ANALISIS YURIDIS TERKAIT SANKSI KEBIRI KIMIA

PELAKU KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK
MENURUT HAK ASASI MANUSIA

I Dewa Gede Agung Rama Putera, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: [email protected]

Diah Ratna Sari Hariyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini ditujukan dalam menganalisis mengenai pengaturan sanksi kebiri kimiawi kepada pelaku kekerasan seksual pada anak-anak sesuai HAM serta implikasi hukum pada pengaturan sanksi kebiri kimiawi kepada pelaku kekerasan seksual pada anak. Penelitian ini mempergunakan pendekatan hukum normatif serta menerapkan dua jenis pendekatan, yaitu pendekatan konseptual dan pendekatan perundang-undangan. Pada penelitian ini, dapat diketahui anatra lain (1) Pengaturan ketentuan UU No. 17/2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 1/2016 tentang perubahan kedua UU No. 23/2002 tentang perlindungan anak menjadi UU dan PP No. 70/2020 tentang tata cara pelaksanaan kebiri kimiawi, pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi, dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual pada anak, merupakan pelanggaran terhadap prinsip Hak Asasi Manusia dikarenakan dapat digolongkan sebagai sanksi yang berbenturan terhadap UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia serta UUD NRI Tahun 1945. Penyiksaan ini ditimbulkan oleh dampak dari zat anti–androgen terhadap kesehatan fisik dan psikis seseorang. (2) Implikasi Hukum dari pengaturan sanksi kebiri kimiawi yang berbenturan dengan UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia serta UUD NRI Tahun 1945 yaitu adanya pertentangan dengan hierarki sistem hukum perundang–undangan serta ketidakpastian hukum di Indonesia. Jika terdapatnya suatu ketidakpastian hukum, maka keadilan dan kemanfaatan akan sulit tercapai pada suatu peraturan perundang-undangan.

Kata Kunci: Kepastian Hukum, Hak Asasi Manusia, Kekerasan Seksual, Kebiri Kimiawi

ABSTRACT

This research is aimed to analyze the regulation of chemical castration sanctions against perpetrators of sexual violence against children in accordance with human rights and the legal implications of regulating chemical castration sanctions against perpetrators of sexual violence against children. This study uses normative legal research by applying two types of approaches, conceptual approach and statutory approach. In this research, it can be seen that (1) the provisions of Law No. 17/2016 concerning Stipulation of Government Regulation in lieu of Law No. 1/2016 regarding the second amendment to Law No. 23/2002 concerning child protection became law and PP No. 70/2020 concerning procedures for carrying out chemical castration, installing electronic detection devices, rehabilitation, and announcing the identity of perpetrators of sexual violence against children, are a violation of the principles of human rights because it can be classified as a sanction that conflicts with Law No. 39/1999 concerning Human Rights and the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. This torture is caused by the impact of anti-androgen substances on a person's physical and psychological health. (2) The legal implications of setting chemical castration sanctions that conflict with Law No. 39/1999 concerning Human Rights and the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, namely the existence of conflicts with the hierarchy of the statutory legal system and legal uncertainty in Indonesia. If there is a legal uncertainty, then justice and expediency will be difficult to achieve in a statutory regulation.

