PERAN RESTORATIVE JUSTICE DI INDONESIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

Made Anggina Ahalya Putri, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Gusti Ayu Stefani Ratna M, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan studi ini adalah untuk menyelidiki pentingnya memasukkan keadilan restoratif ke dalam sistem peradilan pidana Indonesia dan tempat keadilan restoratif dalam sistem tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian yuridis normatif dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum melalui kajian literatur, khususnya dengan mengkaji peraturan restorative justice dan literatur lain yang relevan. Menurut temuan penelitian, Keadilan Restoratif adalah metode penegakan hukum dan melakukan kejahatan yang juga melibatkan keterlibatan masyarakat dan mengutamakan kebutuhan korban dan pelaku. Dalam sistem peradilan pidana Indonesia yang komprehensif, konsep restorative justice belum dilaksanakan secara terpadu. Konsep keadilan restoratif perlu dimasukkan ke dalam rancangan hukum pidana dan sistem pelaksanaan hukum pidana dengan fokus pada pencapaian keadilan bagi pelaku kejahatan dan korbannya serta keseimbangan perlakuan hukum.

Kata Kunci: Restorative Justice, Pelaku, Korban.

ABSTRACT

The study's objective is to investigate the importance of incorporating restorative justice into Indonesia's criminal justice system and the place of restorative justice in that system. This study employs a normative juridical research approach by collecting legal materials through literature review, specifically by examining restorative justice regulations and other relevant literature. According to the study's findings, Restorative Justice is a method of enforcing the law and committing crimes that also involves community involvement and prioritizes the needs of victims and perpetrators. In Indonesia's comprehensive criminal justice system, the concept of restorative justice has not been implemented in an integrated manner. The concept of restorative justice needs to be incorporated into the draft criminal law and the criminal law implementation system with a focus on achieving justice for criminals and their victims and balancing legal treatment.

Key Words: Restorative Justice, Actors, Victims.

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Tindak Pidana atau kejahatan definisi mendasar pada hukum pidana (mengatur keadilan). Kejahatan atau tindakan pidana bisa dijelaskan dari segi hukum maupun kriminologis. Tindak pidana atau pelanggaran ringan dalam arti hukum merupakan perilaku yang abstrak dalam hukum pidana. Menurut Simmons, kejahatan didefinisikan sebagai perbuatan di mana seseorang melanggar hukum pidana, sengaja maupun tidak, yang dapat dimintai pertanggungjawabannya dan dinyatakan dapat dihukum oleh hukum pidana.

Dalam tindak pidana terdapat beberapa pihak terlibat, korban dan pelaku. Pihak-pihak saling berhubungan secara langsung. Yang mana diartikan terdapat korban yangmana pihak dirugikan oleh si pelaku. Kejahatan memperlihatkan sebuah dinamika sosial bagian kehidupan masyarakat dan sering terjadi peristiwa seperti penipuan, pemerkosaan, perampokan, penodongan atau kejahatan-kejahatan lainnya.1 Dengan kebiasaan ini, ketika terjadi kejahtan, masyarakat akan memilih jalur litigasi secara teoritis dan konseptual yang dianggap akan membawa keadilan.2 Harus diakui proses penyelesaian masalah melalui pengadilan dianggap sebagai win-win solution, dengan ciri demikian, akan ada yang menang dan ada yang kalah. Dalam realitas yang demikian, penyelesaian perkara melalui jalur peradilan adat seringkali menimbulkan perasaan tidak enak, dendam, ketidakpuasan, ketidakadilan, bahkan dendam. Pihak yang kalah biasanya akan mengajukan banding atau kasasi sehingga peristiwa seperti ini menyebabkan penumpukan perkara, arus perkara melaju dengan sangat cepat yang terdapat pada Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.

