QUO VADIS: URGENSI PENGATURAN PEMBIAYAAN PENEMPATAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA

Winda Claudia, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Putri Triari Dwijayanthi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan studi ini adalah guna menganalisis urgensi pengaturan pembiayaan penempatan Pekerja Migran Indonesia serta implikasi dari ketiadaan pengaturan tersebut. Penulisan dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif melalui pendekatan perundang-undangan dan konseptual serta menggunakan analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meski penempatan Pekerja Migran di Indonesia telah diatur dalam sejumlah pengaturan namun masih terdapat kekosongan hukum dan konflik norma yang dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 serta Peraturan BP2MI Nomor 9 Tahun 2020 mengenai pembiayaan penempatan Pekerja Migran Indonesia. Hal ini didasarkan oleh pembedaan pengaturan mengenai pelindungan bagi PMI. Adapun ketiadaan pengaturan tersebut berimplikasi pada beberapa hal, meliputi tidak terwujudnya kepastian hukum dan perlindungan hukum, potensi melanggar asas-asas pelindungan PMI, menimbulkan praktik overcharging, serta terjadinya tindak kriminalitas dan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Oleh karena itu, sudah menjadi urgensi bagi pemerintah untuk segera mengambil langkah untuk menetapkan pengaturan yang pasti terkait pembiayaan penempatan PMI.

Kata Kunci: Kepastian Hukum, Pekerja Migran Indonesia, Pembiayaan Penempatan

ABSTRACT

The purpose of this study is to analyze the urgency of arranging financing placement of Indonesian Migrant Workers and the implications of the absence of such regulation. This study was using normative research methods with a statutory and conceptual approaches as well as qualitative analysis. The result of the study obtained are that although the placement of Migrant Workers in Indonesia has been regulated in a number of arrangements, there is still a legal voids and conflicting norms that can be found in Law 18 of 2017 and PerBP2MI No 9 of 2020 concerning the placement financing of Indonesian Migrant Workers. These requirements must be fulfill based on different arrangements regarding protection for Indonesian Migrant Workers. The absence of these regulations has implications for several things, including the non-realization of legal certainty and legal protection, the potential for violating the principles of protection for Indonesian Migrant Workers, causing overcharging practices, as well as the occurance of criminal acts and human trafficking. Therefore, it has become an urgency for the government to immediately take steps to establish related arrangements regarding the placement financing of Indonesian Migran Workers.

Key Words: Legal Certainty, Indonesian Migrant Workers, Placement Financing

  • 1.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Pandemi Covid-19 memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap berbagai sektor, termasuk sektor perekonomian. Menurut berbagai laporan hasil analisis lembaga studi terkait pandemi Covid-19, disebutkan bahwasanya di tahun 2020 terjadi pelambatan ekonomi global, tak terkecuali negara Indonesia. 1 Bahkan berdasarkan pernyataan dari United Nations Conference on Trade and Development (selanjutnya UNCTAD), pandemi Covid-19 menggasak negara-negara berkembang dengan kritis utang sehingga Indonesia juga berpotensi terjebak dalam potensi defisit anggaran yang tidak berkepanjangan. 2 Para Pekerja Migran Indonesia (selanjutnya PMI) sejatinya memiliki sumbangsih yang besar bagi negara, dimana berdasarkan data dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (selanjutnya BP2MI), pada tahun 2021 kontribusi Pekerja Migran Indonesia terhadap devisa negara cukup besar yakni lebih kurang sebesar Rp. 100 (seratus) milyar3 serta ditaksir mencapai Rp. 159,6 (seratus lima puluh sembilan koma enam) triliun setiap tahunnya. Dengan demikian, dapat dikatakan PMI dapat menjadi salah satu upaya menumbuhkan perekonomian nasional terlebih dimasa pandemi Covid-19.

