PRO KONTRA HUKUM YANG HIDUP DI

MASYARAKAT DALAM UNDANG-UNDANG

NOMOR 1 TAHUN 2023 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

Kevin Ryadi Saragih, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Gde Made Swardhana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan karya tulis ini adalah untuk menjabarkan dua argumentasi yang bertolak belakang tentang keberadaan hukum yang hidup di masyarakat dalam kitab undang-undang hukum pidana Republik Indonesia (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023). Karya tulis ini merupakan penelitian hukum yang menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual Hasil studi menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pendapat yang kontras terhadap keberadaan hukum yang hidup di masyarakat dalam KUHP. Kelompok yang setuju berpendapat bahwa pluralisme hukum yang ada di Indonesia harus dimanfaatkan. Melalui konsep dan pemahaman pluralisme hukum, penegak hukum akan terbantu menyelesaikan permasalahan hukum di masyarakat secara adil. Dengan begitu, penguatan hukum adat dan hukum negara akan berjalan lebih baik. Namun, kelompok kontra melihat suatu permasalahan, dengan diterapkan hukum yang hidup di masyarakat, maka asas legalitas menjadi terganggu dan berpotensi merugikan hak asasi manusia.

Kata Kunci: Hukum yang hidup di masyarakat, KUHP, Asas Legalitas.

ABSTRACT

The purpose of this paper is to describe two contrasting arguments on the existence of living laws in the Criminal Code of the Republic of Indonesia (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023). This paper is a legal research that uses normative research methods with a statutory approach and conceptual approach. The results of the study show that there are contrasting opinions on the existence of living laws in the Criminal Code. The group that agrees argues that the legal pluralism that exists in Indonesia must be utilized. Through the concept and understanding of legal pluralism, law enforcers will be helped to resolve legal problems in society fairly. That way, the strengthening of customary law and state law will run better. However, the cons see a problem, with the application of living laws, the principle of legality is disrupted and has the potential to harm human rights.

Keywords: The Living Law, Criminal Code, Legality Principle.

  • 1.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang Masalah

Sudah menjadi pengetahuan masyarakat bahwa wilayah Indonesia yang dahulu dikenal sebagai Hindia Belanda (Netherlandsch indie) adalah bekas jajahan Belanda. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa Indonesia dijajah Belanda lebih dari 300 tahun, bahkan dalam tulisan Soekarno yang terbit tahun 1932 berjudul “Koloniaal Onderwijsstelsel dan Nasibnja Anak Djadjahan” mengatakan hal yang sama.1 Namun, argumentasi tersebut dipatahkan oleh para sejarawan seperti Gertrudes Johannes Resink (G.J Resink) dan A.B Lapian. G.J Resink berpendapat bahwa jika digeneralisasi, Belanda sebenarnya menjajah selama 40 sampai 50 tahun.2 Maka, dipengaruhi oleh dua perspektif yang berbeda tersebut, dapat ditarik suatu benang merah bahwa Belanda tidak sebentar menjajah dan menduduki wilayah Indonesia. Lamanya waktu penjajahan tersebut mengakibatkan banyak aspek yang berkaitan dengan Belanda yang eksistensinya masih ada sampai sekarang di Indonesia, salah satu contohnya adalah produk hukum pidana.

Dapat dikatakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan dasar pengaturan hukum pidana di Indonesia, yang dapat dilihat berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958. Sampai saat ini, KUHP yang digunakan diruang-ruang pengadilan seluruh wilayah Indonesia adalah peninggalan dari masa kekuasaan Belanda. Nama asli dari KUHP tersebut ialah Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI).

Jika ditelisik lebih dalam lagi, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang ditetapkan berlaku di wilayah Hindia Belanda saat itu berasal dari Wetboek van Strafrecht (WvS) milik Belanda yang selanjutnya disesuaikan dengan keadaan di Hindia Belanda. Awal mula Belanda menyusun perundang-undangan hukum pidananya adalah pada tahun 1795 yang kemudian diresmikan tahun 1809. Sayangnya pada tahun 1811 Prancis yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte menduduki Belanda dan mengimplementasikan Code Penal, sehingga hukum pidana yang diciptakan oleh Belanda hanya berlaku selama dua tahun di Negeri tersebut. Setelah Prancis meninggalkan Belanda pada tahun 1813, Code Penal masih dipertahankan sampai tahun 1886. Usaha Pembaharuan hukum pidana yang dilakukan Belanda untuk mengganti Code Penal hampir 68 Tahun lamanya dan berhasil membuat hukum pidana baru yang bernama Wetboek van Strafrecht (WvS).3

Sedangkan di Indonesia, sejak beberapa puluh tahun lalu inisiasi untuk pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia telah dimulai.

