkumpulan dari pengusaha dengan memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak”.8 Definisi ini serupa dengan definisi dari Kesepakatan Kerja Bersama yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997, namun definisi yang ditentukan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan telah disesuaikan dengan UU SP/SB yang mensyaratkan serikat buruh yanq telah dibentuk wajib dicatatkan pada instansi yang memiliki wewenang dan tanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.9
Sebagaimana asas pacta sunt servanda, berlakunya perjanjian kerja bersama memiliki makna khusus yang hanya berlaku bagi kepentingan para pekerja yang diwakili oleh serikat buruh serta kepentingan dari pengusaha, kepentingan yang dimaksud dalam hal ini dapat berupa hak-hak beserta kewajiban-kewajiban yang disepakati. Berlakunya perjanjian kerja bersama menunjukkan bahwa para pihak paham akan pentingnya suatu
perjanjian untuk menjamin kepastian hak-hak para pihak sesuai dengan nilai keadilan. Adanya hukum ketenagakerjaan memiliki esensi yang berfungsi sebagai pedoman dalam ranah ketenagakerjaan, yang secara khusus, memberikan kepastian hukum demi kemanfaatan dan keadilan kepada para pengusaha serta para pekerja dalam menjalankan kegiatan usaha. Dilihat dari sisi pembaharuan hukum, perjanjian kerja bersama merupakan pembaharuan yang memberikan kepastian dalam menjalankan hubungan kerja yang mulanya hanya dilakukan secara lisan dan berjabat tangan, kini telah berubah melalui perjanjian tertulis yang memuat kesepakatan-kesepakatan dengan ditandai melalui tanda tangan para pihak. Hal tersebut memberikan determinasi yang harmonis bagi serikat buruh dengan pengusaha dalam menjalankan hak dan kewajibannya.10
Ketentuan Pasal 103 huruf (f) dan Pasal 116 UU Ketenagakerjaan telah menentukan hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja secara otonom. Berlakunya perjanjian kerja bersama yang telah disepakati, menjadi wadah bagi substansi yang masih kosong atau kabur pengaturannya di dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan ketenagakerjaan. Hal ini dilakukan dengan menuangkan materi lebih lanjut dari pengaturan yang tidak atau belum jelas diatur dalam UU Ketenagakerjaan ke dalam rancangan perjanjian kerja bersama yang selanjutnya dibahas untuk mendapatkan kesepakatan bersama antara pengusaha dengan pekerja melalui serikat buruh sebagai perwakilannya.11
Serikat buruh yang mempunyai tujuan mulia guna memberikan perlindungan hak serta kepentingan dari para pekerja untuk mendapatkan kesejahteraan, oleh karena itu dalam menjalankan keberlangsungan organisasi serikat buruh, diperlukan adanya pelaporan dan pencatatan organisasi serikat buruh.12 Hal ini telah diatur dengan jelas pada Pasal 104 ayat (1) UU Ketenagakerjaan juncto Pasal 5 UU SP/SB yang menjelaskan pada pokoknya bahwa setiap pekerja mempunyai hak yang dilindungi dalamm berserikat, yang dalam pembentukan serikat buruh harus dilakukan oleh minimal 10 (sepuluh) orang pekerja.13 Bilamana proses dalam membentuk serikat buruh telah dipenuhi, maka untuk kemudian serikat buruh diwajibkan menyampaikan laporan secara tertulis kepada pihak instansi yang berwenang dan bertanggung jawab pada bidang ketenagakerjaan mengenai keberadaannya yang bertujuan untuk memastikan dan membuktikan organisasi serikat pekerja sah secara hukum.