Penuntasan masalah pada jalur litigasi yang berpuncak pada putusan pengadilan, penegakan hukum berjalan lambat dan harus melewati semua tingkatan. Pada akhirnya akan berdampak pada menumpuknya sejumlah besar perkara di peradilan. Bahkan sering kali peristiwa ini dijadikan kesempatan untuk maraup keuntung sehingga menyebabkan peluang untuk terjadinya korupsi, kolusi serta nepotisme dengan adanya alur perkara yang panjang dan mahal.3 Selain menyebabkan tunggakan kasus, contohnya seperti kasus Aminah yang melakukan pencurian kakao yang senilai Rp. 2.500,- (Dua Ribu Lima Ratus Rupiah) pencurian semangka, sandal jepit bahkan piring, serta beberapa yang serpa dengan kasus tersebut seharusnya tidak dituntut dan masuk ke pengadilan. Sering kalipun keputusan hakim dalam kasus-kasus seperti ini dan kasus serupa dianggap kurang memenuhi rasa kemanusiaan dan keadilan hingga menimbulkan komen negatif dari masyarakat.

Kehidupan masyarakat sangat erat kaitannya dengan sistem hukum. Padahal, seiring dengan dinamika masyarakat yang semakin kompleks berubah, hukum juga harus berubah untuk mencakup persyaratan berikut untuk setiap zaman. Selain membawa dampak yang menguntungkan bagi kehidupan manusia, kebangkitan peradaban manusia juga tak pelak lagi menebar benih-benih kejahatan baru yang menuntut penanganan semua pihak secara cepat dan efektif. Mengingat hal ini, sangat penting bagi setiap lembaga penegak hukum untuk menumbuhkan nilai-nilai masyarakat dan kesadaran hukum. Menurut Mochtar Kusuma Atmadja, undang-undang dirancang untuk mencerminkan persepsi publik atau sesuai Penyimpangan-penyimpangan tersebut telah menciptakan kondisi yang menyebabkan stagnasi

penegakan hukum (law enforcement). Sistem peradilan merupakan jalan yang baik dan sehat yang akan mampu menjamin keadilan, keselamatan dan keamanan warga negara, serta kemampuan untuk mendapatkan kepercayaan dan kehormatan masyarakat.

Pemolisian terdiri dari kerangka yang disatukan yang mengkonsolidasikan kerangka hukum dan pengaturan kekuatan hukum. Sistem peradilan pidana merupakan proses panjang yang logis yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Menurut Soerjono Soekanto, pemolisian adalah usaha untuk memahami pemikiran dan gagasan tentang peraturan, sebagaimana yang dianggap oleh sebagian besar warga sebagai hal yang wajar untuk diwujudkan menjadi kenyataan. akibatnya, hukum dan ketertiban adalah sebuah siklus yang mencakup dan selanjutnya dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya, kantor yang sah, kepolisian, atau dukungan, masyarakat dan tradisi individu. Sistem penegakan hukum adalah suatu sistem tindakan bila dipandang fungsional karena mencakup banyak kegiatan yang dilakukan dalam rangka aparat penegak hukum negara, seperti polisi, legislator, lembaga pemerintah (bestuur), dan aparat eksekusi. 4

Oleh karena itu, sistem penegakan hukum adalah sistem tindakan sejak undang-undang diundangkan kebijakan atau upaya pemberantasan kejahatan merupakan komponen yang diperlukan dari upaya perlindungan masyarakat. Namun, metode ilegal yang digunakan untuk memberantas korupsi dan kejahatan belum memberikan dampak terbesar bagi para penjahat. Seringkali ditemukan bahwa pelaku hanya menjalankan hukumannya tanpa mempertimbangkan apa perbuatannya atau bagaimana hal itu berdampak pada korban dan dirinya sendiri.5

Penegakan sering dipandang sebagai bentuk sanksi pidana atau hukuman. Selain menerapkan hukum acara, penegakan hukum juga bertumpu pada peraturan yang telah ditetapkan. Penegakan hukum Indonesia saat ini dinilai gagal mencapai tujuan UU karena menganut doktrin "communis opinio doctorum". Oleh karena itu, pemolisian seharusnya menggunakan metodologi sosial-sosial dan bukan pendekatan yang mengatur. Ironisnya, hampir semua pelanggaran yang ditangani oleh sistem peradilan Indonesia selalu berakhir dengan penahanan. Sebuah konsep hukuman yang dikenal sebagai keadilan restoratif diperkenalkan sebagai respon terhadap kejahatan yang dapat dipulihkan. Program utamanya adalah untuk mempertemukan para pihak agar dapat menemukan cara memperbaiki hubungan dan memperbaiki kerusakan akibat kejahatan (perdamaian).6