Pada tahun 1963 diadakan Seminar Hukum Nasional I di Semarang dan menjadi permulaan sejarah pembaharuan KUHP Indonesia. Satu tahun kemudian rancangan KUHP hasil pemikiran anak bangsa mulai dirumuskan oleh tim dari Pemerintah. Namun, sudah hampir lima puluh tahun lamanya rancangan KUHP tersebut tidak selesai dibahas dan disahkan menjadi KUHP baru.4

Ketika Joko Widodo menjabat sebagai Presiden, beliau mengeluarkan Surat Presiden 5 Juni 2015 yang isi nya mengenai kesiapan pemerintah dalam pembahasan rancangan KUHP. Pemerintah serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat untuk menyelesaikan pembahasan rancangan KUHP dalam kurun waktu 2 tahun sampai akhir tahun 2017. Namun target yang telah disepakati tersebut tidak tercapai karena terdapat pasal-pasal yang belum disetujui dan tertunda pembahasannya, seperti pasal mengenai hukuman mati, hukum yang hidup di masyarakat (The Living Law), pidana denda dan pemufakatan jahat.5

Selanjutnya pada bulan September 2019, Pemerintah dan DPR sepakat untuk mengesahkan rancangan KUHP tingkat I. Namun hal tersebut mendapat reaksi negatif dari berbagai kalangan masyarakat. Reaksi penolakan paling masif dilakukan oleh mahasiswa dari beragam perguruan tinggi. Mereka melakukan unjuk rasa di depan pintu masuk Kompleks Parlemen untuk menyampaikan penolakan terhadap rancangan KUHP dan perubahan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sangat disayangkan bahwa demonstrasi tersebut berakhir dengan kericuhan. Akibat adanya peristiwa penolakan yang berakhir ricuh, Presiden Joko Widodo merespon dengan meminta DPR untuk menunda sementara pengesahan rancangan KUHP dan DPR pun sepakat untuk melakukan penundaan yang kemudian dilanjutkan pembahasannya pada periode DPR tahun 2019-2024.6

Akhirnya, pada 6 Desember 2022, DPR menyetujui rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi Undang-Undang. Kemudian pada awal januari 2023, KUHP baru resmi diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023. Sehingga, jika dihitung kebelakang sejak inisiasi awal pembaharuan hukum pidana pada Seminar Hukum Nasional I, Indonesia membutuhkan 59 tahun lamanya untuk menghasilkan induk hukum pidana hasil pemikiran anak bangsa sendiri. Walaupun terdapat pasang surut selama proses pembuatan dan pembahasanya, namun akhirnya dapat menggantikan hukum pidana peninggalan kolonial.

Dibalik suksesnya Negara Indonesia membuat induk hukum pidana yang baru, tetap saja masih mendapatkan kritik tajam dari beberapa kalangan

masyarakat. Salah satu yang disoroti untuk dikritik adalah Pasal 2 KUHP baru yang mengakui hukum yang hidup di masyarakat dan seolah-olah menegasikan asas legalitas pada Pasal 1 ayat (1) yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Pasal 1

  • (1)    Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.

  • (2)    Dalam menetapkan adanya Tindak Pidana dilarang digunakan analogi.

Pasal 2

  • (1)    Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.

  • (2)    Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.

  • (3)    Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

Jika membaca penjelasan Pasal 2, yang dimaksud dengan hukum yang hidup di masyarakat ialah hukum adat.7

Dimasukkannya hukum yang hidup di masyarakat (The living law) dalam KUHP menjadi bahan perdebatan dikalangan akademisi. Profesor Harkristuti Harkrisnowo selaku Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia berpendapat bahwa hukum yang hidup di masyarakat tidak perlu masuk di dalam KUHP dan cukup diatur dalam Peraturan Daerah. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa jika norma tersebut tetap dipaksakan untuk ada di KUHP maka penerapannya bisa menimbulkan masalah. 8 Sementara itu, Profesor Muladi berpendapat bahwa dengan dimasukkannya hukum pidana adat maka hukum pidana Indonesia mempunyai karakteristik yang membedakannya dari pengaruh asas legalitas yang besar dan merupakan implementasi dari misi dekolonisasi dan misi partikularisasi.9 Uniknya adalah kedua profesor dengan dua pandangan berbeda tersebut merupakan bagian dari tim perumus rancangan KUHP yang saat ini telah menjadi KUHP baru. Di sisi lain, organisasi sipil seperti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyatakan kritiknya terhadap hukum yang hidup di masyarakat yang ada di KUHP. ICJR menyatakan bahwa ketika hukum yang hidup di masyarakat dimaknai sebagai

hukum adat sedangkan hukum adat di Indonesia mayoritas tidak tertulis dan tidak memiliki sekat antara hukum pidana dan hukum perdata, maka prinsip lex certa dan lex stricta telah disimpangi. 10 Selain ICJR, Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melalui Ketua bidang Advokasi juga menyatakan kritiknya. Beliau menilai bahwa rumusan Pasal 2 KUHP atau tentang Hukum yang hidup di masyarakat akan menyimpang dari asas legalitas jika tetap berlaku.11