Serikat pekerja yang telah memperoleh nomor bukti pencatatan wajib memberi notifikasi tertulis mengenai eksistensinya kepada mitra kerjanya, yang dalam hal ini
perusahaan tempat para pekerja bekerja, sebagaimana yang diatur pada Pasal 23 UU SP/SB yang menyatakan “Pengurus serikat pekerja/serikat buruh, federasi, dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yng telah mempunyai nomor bukti pencatatan harus memberitahukan secara tertulis keberadaannya kepada mitra sesuai dengan tingkatannya.”. Namun, dalam UU SP/SB serta UU Ketenagakerjaan tidak diatur akibat hukum yang akan timbul apabila serikat pekerja yang telah terdaftar dan memiliki nomor bukti pencatatan pada instansi yang bertanggung jawab pada bidang ketenagakerjaan tidak memberitahukan secara tertulis keberadaannya kepada perusahaan. Kekosongan pengaturan hukum ini sangat memungkinkan akan menimbulkan permasalahan hingga sengketa antara serikat pekerja dengan perusahaan hingga pemerintahan.
Setelah mengobservasi dan mengkaji hasil peneilitian mengenai serikat buruh, ditemukan penelitian dengan topik serupa dengan titik fokus permasalahan yang berbeda. Adapun judul-judul dari hasil penelitian yang ditemukan, yaitu yang pertama berjudul “Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh Berdasarkan Asas Kebebasan Berkontrak”14 yang telah diterbitkan dalam Interdiciplinary Journal on Law, Social Sciences and Humanities Universitas Jember, dan yang kedua berjudul “Eksistensi Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam Upaya Mensejahterakan Pekerja”15 yang diterbitkan pada Jurnal Media Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Pada hasil penelitian serupa yang pertama membahas mengenai kewajiban serikat buruh dalam melakukan pencatatan keberadaannya pada instansi yang memiliki otoritas dalam ranah ketenagakerjaan, sedangkan hasil penelitian yang kedua memuat pembahasan keberadaan serikat buruh serta kewajiban-kewajibannya, terkhusus kewajiban dalam mengupayakan kesejahteraan pekerja/buruh. Kedua hasil penelitian tersebut jika dibandingkan dengan penelitian ini memiliki perbedaan pada pembahasannya. Pembahasan penelitian ini berfokus pada pada akibat hukum Pasal 23 UU SP/SB yang mengatur mengenai kewajiban dalam memberitahukan secara tertulis keberadaan serikat buruh kepada mitra kerjanya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas menimbulkan pertanyaan yang harus dikaji agar didapat suatu kejelasan dan kepastian di dalam prakteknya. Atas latar belakang di atas, maka penulis mengangkat jurnal ilmiah yang berjudul “Akibat Hukum Serikat Pekerja yang Tidak Memberi Notifikasi Tertulis Mengenai Keberadaannya Kepada Mitra Kerjanya”.
Bertitik tolak dari hal-hal yang diuraikan secara deskriptif dalam latar belakang tersebut, maka pokok-pokok permasalahan yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:
-
1.2.1. Bagaimana hubungan hukum antara serikat pekerja/serikat buruh dengan mitra kerjanya?
-
1.2.2. Bagaimana akibat hukum serikat pekerja/serikat buruh yang tidak memberi notifikasi tertulis mengenai keberadaannya kepada mitra kerjanya?
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penulisan jurnal ini ialah:
-
1.3.1. Untuk mengetahui hubungan hukum antara serikat pekerja/serikat buruh
dengan mitra kerjanya.
-
1.3.2. Untuk mengetahui akibat hukum serikat pekerja/serikat buruh yang tidak
memberi notifikasi tertulis mengenai keberadaannya kepada mitra kerjanya.
Jurnal ini ditulis menggunakan metode penelitian hukum secara normatif dengan penerapan pendekatan perundang-undangan (the statute approach) serta pendekatan konseptual (conceptual approach). Kemudian, dalam penulisan penelitian ini menggunakan sumber bahan hukum yang terdiri atas bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer ialah bahan hukum mengikat yang terdiri atas peraturan perundang-undangan, sedangkan bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang menjelaskan mengenai bahan hukum primer seperti buku dan hasil dari suatu penelitian.