Perihal berbagai permasalahan yang telah diuraikan di atas, dalam perkembangan terakhir telah muncul alternatif melalui penerapan konsep keadilan restoratif. Konsep ini bertujuan untuk menangani perilaku karena menawarkan solusi yang tepat. Keadilan restoratif memperbaiki perilaku ilegal dengan meyakinkan dan menyadarkan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat untuk menyikapi kejahatan, keberadaan pendekatan keadilan restoratif dalam hukum pidana tidak dalam kerangka filosofis dimaksudkan untuk meniadakan atau menggabungkan hukum perdata dengan hukum pidana, mediasi antara korban dan pelaku merupakan pendekatan keadilan restoratif. Pendekatan restorative justice sebenarnya sesuai dengan asas

ultimum remedium yaitu jalan yang dipilih ketika upaya hukum lain tidak lagi efektif untuk menangani kejahatan sosial. Dalam praktiknya, proses peradilan restoratif dan penyelesaian perkara pidana menawarkan alternatif dari beberapa permasalahan yang dihadapi oleh sistem peradilan pidana, seperti urusan administrasi yang panjang, perkara yang menumpuk atau putusan pengadilan yang tidak memperhatikan urgensitas korbannya.7

Peneliti membuat penulisan ini sangat mengedepankan unsur orisinalitas dan unsur kebaharuan, tulisan ilmiah ini dibuat dengan pemikiran sendiri dan orisinil tanpa memiliki maksud untuk melakukan suatu tindakan plagiat. Walaupun dalam pembuatan tulisan ilmiah ini terdapat tulisan-tulisan ilmiah terdahulu yang menyerupai daripada tulisan ilmiah ini, namun tulisan ilmiah ini memiliki pembaharuan didalamnya sehingga untuk membuktikan itu semua dilakukan perbandingan dengan tulisan terdahulu yaitu, tulisan ilmiah yang dibuat oleh Hariman Satria. Yang terbit pada Jurnal Media Hukum dengan judul "Restorative Justice: Paradigma Baru Peradilan Pidana", yang dimana jurnal tersebut lebih mengangkat tentang restorative justice dalam peradilan pidana anak di Indonesia juga membahas kenakalan anak yang dasar hukumnya lebih mengacu pada UU Sistem Peradilan Pidana Anak juga mengangkat tentang bagaimana konsep peradilan pidana. Sementara tulisan ini lebih mengedepankan kepada kedudukan restorative justice serta urgensi penerapannya di Indonesia secara umum.8

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Sehubung masalah yang terdapat pada latar belakang, maka Penulis mengambil 2 (dua) permasalahan yang akan diangkat, yaitu:

  • 1.    Bagaimana kedudukan restorative justice ditinjau dari sistem peradilan pidana Indonesia?

  • 2.    Bagaimana urgensitas implementasi restorative justice dalam sistem peradilan pidana di indonesia?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana kedudukan restorative justice ditinjau dari sistem peradilan pidana Indonesia, serta mengetahui bagaimana urgensitas implementasi restorative justice dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

  • II.    Metode Penelitian

Metode penelitian yang menggunakan metode yuridis normatif, yaitu analisis yang didasari pada prinsip hukum, norma dan segala hukum positif , teori dan doktrin hukum, kasus, dan literatur lain yang terkait dengan topik penelitian.9 Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui penelitian kepustakaan, yaitu dengan mengkaji undang-undang dan berbagai literatur yang berkaitan dengan subjek penelitian. Persoalan-persoalan yang berkaitan dengan penerapan prinsip restorative justice dalam sistem peradilan pidana Indonesia dianalisis dengan metodologi pendekatan yuridis.

Dalam penelitian ini terdapat problematika norma kosong dimana belum terdapat peraturan yang secara langsung mengatur mengenai Restorative Justice.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Kedudukan restorative justice ditinjau dari sistem peradilan pidana Indonesia