Perdebatan tersebut sangat menarik untuk dikaji sehingga beberapa peneliti telah menerbitkan karya tulis berkenaan dengan persoalan tersebut. Salah satu nya adalah karya tulis berjudul “Dediamentralisasi Living Law Dan Kepastian Hukum Dalam Pasal 2 RKUHP”. Dalam karya tulis tersebut mencoba menjabarkan bahwa anggapan kedudukan the living law dengan kepastian hukum yang tidak selaras atau diametral sebenarnya harus diluruskan. Sifat diametral diantara kedua hal tersebut tidaklah defenitif, ada kalanya hukum yang hidup di masyarakat (The living law) dengan asas legalitas atau kepastian hukum dapat dipandang dalam situasi yang selaras (dediametralisasi).12

Berbeda dengan karya tulis tersebut yang mencoba menjelaskan keselarasan the living law dengan kepastian hukum, maka karya tulis ini yang berjudul “Pro Kontra Hukum Yang Hidup Di masyarakat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana” mencoba membedah dari dua kutub yang bertolak belakang tentang persoalan dimasukkannya hukum yang hidup di masyarakat dalam KUHP. Penulis akan mencoba menguraikan dari sisi pro dengan menjabarkan urgensi dimasukkannya hukum yang hidup di masyarakat dalam KUHP dan kemudian menguraikan dari sisi kontra dengan menjabarkan problematika ketika hukum yang hidup di masyarakat berada didalam KUHP. Kedua argumentasi tersebut penting untuk dijelaskan agar masyarakat, khususnya pembaca karya tulis ini mengerti bahwa hukum yang hidup di masyarakat yang dimasukkan didalam KUHP memiliki sisi positif dan negatifnya.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan penjabaran latar belakang masalah yang telah disampaikan, maka penulis menyusun rumusan masalah sebagai berikut:

  • 1.    Apa yang menjadi urgensi dimasukkannya hukum yang hidup di masyarakat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Republik Indonesia?

  • 2.    Apa yang menjadi problematika ketika hukum yang hidup di masyarakat dimasukkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Republik Indonesia?

  • 1.3    Tujuan Penelitian

Karya tulis ini bermaksud untuk menjelaskan dan berusaha mengetahui dua kutub pandangan yang berbeda tentang hukum yang hidup di masyarakat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pandangan Pro dan Kontra tersebut dijabaran dalam bentuk deskriptif agar pembaca mudah memahami persoalan serta penjelasan yang ada.

  • 2.    Metode Penelitian

Karya tulis ini menerapkan metode penelitian normatif. Di dalam buku yang berjudul “Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris” dijabarkan bahwa dalam penelitian hukum normative, hukum dianggap sebagai sebuah sistem norma yang terdiri dari prinsip-prinsip, aturan, dan ketentuan dari berbagai sumber hukum seperti peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian dan doktrin atau ajaran-ajaran. 13 Penulis memilih menggunakan metode tersebut karena terdapat suatu problem norma ketika hukum yang hidup di masyarakat (the living law) dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023.

Dalam penulisan karya tulis ini, digunakan 2 (dua) metode pendekatan yang berbeda, yaitu melalui statute approach atau pendekatan perundang-undangan serta conceptual approach atau pendekatan konseptual. Tahapan fundamental dari penelitian ini ialah penelitian kepustakaan yang meneliti bahan hukum primer serta bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer meliputi asas-asas dan kaidah hukum seperti undang-undang dan aturan-aturan sedangkan bahan hukum sekunder bersumber dari buku, karya tulis hukum (jurnal, tesis, dan disertasi), kamus hukum, dan laman internet (website) internet yang berkaitan dengan rumusan masalah yang kemudian dianalisis secara kualitatif.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Urgensi dimasukkannya Hukum yang Hidup di masyarakat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Hukum yang mengatur kehidupan masyarakat tidak hanya terdiri dari peraturan yang tertulis atau peraturan perundang-undangan, tetapi juga mencakup hukum yang berlaku di masyarakat yang dikenal sebagai hukum yang hidup atau the living law seperti hukum adat, agama, moral dan kesusilaan.

Oleh karna itu, tindakan yang melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, meskipun tidak ditetapkan secara tertulis dalam undang-undang, tetap dianggap sebagai pelanggaran hukum.

Adigium klasik yang berbunyi “Ibi ius ibi societas” yang bermakna bahwa dimana ada masyarakat maka disitu ada hukum, memperjelas bahwa pada kenyataannya masyarakat dengan hukum adalah dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Aturan atau hukum yang hidup di masyarakat lahir secara alami di tengah kehidupan masyarakat dengan tujuan untuk mengatur serta membatasi tingkah laku masyarakat dalam bersosialisasi agar memperoleh ketertiban umum. Lahirnya hukum yang hidup di masyarakat juga bertujuan untuk menfasilitasi hubungan yang harmonis antara anggota masyarakat, sehingga saat orang-orang yang menjalani kehidupan di tempat yang sama saling berbaur dan berinteraksi sosial terdapat suatu aturan yang melindungi supaya tidak ada orang-orang yang dirugikan dari interaksi tersebut.