Pendekatan peraturan perundang-undangan merupakan pendekatan yang meninjau suatu permasalahan dari peraturan perundang-undanganan terkait. Sedangkan pendekatan konseptual memberikan tinjauan pada aspek nilai-nilai yang melatarbelakangi suatu norma dari peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana halnya isu hukum dari jurnal ini mengulas mengenai kekosongan norma implikasi yuridis terhadap Pasal 23 UU SP/SB, maka relevan apabila penulisan jurnal ini menggunakan metode penelitian hukum secara normatif dengan penerapan perundang-undangan (the statute approach) serta pendekatan konseptual (conceptual approach).
-
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Hubungan Hukum Antara Serikat Pekerja/Serikat Buruh dengan Mitra Kerjanya
Hubungan hukum atau rechtsverhouding adalah hubungan yang diatur dan teregulasi oleh hukum. Secara a contrario, hubungan yang tidak diatur oleh hukum tidak dapat dikatakan sebagai hubungan hukum.16 R. Soeroso berpendapat pada intinya bahwa terjadinya hubungan hukum timbul oleh karena adanya 2 (dua) atau lebih subjek hukum yang memiliki hubungan, dimana di dalamnya terdapat hak dan kewajiban yang saling berhadapan dan berkorelasi. Selain hak dan kewajiban yang diberikan kepada para pihak, hubungan hukum menjamin melalui hukum terlaksananya hak dan kewajiban yang diberikan.
Guna memberikan pemahaman lebih jelas tentang hubungan hukum, Holijah mencirikan hubungan hukum menjadi tiga unsur, yakni:17
-
1. terdapat para pihak yang saling berhadapan hak maupun kewajibannya;
-
2. terdapat objek dari hak dan kewajiban tersebut; serta
-
3. tercipta hubungan diantara pemilik hak dan kewajiban terkait, atau adanya hubungan terhadap objek yang bersangkutan.
Setiap hubungan hukum yang telah terjalin akan diatur oleh hukum yang berlaku dengan sifat mengikat dan memaksa, sehingga jika terjadi pelanggaran di dalam hukum akan menimbulkan akibat hukum dan prosedur penyelesaian sebagaimana ketentuan hukum yang berlaku. Secara yuridis, hubungan hukum mempunyai 2 (dua) sisi, yang pertama sisi bevoegdheid (adanya kekuatan karena terdapat suatu hak), sedangkan sisi yang berlawanan disebut plicht, yakni adanya kewajiban.18
Perusahaan dan para pekerjanya merupakan entitas yang saling membutuhkan, sebagaimana yang disampaikan dalam Penjelasan Umum UU SP/SB bahwasanya pekerja/buruh merupakan rekanan kerja pengusaha. Sebagai rekanan kerja, pengusaha memerlukan adanya pekerja guna melaksanakan serta menjalankan tujuan dan target perusahaan. Selain itu, pekerja berperan sebagai pelaku yang mampu menjalankan kegiatan usaha untuk sampai pada tujuan dan target dari perusahaan. Sebaliknya, dari sudut pandang pekerja, para pekerja memerlukan perusahaan guna memenuhi kebutuhan hidupnya, memberikan kesejahteraan penghidupan keluarganya dari bayaran berupa upah yang diberikan perusaahaan atas hasil kerjanya.19
Hubungan hukum yang dimiliki oleh pekerja sebagai tenaga kerja dengan pengusaha melalui perusahaan adalah hubungan kerja. Hubungan kerja dapat dimaknai dengan adanya dua subjek hukum (pekerja/buruh dan pengusaha) atau lebih yang melakukan suatu hubungan pekerjaan, dengan 3 unsur pokok (pekerjaan, upah, dan perintah). Dilihat dari subjek hukumnya, hubungan ini dilakukan oleh pengusaha melalui perusahaan sebagai pemberi kerja dengan pekerja/buruh sebagai penerima pekerjaan.20 Terjadinya hubungan hukum ini timbul dari terbentuknya perjanjian kerja.21 Sebagaimana halnya cita hukum ketenagakerjaan di Indonesia yang memiliki peran untuk menjaga harmonisasi serta ketertiban, terkhusus pada tindakan dari buruh/pekerja serta perusahaan melalui pengusaha, termasuk namun tidak terbatas pada hukum positif di Indonesia berupa peraturan perundang-undangan maupun peraturan yang dihasilkan melalui kesepakatan dari perusahaan dan para pekerja.22