Penegakan hukum di Indonesia erat hubungannya dengan "Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981" yang biasa kita sebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mana penegakan hukum harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di negara-negara tertentu, ketidakpuasan dan kekecewaan terhadap kerangka keadilan konvensional telah kembali ke kebutuhan untuk mengikuti dan memperkuat peraturan standar dan keadilan tradisional terus berjalan, mendorong seruan untuk pilihan yang bertentangan dengan pelanggaran dan masalah sosial. Karena banyaknya opsi lain, ini memberikan peluang potensial bagi pertemuan terkait untuk mengambil bagian dalam menyelesaikan masalah dan memutuskan hasil mereka. Program keadilan restoratif didasarkan pada gagasan bahwa setiap orang yang terlibat dalam perselisihan perlu menjadi bagian dari solusi untuk menghindari atau mengurangi konsekuensi negatif. Mereka mungkin juga dimotivasi oleh keinginan untuk memulihkan struktur masyarakat dan pengambilan keputusan lokal dalam beberapa hal. Selain itu, strategi ini dipandang sebagai sarana untuk memupuk toleransi dan inklusi, memupuk rasa hormat terhadap keragaman, dan mendorong praktik sosial yang bertanggung jawab.10

Keadilan restoratif, juga dikenal sebagai keadilan reparatif, adalah strategi hukum yang mengutamakan kebutuhan korban dan juga pelaku, meskipun tidak selalu berpegang pada hukum dan hukuman pidana. Korban adalah bagian dari proses dalam kasus ini, dan pihak yang bersalah harus bertanggung jawab atas perbuatannya dengan memperbaiki kerusakan yang ditimbulkannya dengan mengembalikan uang yang dicuri, meminta maaf, dan melayani masyarakat. Keadilan Restoratif membantu penjahat dalam meminimalkan pelanggaran di masa depan. Dengan syarat pelaku harus dimintai pertanggungjawaban, korban mendapat bantuan dari Restorative Justice, dengan pendampingan keluarga dan masyarakat jika diperlukan. Oleh karena itu, Keadilan Restoratif mengacu pada penyelesaian yang adil yang melibatkan individu terkait untuk mencapai keadilan bagi korban atau pelaku. Keadilan restoratif juga mengacu pada proses mewujudkan keadilan bagi pelaku atau korban.11

Hukum yang perkembangan mulai dari dari anggapan dasar jika hukum yaitu guna individu, bukan kebalikannya. Hukum bukan selaku institusi yang berwatak total, melainkan selaku institusi tahu adat, bernurani serta karenanya ditetapkan oleh kedapatannya guna berkorban terhadap individu. Hukum yaitu sesuatu institusi yang bermaksud guna membawakan individu terhadap kehidupan yang seimbang, tenteram serta menciptakan individu senang. Keindividuan serta keseimbangan selaku tujuan dari seluruhnya dalam kita berkehidupan hukum. Ini berarti, jika kemanusiaan serta keseimbangan tampak di sehubungan hukum. Intinya yaitu penekanan tampak pemertahanan hukum berkeseimbangan yang di Indonesia yakni

terciptanya ketenteraman publik maupun yang kerap diujarkan dengan “publik yang adil serta makmur”.12

Restorative justice selaku skema pemerataan senantiasa seirama dengan pandangan jika skema pemisertaaan itu patutlah menyorongkan keseimbangan, yang dijelaskan dengan sebutan keseimbangan teratur, yakni keseimbangan untuk pelaku, keseimbangan untuk korban serta keseimbangan untuk publik. Pada pihak yang berperpecahan. hadirnya konsep restorative justice selaku kritik sehubungan implementasi sistem peradilan kriminalitas dengan kurungan yang disangka tidak efisien menuntaskan perpecahan sosial. Prinsip-Prinsip Dasar, berupa “hasil restoratif” yaitu perjanjian yang diraih selaku hasil dari sesuatu teknik restoratif. Tuntutan dapat berupa reparasi, restitusi, dan kompensasi guna mengisi keinginan perseorangan serta bersama-sama serta tanggung jawab bermacam pihak serta menyentuh reintegrasi korban serta pelaku. Hal ini juga dapat dipadukan dengan metode-metode lain dalam perkara yang menyertakan pelanggaran serius.13

