PENGATURAN PEMBERIAN BANTUAN HUKUM

TERHADAP TERTANGKAP TANGAN SAAT
PEMERIKSAAN PADA TAHAP PENYIDIKAN

Mian Martalena Josephine Nababan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Dewa Gede Dana Sugama, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Kajian ini merupakan hasil penelitian yang dituliskan untuk mengetahui kepastian hukum mengenai pengaturan pemberian bantuan hukum kepada seorang tertangkap tangan. Mengingat ketentuan dalam KUHAP yang mengatakan penangkapan dilakukan dalam jangka waktu paling lama hanya 1 hari (24 jam). Dan melihat ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum yang secara normatif hanya memberikan ketentuan mengenai pemberian bantuan hukum dalam satuan hari dan waktu kerja. Sedangkan, tertangkap tangannya seseorang dapat terjadi pada setiap waktu. Studi ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif dengan mengaitkan suatu peraturan perundangan-undangan bersama peraturan perundang-undangan dan sumber hukum lainnya yang berhubungan. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum saat diperiksa setelah ditangkap haruslah dipenuhi apabila tersangka memintanya. Jika waktu tidak memungkinkan maka penyidik harus melakukan upaya lain seperti menetapkan penahanan atau melepaskan tersangka dan memanggilnya kembali. Upaya penangkapan dengan surat perintah penangkapan juga dapat dilakukan apabila tersangka tidak menjawab surat pemanggilan. Upaya-upaya lain ini harus diutamakan dibandingkan mengenyampingkan hak-hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum.

Kata Kunci: Tertangkap Tangan, Bantuan Hukum, Penyidikan

ABSTRACT

This study of analysis was written to determine legal certainty regarding the regulation of providing legal assistance to a person In flagrante delicto. View of the provisions in the Indonesian Criminal Procedure Code which states that arrests are made within a maximum period of only 1 day (24 hours). And looking at the rule in the Law of the Republic of Indonesia Number 16 of 2011 concerning Legal Aid which provides requirements to receive legal aid, where the specified conditions are impossible to fulfill in less than 24 hours. This study uses a normative juridical legal research method by linking statutory regulation with other laws and related legal sources. The study results indicate that the suspect's right to obtain legal assistance when examined after being arrested must be fulfilled if the suspect asks for it. If not possible due to the given time, the investigator can make other efforts, such as establishing an arrest or releasing the suspect and convoking them again. Attempts to arrest with an arrest warrant can also be made if the suspect does not answer convoke. These other efforts must be prioritized over ignoring the rights of the suspect.

Key Word: Flagrante Delicto, Legal Aids, Investigation.

I.Pendahuluan

  • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Suatu kaidah hukum dibentuk untuk menciptakan sebuah lingkungan hidup yang teratur dan tertib (law as a social control). Dengan adanya kaidah hukum yang dibuat secara konsensual dengan kesepahaman masyarakat-nya, hukum menjadi sebuah idealisme untuk memberikan kehidupan yang harmonis serta tidak saling bersinggungan. Penegak Hukum sebagai ‘pelayan’ dalam penerapan hukum harus menerapkan hukum dengan prinsip keseimbangan antara tugas ataupun kewajibannya untuk melindungi kepentingan umum dan juga memberikan kepentingan manusia seorang individu. Dimana seorang manusia memiliki hak asasi yang telah dimiliki sejak dirinya terlahir ke dunia ini.

Warga negara Indonesia adalah manusia yang hak serta kewajibannya diatur serta dilindungi oleh hukum Indonesia. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) sebagai ideologi negara telah memberikan dasar untuk perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negaranya. Bahwa seluruh rakyat indonesia berhak atas keadian sosial dan kepastian hukum (rechtszekerheid). Oleh karena itu, pada proses peradilan harus diterapkannya asas keadilan (gerectigheit) yang tidak mendiskriminasi baik secara ras, etnis, dan kedudukan sosial ataupun ekonomi seseorang.

Dibentuknya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum (Undang-Undang Bantuan Hukum), adalah untuk memberikan masyarakat akses untuk keadilan (access to justice) dan perlakuan yang sama di hadapan hukum (equalitiy before the law). Selain itu, Undang-Undang tersebut juga sebuah bentuk implementasi tanggung jawab negara dalam memenuhi kewajibannya untuk melindungi hak asasi warga negara-nya. Sehingga dengan adanya Undang-Undang Bantuan Hukum setiap warga negara Indonesia yang memiliki keterbatasan secara keuangan dapat memiliki akses kepada hukum yang adil dan tidak berpihak.