Dengan melihat pada situasi dan kondisi perkembangan wabah virus Covid-19, World Health Organization (selanjutnya WHO) menyatakan bahwa terdapat potensi virus ini tidak berakhir dan tetap hadir di sela masyarakat. Mempertegas pernyataan tersebut, Presiden Republik Indonesia (selanjutnya RI) Joko Widodo juga telah menghimbau masyarakat Indonesia agar mampu beradaptasi dan hidup berdampingan dengan virus Covid-19 yakni dengan menerapkan tatanan “new normal”. Kebijakan new normal tersebut juga menjadi salah satu upaya global percepatan pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19. Lebih lanjut, bersamaan dengan dicabutnya “Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 151 Tahun 2020 tentang Penghentian Sementara Penempatan Pekerja Migran Indonesia (selanjutnya Kepmenaker No. 151/2020)”, pemerintah membuka kembali penempatan bagi pekerja migran. 4 Melihat beberapa negara yang telah melahirkan peluang bagi masuknya PMI dengan menerapkan protokol kesehatan Covid-19, pemerintah juga membuka secara berjenjang bagi penempatan PMI. Pembukaan penempatan PMI tersebut dilakukan melalui 7 (tujuh) tahapan yang dimuat dalam “Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan”.5

Dalam kaitannya dengan penempatan PMI ke luar negri, “Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (selanjutnya UU PPMI)” yang kemudian lebih lanjut diatur pada “Peraturan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pembebasan Biaya Penempatan Pekerja

Migran Indonesia (selanjutnya PerBP2MI No. 9/2020)” menentukan bahwa terdapat pembebasan biaya penempatan bagi PMI yakni terhadap 10 (sepuluh) sektor kerja. Akan tetapi, dalam hal kondisi pandemi Covid-19 yang berujung pada aktualisasi pembebasan biaya penempatan terhadap 10 (sepuluh) sektor tercatat tidak terbayarkan dengan baik oleh pemerintah pusat, daerah maupun pemberi kerja, maka “Keputusan Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Nomor 214 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembebasan Biaya Penempatan Pekerja Migran Indonesia (selanjutnya Kep. KaBP2MI No 214/2021)” menentukan terkait pemberian fasilitas pembebanan biaya penempatan yaitu melalui Kredit Tanpa Agunan dan/atau Kredit Usaha Rakyat baik oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan/atau Bank Pembangunan Daerah.6 Merujuk pada “Kepka BP2MI No 214/2021” tersebut juga dapat diketahui, pembiayaan penempatan PMI hanya sebatas pada PMI yang bekerja di Hong Kong dan Taiwan saja. Artinya, belum terdapat pengaturan tegas terkait pembiayaan penempatan di negara-negara lainnya.

Lebih lanjut, Pemerintah melalui regulasi yang ada hanya memberikan pengaturan pembebasan biaya penempatan pada 10 (sepuluh) porsi jabatan saja, yang meliputi pihak pengurus lansia, rumah tangga, juru masak, pengasuh bayi dan anak, perawat taman, supir keluarga, pekerja ladang dan/atau perkebunan, petugas kebersihan, serta awak kapal perikanan. Akan tetapi, merujuk pada UU PPMI, PMI yang mendapatkan perlindungan tidak sebatas pada 10 (sepuluh) jenis tersebut. “Keputusan Deputi Bidang Penempatan BNP2TKI No: Kep.59/PEN/VI/2010 tentang Petunjuk Teknis Penyuluhan Jabatan Tenaga Kerja Indonesia” menyebutkan termuat 26 (dua puluh enam) sektor jabatan pada PMI yang meliputi pariwisata hotel dan perkantoran; jasa layanan transportasi angkutan darat, laut dan udara; jasa konstruksi; jasa perorangan, kebersihan, kesehatan, pendidikan, retail, keamanan; industry perikanan dan pengolahan hasil laut; industri tekstil, garmen, industri elektronik, informatika, pengelasan, otomatif, dan migas; perantara keuangan; hingga pertanian, peternakan, perkebunan dan kehutanan. Adanya semacam konflik norma antara UU PPMI dengan PerBP2MI No. 9/2020, serta kekosongan hukum terkait pembiayaan penempatan tersebut lah yang kemudian menjadi warming sign bagi pemerintah untuk menetapkan pengaturan yang pasti terkait pembiayaan penempatan bagi PMI. Disamping itu, ketimpangan yang terjadi juga cenderung menimbulkan ketidakadilan bagi sektor lainnya yang notabene memiliki posisi dan hak yang sama di mata hukum.