Masing-masing individu ataupun kelompok dalam masyarakat pasti menyadari keberadaan hukum, namun yang menjadi persoalannya adalah mengenai sejauh mana tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum, apakah tinggi, sedang atau rendah. Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum akan menunjukkan efektivitas atau ketidakefektifan dari hukum yang berlaku.14 Hukum yang hidup di masyarakat dapat menjadi contoh dalam pembuatan aturan yang optimal, dikarenakan kepatuhan masyarakat terhadap aturan tersebut berasal dari kesadaran moral.

Kepatuhan masyarakat terhadap hukum yang berasal dari kesadaran moral menunjukkan bahwa hukum telah berjalan efektif dalam mengatur kehidupan masyarakat. Hal tersebut ditandai dengan kepatuhan masyarakat yang dilakukan secara sukarela tanpa adanya paksaan dari hukum itu sendiri. Kesadaran moral berasal dari hati nurani, sehingga kepatuhan terhadap hukum menjadi suatu hal yang alami dalam menjaga keseimbangan interaksi di masyarakat.15

Patut diketahui bahwa masyarakat di Indonesia merupakan gabungan dari berbagai suku bangsa yang bersepakat untuk bersama-sama menyatu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tanpa meninggalkan atau menghilangkan karakteristik yang melekat pada setiap suku bangsa tersebut. Dari realita itu, maka tidak bisa dipungkiri bahwa masing-masing suku bangsa memiliki hukum yang hidup di masyarakatnya yang berbeda-beda satu dan lainnya atau bisa juga disebut dengan pluralisme hukum.

Profesor Erman Rajagukguk menyatakan bahwa “pluralisme hukum secara umum didefenisikan sebagai situasi dimana terdapat dua atau bahkan lebih dari dua sistem hukum yang berada dalam suatu kehidupan sosial. Setiap kelompok masyarakat memiliki sistem hukum sendiri yang berbeda antara satu

dengan yang lain seperti dalam keluarga, tingkatan umur, komunitas, kelompok politik, yang merupakan kesatuan masyarakat homogen.”16

Konsep pluralisme hukum merujuk kepada pendekatan yang mempertimbangkan keanekaragaman dalam sistem hukum, seiring dengan heterogenitas masyarakat dalam berbagai aspek seperti suku, budaya, agama, kasta dan gender. Dalam perkembangannya, pluralisme hukum dimengerti sebagai hubungan timbal balik dan interaksi yang saling mempengaruhi serta saling mengadopsi antara beberapa sistem hukum seperti hukum negara, hukum adat, agama, dan kebiasaan yang dianggap hukum. Konsep pluralisme hukum menekankan bahwa masyarakat mempunyai sistem tersendiri dalam melakukan hukum yang relevan dengan keadilan serta kepentingan masyarakat dalam menata hubungan sosialnya.17

Prof. Erman Rajaguguk mengilustrasikan contoh konkrit dari pluralisme hukum yang terjadi di Indonesia dengan merujuk pada penerapan syariat Islam atau Qanun di Provinsi Aceh. Menurut beliau, dewasa ini hukum adat dan hukum Islam berjalan dengan seimbang dan berdampingan dengan baik dalam kehidupan masyarakatat. Ketika berbicara kaitan pluralitas dan Indonesia beliau juga menjelaskan bahwa pluralitas adalah karakteristik Indonesia. Dengan memiliki karakter tersebut, Indonesia berupaya mengkonstruksikan sebuah bangsa yang stabil dan modern dengan menguatkan kebangsaannya. Oleh karena itu, jika mengabaikan pluralisme hukum sama saja dengan mengabaikan fakta bahwa terdapat perbedaan pandangan dan kenyakinan yang beragam dalam masyarakat Indonesia.18

Dalam realitas yang ada, Indonesia mempunyai beragam sistem hukum selain hukum negara. Pemerintah Indonesia perlu menyokong lebih mendalam sistem hukum adat yang masih hidup ditengah-tengah masyarakat. Setiap kelompok masyarakat terikat pada sistem hukum yang mereka anut. Dengan menerapkan konsep pluralisme hukum, penegakan hukum dapat membantu menyelesaikan masalah hukum secara adil di masyarakat. Sehingga, penguatan hukum adat dan hukum negara akan berjalan lebih baik.19

Pengakuan konsep pluralisme hukum dan pengakuan terhadap hukum yang hidup di masyarakat dicoba dituangkan dalam hukum positif Indonesia. Sesudah perubahan kedua pada Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Republik Indonesia, hukum adat diakui secara resmi oleh konstitusi sesuai dengan yang dinyatakan dalam Pasal 18B ayat (2): “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. 20 Selain dalam konstitusi,

pengakuan tersebut juga dimasukkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 atau bisa disebut KUHP yang terdapat pada Pasal 2.