Siapa pun yang memiliki masalah hukum dan tidak mampu secara finansial dapat mengajukan permohonan bantuan hukum. Masalah hukum yang dimaksud melingkupi ranah hukum perdata, pidana dan tata usaha negara, yang dapat diselesaikan baik melalui proses pengadilan maupun di luar pengadilan. Pengajuan permohonan harus mengikuti tata cara dan memenuhi persyaratan yang tertera pada Undang-Undang Bantuan Hukum. Apabila masalah hukum yang dihadapi adalah masalah hukum pidana, maka Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat dijadikan acuan yang telah disesuaikan dengan sistem peradilan pidana. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum menurut KUHAP mengacu pada Pasal 54 diberikan kepada tersangka atau terdakwa serta dapat diberikan pada waktu kapanpun di setiap tingkat pemeriksaan.

Pada tingkat penyidikan, kebebasan serta hak asasi seseorang dapat dibatasi oleh penyidik. Pembatasan yang dimaksud adalah pelaksanaan upaya paksa seperti penangkapan, penyitaan, penahanan, dan penggeledahan. Upaya paksa pun tidak boleh disalahgunakan, semua tindakan terhadap tersangka harus dilakukan hanya untuk kepentingan pemeriksaan dan hanya dilakukan apabila upaya tersebut diperlukan sekali. Upaya paksa dianggap sebagai ‘a necessary evil’ karena penerapannya bisa membatasi hak asasi seseorang, namun tetap diperukan untuk penegakan hukum. 1

Tertangkap tangan merupakan salah bentuk dari penangkapan yang dilakukan kepada seseorang pada waktu-waktu tertentu yang diuraikan pada Pasal 1 ayat 19 KUHAP.

Permasalahan yang sering ditemui adalah pada saat terjadinya seseorang tertangkap tangan diluar jam produktif, mengingat ketentuan pada Pasal 19 KUHAP yang mengatakan bahwa penangkapan dilakukan paling lama selama 1 (satu) hari. Setelah adanya penyerahan tertangkap tangan beserta barang bukti, penyidik diwajibkan untuk melengkapi hak-hak tersangka agar segera mendapatkan pemeriksaan. Tersangka yang kurang mampu pada saat itu juga memiliki hak untuk mendapatkan bantuan hukum berupa pendampingan. Namun, adanya aturan dari Undang-Undang Bantuan Hukum yang memberikan berbagai persyaratan agar dipenuhi terlebih dahulu untuk seseorang bisa mendapatkan bantuan hukum membuat terhambatnya pemenuhan hak tersangka pada waktu-waktu yang mendesak. Terlebih lagi tidak adanya posko layanan bantuan hukum atau lembaga-lembaga bantuan hukum lainnya yang siap sedia selama 24 jam.

Secara normatif, adanya konflik yang dapat terjadi karena dua kepentingan diatur dalam dua pertaruan yang berbeda. Dimana menurut KUHAP, tertangkap tangan haruslah diperiksa dalam jangka waktu kurang dari 24 jam. Sedangkan, mengenai kepastian apakah pemberi bantuan hukum akan menolak atau menerima permohonan tersebut diatur dalam Undang-Undang Bantuan Hukum yakni dalam jangka waktu maksimal tiga ‘hari kerja’. Bertabrakannya kepentingan penyidik agar segera melakukan pemeriksaan sekaligus memenuhi kewajibannya apabila tertangkap tangan meminta hak nya untuk mendapatkan bantuan hukum, membuat adanya konflik antara ketentuan pemberian bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang Bantuan Hukum dengan Hukum Acara Pidana. Pada akhirnya pemberian bantuan hukum menjadi terhambat dan banyak terjadi kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada proses penyidikan terutama dalam dilakukannya upaya paksa. Oleh karena itu, dilakukannya penelitian ini untuk mencari kepastian hukum mengenai bagaimana pengaturan dalam hal seseorang tertangkap tangan mengajukan permohonan bantuan hukum pada saat pemeriksaan di tahap penyidikan.

Telah ada penelitian terlebih dahulu yang membahas dengan topik sejenis dengan apa yang akan dibahas pada penelitian ini. Seperti artikel dengan judul ‘Pemberian Bantuan Hukum Bagi Tersangka dalam Proses Penyidikan’ yang disusun oleh Marcelino Gozali, Roy Ronny Lembong dan Friend H. Anis.2 Dimana adanya unsur yang membedakan antara artikel tersebut dengan apa yang akan dibahas pada artikel ini. Bahwa pembahasan artikel tersebut diatas, membahas dengan ruang lingkup yang lebih umum mengenai hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum dan bagaimana sanksi terhadap advokat yang menolak untuk memberikan bantuan hukum. Sedangkan penelitian dalam artikel ini akan membahas dengan ruang lingkup yang lebih terkhusus mengenai kepastian hukum atas pemberian bantuan hukum kepada tertangkap tangan yang membutuhkan pendampingan, melihat ketentuan waktu yang tidak sejalan antara KUHAP dengan Undang-Undang Bantuan Hukum. Demikian juga sudah banyak penelitian-penelitian terdahulu lainnya yang telah membahas mengenenai bantuan hukum pada tahap penyidikan, akan tetapi belum ada yang membahas mengenai topik sebagaimana akan diuraikan pada artikel ini. Mengingat besarnya kemungkinan seorang tertangkap tangan membutuhkan bantuan hukum,