Penelitian sebelumnya yang menjadi referensi penulis dalam penelitian ini, diantaranya: Penelitian oleh Nugroho Bangun Witono dalam artikel berjudul “Kebijakan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Dalam Pandemi Covid-19”7 yang membahas mengenai kebijakan pelindungan PMI sebelum, pada masa bekerja dan pada saat setelah bekerja pada masa pandemi Covid-19, Penelitian oleh Putu Tantry Oktaviani dan I Wayan Bela Siki Layang dalam artikel yang berjudul “Konflik Norma Pada Pembiayaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia”8 yang membahas mengenai pengaturan pembiayaan penempatan pekerja migran di Indonesia serta akibat hukum konflik pengaturan dari pembiayaan penempatan PMI tersebut, dan penelitian oleh

Qowi Dzulfarhad dalam artikel berjudul “Perlindungan Hukum Pekerja Migran Indonesia Terhadap Biaya Penempatan Berlebih (Over Charging) Oleh Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia” 9 yang membahas mengenai tindakan perusahaan penempatan buruh migran dalam praktik overcharging serta perlindungan hukum atas praktik overcharging, yang mana sama-sama mengkaji mengenai Pekerja Migran. Namun terdapat pembeda antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, hal mana didalam penelitian ini mengkaji mengenai pengaturan pembiayaan penempatan PMI yakni urgensi pengaturan pembiayaan penempatan PMI dan implikasi ketiadaan pengaturan pembiayaan penempatan PMI.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan penjabaran tersebut, penulis berfokus kepada rumusan permasalahan yakni:

  • 1.    Bagaimana urgensi dari pengaturan pembiayaan penempatan Pekerja Migran Indonesia?

  • 2.    Bagaimana implikasi dari tidak adanya pengaturan terkait pembiayaan penempatan Pekerja Migran Indonesia?

  • 1.3    Tujuan Penelitian

Adapun penelitian ini bertujuan guna menganalisis urgensi dari penetapan pengaturan pembiayaan penempatan Pekerja Migran Indonesia, serta untuk menganalisis implikasi dari ketiadaan pengaturan terkait pembiayaan penempatan Pekerja Migran Indonesia tersebut.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif yakni guna menemukan suatu aturan, prinsip-prinsip maupun yurisprudensi untuk menjawab pertanyaan hukum.10 Dimana dalam hal ini ialah untuk mencari urgensi dari penetapan pengaturan pembiayaan penempatan PMI, serta implikasi dari ketiadaan pengaturan tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach) dengan analisis kualitatif terhadap bahan hukum, yakni berupa interpretasi mendalam terhadap bahan-bahn hukum guna menjawab isu hukum yang ada. Adapun sumber bahan yang digunakan yaitu diantaranya bahan utama (primer) yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat yang meliputi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dan Peraturan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia No. 9 Tahun 2020 tentang Pembebasan Biaya Penempatan Pekerja Migran Indonesia. Selanjutnya sumber sekunder yang memuat buku-buku terkait dengan penetapan pengaturan pembiayaan penempatan PMI, serta implikasi nya. Serta lebih lanjut, bahan tersier yaitu bahan-bahan yang menaruh petunjuk atau penjabaran dari bahan hukum primer serta sekunder.11 Contohnya meliputi kamus, jurnal, serta laporan hasil penelitian.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Urgensi Dari Penetapan Pembiayaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI)

Bahwa Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Dimana Konstitusi memberikan penekanan bahwasanya Negara Indonesia berlandaskan atas hukum (rechtstaat) dan bukan kekuasaan semata (machtstaat). 12 Sehingga sebagai konsekuensinya, Indonesia wajib memberikan jaminan berupa perlindungan hukum kepada seluruh warga negaranya tanpa terkecuali. Lebih lanjut, Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga telah mengatur mengenai hak setiap individu atas pekerjaan dan penghidupan yang layak yang harus diwujudkan oleh negara; Setiap individu berhak mengenyam pendidikan dan mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kualitas dirinnya; berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta penerimaan yang sama di hadapan hukum. hingga berhak menerima upah dan perlakuan yang layak dan seimbang dalam setiap relasi kerja.