Jika melihat rumusan norma Pasal 2 KUHP, terminologi hukum yang hidup di masyarakat digunakan berkali-kali. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan hukum yang hidup di masyarakat maka kita perlu melihat dibagian penjelasan Undang-Undang tersebut. Dari penjelasan lebih lanjut diketahui bahwa hukum yang hidup di masyarakat sebenarnya merujuk pada hukum adat yang digunakan untuk menentukan apakah seseorang harus dipidana atas perbuatannya. Selanjutnya, Pasal 2 ayat (1) menjelaskan bahwa hukum yang hidup di masyarakat mencakup hukum yang tidak tertulis. Hukum tidak tertulis tersebut haruslah masih berlaku serta berkembang dalam masyarakat Indonesia. Hukum tersebut kemudian perlu ditetapkan dan dikompilasi oleh pemerintah melalui Peraturan Daerah (PERDA) ditempat dimana hukum adat tersebur berlaku.

Pada hakikatnya, istilah “hukum adat” merujuk pada kata adatrecht yang diperkenalkan oleh Snouck Hurgronje dan kemudian diadopsi menjadi istilah khusus oleh Van Vollenhoven. Van Vollenhoven menyatakan bahwa hukum adat merupakan hukum yang bersumber dari adat istiadat, yaitu aturan sosial yang diciptakan serta dipelihara oleh penyelenggara hukum dan masih belaku dengan maksud untuk mengatur hubungan hukum dalam masyarakat dan memiliki sanksi. 21 Ahli hukum yang lain seperti Supomo & Hazairin berkesimpulan bahwa hukum adat ialah aturan yang mengatur perilaku manusia yang berkaitan dengan hubungan antar manusia, baik itu meliputi adat dan kebiasaan yang diterapkan dan dijaga oleh masyarakat adat, maupun aturan yang memiliki sanksi dan dicatat dalam keputusan-keputusan penguasa adat.22

Berdasarkan perbandingan rumusan pasal dengan konseptual hukum adat menurut para ahli tersebut diatas maka dapat digambarkan bahwa perumus rancangan KUHP mencoba menciptakan suatu keseimbangan monodualistik. Defenisi dari keseimbangan monodualistik ialah suatu prinsip yang menekankan keseimbangan antara kepentingan dan perlindungan individu serta kelompok, dengan mempertimbangkan keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan.23 Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa Pasal 1 ayat (1) KUHP lebih menekankan pada kepastian hukum melalui prinsip legalitas formal, sedangkan Pasal 2 ayat (1) KUHP lebih memprioritaskan keadilan melalui prinsip legalitas materiil.

Prinsip legalitas formal mewajibkan adanya sebuah hukum sebelum terjadinya tindakan yang dianggap melanggar hukum, sehingga lebih

memperlihatkan kepastian hukum dari pada keadilan. Prinsip tersebut adalah cara yang penting untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan aparat penegak hukum saat menggunakan hukum. Sedangkan Prinsip legalitas materiil menempatkan keadilan diatas kepastian hukum. Sudah sepantasnya tujuan utama dari hukum adalah untuk mencapai keadilan, karena tanpa keadilan sebagai tujuan akhir, maka hukum dapat menjadi sarana untuk melegitimasi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum.24

Adanya prinsip legalitas materiil tersebut adalah bentuk perwujudan dari semangat anak bangsa untuk menggantikan produk hukum pidana warisan Belanda dengan produk hukum pidana yang mengakui nilai-nilai yang hidup di masyarakat Indonesia. Selain itu, pemikiran untuk memasukkan hukum yang hidup di masyarakat di KUHP adalah karena masih banyaknya tindakan yang tidak diatur dalam KUHP namun tindakkan tersebut dianggap oleh masyarakat sebagai perbuatan jahat dan tercela.

Perlu kita pahami bahwa Pasal 2 KUHP merupakan pintu masuk penggunaan hukum yang hidup dalam hal ini adalah hukum adat untuk mempidana seseorang. Menurut pengamatan Barda Nawawi Arief hal tersebut didasarkan pada hal-hal sebagai berikut:

  • a.    “Adanya berbagai kebijakan produk legislatif nasional setelah kemerdekaan;

  • b.    Kajian sosiologis mengenai “karakteristik” sumber hukum/asas legalitas menurut pandangan dan pemikiran orang Indonesia yang tidak terlalu formalistik dan terpisah-pisah/parsial;

  • c.    Berbagai hasil penelitian hukum adat;

  • d.    Kesepakatan ilmiah/seminar nasional; dan

  • e.    Berbagai hasil kajian komparatif dan dokumen/statement pertemuan Internasional.25.”