maka dilakukanlah penelitian ini untuk menganalisa bagaimana perlindungan yang seharusnya diberikan secara normatif.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Sehubungan dengan latar belakang yang telah diuraikan diatas, ditemukan rumusan masalah yang akan diteliti yakni:

  • 1.    Bagaimana pengaturan pemberian bantuan hukum terhadap tertangkap tangan saat pemeriksaan pada proses penyidikan?

  • 2.    Bagaimana kepastian hukum terhadap tertangkap tangan yang meminta hak untuk menerima bantuan hukum saat pemeriksaan pada proses penyidikan?

  • 1. 3. Tujuan Penulisan

Sesuai dengan Latar Belakang dan Rumusan Masalah yang telah ditemukan, Penelitian ini diharapkan dapat memenuhi tujuannya untuk mengetahui pengaturan pemberian bantuan hukum terhadap tertangkap tangan saat pemeriksaan pada proses penyidikan. Selain itu, penelitian ini juga memiliki tujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada tertangkap tangan yang meminta hak untuk menerima bantuan hukum saat pemeriksaan pada proses penyidikan.

II.Metode Penelitian

Pada saat menulis penelitian ini, metode penelitian hukum yang diaplikasikan adalah metode penelitian yuridis normatif dengan meneliti bahan-bahan pustaka yang ada.3 Adapun penilitian ini meneliti menggunakan bahan pustaka atau data sekunder. Penelitian normatif ini dilakukan dengan pendekatan Statute Approach yaitu pendekatan peraturan perundang-undangan, dan menggunakan conceptual approach yaitu pendekatan konseptual dengan pembahasan berdasarkan buku, artikel, dan doktrin-doktrin yang berkembang. Penulisan ini menggunakan sumber hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan dan sumber hukum sekunder seperti artikel, jurnal dan buku. Bahan hukum dikumpulkan menggunakan studi pustaka melalui melihat, membaca, mendengarkan, ataupun mengikuti perkembangan zaman dapat dilakukan dengan menelusuri internet. Analisis bahan hukum dilakukan menggunakan teknik deskriptif dengan cara menjelaskan atau mendskripsikan isu yang telah dikaji dengan sebagaimana adanya.

III.Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Pengaturan Pemberian Bantuan Hukum Terhadap Tertangkap Tangan

Setiap warga negara Indonesia memiliki hak konstitusional, salah satu hak yang diatur dalam konstitusi Indonesia adalah hak untuk mendapatkan bantuan hukum. Sebagai negara hukum, sudah sepatutnya bagi Indonesia untuk memenuhi hak-hak yang telah diundangkan. Hak untuk menerima bantuan hukum telah diatur dalam Undang-Undang Dasar pada Pasal 28 H ayat (2) yang menguraikan mengenai hak setiap warga negara untuk mencapai persamaan dan keadilan. Berbagai macam peraturan perundang-undangan secara khusus telah mengatur atau menyinggung mengenai pemberian bantuan hukum. Salah satu Undang-Undang yang mengatur secara khusus tentang bantuan hukum adalah Undang-Undang Bantuan Hukum. Namun diluar Undang-Undang tersebut, KUHAP juga memiliki beberapa pasal yang mengatur

mengenai pemberian bantuan hukum. Adapun tujuan berbagai peraturan mengenai bantuan hukum tersebut diundangkan adalah dengan harapan untuk memberikan semua rakyat Indonesia akses kepada keadilan yang setara.

Bantuan Hukum diartikan sebagai sebuah jasa hukum secara cuma-cuma yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum untuk penerima bantuan hukum. Dimana penerima bantuan hukum merupakan seseorang atau kelompok yang memiliki permasalahan hukum namun tidak mampu secara finansial untuk mendapatkan akses kepada hukum. Lembaga atau organisasi kemasyarakatan yang bersedia untuk memberikan bantuan hukum dapat disebut sebagai ‘pemberi bantuan hukum’. Dalam memberikan bantuan hukum, Lembaga ataupun organisasi kemasyarakatan tersebut memiliki hak untuk merekrut mahasiswa hukum, paralegal, dosen ataupun advokat. Pasal 4 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Bantuan Hukum juga telah memberikan lingkup masalah yang dapat diberikan bantuan hukum, yakni:

‘(2) Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi. (3) Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum.’ Selain dari Undang-undang Bantuan Hukum, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat (Undang-Undang Advokat) juga memberikan pengaturan mengenai bantuan hukum. Pada Pasal 1 angka 2 dinyatakan bahwa salah satu jasa yang diberikan oleh advokat adalah memberikan bantuan hukum. Undang-Undang tersebut juga menjelaskan lebih lengkap bahwa advokat ‘wajib’ untuk memberikan bantuan hukum kepada para pencari keadilan (Justiciabellen) yang tidak mampu. Adapun kata ‘wajib’ pada pengaturan tersebut mengartikan bahwa hal itu harus dilakukan dan tidak bisa dikesampingkan.