Sebagai subjek hukum, Undang-Undang menjamin kebebasan bagi masyarakat untuk bekerja maupun menentukan pilihan pekerjaan baik didalam negri maupun diluar negeri.13 Merujuk pada Pasal 1 ayat (2) UU PPMI, Pekerja Migran Indonesia ialah berarti setiap Warga Negara Indonesia yang bakal bekerja, bekerja atau telah melakukan pekerjaan dengan mendapatkan imbalan diluar wilayah Republik Indonesia. Dimana dalam Undang-Undang tersebut mengatur batasan bahwa hanya PMI yang bekerja pada pemberi kerja yang berbadan hukum, pribadi dan/atau peorangan ataupun rumah tangga; pelaut anak buah kapal serta perikanan yang termasuk sebagai PMI. Dengan kualifikasi yang harus terpenuhi diantaranya sekurang-kurangnya berusia paling tidak 18 (delapan belas) tahun, mempunyai kemampuan yang mumpuni, sehat secara lahiriah maupun batiniah, telah terdaftar dan memilii nomor kepesertaan jaminan sosial serta memiliki berkas persyaratan yang lengkap.

Perlindungan hukum bagi pekerja migran merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (selanjutnya HAM) seperti yang tercantum dalam ketentuan Pasal 23 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (selanjutnya DUHAM) dan Pasal 6 Kovenan Internasional Mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. 14 Dalam rangka melindungi para pekerja, upaya yang dapat dilakukan yakni dengan memberi penuntunan, pembinaan, penguatan kesadaran akan HAM serta pelindungan fisik, skema, sosial dan ekonomi dengan regulasi-regulasi yang diberlakukan pada lingkup pekerjaan tersebut15, yang didalamnya meliputi kesehatan pegawai dan perusahaan, keselamatan kerja, serta

asuransi. 16 Lebih lanjut, Indonesia juga telah meratifikasi “International Labour Organization (selanjutnya ILO) Convention No. 88 concerning the Organization of the Employement Service (Konvensi ILO No. 88 mengenai Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja)” serta membentuk badan khusus penempatan tenaga kerja yaitu, “Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (selanjutnya BNP2TKI)” yang diatur pada “Pasal 94 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (selanjutnya UU PPTKLN)”, yang selanjutnya lebih terperinci diatur pada “Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2006 Tentang Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia”.

Selanjutnya, dalam hal melindungi warganya yang menjadi PMI, pemerintah Indonesia juga telah membuat sejumlah peraturan-peraturan yakni diantaranya; “Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan”; “Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pengesahan International Convention on The Protection of The Rights of All Migrant Worker and Member of Their Families (Konvensi Internasional mengenai perlindungan hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya)”; “Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia”; hingga “Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (selanjutnya PP 59/2021)”. Dimana pengaturan terbaru terkait tata kelola penempatan dan pelindungan PMI menjadi dasar pembentukan UU PPMI. Merujuk pada Pasal 1 ayat (5) UU PPMI, dalam usaha memberikan perlindungan bagi PMI, pemerintah memiliki upaya memberikan perlindungan pada PMI secara sepenuhnya dari pelindungan sebelum melakukan pekerjaan, saat melakukan pekerjaan serta sesudah melakukan pekerjaan.17

Adapun bentuk perlidungan yang diberikan oleh pemerintah yakni dalam kerangka proses melindungi PMI sebelum melakukan pekerjaannya, dimana salah satunya dengan proses peningkatan mutu calon PMI melalui pendidikan dan pelatihan prosedur mediasi gratis yang yang diatur secara rinci pada PerBP2MI No. 9/2020. Berdasarkan PerBP2MI No. 9/2020 tersebut, biaya penempatan ialah anggaran yang dibutuhkan bagi prosedur penempatan guna melengkapi kualifikasi dan dana insidental, yang meliputi tiket keberangkatan dan pulang, visa kerja, training kerja, sertifikasi kompetensi, legalisasi perjanjian kerja, servis perusahaan, pengubahan paspor, SKCK, pemeriksaan kesehatan, hingga jaminan sosial. 18 Adapun berkaitan dengan penempatan PMI diatur lebih lanjut pada “Peraturan Menteri Nomor 9 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penempatan Pekerja Migran Indonesia (selanjutnya Permenaker No 9/2019” dan “Peraturan Menteri Nomor 17 Tahun 2019 (selanjutnya Permenaker No. 17/2019)” yang bermaksud untuk mengantisipasi sesuatu yang tidak diinginkan dinegara penempatan dengan dasar peninjauan pelindungan HAM, keamanan, kesempatan kerja yang menyeluruh serta urgensi ketersediaan tenaga kerja sesuai dengn kebutuhan nasional.