Materi hukum yang termuat dalam aturan-aturan tersebut meliputi asas hukum yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, kepentingan para pihak terkait berupa hak maupun kewajiban, serta pertanggungjawaban yang berisikan nilai-nilai kepastian hukum,
keadilan, dan kemanfaatan. Aturan-aturan ini berlaku tegak dalam masyarakat dari rasa kepatuhan terhadap berlakunya hukum positif yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, UU SP/SB, Peraturan Pemerintah terkait, serta peraturan pelaksana lainnya. Secara normatif, mengenai keselamatan, kesehetan dan kesejahteraan pekerja, kebebasan dalam berorganisasi melalui serikat buruh, pemberian upah, dan lain sebagainya telah dimuat dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Selain itu, hal-hal dalam ranah privat layaknya perjanjian kerja dan perjanjian,kerja,bersama telah dituangkan pengaturannya secara komprehensif dalam undang-undang a quo. Selain hak-hak dari pekerja, hak dari pengusaha pun telah diatur pula dalam Undang-Undang a quo, seperti tiada upah tanpa bekerja, serta perlindungan lain yang bersifat normatif.23
Terciptanya peraturan perundang-undangan dalam bidang tenagakerja yang telah mengatur dalam ranah publik dan privat bengan bernilaikan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan, maka peran serikat buruh dalam membangun hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha dapat memberikan ketertiban, dan keharmonisan bagi para pekerja. Pekerja, pengusaha, dan pemerintah sebagai regulator menjalin sistem hubungan yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI 1945 disebut sebagai hubungan industrial.24
Berlakunya UU Ketenagakerjaan, terlebih dengan adanya UU SP/SB memberikan kejelasan dan penegasan akan esensi peranan serikat pekerja dalam menjalankan hubungan industrial, salah satu contohnya adalah menjadi perwakilan bagi para pekerja dalam membentuk perjanjian kerja bersama sehingga memiliki kedudukan yang seimbang dengan perusahaan. Dari pengertian perjanjian kerja bersama yang diformulasikan pada Pasal 1 angka 21 UU Ketenagakerjaan tersebut sesungguhnya terdapat 3 (tiga) subjek yang masuk ke dalam pengaturan hak dan kewajiban dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB), yakni serikat buruh sebagai suatu organisasi yang mandiri, pengusaha/perusahaan, dan pekerja/buruh. Berdasarkan Pasal 118 Undang-Undang Ketenagakerjaan, telah ditentukan secara limitatif bahwasanya hanya 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang dapat berlaku dalam 1 (satu) oerusahaan yang mengikat untuk serikat burh, seluruh pekerja, dan pengusaha dalam perusahaan yang akan menjadi acuan dari perjanjian kerja.25 Dengan berlakunya UU SP/SB dan UU Ketenagakerjaan, maka timbul hubungan hukum secara tidak langsung antara serikat buruh dengan pengusaha maupun perusahaan karena dalam undang-undang a quo diatur mengenai hak serta kewajiban dari serikat buruh dan pengusaha dan/atau perusahaan yang berkaitan. Kemudian, hubungan hukum secara langsung yang terjadi antara serikat buruh dengan perusahaan timbul dari berlakunya perjanjian kerja bersama yang telah disepakati.
-
3.2. Akibat Hukum Serikat Buruh/Serikat Pekerja yang Tidak Memberi Notifikasi Tertulis Mengenai Keberadaannya Kepada Mitra Kerjanya.