Munculnya skema restorative justice tidak artinya menghilangkan kriminalitas pada pemidaan penjara, maka kriminalitas penjara tetap mampu digunakan. Skema restorative justice yakni sesuatu skema yang mampu beroperasi selaku akselerator dari landasan peradilan sederhana, cepat dan ringan biaya, alhasil lebih menjamin terpenuhinya ketegasan hukum serta keseimbangan publik. Terdapat kemajuan pada praktek sistem peradilannya tentang skema tujuan pemidanaan, mulai retribution yang merupakan penebusan dosan dengan memberikan ganjaran pada seorang yang pernah melaksanakan kenakalan, tanpa patut menatap imbas serta utilitas lebih jauh. seterusnya ada skema restraint yang bermaksud menjauhkan pelaku kenakalan dari kehidupan publik, agar publik nyaman, damai, lepas dari keharuan dari tingkah laku kenakalan seperti memiliki serta skema deterrence tersendiri serta general deterrence, yang dimaksudkan biar sanksi menciptakan si pemain merasa insaf maupun sekalian tertuju agar dijadikan ilustrasi publik biar tidak melaksanakan kenakalan sebelumnya, setelah itu yaitu skema reformation maupun rehabilitation, sesuatu tatanan penghukuman yang dimaksudkan guna membenarkan maupun merehabilitasi si pemain kenakalan biar sehat selaku orang bagus yang mampu diperoleh lagi di kawasan publiknya.14

Dalam proses penyelesaian masalah pidana di Indonesia telah muncul konsep penegakan hukum pidana dengan sarana non penal, namun masih diperlukan pengembangan lebih lanjut. Sebagian besar masyarakat masih sering salah paham terhadap gagasan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, menganggap bahwa semua persoalan hukum, terutama yang berkaitan dengan hukum pidana, harus diselesaikan melalui jalur hukum. Dalam teori retributif, gagasan pembalasan sudah terlalu kuno sekarang, tetapi akan terus digunakan di Indonesia karena penegakan hukum tidak boleh hanya berpikir sempit bagaimana menyelesaikan persoalan hukum yang muncul pada saat itu. Prosedur penegakan hukum pidana yang masih berdasarkan KUHP/WvS Belanda terus mendukung dan memungkinkan perluasan penegakan hukum non-penal, khususnya prinsip-prinsip Restorative Justice. Restorative Justice merupakan proses penegakan hukum, namun tidak menyentuh sisi

hukum pidana sekalipun. Sebaliknya, ini lebih menekankan pada kebutuhan korban dan pelaku, dan melibatkan partisipasi masyarakat daripada sekadar memenuhi persyaratan hukum atau hukuman. Dalam hal ini, masyarakat akan beranggapan bahwa hukuman non-pidana tidak akan menimbulkan putusan yang adil bagi pelaku.15

Namun, penting untuk menyelidiki lebih lanjut fakta bahwa hukuman pidana tidak selalu memberikan keadilan bagi kedua belah pihak. Begini: ini adalah kasus kecelakaan di mana seseorang meninggal. Pelanggar dapat menerima denda dan/atau hukuman penjara, misalnya, jika kasus ini dilaporkan ke pihak berwenang dan ditangani. Apa yang akan terjadi jika pelanggar gagal membayar denda? Dia mungkin menghadapi hukuman pidana tambahan, termasuk maksimal enam bulan penjara. Dia dapat menjalani kehidupan normalnya dan melupakan apa yang terjadi sekarang karena tanggung jawab pidananya telah diselesaikan dan proses hukuman pidana telah berakhir. Dia tidak bisa lagi merasa menyesal dari cara yang mungkin dianggap sebagai pembayaran untuk membayar kesalahannya. Sesuai dengan konsep keadilan restoratif, keluarga korban kecelakaan dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan mempertimbangkan kerugian yang diderita korban. Misalnya kewajiban apa yang disampaikan si korban semasa hidupnya (misal si korban adalah seorang ayah yang membiayai anak-anaknya) kemudian dapat menengahi dengan pihak yang bersalah, mewajibkan si pelaku meminta maaf kepada kelompok orang yang bersangkutan, diminta membayar kepada pelakunya sebagai tanggung jawab atas kegiatan yang telah selesai, misalnya sejumlah uang tunai yang nilainya diperkirakan dalam jangka waktu tertentu, dan beberapa latihan yang berbeda. Kami berpikir bahwa hal seperti ini akan membuat pelaku merasa memiliki tanggung jawab baru karena kecerobohannya. Pelaku yang diwajibkan untuk melakukannya tidak diragukan lagi melakukan upaya sadar untuk memperbaiki kesalahan mereka dan berhati-hati agar mereka tidak mengulanginya di masa depan dan menyebabkan kerugian.