Dalam ranah hukum pidana, KUHAP melindungi hak-hak tersangka atau terdakwa saat proses pemeriksaan dengan memberikan ketentuan mengenai pemberian bantuan hukum. Salah satu pengaturan di KUHAP yang mengatur mengenai pemberian bantuan hukum kepada tersangka/terdakwa pada setiap tahap pemeriksaan adalah Pasal 54. Selain itu, pada Pasal 56 juga menjelaskan bahwa apabila seseorang disangkakan kepadanya sebuah tindak pidana dengan ancaman lebih dari lima tahun, dan tersangka tersebut adalah seseorang dari kalangan tidak mampu serta tidak memiliki penasihat hukum maka menjadi kewajiban pejabat yang memiliki wewenang agar mencari dan menentukan penasihat hukum untuk kepentingan dan hak tersangka. Penasihat hukum yang ditentukan harus memberikan bantuan terhadap tersangka secara cuma-cuma sampai kepentingan atau masalah tersangka sudah selesai.

Pada saat tersangka diperiksa, penyidik harus menerima semua keterangan dari tersangka yang murni dari kehendak tersangka tanpa paksaan ataupun tekanan. Hal tersebut diatur pada Pasal 117 ayat (1) KUHAP yang mengartikan bahwa pada saat seseorang diperiksa pada tahap penyidikan maka tidak menghilangkan hak-hak lain dari tersangka sebagai manusia yang dilindungi oleh Undang-Undang. 4 Berkaitan dengan perlindungan dalam Pasal tersebut, Penasihat hukum berdasarkan Pasal 115 Ayat (1) KUHAP diberikan hak untuk mengikuti jalannya persidangan secara ‘pasif’. Meskipun hanya terbatas sebagai pengamat atau dengan kata lain hanya melihat dan mendengar, peran penasihat hukum disini sangat penting untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kewenangan oleh penyidik.

Untuk kepentingan pemeriksaan, penyidik diberikan kewenangan yang sangat luas oleh Undang-Undang. 5 Penyidik mempunyai wewenang dalam membatasi kebebasan seseorang dan juga hak asasinya untuk sementara waktu. Salah satu bentuk kewenangan penyidik untuk mengurangi kebebasan seseorang menurut Pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP adalah dengan dilakukannya penangkapan. Penangkapan dapat dikatakan sebagai ‘pengekangan sementara waktu’ kebebasan tersangka, karena pada saat seseorang ditangkap belum adanya putusan pengadilan yang mengatakan bahwa dirinya bersalah dan terbukti melakukan sebuah tindak pidana. Namun, pada saat dilakukanya penangkapan atas seseorang kerap menyebabkan hilangnya anggapan bahwa tersangka sebelum adanya putusan masih dianggap tidak bersalah (presumption of innocence). Idealnya seorang tersangka pada saat diperiksa harus dianggap terpisah dari objek pemeriksaan tersebut. Tersangka harus dipandang sebagai sebuah subjek hukum yang dianggap tidak bersalah dan yang menjadi objek pemeriksaan pada saat itu hanyalah perbuatan-perbuatan tersangka yang diduga melawan hukum.

Tertangkap tangan (ontdekking op heterdaad) merupakan istilah kepada seseorang yang ditangkap pada saat melakukan tindak pidana. Pasal 1 angka 19 KUHAP memberikan penjelasan mengenai tertangkap tangan sebagai:

‘Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.’

Tertangkap tangan sebagai salah satu bentuk penangkapan menurut Pasal 111 KUHAP dapat dilakukan oleh setiap orang secara umum dan pejabat yang memiliki kewenangan dalam tugas ketertiban, ketentraman dan keamanan umum. Dimana, orang secara umum/tanpa jabatan memiliki hak untuk menangkap tersangka namun untuk pejabat yang memiliki kewenangan menjadi sebuah kewajiban untuk menangkap tersangka.

Antara prosedur penangkapan dan tertangkap tangan memiliki perbedaan yang signifikan. Adapun penangkapan menurut Pasal 18 ayat (1) KUHAP yakni:

‘Pelaksanaan tugas penangkapan. dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.’