Keywords: Legal certainty, Human rights, Sexual violence, Chemical castration

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang

Pada masa kini, sanksi pidana di negara Indonesia belum dengan sempurna menampung segala aspirasi dari masyarakat yang berkembang dengan dinamis dan tidak sejalan dengan nilai-nilai di dalam masyarakat. Perkembangan ini, tidak lain disebabkan oleh pesatnya kemajuan teknologi yang berkembang pesat dengan dibarengi oleh perubahan pola pikir dari masyarakat itu sendiri. Tentunya, suatu perubahan di dalam masyarakat tidak dapat dihindari begitu saja, sehingga perubahan ini akan berdampak kepada berubahnya tatanan hukum di dalam ranah rakyat. Sebagaimana diketahui, bahwa suatu peraturan yang dibuat pada suatu masa ditujukan sesuai dengan kebutuhan penegakan hukum pada masa tersebut dan jika peraturan tersebut tidak lagi dibutuhkan oleh masyarakat, maka peraturan tersebut akan mengalami perubahan seiring dengan kebutuhan masyarakat dalam hal penegakan hukum. Namun, kenyataannya suatu tindak pidana akan selalu berkembang dengan sendirinya, sehingga sebuah peraturan tidak lagi disesuaikan dengan kebutuhan penegakan hukum saja, melainkan harus dapat melihat bagaimana perkembangan bentuk pidana juga. Dalam hal ini, bentuk pidana yang kerap terjadi di negara Indonesia, seperti halnya pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang pedofilia. Pedofilia sendiri merupakan seseorang yang menjadikan anak-anak sebagai target mereka dalam melampiaskan hasrat seksualnya.1 Anak-anak kerap dijadikan sasaran dikarenakan anak-anak dianggap lebih mudah dihasut dan lebih lemah, sehingga pelaku akan dengan mudah melakukan Tindakannya.

Kekerasan seksual pada anak diartikan dengan sebuah tindakan yang terjadi terhapa anak, belum menginjak umur delapan belas tahun, menurut ketentuan UU No. 35/2014 mengenai Perubahan Atas UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak, ke dalam tindakan seksual yang dijalankan dengan orang yang mengerti tentang tindakan seksual. Dalam hal ini, perilaku yang dapat digolongkan kedalam kekerasan seksual diantaranya memperlihatkan media porno kepada anak, menyentuh organ kelamin anak, mempertontonkan alat kelamin kepada anak, dll. Kekerasan seksual terhadap anak, selain menyebabkan terganggunya kesejahteraan masyarakat, sudah barang tentu tindak kekerasan seksual ini akan berdampak pada korban itu sendiri, yakni korban akan mengalami gangguan psikis yang traumatik serta mengakibatkan tumbuh kembang dari korban menjadi terganggu. Rasa trauma yang dimiliki oleh anak yang menjadi korban akan mempersulit anak untuk berinteraksi kedalam lingkungan sekitarnya dan tidak tahu untuk mempercayai siapa dalam kehidupannya.2 Oleh karena itu, diperlukannya bagi negara agar dapat menjamin keamanan bagi setiap generasi untuk terhindar dari ancaman kekerasan seksual, terutama yang terjadi ialah para generasi muda.

Menyikapi fenomena maraknya kejahatan seksual dengan anak-anak sebagai korbannya, menggerakan pemerintahan negara republik Indonesia dalam turut mengambil langkah dalam memerangi kekerasan seksual pada anak-anak untuk meredam maraknya kasus tersebut. Alhasil, pada 25 Mei 2016, Presiden Indonesia ke-7 Bapak Jokowi menandatangai PERPU Nomor 1/2016 tentang perubahan kedua atas UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian peraturan tersebut diputuskan

menjadi UU No. 17/2016 tentang Penetapan PERPU No. 1/2016 tentang perubahan kedua UU No. 23/2002 tentang perlindungan anak menjadi UU. Peraturan ini disahkan menjadi UU dengan tujuan memberikan sanksi yang bersifat menjerakan kepada pelaku kekerasan seksual dengan melakukan beberapa perubahan pemidanaan pada PERPU No.1/2016 dan menambahkan hukuman kebiri kimiawi. Seperti halnya pada ketentuan pasal 81 ayat 7, menegaskan bahwa kepada pelaksana tindak pidana sesuai ayat (4) dan (5) dijatuhkannya pemasangan alat pendeteksi dan kebiri kimiawi. Dalam ayat (4) menegaskan, adanya tambahan sepertiga sanksi pidana pada pelaku yang dulunya telah melakukan Tindakan yang sama pada anak, kemudian terkait ketentuan pada ayat (5) menegaskan, jika pelaku melakukan tindakannya melebihi 1 korban, sehingga korban mengalami disfungsi organ reproduksi, luka-luka, atau bahkan sampai menyebabkan kematian, maka dapat diancam pidana penjara selama 10-20 tahun, hingga pidana mati,.3 Oleh karena itu, dengan adanya UU No. 17/2016 ini diharapkan agar dapat meminimalisir kejahatan seksual yang mengakibatkan anak sebagai korbannya.