Menurut Prof Eddy O.S. Hiariej, pembatasan terhadap prinsip legalitas mempertunjukan bahwa hukum pidana di Indonesia secara tersirat telah mengakui doktrin tentang sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif. Dengan demikian, walaupun suatu tindakan tidak mencukupi rumusan delik yang tertera di undang-undang, hakim dapat menjatuhkan hukuman pidana jika tindakan tersebut dianggap merusak, melanggar keadilan dan norma-norma sosial lain dalam kehidupan masyarakat.26

  • 3.2    Problematika Ketika Hukum Yang Hidup Di masyarakat Dimasukkan dalam Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Selain tujuan-tujuan mulia yang telah dijabarkan terdapat sisi lain yang harus benar-benar diperhatikan, yaitu problematika yang timbul akibat dimasukkannya hukum yang hidup di masyarakat dalam KUHP. Pasal 1 ayat (1) KUHP merupakan rumusan pasal yang menegaskan tentang asas legalitas atau kepastian hukum dalam hukum Pidana, sehingga Pasal 1 dan Pasal 2 KUHP terlihat seolah-olah bertolak belakang.

Asas legalitas merupakan asas atau prinsip yang sangat esensial dalam hukum pidana. Dalam asas ini suatu tindakan dapat dipandang sebagai tindak pidana jika telah terdapat suatu undang-undang yang terlebih dahulu mengatur bahwa tindakan itu adalah tindak pidana. Dengan ketentuan seperti itu, maka asas tersebut efektif untuk melindungi hak-hak rakyat dari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum atau pun penguasa.27

Melihat ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP terdapat empat (4) hal penting, yaitu:

  • a.    “Seseorang hanya dapat dijatuhi pidana atas perbuatan yang telah diatur dalam undang-undang (Lex scripta);

  • b.    Bahwa undang-undang yang menjadi dasar untuk menjatuhkan pidana telah ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan (Lex praevia);

  • c.    Perbuatan yang dilarang dalam undang-undang tersebut haruslah diuraikan secara jelas (Lex certa) dan”;

  • d.    Dalam menetapkan perbuatan tersebut sebagai perbuatan tindak pidana dilarang menggunakan analogi (Lex stricta).28 Selain keempat hal tersebut, Feuerbach menjelaskan bahwa asas legalitas atau asas kepastian hukum terdiri dari tiga konsep besar, yaitu sebagai berikut:

  • a.    “Nulla poena sine lege ialah tiada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang;

  • b.    Nulla poena sine crimine ialah tiada pidana tanpa perbuatan/tindak pidana; dan

  • c.    Nullum crimen sine poena legali ialah tiada perbuatan/tindak pidana tanpa pidana menurut undang-undang.” 29

Lebih lanjut, ketiga kalimat diatas dipadatkan oleh Fuerbach dan menghasilkan adagiun klasik “nullum delictum, nulla poena sine praevia legi poenali.”

Konsep diatas sangat berbeda 180 derajat terhadap hukum yang hidup di masyarakat dalam konteks yang spesifik adalah hukum pidana adat. Agar dianggap sebagai tindak pidana adat, suatu perbuatan hendaklah menyebabkan suatu ketidakseimbangan dalam kehidupan masyarakat. Ketidakseimbangan ini terjadi tidak hanya ketika dilanggarnya ketentuan hukum dalam masyarakat,

melainkan juga ketika norma kesusilaan, agama, serta etika kesopanan dilanggar.30

Hukum Pidana Adat menekankan kepada “keseimbangan yang terganggu”. Apabila seseorang mengakibatkan suatu ketidakseimbangan dalam masyarakat adat, maka akan ada sanksi yang diberikan. Hukum pidana adat tidak mengenal prinsip legalitas seperti hukum positif, karena tidak memiliki kodifikasi tertulis yang sistematis. Meskipun sebagian masyarakat adat di Indonesia sudah menerapkan kodifikasi hukum adat seperti Kitab Kuntara Raja Niti (Lampung), Awig-Awig (Bali), Kitab Babad Jawa (Jawa Kuno), namun hukum pidana adat tetap tidak mengenal hukum tertulis. Oleh karena itu, jika suatu perbuatan menimbulkan ketidakseimbangan dalam masyarakat adat, maka perbuatan tersebut dianggap melanggar hukum.31

Karena aturan pidana sangat berkaitan dengan perampasan serta pembatasan hak asasi seseorang, maka Pasal 73 Undang-undang Hak Asasi Manusia menerangkan suatu ketentuan sebagai berikut.

Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.”

Berdasakan ketentuan tersebut dikatakan bahwa pengekangan serta pelarangan terhadap hak asasi seseorang hanya bisa dilaksanakan mengacu pada hukum yang tertulis.