Pasal tersebut diatas menyatakan bahwa sebagai bentuk sebuah persyaratan formil dibutuhkan surat tugas dan surat perintah penangkapan pada saat dilaksanakannya sebuah penangkapan. Apabila pada saat dilakukan penangkapan penyidik yang bersangkutan tidak menunjukan surat-surat tersebut, maka tersangka memiliki hak untuk menolak perintah penangkapan. Berbeda dengan prosedur penangkapan diatas, penangkapan karena tertangkap tangan tidak memerlukan surat tugas ataupun surat perintah penangkapan. Namun, setiap orang/pejabat berwenang yang menangkap diwajibkan untuk secepat mungkin menyerahkan tertangkap tangan kepada penyidik atau penyidik pembantu terdekat. Adapun penyerahan disertakan dengan alat/barang bukti yang dapat membuktikan bahwa tertangkap tangan ‘diduga keras’ melakukan sebuah tindak pidana.

Mengenai penangkapan, Pasal 19 ayat (1) KUHAP memberikan ketentuan bahwa prosesnya diberikan jangka waktu selama satu hari (24 jam). Setelah melewati 24 jam tersebut penyidik apabila memiliki bukti yang cukup dapat melakukan

penahanan, apabila bukti permulaan yang diberikan saat seorang tertangkap tangan tidak mencukupi untuk dilakukan penahanan maka tersangka harus dibebaskan. Berhubungan dengan ketentuan mengenai penahanan, Pasal 21 ayat (1) menyatakan bahwa diperlukan bukti yang cukup untuk menunjukkan seorang tersangka "diduga keras" melakukan tindak pidana. Putusan MK No. No. 21/PUU-XII/2014 memberikan penjelasan mengenai pengertian bukti yang cukup adalah paling sedikit dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Umumnya tertangkap tangan memiliki bukti yang kuat untuk dilakukannya penahanan namun tetap ada beberapa kasus dimana tertangkap tangan pada akhirnya dibebaskan karena tidak memiliki bukti yang cukup.

Saat seseorang telah ditangkap, penyidik memiliki kewajiban untuk segera melakukan pemeriksaan kepada orang tersebut. Dalam melakukan pemeriksaan, sudah menjadi kewajiban penyidik untuk memastikan bahwa tersangka tau mengenai hak-nya untuk mendapatkan bantuan hukum, hal tersebut tertera pada ketentuan Pasal 114 KUHAP. Penjelasan umum KUHAP juga menguraikan bahwa untuk memperoleh bantuan hukum adalah suatu kewajiban dan harus diberikan kepada setiap orang yang tersangkut perkara untuk kepentingan pembelaan orang tersebut. Tersangka yang tidak memiliki penasihat hukum dan dalam keadaan keterbatasan finansial, apabila disangkakan kepadanya ancaman pidana melebihi lima tahun maka penunjukan penasihat hukum kepada mereka menjadi sebuah ‘kewajiban’.

Pengajuan permohonan bantuan hukum memerlukans persyaratan-persyaratan administrasi sesuai dengan ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Bantuan Hukum. Persyaratan yang diperlukan adalah permohonan secara tertulis, dokumen yang berkaitan dengan perkara, serta surat dari pejabat berwenang yang dapat menyatakan bahwa pemohon dalam keadaan miskin. Persyaratan tersebut sangat tidak memungkinkan untuk diperoleh dalam waktu satu hari, terlebih lagi ada kepentingan penyidik untuk langsung memeriksa tersangka. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum (PP No 42/2013) telah menjelaskan lebih lengkap dan memberikan kemudahan untuk pemohon bantuan hukum. Pada Pasal 8 Peraturan Pemerintah menyatakan yakni dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk memberitahukan bahwa dirinya ada dalam keadaan miskin dapat dijadikan alternatif lain apabila pemohon kesulitan atau tidak mendapatkan surat keterangan miskin. Pemberi bantuan hukum juga dapat membantu pemohon untuk memenuhi segala persyaratan apabila pemohon mengalami permasalahan dalam melengkapi nya.