Pada tanggal 07 Desember 2020, pemerintahan negara Indonesia mengeluarkan ketentuan PP No. 70/2020 tentang tata cara pelaksanaan kebiri kimiawi, pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi, dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual pada anak. Menurut pasal 1 angka (2) menegaskan kebiri kimiawi ialah perbuatan memasukkan unsur kimiawi dengan injeksi kepada pelaku yang dahulunya sudah pernah melakukan Tindakan pedofilia seperti halnya melakukan Tindakan pemaksaan pada anak untuk melakukan Tindakan asusila tersebut melebihi 1 korban, sehingga korban mengalami disfungsi organ reproduksi, luka-luka, atau bahkan sampai menyebabkan kematian untuk menekan Hasrat seksual berlebih yang dibarengi rehabilitasi. Dapat dilihat disini di dalam UU No. 17/2016 hanya mengatur tentang bagaimana seseorang dapat dijatuhi sanksi kebiri kimiawi tanpa menjelaskan tata cara pelaksanaannya, maka dengan dikeluarkannya PP No. 70/2020 sebagai peraturan turunan dari UU No. 70/2016 yang menjadi pedoman dalam melaksanakan dan mengatur secara khusus bagaimana mekanisme kebiri kimiawi dari tahapan awal hingga akhir mekanisme, siapa memliki kewenangan untuk melaksanakannya, serta mekanisme lainnya terkait pelaksanaan sanksi kebiri kimiawi.

Diberlakukannya UU No. 17/2016 beserta PP No. 70 Tahun 2020, mengakibatkan pelaku mendapatkan penjatuhan sanksi kebiri kimiawi dan pemasangan pendeteksi elektronik jika terbukti melakukan tindakannya dan sudah sempat dipidana karena kasus yang sama. Jika kita telaah lebih mendalam di dalam ketentuan UU No 17/2016 pada pasal 81 menegaskan terkait penjatuhan pidana kepada pelaku kekerasan terhadap anak dengan hukuman kurungan penjara maksimum selama 20 tahun beserta tambahan sanksi kebiri dan pengumuman identitasnya. Tentunya dengan dijatuhkannya sanksi kebiri kimiawi ini dapat diklasifikasi sebagai suatu Tindakan yang berbenturan dengan prinsip Hak Asasi Manusia. Pertentangan ini dikarenakan sanksi kebiri kimiawi merupakan sebuah Tindakan penyiksaan yang dijatuhkan kepada seseorang, penyiksaan dari kebiri kimiawi itu sendiri dapat ditinjau dari efek negatif yang diberikan dari pemberian zat kimiawi itu sendiri yang mesti mendapatkan pertimbangan kembali. Efek negatif dari pemberian zat kimiawi ini, selain berdampak pada turunnya kadar hormon testosterone dalam tubuh, pemberian zat kimiawi ini juga akan menimbulkan penurunan kadar hormon esterogen juga. Dengan adanya penurunan

kadar hormon esterogen di dalam tubuh seorang laki-laki, akan memengaruhi pertumbuhan dari tulang seseorang sehingga terancam penyakit osteoporosis. Selain itu, dengan pemberian zat kimiawi tersebut mengakibatkan depresi, kemandulan, hingga hot flesh pada orang tersebut. hot flashes sendiri adalah rasa panas yang menyakitkan dalam tubuh manusia.4 Dengan diberlakukannya pasal tersebut, menimbulkan beberapa kritikan dari masyarakat terkait pengaturan sanksi kebiri kimiawi. Pihak yang menentang kebiri kimiawi kepada pelaku kejahatan menegaskan bahwa, kebiri kimiawi adalah sanksi sadis serta melanggar HAM, sesuai ketentuan UU No. 39/1999 tentang HAM mengatakan bahwa, HAM ialah hak-hak yang oleh seorang manusia yang merupakan pemberian dari Tuhan dan harus dihormati oleh negara. Oleh Karena itu, sanksi kebiri kimiawi bisa dimasukkan sebagai sanksi yang bertolak-belakang dengan ketentuan Hak Asasi seseorang karena bersifat siksaan terhadap seseorang dengan memberikan dampak negatif bagi Kesehatan pelaku serta dapat dikalsifikasi sebagai Tindakan yang tidak manusiawi sebagaimana yang telah ditetapkan pada Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan politik.5 Pengaturan terkait konsep kebiri kimiawi juga dianggap berbenturan pada UUD NRI Tahun 1945. Ketentuan pasal 28I pada ayat (1) memaparkan semua warga memiliki beberapa hak diantaranya hak tidak mendapatkan penyiksaan, berhak atas hak hidup, dll. Hak-hak tersebut adalah hak yang harus dihormati dan tidak boleh dihilangkan apapun keadaannya oleh negara.