Asas equality before the law telah mengisyaratkan bahwa hukum menjamin kesamaan kedudukan setiap orang dihadapan hukum, bersamaan dengan itu, pekerja/buruh haruslah dinilai memiliki kedudukan yang sama dengan pengusaha untuk mendapatkan perlindungan terhadap hak-haknya. Hal tersebut telah dilindungi oleh UU Ketenagakerjaan.26 Dalam memperjuangkan hak-hak serta kepentingannya, pekerja/buruh dapat bernaung di bawah organisasi serikat serikat buruh. Peranan dari organisasi serikat buruh berfungsi sebagai tempat untuk menyalurkan aspirasi dari pekerja/buruh apabila terjadi persoalan untuk diteruskan dengan jalan berdiskusi dan lebih jauh lagi mengadvokasi permasalahan pekerja/buruh kepada pengusaha.27
Pendirian dari serikat buruh hendak mencapai tujuan yang telah tertuang secara eskplisit dalam Pasal 4 ayat (1) UU SP/SB, yakni melindungi, membela hak serta kepentingan, dan melakukan usaha-usaha untuk berkontribusi dalam peningkatan kesejahteraan bagi pekerja maupun serikat buruh, begitupula dengan keluarganya. Tentunya, untuk mencapai tujuan tersebut, fungsi dari serikat buruh memiliki fungsi yang telah diatur dan diformulasikan dalam Pasal 4 ayat (2) UU SP/SB.
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwasanya pekerja dan perusahaan merupakan entitas yang saling membutuhkan melalui hubungan kerja. Para pekerja pada dasarnya berhak untuk mendirikan dan/atau bergabung menjadi anggota organisasi serikat buruh. Pendirian serikat buruh oleh para pekerja merupakan hak yang telah diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Serikat Pekerja. Dalam Undang-Undang a quo telah dijelaskan syarat dan prosedur pendirian serikat buruh seperti jumlah minimal pekerja untuk mendirikan serikat buruh adalah 10 (sepuluh) orang pekerja, serikat buruh sebagai organisasi harus memiliki Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), dan lain sebagainya.
Serikat buruh untuk dapat melakukan hak dan kewajibannya harus mempunyai nomor bukti pencatatan di instansi yang memiliki kewenangan, dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 27 UU SP/SB.28 Pasal 25 ayat (1) menyatakan:
“Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak:
-
a. membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha;
-
b. mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan iindustrial;
-
c. mewakili pekerja/buruh dalam lembaga ketenagakerjaan;
-
d. membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh;
-
e. melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.”
Kemudian, Pasal 27 menyebutkan bahwa:
“Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berkewajiban:
-
a. melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hak-hak dan memperjuangkan kepentingannya;
-
b. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan keluarganya;
-
c. mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi kepada anggotanya sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.”
Dalam mendirikan serikat buruh, setelah memiliki nomor bukti pencatatan, serikat buruh masih memiliki tahapan kewajiban berdasarkan Pasal 23 UU SP/SB, yang menyatakan “Pengurus serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan harus memberitahukan secara tertulis keberadaannya kepada mitra sesuai dengan tingkatannya.” Tujuan dari diwajibkannya pemberitahuan tertulis atau notifikasi tertulis kepada pihak perusahaan sebagai mitra kerjanya, yakni sebagai bentuk legalitas dan menjadi bentuk keabsahan keberadaam serikat buruh pada perusahaan tersebut sehingga serikat buruh mempunyai legal standing yang jelas.29
Serikat buruh memiliki hak untuk menjadi pihak dalam melakukan perundingan untuk membentuk perjanjian kerja bersama dengan perusahaan yang diatur dalam Pasal 25, terhadap hal ini serikat buruh yang tidak memberi notifikasi tertulis mengenai keberadaannya kepada mitra kerjanya tidak akan dapat menjadi pihak untuk berunding dalam membuat perjanjian kerja bersama dikarenakan serikat buruh yang demikian tidak memiliki legal standing oleh karena tidak menjalankan kewajibannya untuk memberi notifikasi tertulis mengenai keberadaannya kepada mitra kerjanya. Selain itu, apabila serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan tidak (maupun belum) memberi notifikasi tertulis mengenai keberadaannya, pengusaha selaku mitra kerjanya tidak akan mengetahui keberadaan dari serikat buruh yang demikian.