Berdasarkan pada Pasal 11 PP No 42/2013, Pemberi bantuan hukum diwajibkan untuk memeriksa kelengkapan persyaratan yang dimohonkan. Untuk kelengkapan persyaratan sesuai pada pasal tersebut, diberikan waktu paling lama 1 hari kerja agar pemberi bantuan memeriksa. Meskipun permohonan sudah lengkap, Pemberi bantuan hukum bisa menyatakan apakah berseedia atau tidak untuk memberikan bantuan hukum semenjak 3 hari kerja sejak syarat permohonan dinyatakan sudah lengkap. Sehingga jika mengikuti tata cara ini, apabila tersangka ditangkap tangan pada waktu diluar jam kerja tidak ada kepastian mengenai akan ada atau tidak pemberi bantuan hukum yang bersedia memberikan bantuan hukum tehadapnya pada saat itu juga. Peraturan perundang-undangan yang ada sudah jelas mengatur bahwa tersangka memiliki hak untuk mendapatkan akses terhadap bantuan hukum apabila diupayakan penangkapan kepadanya. Akan tetapi, menjadi sebuah problematika pada saat Undang-Undang Bantuan Hukum memberikan persyaratan serta tata cara permohonan bantuan hukum yang mustahil untuk dilengkapi apabila adanya penangkapan diluar jam kerja.

Sedangkan, penangkapan atas tertangkap tangan dapat terjadi dalam waktu yang tidak selalu pada hari kerja. Sehingga dengan pengaturan ini, menjadi sebuah opsi antara memenuhi kepentingan pemeriksaan dan pemenuhan hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum dalam waktu kurang dari satu hari.

  • 3.2    Kepastian Hukum Terhadap Hak Tertangkap Tangan Untuk Menerima Bantuan Hukum

Pada saat seseorang dilakukan penangkapan atau tertangkap tangan, hak yang diambil sementara oleh penyidik hanyalah hak kebebasannya. Hak lain yang ada padanya sebagai manusia ataupun warga negara masih harus dihargai dan dilindungi. Meskipun ditangkapnya seseorang pada saat/ beberapa saat kemudian sebuah tindak pidana diduga dilakukan, dengan ada maupun tidak ada alat bukti atau barang bukti yang ditemukan pada dirinya, tanpa adanya sebuah putusan yang berkekuatan hukum tetap (Inkracht) maka orang tersebut tidak dapat dilihat sebagai sesorang yang bersalah. Oleh karena itu, prosedur pemeriksaan juga harus dijalan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku agar tidak terjadi pelanggaran hak seseorang sebagai manusia. Salah satu hak yang dimiliki seorang tertangkap tangan dan harus diberikan pada saat pemeriksaan di tingkap penyidikan adalah hak untuk menerima bantuan hukum.6

Bantuan hukum harus diberikan hanya kepada orang yang memenuhi persyaratan sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur agar pemberiannya tepat sasaran. 7 Dijelaskan pada Pasal 5 Undang-Undang Bantuan Hukum bahwa bantuan hukum merupakan hak seorang atau sekelompok orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan dapat dikatakan miskin. KUHAP sendiri memberikan kualifikasi seseorang yang ‘wajib’ untuk diberikan bantuan hukum adalah seseorang yang membutuhkan penasihat hukum dengan ancaman pidana penjara lebih dari lima tahun atau lebih namun tidak dapat memenuhi kebutuhannya karena berkekurangan secara finansial (tidak mampu). Kualifikasi kekurangan dalam keadaan perekonomian seseorang dapat dikesampingkan dalam pemberian bantuan hukum apabila orang tersebut telah disangkakan perbuatan dengan ancaman pidana mati atau pidana penjara lima belas tahun atau lebih dan tidak memiliki penasihat hukum.

Kasus penangkapan yang terdengar akrab adalah kasus penangkapan secara massal aksi menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada tahun 2019. Ribuan massa bergerak untuk melakukan aksi demonstrasi pada tanggal 23 September 2019. Ratusan mahasiswa dikabarkan menghilang dan ditemukan kembali diluar kantor kepolisian setempat dan mengatakan bahwa mereka ditangkap saat melakukan aksi demonstrasi. Pada saat aksi demonstrasi tersebut memang ada kericuhan yang dilakukan oleh beberapa oknum, namun pihak kepolisian melakukan penangkapan bahkan kepada demonstran yang tidak membuat ricuh. Pada kasus tersebut prosedur penangkapan yang dilakukan penyidik dipertanyakan karena jangka waktu dilepaskannya orang yang tertengkap berbeda-beda. Di Jakarta, Polda Metro Jaya baru mengatakan semua mahasiswa telah dilepaskan pada tanggal 27 September 2019 (4 hari setelah penangkapan). Saat itu, Lembaga bantuan hukum di setiap daerah bersangkutan sudah berusaha untuk memberikan pendampingan kepada para

demonstran, namun dilarang atau dihalang-halangi untuk mengetahui mengenai kondisi para demonstran.