Keadilan restoratif didasarkan pada gagasan bahwa kejahatan yang mengakibatkan kerugian harus dikompensasikan—tidak hanya oleh korban tetapi juga oleh masyarakat secara keseluruhan. Untuk membantu mengurangi dan memperbaiki kesalahan dan penyimpangan dalam masyarakat yang terkena dampak, anggota masyarakat harus berpartisipasi. Menghormati dan menghargai korban dengan mewajibkan pemain untuk kembali menjalani rehabilitasi dan akibat dari kejahatan. Perpindahan pandangan dari replika penghukuman kuno yaitu dengan terdapatnya replika penghukuman yang memberikan keseimbangan, lebih-lebih keseimbangan yang ditunjukan pada keseimbangan publik. tentang ini yakni sesuatu titik dahulu maupun dasar lahirnya restorative justice di negeri manapun. terdapatnya perpindahan pandangan itu mengekspos jika dalam sistem peradilan kriminalitas. Berlangsung sesuatu usaha guna memberikan atensi serta uraian pada pengerjaan sesuatu perkara aksi kriminalitas yang dilakoni dengan tujuan tercapainya keseimbangan guna seluruhnya pihak yang terpaut dalam aksi.

Keadilan restoratif belum sepenuhnya diterapkan dalam sistem hukum Indonesia. Karena itu, ada sejumlah perubahan gagasan keadilan restoratif. Akibatnya, penggunaannya di Indonesia belum diterapkan atau masuk dalam kategori “bisa restoratif”, bahkan kita belum sampai pada tahap “restoratif parsial”. Namun di Indonesia, restorative justice telah mendapatkan perhatian dan pengakuan sebagai pendekatan yang potensial dalam sistem peradilan pidana. Meskipun belum

sepenuhnya terintegrasi dalam sistem peradilan, beberapa langkah telah diambil untuk memperkenalkan dan menerapkan prinsip-prinsip restorative justice di Indonesia.16 Pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman tepatnya pada Pasal 5 dengan tegas menyebutkan bahwa hakim wajib menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (the living law atau local wisdom). Dengan demikian, pada hakikatnya hakim dapat menerapkan pendekatan atau konsep keadilan restoratif (restorative justice) dalam menyelesaikan perkara karena pendekatan atau konsep keadilan restoratif (restorative justice) sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia yakni Pancasila, sesuai dengan nilai-nilai hukum adat dan sesuai pula dengan nilai-nilai agama.17

  • 3.2    Urgensitas implementasi restorative justice dalam sistem peradilan pidana di Indonesia

Sasaran hukum pidana merupakan memelihara kedisiplinan serta ketentraman. Bila metode yang ditempuh, salah satunya merupakan pemulihan, yang sudah menciptakan kedisiplinan serta kedamaian, hingga tujuan pemidanaan sudah tercapai, serta tidak butuh pemidanaan. Telah sepantasnya penindakan masalah pidana mencerminkan rasa keadilan dalam warga serta pendekatan kemanusiaan yang lebih imparsial lebih digalakkan serta diutamakan daripada pendekatan legalis resmi yang tidak hendak menghasilkan keadilan dalam warga. Peradilan pidana mempunyai tiga wujud, ialah:

  • 1.    Keadilan retributif,ialah menekankan hukuman pada sikap pelaku.

  • 2.    Keadilan distributif, yaitu menekan utamanya rehabilitasi penjahat.

  • 3.    Keadilan restoratif secara garis besar dapat disamakan dengan asas restitusi, yang menekankan tanggung jawab pelaku sebagai upaya pemulihan penderitaan korban, terlepas dari kepentingan rehabilitasi pelaku dan penegakan serta pemeliharaan ketertiban umum. Secara umum, prinsip keadilan restoratif adalah meminta pertanggungjawaban pelaku atas kerugian yang disebabkan oleh tindakan mereka. Libatkan korban dan pemangku kepentingan lainnya dalam pemecahan masalah dan buat hubungan langsung dan otentik antara kesalahan dan tanggapan sosial formal.