Bagian Umum Penjelasan UU SP/SB telah menyebutkan dengan terang bahwasanya “pekerja/buruh merupakan mitra kerja pengusaha yang berpengaruh dan penting dalam jalannya kegiatan usaha yang dilangsungkan dan telah memberikan kebebasan mengenai keanggotaan dan kepengurusan serikat pekerja”. Apabila serikat buruh yang telah memiliki bukti nomor pencatatan tidak menyatakan keberadaannya melalui notifikasi tertulis kepada mitra kerjanya, maka serikat buruh yang demikian tidak memiliki landasan untuk menguatkan eksistensinya secara hukum dan tidak dapat melnakukan pembentukan atau bergabung ke dalam sebuah perjanjian kerja bersama dengan
perusahaan atau beberapa perusahaan karena tidak memiliki keabsahan keberadaan dan kelegalitasan di hadapan perusahaan selaku mitra kerjanya. Mengenai kewajiban untuk memberitahukan secara tertulis keberadaan serikat pekerja/serikat buruh kepada mitra kerjanya belum ada aturan khusus yang mengatur sehingga tidak ada pula sanksi yang harus ditanggung oleh serikat buruh/serikat pekerja, hanya saja akibat yang akan timbul berupa tidak dimilikinya kekuatan hukum untuk memiliki hubungan hukum secara langsung dengan mitra kerjanya melalui perjanjian kerja bersama.
Pasal 17 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 pmenyatakan bahwa “Pengusaha harus melayani serikat pekerja/serikat buruh yang mengajukan permintaan secara tertulis untuk merundingkan PKB dengan ketentuan apabila: a. serikat pekerja/serikat buruh telah tercatat berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh; dan b. memenuhi persyaratan pembuatan PKB sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.” Bahwanya pasal ini menentukan pada pokoknya serikat buruh yang telah memenuhi ketentuan Undang-Undang a quo menyampaikan permohonan tertulis untuk meminta perundingan perjanjian kerja bersama, pihak pengusaha berkewajiban untuk melayani permintaan tertulis tersebut. Secara a contrario, apabila serikat pekerja/serikat buruh tidak menjalankan persyaratan-persyaratan yang diharuskan dalam Undang-Undang a quo, maka pengusaha tidak diharuskan melayani atau dapat menolak permintaan tertulis dari serikat buruh yang mengusulkan untuk melakukan perundingan perjanjian kerja bersama. Jika hal yang demikian terjadi, maka hak-hak serta kewajiban-kewajiban yang terkait secara langsung dengan perusahaan selaku mitra kerja tidak terikat secara hukum.
Dalam Putusan Nomor: 59/Pdt.Sus-PHI/2021/PN Pbr, pada Pengadilan Negeri Pekanbaru, Tergugat mempersoalkan legal standing dari pekerja yang memberikan kuasa kepada Pengurus Serikat Pekerja Bengkalis Independent (SPBI) selaku Penggugat untuk mewakili pekerja tersebut dikarenakan tidak memiliki kapasitas untuk mewakili Tergugat sebagai Kuasa Hukumnya. Salah satu poin keberatannya dikarenakan dalam perusahaan Tergugat belum ada terbentuk serikat buruh dan SPBI tidak pernah memberikan notifikasi tertulis mengenai keberadaannya kepada perusahaan Tergugat.