Proses penangkapan yang dilakukan berdasarkan kasus diatas dapat dikatakan sebagai proses penangkapan tertangkap tangan karena tidak direncanakan ataupun melampirkan surat-surat yang diperlukan. Dalam hal tertangkap tangan, setelah melebihi satu hari penyidik sudah seharusnya membuat penetapan penahanan atas tersangka dengan barang bukti yang cukup. Pada saat ditahan, menurut Pasal 59 KUHAP keluarga ataupun orang lain yang kemungkinan tersangka butuhkan bantuannya wajib diinformasikan mengenai penahanan tersebut. Tersangka juga berhak untuk menghubungi atau dikunjungi seseorang demi mendapatkan bantuan hukum, hal ini diatur pada Pasal 60 KUHAP. Adanya kesalahan secara prosedural dalam proses tersebut diatas dapat dijadikan objek pemeriksaan praperadilan dengan dasar bahwa adanya cacat formil dalam proses penangkapan dan tersangka berhak untuk meminta ganti rugi atau rehabilitasi.8

Pada saat seseorang tertangkap maka sudah sewajarnya orang atau pihak yang berwenang untuk melakukan penangkapan menemukan alat bukti yang cukup untuk menetapkan penahanan atas tertangkap tangan. Tanpa alat bukti yang cukup, maka tertangkap tangan harus dibebaskan untuk menghindari pelanggaran hak asasi manusia dikarenakan salah tangkap (Error In Persona)9. Dan kepastian apakah seorang tertangkap tangan tersebut dilanjutkan untuk ditahan dengan surat penetapan penahanan atau dibebaskan harus diberikan dengan jangka waktu paling lama 24 jam. Pejabat yang berwenang harus mewujudkan keinginan tertangkap tangan apabila meminta hak nya untuk mendapatkan bantuan hukum meskipun jangka waktu pemeriksaan hanya selama 24 jam. Karena hak untuk mendapatkan bantuan hukum pada tahap penyidikan adalah untuk menghindari terjadinya kekeliruan atau kesewenangan oleh aparat penegak hukum yang merugikan tersangka.10Sehingga apabila ada tindakan penyidik yang menghalangi dan melarang Lembaga Bantuan Hukum dalam mengunjungi untuk mengupayakan bantuan hukum pada seseorang adalah salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Adapun perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada tersangka apabila terjadi kesalahan prosedur dalam penangkapan ataupun penahanan diatur pada Pasal 95 KUHAP mengenai ganti kerugian. Seorang tertangkap tangan dapat menuntut ganti kerugian dengan dasar apabila dirinya ditahan melebihi dari satu hari tanpa adanya barang bukti yang cukup ataupun surat penetapan penahanan. Tuntutuan tersebut berdasarkan adanya kekeliruan terhadap hukum yang diterapkan (cacat formil). Apabila seseorang tertangkap tangan belum dilakukan penuntutan atau belum dimulainya persidangan pada tingkat pertama maka setelah permintaan pemeriksaan melalui praperadilan tersangka dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian. Tuntutan

atas ganti kerugian setelah praperadilan diberikan tenggat waktu selama 3 (tiga) bulan semenjak penetapan praperadilan.11

Berdasarkan pengaturan-pengaturan yang telah diuraikan, dapat terlihat bahwa bantuan hukum disebut sebagai ‘hak’ yang ada pada tersangka. Adapun pengertian ‘hak’ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kekuasaan seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu12. Sehingga melihat ketentuan mengenai bantuan hukum pada proses penyidikan dapat diartikan bahwa merupakan pilihan tersangka mengenai apakah ingin menggunakan hak nya untuk mendapatkan bantuan hukum ataupun tidak. Kendati demikian, merupakan tanggung jawab pejabat yang berwenang untuk menginformasikan tentang adanya hak tersebut. Jika seseorang meminta untuk hak nya digunakan maka haruslah permintaan itu dipenuhi.

Dalam hal terjadinya tertangkap tangan dan tersangka yang ditangkap ingin meminta hak nya untuk mendapatkan bantuan hukum berupa pendampingan maka penyidik harus memenuhi hak tersebut. Meskipun jangka waktu penangkapan kemungkinan habis sebelum dilakukannya pemeriksaan, penyidik dengan barang bukti yang dia dapatkan saat melakukan penangkapan dapat mengurus penetapan penahanan terlebih dahulu. Namun, apabila tidak ada ataupun kurangnya barang bukti maka sudah sewajarnya untuk tersangka tersebut dilepaskan dan setelahnya penyidik dapat melakukan prosedur pemanggilan dengan surat panggilan yang sah atau apabila tersangka tetap tidak datang maka dapat dilakukan penangkapan dengan surat perintah penangkapan.