Akan tetapi terkait dengan pembebasan biaya penempatan, pemerintah melalui pengaturan yang ada hanya menetapkan kepada 10 (sepuluh) sektor jabatan saja, yang meliputi pihak penjaga lanjut usia (lansia), pengurus rumah tangga, koki, perawat taman, sopir keluarga, pekerja ladang dan/atau perkebunan, petugas kebersihan, awak kapal perikanan, serta pengasuh bayi dan anak.19 Padahal, diluar itu pelindungan bagi PMI meliputi 26 (dua puluh enam) sektor kerja yang termuat dalam “Keputusan Deputi Bidang Penempatan BPN2TKI No : Kep.59/PEN/VI/2010 tentang Penyuluhan Jabatan Tenaga Kerja Indonesia”, yang diantaranya pariwisata hotel dan perkantoran; jasa layanan transportasi angkutan darat, laut dan udara; jasa konstruksi; jasa perorangan, kebersihan, kesehatan, pendidikan, retail, keamanan; industry perikanan dan pengolahan hasil laut; industri tekstil, garmen, industri elektronik, informatika, pengelasan, otomatif, dan migas; perantara keuangan; hingga pertanian, peternakan, perkebunan dan kehutanan. Lebih lanjut, ditengah pandemi Covid-19, melalui “Kep. KaBP2PMI No 214/2021” sejatinya pemerintah mencoba untuk menata kembali terkait penempatan PMI, akan tetapi pengaturan tersebut hanya untuk Hong Kong dan Taiwan serta sebatas sektor pekerjaan informal saja. Sementara 56 (lima puluh enam) negara lainnya yang telah diberikan akses penempatan oleh pemerintah melalui “Kep.Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja No: 3/5410/PK.02.02/XI/2021” belum memiliki regulasi yang pasti terkait jumlah biaya penempatan.

Dengan demikian, terdapat indikasi antynomy normen (konflik norma)20 yang timbul antara PerBP2MI No. 9/2020 dengan UU PPMI mengenai pembiayaan penempatan PMI, dimana dalam PerBP2MI No. 9/2020” \hanya mengatur sebatas 10 (sepuluh) bidang kerja saja sedangkan dalam UU PPMI yang kemudian lebih lanjut diatur dalam “Kep.Deputi Bidang Penempatan BPN2TKI No : Kep.59/PEN/VI/2010” menentukan sejatinya terdapat 26 (dua puluh enam) bidang kerja pada PMI, serta terdapat kekosongan norma (rechtsvacuum) terkait pembiayaan penempatan PMI, dimana seharusnya secara khusus Pemerintah membuat regulasi terkait dengan pembiayaan penempatan pekerja migran.

  • 3.2    Implikasi Tidak Adanya Pengaturan Terkait Pembiayaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI)

Dengan adanya kejelasan aturan terkait pembiayaan penempatan PMI tentunya secara spesifik akan berpengaruh bagi efektifitas penerapan konsep penghapusan biaya terhadap penempatan PMI di luar negeri. Ketiadaan pengaturan tersebut akan berimplikasi pada beberapa hal, yang diantaranya:

  • 1.    Tidak tewujudnya kepastian hukum dan perlindungan hukum

Kekosongan hukum (rechtvacuum) sejatinya dapat didasari oleh berbagai hal. Misalnya pada saat peraturan diberlakukan, hal-hal yang hendak dimuat dalam peraturan tersebut telah berubah atau bahkan sekalipun telah diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan, namun didalamnya masih terdapat kerancuan dan/atau masih bersifat parsial.21 Berbicara mengenai kepastian hukum, maka akan

merujuk pada suatu justifikasi hukum yang jelas, pasti, dan konsisten dalam implementasinya serta tidak mampu diintervensi oleh persoalan yang bersifat subjektif. Dengan demikian, adanya kondisi konflik norma serta kekosongan hukum yang ada terkait pembiayaan penempatan PMI jelas menimbulkan ketidakpastian hukum. Menurut Fence M, apabila suatu hukum tidak memiliki nilai kepastian hukum, maka hukum tersebut bakal kehilangan maknanya. 22 Lebih lanjut, hukum sendiri juga berfungsi salah satunya untuk memberikan perlindungan bagi subyeknya yakni warga negara. Tanpa adanya kepastian hukum maka akan sulit untuk memastikan perlindungan hukum berjalan lancar. Ketika regulasi terkait pembiayaan penempatan PMI tidak memadai maka akan sukar untuk menjamin perlindungan penempatan PMI terealisasikan dengan baik.

  • 2.    Berpotensi melanggar asas perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI).

Jika merujuk pada Peraturan BP2MI Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pembebasan Biaya Penempatan Pekerja Migran Indonesia, didalamnya ditentukan bahwa pembebasan biaya penempatan diperuntukkan cuma per 10 (sepuluh) sektor kerja saja, yang diantaranya pihak penanggung jawab lanjut usia (lansia), pengurus rumah tangga, juru masak, perawat taman, supir keluarga, pekerja ladang dan/atau perkebunan, petugas kebersihan, awak kapal perikanan, serta pengasuh bayi dan anak. Sedangkan jika berkaca pada ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Jo. Kep. Deputi Bidang Penempatan BNP2TKI No: Kep.59/PEN/VI/2010 tentang Petunjuk Teknis Penyuluhan Jabatan Tenaga Kerja Indonesia, dijelaskan bahwa disamping 10 (sepuluh) sektor tersebut, terdapat 26 (dua puluh enam) sektor jabatan lainnya yang berhak mendapatkan perlindungan. Disparitas tersebut tentunya mencederai hak setiap PMI yang harusnya sama dihadapan hukum. Dengan demikian, juga tentu melanggar prinsip dan/atau asas-asas perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang diatur didalam Pasal 2 UU PPMI yakni diantaranya asas keadilan sosial, asas persamaan hak, dan asas non-diskriminasi. Disamping itu, eksistensi potensi tindak kriminalitas dan perdagangan manusia (selanjutnya Human Trafficking) yang timbul juga jelas akan melanggar asas lain yakni asas anti-perdagangan manusia.

  • 3.    Berpotensi menimbulkan praktik overcharging

Istilah Overcharging sendiri baru dikenal dalam ranah bisnis pada abad ke-14, dimana pada praktiknya suatu perusahaan mengutip beban biaya yang terlalu mahal. Disamping itu, overcharging juga dapat berarti menetapkan beban berlebih (excessive charge), membesar-besarkan tarif (exaggerate) dan harga ekstra (surcharge). Overcharging sejatinya telah diatur dalam UU PPTKLN dan peraturan pelaksanaannya yakni pada Pasal 76 serta Penjelasan nya, yang mengharapkan anggaran penempatan bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia(selanjutnya TKI) dan TKI cukup rendah atau tidak dibebankan berlebihan. Dengan demikian, praktik overcharging ini pun juga telah mencederai asas murah yang diamanatkan dalam UU PPTKLN. Lebih lanjut, overcharging juga telah melanggar cita-cita yang terkandung dalam UU PPMI yang pada dasarnya mengkehendaki penempatan serta perlindungan yang murah, mudah, cepat dan aman.

Overcharging sejatinya bersumber dari beban-beban yang timbul diluar struktur anggaran yang ditetapkan pemerintah, yang mana dapat berupa praktik jual beli pekerjaan, dana biaya hidup hingga biaya penerbangan yang tidak diberikan kepada PMI, dana cukong (sponsorship), hingga pemerasan yang bermodus penandatanganan Surat Perjanjian Penempatan guna keperluan biaya penempatan dan sebagai uang saku yang dialami oleh mayoritas PMI di Hongkong.