Majelis Hakim dalam perkara a quo menyampaikan pertimbangan hukumnya bahwa memang benar UU SP/SB tidak mengatur secara tegas akibat hukum bilamana terdapat serikat buruh yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 23 UU SP/SB. Namun, tidak terdapat alasan hukum yang cukup untuk melarang serikat buruh yang demikian untuk mewakili anggotanya bilamana terdapat perkara untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial di Pengadilan. Sebagaimana tujuan filosofis pendirian serikat buruh untuk membela kepentingan pekerja yang telah ditentukan dalam Pasal 1 angka 1 UU SP/SB, salah satu kepentingan dari pekerja ialah berperkara di Pengadilan (Pasal 25 ayat (1) huruf b UU SP/SB), maka serikat buruh dapat mewakili pekerja dengan syarat telah mempunyai nomor bukti pencatatan dan yang diwakilinya ialah pekerja yang menjadi anggota serikat buruh dengan dibuktikan melalui kartu anggota sebagaimana pula yang
diatur secara tegas dalam ketentuan Pasal 87 Undang-Undang nomor 2 Tahun 2004 teentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).
Hubungan hukum atau rechtsverhouding adalah hubungan antara dua subjek hukum atau lebih yang diatur dan teregulasi oleh hukum secara mengikat. Hubungan hukum yang terjadi diantara serikat pekerja/serikat buruh dengan mitra kerjanya timbul dari hubungan yang dimiliki oleh pekerja sebagai tenaga kerja dengan pengusaha melalui perusahaan adalah hubungan kerja. Hubungan kerja dapat dimaknai bilamana terdapat pekerja/buruh dan pengusaha sebagai subjek hukum yang didasarkan atas perintah kerja, dengan 3 unsur pokok (pekerjaam, upah, dan perintah). Dilihat dari subjek hukumnya, hubungan ini dilakukan oleh pengusaha melalui perusahaan sebagai pemberi kerja dengan pekerja/buruh sebagai penerima pekerjaan. Hubungan ini dijamin oleh Undang-Undang Serikat Pekerja dan Undang-Undang Ketenagakerjaan, serta hubungan hukum secara langsung antara serikat buruh dengan mitra kerjanya timbul dari adanya perjanjian kerja bersama. Dalam hal serikat buruh tidak memberi notifikasi tertulis mengenai keberadaannya kepada perusahaan selaku mitra kerjanya, serikat buruh tetap dapat membela hak-hak anggotanya terbatas pada hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari serikat buruh yang diatur pada Pasal 25 dan Pasal 27 Undang-Undang Serikat Pekerja. Terhadap perjanjian kerja bersama, serikat buruh yang tidak memberi pernyataan tertulis megenai eksistensinya kepada perusahaan selaku rekan kerjanya tidak akan dapat melakukan perundingan untuk membentuk perjanjian kerja bersama dikarenakan serikat pekerja/serikat buruh demikian tidak mempunyai kekuatan hukum atas kedudukannya terhadap perusahaan selaku mitra kerjanya. Selain itu perusahaan selaku mitra kerjanya tidak memiliki kewajiban untuk melayani serikat pekerja yang tidak menjalankan persyaratan-persyaratan pencatatan pada Undang-Undang Serikat Pekerja dan Undang-Undang Ketenagakerjaan berdasarkan Pasal 17 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Holijah, S.H. “Studi Pengantar Ilmu Hukum Hukum”. Prenada Media, Jakarta (2021).
Husni, Lalu. “Pengantar Hukum Ketenagakerjaan: Edisi Revisi”. Jakarta: Rajagrafindo persada (2014).
Peter Mahmud Marzuki. “Pengantar Ilmu Hukum Edisi Revisi”. Kencana Prenada Media Group, Jakarta (2008).
Simanjuntak, Payaman J. “Undang-Undang Yang Baru Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.” Jakarta: Kantor Perburuhan Internasional (2002).
Jurnal
Absori Absori, “Kebijakan Perizinan, Sengketa Lingkungan Hidup dan Kepentingan Investasi”. Jurisprudrence 7, no. 2 (2018): 97-104.