Dalam lingkup hukum Indonesia saat ini, asas legalitas atau kepastian hukum tidak hanya diterapkan dalam kerangka hukum pidana, tetapi juga merupakan norma dasar yang dilindungi oleh konstitusi dan termasuk bagian yang tak terpisahkan dari hak asasi manusia. Dengan demikian, penyimpangan terhadap asas legalitas dapat ditafsirkan tidak selaras dengan amanat kontitusi. Hal ini juga menunjukkan bahwa hukum yang hidup di masyarakat sebagai dasar penuntutan pidana dapat menimbulkan pelanggaran, baik terhadap asas legalitas maupun hak asasi manusia.32

M. Cherif Bassiouni menjelaskan bahwa ada beberapa tujuan di balik asas legalitas, diantaranya:

  • a.    “To enhance the certainty of the law (menegakkan kepastian hukum);

  • b.    Provide justice and fairness for the accused (memberikan proses yang adil dan keadilan bagi terdakwa);

  • c.    Achieve the effective fulfillment of deterrence function of the criminal sunction (mencapai fungsi pencegahan yang efektif dari sanksi pidana);

  • d.    Prevent abuse of power (mencegah penyalahgunaan kekuasaan);

  • e.    Strengthen the application of the rule of law (memperkuat penerapan aturan hukum).”33

Prinsip legalitas merupakan jembatan penyambung rule of law di Hukum Pidana, yang penyimpangannya bisa diterima hanya dalam keadaan terpaksa saja. Namun, dengan diterapkannya hukum yang hidup di masyarakat pada Pasal 2 KUHP mengakibatkan asas legalitas ini telah kehilangan fungsinya. Sebab terdapat tindak pidana atau perbuatan pidana lain yang tidak tertulis di luar dari yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan tidak dapat diperkirakan ketentuannya (unpredictable). Hal tersebut akan menciptakan suatu ketidakpastian (uncertainty) dalam hukum pidana.

Walaupun penjelasan Pasal 2 ayat (1) KUHP merujuk bahwa tindak pidana adat harus disusun dalam Peraturan Daerah dimana hukum yang bertempat tinggal dan hidup di masyarakat berlaku, tetap saja regulasi ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan prinsip legalitas. Karena ketika dalam proses pelaksanaannya dimungkinkan perbedaan penerapan hukum oleh penegak hukum dengan masyarakat adat di daerah.

Mengutip pendapat Prof. Sulistyowati yang mengatakan bahwa perumusan hukum adat ke dalam KUHP bukanlah jalan keluar yang substansial untuk memenuhi kebutuhan masyarakat adat. Serta, usaha untuk menetapkan dan mendeteksi siapa saja yang termasuk dalam masyarakat adat di Indonesia bukanlah urusan yang mudah, karena identitas dan hukum di masyarakat sangat beragam. Perlu diperhatikan bahwa perkembangan serta transformasi hukum adat serta masyarakatnya adalah suatu hal yang tidak bisa dihentikan.34

  • 4. Kesimpulan

Dari penjabaran yang ada, maka dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan pendapat yang kontras terhadap penerapan hukum pidana yang hidup di masyarakat dalam kitab undang-undang hukum pidana Republik Indonesia. Kelompok yang setuju berpandangan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang berasal dari banyak suku, bangsa, agama, dan budaya, sehingga sudah seharusnya untuk menghormati hukum yang ada di masyarakat sebagai hukum asli yang sesuai dengan ciri bangsa Indonesia dan menggantikan hukum pidana kolonial Belanda. Sedangkan kelompok yang tidak setuju berpendapat bahwa penerapan hukum yang hidup di masyarakat dapat menggangu asas legalitas, sehingga dapat berakibat merugikan hak asasi manusia dan menimbulkan tidak kepastian hukum.

Daftar Pustaka

Buku:

Barda, Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2018.

Fajar, Mukti, dan Achmad, Yulianto. Dualisme penelitian hukum normatif dan empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.

Pusat Kajian Hukum Adat ‘Djojodigoeno dan Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Living Law, Brief Paper: ‘Hukum yang Hidup’ dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia & Pusat Kajian Hukum Adat ‘Djojodigoeno’, 2020.

Rensink, Gertrudes Johan. Bukan 350 tahun dijajah. Depok: Komunitas Bambu, 2016.

Rifai, Achmad. Kesalahan Hakim Dalam Penerapan Hukum Pada Putusan Menciderai Keadilan Masyarakat. Makassar: Nas Media Pustaka, 2020.

Jurnal

Apriyani, Rini. “Keberadaan Sanksi Adat Dalam Penerapan Hukum Pidana Adat,” Jurnal Hukum PRIORIS 6, No. 3 (2018): 227-246, doi: https://doi.org/10.25105/prio.v6i3.3178.

Choiruzzad, Shofwan Al Banna. “Indonesia Dijajah Lebih dari 300 Tahun? Memahami Penjajahan Sebagai Proses Transformasi Struktural.” Andalas Journal of International Studies (AJIS) 10, No. 1 (2021): 66-82, doi: https://doi.org/10.25077/ajis.10.1.66-82.2021.

Hairi, Prianter Jaya. “Kontradiksi Pengaturan “Hukum Yang Hidup Di masyarakat” Sebagai Bagian Dari Asas Legalitas Hukum Pidana Indonesia.” Negara Hukum: Membangun Hukum untuk Keadilan dan Kesejahteraan 7, No. 1 (2017): 89-110, doi: 10.22212/jnh.v7i1.924.