Adanya penolakan dalam pengaturan sanksi kebiri kimiawi oleh masyarakat Indonesia, tentunya akan berdampak dengan adanya dilema dari Pemerintah Negara Indonesia dalam menerapkan sanksi kebiri kimiawi. Disatu sisi adanya peningkatan kasus seksual pada anak dari tahun-ketahunnya dan generasi mudalah yang menjadi korban akan kehilangan masa depannya dan tumbuh kembanganya akan terganggu, sedangkan disisi lain sanksi kebiri kimiawi ini dianggap sebagai pembalasan serta bertolak-belakang terhadap HAM. Seperti halnya, sanksi kebiri kimiawi yang pernah dilaksanakan yaitu perkara No: 69/Pid.sus/2019/PN.Mjk terhadap Muh Aris, atas Tindakan persetubuhan terhadap 9 anak di Jatim. Aris divonis hukuman penjara dua belas tahun dengan tambahan ganjaran denda ratusan juta serta sanksi kebiri kimiawi. Mespkipun telah ada UU No 17/2016 dan PP No. 70/2020, IDI atau yang lebih dikenal dengan Ikatan Dokter Indonesia menentang dalam mengambil peran sebagai pelaksana sanksi kebiri kimia. Ikatan Dokter Indonesia menentang dengan alasan jika mereka (IDI) menjadi pihak pelaksana sanksi tersebut, maka sama saja mereka mengingkari sumpah jabatan yang sudah mereka ucapkan dan mereka menilai Tindakan tersebut adalah Tindakan yang melanggar HAM yang sudah ditetapkan.6

Karya tulis ini akan menitikberatkan kepada Norma Konflik antara UU Kebiri Kimiawi yaitu UU No. 17/2016 dan PP No. 70/2020 terhadap ketentuan yang ditegaskan pada UU No. 39/1999 serta UUD NRI Tahun 1945. Adanya sejumlah karya ilmiah yang mempunyai motif yang hampir sama, akan tetapi memiliki perbedaan dalam fokus penulisannya. Adapun karya ilmiah dengan judul “Pengaturan Sanksi Kebiri Kimiawi Bagi Pelaku kekerasan seksual pada anak Ditinjau Dari Undang-Undang

Perlindungan Anak” oleh I Gusti Ngurah Parwata & Ni Kadek Raimadani pada tahun 2020, kaitannya dengan karya ini adalah dalam hal penjatuhan kebiri kimiawi pada pelaku kejahatan seksual pada anak. Selain itu, adanya karya tulis ilmiah dengan judul “Penerapan Peraturan Kebiri Kimiawi Bagi Pelaku Kekerasan Seksual Pada Anak” oleh Andreas Adithya pada tahun 2021, pada karya ilmiah tersebut terdapat kaitan tentang pandangan dari perseptif HAM mengenai sanksi kebiri kimiawi terhadap pelaku pedofilia. Akan tetapi, karya-karya tersebut mempunyai analisis yang berbeda. Dengan demikian, menarik untuk dibahas lebih lanjut mengenai norma konflik yang terjadi diantara UU No. 17/2016 dan PP No. 70/2020 dengan UUD NRI Tahun 1945 dan UU HAM dikarenakan dengan adanya norma konflik ini mengakibatkan adanya dilema bagi pemerintahan negara Indonesia yang disatu sisi harus meredam kasus kekerasan seksual dan disatu sisi harus menjaga Hak Asasi Manusia setiap orang yang perlu dikaji lagi apakah sanksi kebiri kimiawi ini layak diterapkan di Indonesia. Sehingga, diperlukannya sebuah analasis mendalam mengenai pengaturan kebiri kimiawi di Indonesia untuk memahami layakan atau tidak layaknya pengaturan sanksi kebiri kimiawi di Indonesia, sesuai dengan studi ini yang berjudul “Analisis Yuridis Terkait Hukuman Kebiri Kimiawi Pelaku kekerasan seksual pada anak Menurut Hak Asasi Manusia”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Sesuai dengan apa yang sudah dipaparkan dalam latar belakang, penulis mendapatkan permasalahan-permasalahan yang nantinya akan dibahas diantaranya:

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan sanksi kebiri kimiawi kepada pelaku kekerasan seksual pada anak sesuai hak asasi manusia?

  • 2.    Bagaimanakah implikasi hukum terhadap pengaturan sanksi kebiri kimiawi kepada pelaku kekerasan seksual pada anak?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Pada penulisan karya ilmia ini, adanya beberapa tujuan yang hendak untuk digapai oleh penulis diantaranya, untuk dapat memahami dan menganalisis mengenai pengaturan dari sanksi kebiri kimiawi terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak sesuai Hak Asasi Manusia, serta untuk dapat memahami dan menganalisis implikasi hukum dari pengaturan sanksi kebiri kimiawi kepada pelaku kekerasan seksual pada anak.

  • 2.    Metode Penelitian

Pada Perancangan karya ilmiah, penulis mempergunakan metode penelitian hukum Normatif. Metode ini sesuai apa yang ditegaskan oleh M. Marzuki, yaitu suatu proses dalam mendapatkan sebuah prinsip hukum baru dalam rangka mengatasi permasahan yang ditemui. Dalam penulisan karya ilmiah yang melatarbelakangi penulis dalam memilik metode penelitian normative ialah dikarenakan adanya norma konflik, mengenai sanksi kebiri kimiawi pada ketentuan UU No 17/2016 tentang penetapan PERPU No. 1/2016 tentang perubahan kedua UU No. 23/2002 tentang perlindungan anak menjadi UU dan PP No. 70/2020 tentang tata cara pelaksanaan kebiri kimiawi, pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi, dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual pada anak yang berbenturan terhadap ketentuan yang telah diatur di dalam UU No. 39/1999 tentang HAM serta UUD NRI Tahun 1945. Pada perancangan, penulis menerapkan pendekatan perundang-undangan dengan menganalisis UU No. 17/2016 dan PP No. 70/2020 serta pendekatan konseptual (conseptual approach). Dalam hal, teknik pencarian bahan hukum mempergunakan teknik studi dokumen serta analisis kajian mempergunakan analisis kualitatif.

Dalam karya ilmiah, penulis menerapkan data hukum primer, data hukum sekunder, dan data hukum tersier sebagai sumber data dalam perancangan karya. Data hukum primer yang digunakan dalam karya, seperti halnya UUD NRI 1945, UU No. 39/1999, Undang-Undang Nomor 17/2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1/2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23/2002 Tentang Perlindungan Anak, PP No. 70/2020 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimiawi. Terkait Bahan hukum sekunder, dalam pernacangan karya ilmia ini penulis menggunakan buku-buku, jurnal, artikel yang memiliki keterkaitan mengenai karya ilmiah ini. Sedangkan dalam halnya bahan hukum tersier, pada karya ilmia ini, penulis menggunakan kamus dan situs internet sebagai petunjuk terhadap penggabungan bahan hukum sekunder dengan bahan hukum primer.