Lewat penjelasan di atas, dikenal terdapat perbandingan ciri antara pendekatan keadilan retributif serta keadilan restoratif. Keadilan retributif menekankan kepada pemberian hukuman kepada pelaku, penolongan pemulihan pelaku dan memperkuat keamanan dan keselamatan masyarakat.18

Intinya dapat diartikan bahwa restorative justice memiliki prinsip-prinsip pokok sebagai berikut:19

  • 1.    Mencoba untuk menyelesaikan konflik antara pelaku kejahatan dan korbannya tanpa menggunakan litigasi. Mencari kesepakatan win-win solution

  • 2.    Peluan pelaku kejahatan untuk dimintai pertanggungjawaban dengan membayar kerugian yang diakibatkan oleh perbuatannya Dihimbau kepada pelaku untuk memikul tanggung jawab terhadap korbannya. serta menanamkan rasa tanggung jawab untuk menghindari pelanggaran di masa depan.

  • 3.    Menyelesaikan peraturan pidana yang mengikat antara pelaku kejahatan demonstrasi dan korban kejahatan demonstrasi dengan asumsi tercapai kesepahaman dan pengaturan di antara pertemuan tersebut. mencoba untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih pribadi dan sistematis, daripada dalam pengaturan pengadilan formal.

  • 4.    Kegiatan melawan hukum untuk mengklasifikasikan peristiwa atau tindakan kriminal sebagai tindakan kekerasan. Lebih mengutamakan pertanggungjawabam korban daripada pertanggungjawaban hukum.

Keadilan yang tercipta dari pendekatan restoratif bukan hanya dilihat dari segi menang atau kalah. Proses keadilan restoratif dirancang untuk memfasilitasi komunikasi orang-orang yang merasakan akibat. Termasuk korban, pelaku, pendukung dan masyarakat luas. Prosesi mediasi antara pelaku dan korban adalah hal mendasar yang terpenting dalam implementasi keadilan restoratif. Dengan mediasi, pihak yang dirugikan bisa mengemukakan perasaannya dan mengungkapkan hak dan aspirasinya melalui penyelesaian kasus pidana. Perihal ini mengharapkan warga dapat berpartisipasi dalam mewujudkan hasil nyata serta memantau penerapannya. Mediasi yang kerap kita dengar pada dasarnya disebut Restorative justice. Perkara-perkara kasus kejahatan yang bisa dituntaskan pada jalur nonlitigasi dengan restorative justice yaitu:20

  • 1.    Pidana biasa yang diberhenntikan dan tidak diproses peradilan (deponir) oleh Jaksa Agung sesuai wewenangnya

  • 2.    Pidana tergolong dalam delik aduam, aduan yang bersifat relatif ataupun aduan yang bersifat mutlak.

  • 3.    Pelanggaran dalam bidang administrasi dimana sanksi pidana sebagai upaya terakhir

  • 4.    Pidana tersebut termasuk kategori ringan

  • 5.    Pidana yang dikategorikan sebagai “pelanggaran” bukan “kejahatan” yang hanya diancam dengan hukuman denda

  • 6.    Pidana kesehatan yang disebabkan kealpaan para tenaga medis

  • 7.    Pidana yang diancam dengan pidana denda dan pelanggar sudah membaya denda tersebut

  • 8.    Pidana adat yang diselesaikan oleh Lembaga Adat

Evolusi pada sistem peradilan dijawab oleh adanya keadilan restoratif dimana menghubungan masyarakat dengan para korban pidana . Lembaga penegak hukum dalam menanggapi kejahatan dapat memberikan suasana yang adil dalam mengembalikan kondisi. Memahami dan menangani kejahatan dengan cara mengembalikan kondisi dan menawarkan pendekatan yang berbeda. Bila proses mediasi berhasil mencapai kesepakatan, kesepakatan tersebut akan ditetapkan oleh hakim. Namum ketika mediasi tidak berhasil digapai, perkara dilanjutkan ke termin persidangan.21