  • 4.Berpotensi terjadinya tindak kriminalitas dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)

Tindak Pidana Perdagangan Orang (selanjutnya TPPO) adalah kejahatan transnasional yang bisa berlangsung baik didalam maupun antar lintas batas negara. Yakni merupakan perekrutan, pemindahan, penerimaan orang secara paksa hingga penipuan yang tujuannya memanfaatkan guna mendapatkan keuntungan.23 Merujuk pada data dari International Organization for Migration (selanjutnya IOM) serta Non Governmental Organization (selanjutnya NGO) anti trafficking, sekitar 43 hingga 50% atau sekiranya 3 sampai 4,5 juta PMI menjadi objek Human Trafficking. Dimana berdasarkan hasil rekognisi, 90% dari 3.840 korban perdagangan manusia tersebut merupakan perempuan dan sebesar 56% dilakukan eksploitasi sebagai ART.24 Adapun faktor yang mendasari hal itu diantaranya, tingkat ekonomi yang rendah, terbatasnya lapangan pekerjaan, faktor budaya, perilaku dan pola hidup konsumtif hingga tingkat pengangguran yang mengakibatkan masyarakat awam cenderung tergiur tawaran pekerjaan dengan iming-iming gaji besar. Umumnya, tawaran pekerjaan tersebut dilangsir dari media sosial maupun ditawarkan langsung oleh oknum tidak bertanggungjawab, sehingga banyak kasus PMI yang bekerja diluar negeri berujung menjadi korban TPPO. Contohnya kasus yang menimpa Pekerja Migran Indonesia Bermasalah (selanjutnya PMIB) di Kamboja. Dimana sebanyak 172 PMIB menjadi korban TPPO dengan modus penipuan online melalui media sosial dan kemudian terjebak dalam pekerjaan agen judi online. Lebih lanjut, PMI yang menjadi korban human trafficking tersebut juga mengalami perbudakan, eksplotasi seksual, keadaan kerja yang tidak baik, waktu kerja yang cenderung panjang, bahkan ada pula yang sampai terjerat hutang.25

  • 4.    Kesimpulan

Meski sudah terdapat sejumlah pengaturan terkait penempatan PMI dan juga UU PPMI telah menetapkan bahwasanya dana penempatan PMI dilimpahkan kepada pemerintah dan penyokong kerja, akan tetapi masih terdapat pembedaan pengaturan yang ditemukan dalam UU PPMI dan PerBP2MI No 9/2020 serta kekosongan hukum dalam pembiayaan penempatan. Yakni diantaranya belum adanya regulasi yang jelas terkait pembebasan biaya penempatan bagi seluruh sektor kerja PMI, belum adanya besaran anggaran penempatan yang pasti bagi semua negara penempatan PMI, hingga belum adanya regulasi yang pasti terkait pembiayaan khusus bagi PMI selama pandemi

Covid-19 disamping Hong Kong dan Taiwan. Kekosongan hukum terkait pembiayaan penempatan PMI tersebut memberikan berbagai implikasi yang meliputi tidak terwujudnya kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para PMI, berpotensi melanggar asas-asas pelindungan PMI, berpotensi menimbulkan praktik overcharging yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggungjawab, serta terjadinya tindak kriminalitas yang berujung pada Tindak Pidana Perdagangan Orang.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Agusmidah, et.al. 2020. Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Berdasarkan UU No 18 Tahun 2017. Medan: Yayasan Al-Hayat.

Ishaq. 2017. Metode Penelitian Hukum Dan Penulisan Skripsi, Tesis Serta Disertasi. Bandung: ALFABET CV.

Jurnal

ABBAS., Akbar R.I. 2017. “Tinjauan Yuridis Kewajiban Penggunaan Bahasa Indonesia Tenaga Kerja Asing Di Indonesia”. Novum: Jurnal Hukum. 4(1).

Abdul, Gamal. 2017. “Kekosongan Hukum & Percepatan Perkembangan Masyarakat”. Jurnal Hukum Replik. 5(2).

Adha, Hadhi., et.al. 2020. “Kebijakan Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia”. Jurnal Risalah Kenotariaran. 1(2).