  • 3. Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Pengaturan Sanksi Kebiri Kimiawi Kepada Pelaku Kekerasan Seksual Pada Anak Sesuai Hak Asasi Manusia

Pada era modern, tujuan dari penjatuhan sanksi kebiri lebih ditekankan kepada pengurangan orang yang memiliki ganguan jasmani dan rohani. Metode kebiri sendiri dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu fisik atau hormonal (kimiawi). Metode fisik dilaksanakan melalui cara memotong testis seseorang dengan tujuan menghilangkan hormon nafsu seksual dan membuat mandul orang tersebut yaitu hormon testosterone sedangkan, metode hormonal dilakukan dengan cara suntikan atau injeksi, injeksi ini bisa berupa obat untuk menurunkan hormone testosteron sehingga hawa nafsu seseorang seolah-olah menghilang atau juga dengan menginjeksi hormon estrogen yang menjadikan seseorang mempunyai ciri fisik perempuan. Jadi dapat dikatan bahwa kebiri adalah suatu upaya dalam menurunkan atau menghilangkan fungsi reproduksi seseorang baik dengan cara pemotongan ataupun dengan injeksi.7 Dampak dari kebiri kimiawi sendiri tidak berlangsung selamanya tetapi akan memudar seiring penurunan kadar pemberian cairan ke dalam tubuh. Pada saat cairan tidak dilanjutkan, maka

kejolak hawa nafsu seseorang akan berfungsi lagi. Hal ini disebabkan oleh remedi yang banyak dimanfaatkan yaitu cyproterone acetate (CPA) dan medroxyprogesterone acetate (MPA). Dampak dari obat-obatan ini berlangsung dengan jangka waktu paling cepat 40 jam dan paling lama selama 3 bulan setelah pemberian obat-obatan tersebut. Obata-obatan yang diberikan tersebut nantinya akan meminimalisir hormon testosterone, sehingga hawa nafsu seseorang menurun.

Beberapa negara di dunia telah menyelenggarakan Undang-Undang yang mengatur mengenai kebiri seperti halnya, pada negara bagian California 1996. Pengaturan terakit kebiri di California sendiri telah diatur dalam KUHP California pada pasal 645 (a), yaitu pengadilan bisa memvonis seseorang untuk memperoleh medroxyprogesterone acetate (MPA) yaitu konsep pengendalian angka kelahiran. Pada KUHP di Negara California sendiri juga menegaskan jika pelaku sudah pernah melakukan Tindakan pelecehan maka hakim dalam menjatuhkan hukuman diwajibankan untuk menjatuhkan kebiri kimia sebagai sanksi tambahan. Jika pelaku baru pertama kali melakukan Tindakan kekerasan sekualnya kepada anak-anak, maka hakim tidak mesti menjatuhkan kebiri kimia atau bisa dikatakan sanksi kebiri hanya bersifat sebagai pilihan saja untuk dijatuhkan hal ini dikenal dengan discretionaryI (kebiri kimia sebagai opsi). Akan tetapi, walaupun hakim tidak menjatuhkan vonis kebiri kimia pada pelaku kekerasa seksual, pelaku dapat mengajukan dirinya sendiri untuk menerima kebiri kimia atau fisik dengan sukarela, hal ini disebut dengan Tindakan voluntary (berdasarkan persetujuan yang akan menjalankan sanksi).Selain itu, negara bagian Florida menerapkan 2 macam sanksi kebiri yaitu kebiri fisik dan kebiri kimiawi. Sanksinya sendiri telah diatur di dalam 2 artikel yang dikeluarkan pada tahun 2018 yaitu artikel 794.0235 serta 794.011. pada artikel 794.0235 menegaskan bahwa sanksi kebiri kimiawi dilaksanakan kepada pelaku kejahatan seksual dengan menyintikan MPA atau medroxcyprogesterone acetate pada pelaku. Sedangkan pada artikel 794.011 menegaskan tentang definisi dari kejahatan seksual yaitu penetrasi vaginal atau anal yang bukan bertujuan untuk kepentingan Kesehatan melainkan berdasarkan hawa nafsu. Walaupun telah ditetapkannya hukuman pokok, pengadilan juga berhak dalam menetapkan vonis kebiri kimia dengan artian kebiri kimiawi tidak dapat meniadakan sanksi pokok lainnya. Mengenai kebiri fisik di negara bagian florida, dilaksanakan dengan meniadakan hormon testosterone dengan membelah testis pelaku terlebih dahulu. Karena hilangnya hormon tersebut dalam tubuh maka nafsu seksualnya akan ikut hilang. Jalur kebiri fisik ini dilaksanakan jika pelaku tetap melakukan kasus yang sama walaupun telah menjalankan kebiri kimiawi.