Budiono, Abdul Rachmad. “Makna “Perintah” Sebagai Salah Satu Unsur Hubungan Kerja Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaaan”. Jurnal ARENA HUKUM 6, no. 2 (2012): 137-147.
Dewi, Ni Made Indah Marlina Sitha and Made Gde Subha Karma Resen. “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh dalam Masa Percobaan kerja Berdasarkan Hukum Ketenagakerjaan.” Jurnal Kertha Desa 9, no. 12 (2021): 36-46.
Dhaneswara, Ida Ayu Hangganararas, and I. Made Dedy Priyanto. "Perlindungan hukum pekerja dari perusahaan penyedia jasa yang bekerja pada perusahaan pemilik kerja." kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 6, no. 4 (2019): 1-17.
Ibrahim, Zulkarnain. "Eksistensi Serikat Pekerja/Serikat Buruh Dalam Upaya Mensejahterakan Pekerja." Jurnal Media Hukum 23, no. 2 (2016): 150-161.
Marcella, Yosephine and Komang pradnyana Sudibya. “Peran Organisasi Serikat Pekerja/Buruh dalam Pembangunan Perekonomian Indonesia”. Jurnal Kertha Semaya 4, no. 3 (2018): 115.
Maulana, Amin. "Penyelundupan Hukum Dengan Menggunakan Hubungan Kemitraan Pada Status Yang Seharusnya Hubungan Kerja Yang Dilakukan Oleh Perusahaan Dengan Pekerjannya." Jurnal Suara Keadilan 21, no. 1 (2020): 17-29.
Pamungkas, Donny Sigit. "Keberlakukan Perjanjian Kerja Bersama Bagi Pekerja Yang Tidak Menjadi Anggota Serikat Pekerja." DiH: Jurnal Ilmu Hukum 13 (2018): 243-55.
Prabarani, Anak Agung Istri Widya, and I Gusti Ngurah Wairocana. “Kedudukan Serikat Pekerja/Buruh Dalam Melakukan Perundingan Pembentukan Perjanjian Kerja Bersama. “Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 4, no. 3 (2018).
Pratiwi, Charina Lucky. "Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh Berdasarkan Asas Kebebasan Berserikat." Interdisciplinary Journal on Law, Social Sciences and Humanities 2, no. 1 (2021)
Puspa, Kadek Intran Apsari and I Made Sarjana. “Hubungan Hukum Antara Perusahaan Ojek Online dengan Pengemudinya dalam Perusahaan Go-Jek Indonesia”. Jurnal Kertha Desa 10, no. 1 (2021): 34-44.
Soewono, Djoko Heroe. "Peran Serikat Pekerja Dalam Menciptakan Hubungan Industrial Di Perusahaan." Jurnal Hukum Unik Kediri (2019)(21). (2019).
Sonhaji, Sonhaji. "Organisasi Serikat Pekerja Terhadap Kesejahteraan Pekerja atau Buruh di PT. Apac Inti Corpora." Administrative Law and Governance Journal 2, no. 4 (2019): 629-646.
Suhartoyo, Suhartoyo. "Orientasi Pengaturan Organisasi Serikat Buruh atau Serikat Pekerja Dalam Konteks Hukum Nasional." Administrative Law and Governance Journal 2, no. 4 (2019): 661-671.
Trisyani, Eka Putri. "Peran serikat pekerja dalam upaya peningkatan kualitas hubungan kerja bagi pekerja= The role of labour union to promote the quality of working relation for workers." Skripsi pada Universitas Indonesia. Depok. (2013).
Utami, Tanti Kirana. "Peran Serikat Pekerja Dalam Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja." Jurnal Wawasan Yuridika 28, no. 1 (2015): 675-686.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989).
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279).
Undang-Undang nomor 2 Tahun 2004 teentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356).
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor: PER.16/MEN/XI/2011 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2099).
Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 12 Tahun 2022 hlm 1259-1273
1273
Discussion and feedback