Anggriani., Ririn. 2017. "Perlindungan hukum bagi irregular migrant workers Indonesia di kawasan Asia Tenggara (Dalam perspektif hukum HAM internasional)". Yuridika. 32(2).

  • D, Anggraeni & Sabrina, K. 2018. “Penggunaan Model Nota Kesepahaman Sebagai Bentuk Perlindungan Hak Konstitusional Buruh Migran”. Indonesian Constitutional Law Journal. 2(1).

Daniah, Rahmah., Fajar Apriani. 2017. “Kebijakan Nasional Anti-Trafficking Dalam Migrasi Internasional”. Journal Politica. 8(2).

Djati, Daniel Mulia., et.al. 2022. “Penafsiran Asas Kepastian Hukum Dan Kekosongan Hukum Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11 Tentang Cipta Kerja (Kajian Keputusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020)”. Jurnal IKAMAKUM. 2(1).

M. D, Murti & Purnomo, S. H. 2018. “Perusahaan Yang Dinyatakan Pailit (Kajian Hukum Perburuhan)”. Jurnal Akrab Juara. 3(3).

Muabesi, Z.A. 2017. “Negara Berdasarkan Hukum (Rechtstaats), Bukan Kekuasaan (Machtstaats)”. Jurnal Hukum dan Peradilan. 6(3).

Muhyiddin. 2020. “Covid-19, New Normal, Dan Perencanaan Pembangunan Di Indonesia’. Jurnal Perencanaan Pembangunan: The Indonesian Journal of Development Planning. 4(2).

N. A, Sinaga & Zaluchu, T. 2021. “Perlindungan Hukum Hak-Hak Pekerja Dalam Hubungan Ketenagakerjaan Di Indonesia”. Jurnal Teknologi Industri. 6.

Ndarujati. 2021. “Peran Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia dalam Mengatasi Masalah Pekerja Migran Indonesia di Taiwan”. Jurnal Sosial Dan Sains (SOSAINS). 1(1).

Octaviani, Putu Tantry., I. W. B Siki Layang. 2022. “Konflik Norma Pada Pembiayaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia”. Jurnal Kertha Semaya. 10(12).

Rambe, Anjasmara. 2019. Perlindungan Terhadap Tenaga Kerja Indonesia Yang Mengalami Penetapan Biaya Berlebih Dalam Perjanjian Penempatan Ke Luar Negeri (Kajian Teoritis Dalam Perspektif Hukum Perdata). Doctoral dissertation: Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

Ukhrowi, Lalu Maulana. 2020. “Dampak Pekerja Migran Ilegal Terhadap Meningkatnya Kasus Human Trafficking di Pulau Lombok”. Indonesian Journal of Global Discourse. 2(2).

Witono, Nugroho Bangun. 2021. “Kebijakan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dalam Pandemi COVID-19”. IJPSS: Indonesia Journal of Peace and Security Studies. 3(1).

Yusitarani, S., & Sa’adah, N. 2020. “Analisis yuridis perlindungan hukum tenaga migran korban perdagangan manusia oleh pemerintah Indonesia”. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia. 2(1).

Website

Liputan6, Juli 2020, “Permenaker 151/2020 Dicabut, Pemerintah Kirim Kembali Pekerja

Migran   Ke Luar Negeri”, Diakses pada 20 Desember 2022   <

https://www.liputan6.com/bisnis/read/4318747/permenaker-1512020-dicabut-pemerintah-kirim-kembali-pekerja-migran-ke-luar-negeri >

Prabawati, Diskominfo, Juli 2022, “Pekerja Migran Sumbang Devisa Negara Cukup Besar”, Diakses         pada         19         Desember         2022         <

https://diskominfo.kaltimprov.go.id/pemerintahan/pekerja-migran-sumbang-devisa-negara-cukup-besar >

Ketentuan Perundang-Undangan

Indonesia. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 242. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6141. Sekretariat Negara. Jakarta Indonesia. 2020. Peraturan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pembebasan Biaya Penempatan Pekerja Migran Indonesia. Jakarta

Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 4 Tahun 2023 hlm 445-455

455