  • IV. Kesimpulan

Suatu pendekatan keadilan yang dikenal sebagai keadilan restoratif melibatkan keterlibatan masyarakat selain penegakan hukum dan pelaksanaan kejahatan dan menekankan pada persyaratan baik daripelaku ataupun korbannya. Pelaku didorong untuk bertanggung jawab atas perbuatannya dengan meminta maaf, mengembalikan

uang yang dicuri, atau menawarkan untuk memperbaiki kerusakan. Korban juga terlibat dalam kasus ini. Metodi ini menyasarkan menggunakan keyakinan dan kesadarann untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat, keadilan restoratif bertujuan memberdayakan pelaku, korban, keluarga, dan masyarakat untuk memperbaiki perilaku yang salah. Konsep keadilan restoratif belum diterapkan secara menyeluruh pada sistem peradilan pidana Indonesia. Konsep keadilan restoratif harus diintegrasikan ke dalam sistem penegakan hukum pidana dan rencana peradilan pidana, menekankan keseimbangan keadilan dan perlakuan hukum untuk mencapai keadilan bagi pelaku dan korban kejahatan. Penangkalan, tujuan akhir dari hukuman, tidak lagi penting, sehingga penerapan sistem penjara di Indonesia harus diretas. Kasus pidana tidak hanya tentang hukuman, tetapi yang lebih penting tentang penerapan keadilan restoratif.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Afif, Afthonul. Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.

Ferry, Fathurokhman, and Yulia Rena. Restorative Justice, Paradigma Baru Hukum Pidana. 2016.

Yusuf, Anas. Implementasi restorative justice dalam penegakan hukum oleh POLRI demi mewujudkan keadilan substantif. Buku Dosen-2016, 2017.

Yunus, Ahmad Syahril. Restorative Justice Di Indonesia. Guepedia, 2021.

JURNAL

Arafat, Yasser. "Penyelesaian Perkara Delik Aduan Dengan Perspektif Restorative Justice." Borneo Law Review 1, no. 2 (2017): 127-145.

Arief, Hanafi, and Ningrum Ambarsari. "Penerapan Prinsip Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia." Al-Adl: Jurnal Hukum 10, no. 2 (2018): 173190.

Capera, Brilian. "Keadilan Restoratif Sebagai Paradigma Pemidanaan Di Indonesia." Jurnal Lex Renaissance 6, no. 2 (2021): 225-234.

Dinata, Umar. "Implementasi Prinsip Restorative Justice Berdasarkan Victim Oriented Dalam Diversi Guna Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Pada Unit Ppa Satreskrim Polres Pesisir Selatan)." UNES Law Review 2, no. 4 (2020): 444-453.

Flora, Henny Saida. "Pendekatan restorative justice dalam penyelesaian perkara pidana dalam sistem peradilan pidana di Indonesia." Law Pro Justitia 2, no. 2 (2019).

Flora, Henny Saida. "Keadilan Restoratif Sebagai Alternatif Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Dan Pengaruhnya Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia." University Of Bengkulu Law Journal 3, no. 2 (2018): 142-158.

Ginting dkk. "Pemaafan Oleh Korban Dan/Atau Keluarga Korban Terhadap Pelaku Tindak Pidana Ditinjau Dari Hukum Pidana Islam Dan RUU KUHP Sebagai Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan." Usu Law Journal 6, no. 2 (2017): 124-132.

Hambali, Azwad Rachmat. "Penegakan Hukum Melalui Pendekatan Restorative Justice Penyelesaian Perkara Tindak Pidana." Kalabbirang Law Journal 2, no. 1 (2020): 6977.

Pangemanan, Jefferson B. "Pertanggungjawaban Pidana Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia." Lex et Societatis 3, no. 1 (2015): 101-108.

Satria, Hariman. "Restorative Justice: Paradigma Baru Peradilan Pidana." Jurnal Media Hukum 25, no. 1 (2018): 111-123.

Setyowati, Dewi. "Memahami Konsep Restorative Justice sebagai Upaya Sistem Peradilan Pidana Menggapai Keadilan." Pandecta Research Law Journal 15, no. 1 (2020): 121-141.

Siregar, Muhammad Yusuf, and Zainal Abidin Pakpahan. "Diskresi Kepolisian dalam Memberhentikan Perkara Pidana Karena Adanya Perdamaian oleh Lembaga Kepolisian Resort Labuhanbatu Dilihat dari Segi Hukum." Jurnal Ilmiah Advokasi5, no. 2 (2017): 66-93.

Wulandari, Cahya. "Dinamika Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia." Jurnal Jurisprudence10, no. 2 (2021): 233-249.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana LN. 1981/ No.76, TLN. No.3209

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman LN. 2009/ No. 157, TLN No. 5076

Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 4 Tahun 2023 hlm 401-411

411