IV.Kesimpulan sebagai Penutup

  • 4. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik setelah melakukan penelitian yang telah diuraikan diatas adalah, Bantuan hukum merupakan hak setiap orang yang memenuhi syarat penerimaan bantuan hukum. Bantuan hukum berupa pendampingan dapat diberikan sejak proses penyidikan. Namun, pengaturan mengenai pemberian bantuan hukum hanya menggunakan jangka waktu hari kerja. Sedangkan, tertangkap tangannya seseorang dapat terjadi sewaktu-waktu dan KUHAP hanya memberikan batasan penangkapan dilakukan paling lama satu hari. Dalam hal seseorang tertangkap tangan, orang tersebut memiliki hak untuk meminta bantuan hukum meskipun jangka waktu penangkapan dalam KUHAP paling lama hanya satu hari. Jika tersangka meminta haknya untuk mendapatkan bantuan hukum, maka penyidik harus memenuhi hak terangka tersebut. Apabila waktunya tidak dimungkinkan maka penyidik dapat melakukan penetapan penahanan atau apabila tidak cukup barang bukti untuk melakukan penahanan maka tersangka dilepaskan dan penyidik melakukan prosedur pemanggilan tersangka. Setelahnya jika surat pemanggilan tidak di tanggapi oleh tersangka maka dapat diupayakan penangkapan dengan surat perintah penangkapan. Sehingga bantuan hukum harus tetap diberikan kepada orang yang membutuhkan dan meminta.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Maringka, Jan S. Ekstradisi Dalam Sistem Peradilan Pidana. Sinar Grafika, 2022.

Soekanto, Soerjono, and Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat Cet XVII. Rajawali Pers, Jakarta 2015.

Witanto, D. Y. Hukum Acara Praperadilan Dalam Teori Dan Praktik: Mengurai Konflik Norma dan Kekeliruan dalam Praktik Penanganan Perkara Praperadilan. PT imaji cipta karya, 2020.

JURNAL ILMIAH

Afandi, Fachrizal, Nabilla Desyalika Putri, Muhammad Fajar Sidiq Widodo, and Lathifah Aini Rahman. "Problematika Pemberian Bantuan Hukum Pasca Pemberlakuan Undang Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum." Keadilan Sosial (2014).

Andyanto, Hidayat. "Pertanggungjawaban Penyidik Terhadap Terjadinya Salah Tangkap". Fakultas Hukum Universitas Wiraja Sumenep. Jurnal jendela Hukum Volume 5 Nomor 2. (2018).

Angga, Angga, and Ridwan Arifin. "Penerapan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Kurang Mampu di Indonesia." Diversi: Jurnal Hukum 4, no. 2 (2019).

Ferdinanto, Dino. "Pelaksanaan Bantuan Hukum Dalam Melindungi Hak Tersangka Dan Terdakwa Pada Proses Penyidikan Dan Penuntutan Berdsarkan UU Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum." Lex Privatum 11, No. 4 (2023).

Gozali, Marcelino H. "Pemberian Bantuan Hukum Bagi Tersangka Dalam Proses Penyidikan." Lex Crimen 10, No. 5 (2021).

Makagansa, Riman Irfanto. "Tertangkap Tangan Sebagai Pengecualian Terhadap Penangkapan Menurut KUHAP." Lex Privatum 4, no. 2 (2016).

Pangestuti, Erly. "Tugas Penyidik Di Dalam Melaksanakan Pemeriksaan Terhadap Tersangka Residivis." Yustitiabelen 6, no. 2 (2020).

Pitriani, Pitriani. "Peran Bantuan Hukum Terhadap Perlindungan Hak-Hak Tersangka Dan Terdakwa Yang Tidak Mampu." Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum 13, no. 1 (2015).

SKRIPSI DAN TESIS

Afrizal, Afrizal. "Rekonstruksi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Salah Tangkap (Error In Persona) Di Tingkat Penyidikan Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Acara Pidana." PhD diss, Universitas Muhammadiyah Malang, (2020).

Syintia, Mega. “Pertanggungjawaban Hukum Akibat Praktik Salah Tangkap Atau Eror In Persona Dalam Kasus Pembunuhan Anggota Polri Di Aceh Utara (Studi Kasus Di Polda Aceh)”. Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Tesis Program Magister. (2019)

Wahyudi, Muhammad Alrico. "Proses Pendampingan Hukum Korban Kekerasan Dalam Pemeriksaan Di Kepolisian (Studi Di Kontras Sumut)." Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Skripsi Program Sarjana. (2020).

HASIL SEMINAR

Pratama, Rahmadhany Septian. "Peran Lembaga Bantuan Hukum Dalam Kasus Penangkapan Korban Aksi Tolak Uu Omnibus Law Di Surabaya." In Seminar Nasional-Kota Ramah Hak Asasi Manusia, vol. 1, pp. 478-487. (2021).

INTERNET

Indonesia, Kamus Besar Bahasa. "Kamus Besar Bahasa Indonesia Online." Diunduh dari http://kbbi. web. id (2016). Diakses pada tanggal 23 Januari 2023

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 3209)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5248)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5421)

Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 4 Tahun 2023 hlm 389-400

400