Harahap, Asliani. “Pembaharuan Hukum Pidana Berbasis Hukum Adat.” EduTech: Jurnal Ilmu Pendidikan dan Ilmu Sosial 4, No. 2 (2018), doi: https://doi.org/10.30596/edutech.v4i2.2268.

Isdiyanto, Ilham Yuli. “Problematika Teori Hukum, Konstruksi Hukum, dan Kesadaran Sosial.” Jurnal Hukum Novelty 9, No. 1 (2018): 54-69.

Kurniasari, Rika. “Conceptualization and Actualization of Law Living in Society on The Design of The Criminal Law Law Related to The Establishment of National Law.” Budapest International Research and Critics Institute-Journal (BIRCI-Journal) 5, No. 3 (2022): 18596-18606, doi: https://doi.org/10.33258/birci.v5i3.5847.

Kusumo, Bambang Ali. “Kesimbangan Monodualistik Antara Kepentingan Masyarakat Dan Individu Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia.” Jurnal Hukum 31, No. 1 (2015): 1-24.

Mulyadi, Lilik. “Eksistensi Hukum Pidana Adat Di Indonesia: Pengkajian Asas, Norma, Teori, Praktik dan Prosedurnya.” Jurnal Hukum dan Peradilan 2, No. 2 (2013): 225-246, doi: http://dx.doi.org/10.25216/jhp.2.2.2013.225-246.

Noviyani, Maria, dan Dina Paramitha Hefni Putri. “Tinjauan Yuridis Terhadap Keberadaan Hukum Adat Di Kota Samarinda.” Legalitas: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum 6, No. 1 (2021): 35-50, doi: https://doi.org/10.31293/lg.v6i1.5628.

Putri, Nella Sumika. “Memikirkan Kembali Unsur “Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat” Dalam Pasal 2 Rkuhp Ditinjau Perspektif Asas Legalitas.” Indonesia Criminal Law Review 1 No. 1 (2021): 60-72.

Rif'an, Ahmad, dan Ilham Yuli Isdiyanto. “Dediametralisasi Living Law Dan Kepastian Hukum Dalam Pasal 2 RKUHP,” Ahmad Dahlan Legal Perspective 1, No. 1 (2021): 20-35, doi: https://doi.org/10.12928/adlp.v1i1.3555.

Situngkir, Danel Aditia. “Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Nasional Dan Hukum Pidana Internasional.” Soumatera Law Review 1, No. 1 (2018): 22-42, doi: http://doi.org/10.22216/soumlaw.v1i1.3398.

Suwandi, Ahmad, Zen Zanibar, dan Ruben Achmad. “Eksistensi Hukum Adat Terhadap Hukum Pidana.” Legalitas: Jurnal Hukum 1, No. 3 (2017): 1-36, doi: http://dx.doi.org/10.33087/legalitas.v1i3.55.

Internet

Erdianto, Kristian, “Pemberlakuan Hukum Adat Jadi Perdebatan dalam Pembahasan RUU-

KUHP”              Kompas.com,              Juli              3,              2019,

https://nasional.kompas.com/read/2019/07/03/16384321/pemberlakuan-hukum-adat-jadi-perdebatan-dalam-pembahasan-ruu-kuhp.

Hidayat, Rofiq, “Polemik Living Law, Muncul Gagasan Kompilasi Hukum Pidana Adat,” Hukum Online, Juli 17, 2019, https://www.hukumonline.com/berita/a/polemik-living-law--muncul-gagasan-kompilasi-hukum-pidana-adat-lt5d2f02fe6737e/?page=2.

Irianto, Sulistyowati, “Living Law dalam Rancangan Hukum Pidana.” Kompas.id, Juni 27, 2022, https://www.kompas.id/baca/opini/2022/06/26/hukum-yang-hidup-dalam-rancangan-hukum-pidana.

Sahbani, Agus, “Sekilas Sejarah dan Problematika pembahasan RKUHP,” Hukum Online, Desember 26, 2017, https://www.hukumonline.com/berita/a/sekilas-sejarah-dan-problematika-pembahasan-rkuhp-lt5a42131b82c60?page=2.

Sari, Haryanti Puspa, “KALEDOSKOP 2019: Kontroversi RKUHP, demo mahasiswa, hingga penundaan pembahasan,”      Kompas.com,      Desember 24,      2019,

https://nasional.kompas.com/read/2019/12/24/08431541/kaleidoskop-2019-kontroversi-rkuhp-demo-mahasiswa-hingga-penundaan.

The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), “Ketentuan Hukum yang Hidup Di masyarakat di RKUHP Ancam Hak Warga Negara,” Juli 1, 2019, https://icjr.or.id/ketentuan-hukum-yang-hidup-dalam-masyarakat-di-rkuhp-ancam-hak-warga-negara/.

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara 2023 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6842).

Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 5 Tahun 2023 hlm 502-517

516