Negara Indonesia sendiri menganut sanksi kebiri kimiawi. Sanksi kebiri kimiawi sendiri tercantum di dalam UU No. 17/2016 tentang Penetapan PERPU No. 1/2016 tentang perubahan kedua UU No. 23/2002 tentang perlindungan anak menjadi UU dan PP No. 70/2020 tentang tata cara pelaksanaan Tindakan kebiri kimiawi, pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi, dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual pada anak. Dapat dilihat dalam salah satu kasus pedofilia yang menggunakan sanksi kebiri kimia, yaitu pada kasus Aris di Kabupaten Mojekerto, Jawa Timur pada tahun 2018. Aris dijatuhakn vonis 12 tahun penjara serta 100 Juta rupiah karena telah memperkosa 9 orang anak. Ia melakukan tindakannya sejak tahun 2015 dan baru dapat diamankan pada Oktober 2018 oleh pihak yang berwenang, setelah salah satu orang tua korban melaporkan Tindakan pelaku. Aris dijatuhkan vonis tersebut dengan berpacu kepada ketentuan UU No.17/2016 dikarekana telah terbukti melakukan tindakannya lebih dari 1 korban. Dikarenakan pada saat itu belum adanya payung hukum mengenai mekanisme kebiri kimiawi di Indonesia, Aris sendiri tetap melaksakan hukuman sesuai

apa yang telah divoniskan sebelumnya. Berpacu kepada kasus ini, negara Indonesia segera mengeluarkan sebuah peraturan untuk menindaklanjuti ketentuan UU 17/2016 terkait sanksi kebiri kimiawi untuk menindak lanjuti kasus tersebut, dengan mengeluarkan PP 70/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimiawi, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku kekerasan seksual pada anak. Sebelum adanya PP No. 70/2020 terkait pengaturan sanksi kebiri kimiawi, sanksi ini terlebih dahulu ditegaskan di dalam PERPU No. 1/2016 yang selanjutnya ketentuan tersebut ditetapkan menjadi UU No. 17/2016. Dalam ketentuan pasal 81 ayat (7) PERPU No. 1/2016 ini, menegaskan bahwa “Terhadap pelaku sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimiawi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik”, ketentuan ini tetap sama pengaturannya pada pasal 81 ayat 7 UU No. 17/2016.8 Permasalahnya disini adalah pada kedua ketentuan tersebut masih sama tidak memberikan kejelaskan secara terperinci terkait apa sebenarnya kebiri kimiawi itu dan hanya menegaskan pelaku kekerasan bisa dijatuhkan sanksi kebiri kimiawi jika telah terbukti melakukan tindakannya, sesuai ketentuan pasal 81 ayat 7. Pada kedua UU tersebut juga, tidak menjelaskan mengenai bagaimana tata cara pelaksanaan atau mekanisme pemberian kebiri kimiawi. Oleh karena itu, Presiden Indonesia, Bapak Jokowi menandatangai PP No. 70/2020, sebagai pedoman tentang tata cara penjatuhan kebiri kimiawi terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak.

Berbeda dengan PERPU No. 1/2016 dan UU No. 17/2016, pada PP No. 70/2020 menjelaskan secara tegas terkait definisi dari kebiri kimiawi itu sendiri, yaitu pada ketentuan pasal 1 ayat (2) menyatakan kebiri kimiawi adalah kegiatan penyuntikan zat kimiawi terhadap pelaku kekerasan seksual yang sudah sempat dipidana karena tindak pedofilia seperti persetubuhan dengan anak atau mendesak anak dalam melaksanakanTindakan asusila tersebut kepada orang lain, dengan korban melebihi dari satu orang serta menyebabkan terganggunya fungsi organ reproduksi, bahkan sampai meninggal dunia, tindakan ini dilaksanakan dalam rangka menurunkan nafsu seksual yang berlebih dengan dibarengi dengan rehabilitasi. Dengan adanya PP No. 70/2020 ini, diaturnya secara tegas siapa saja pihak yang berwengan melaksanakan kebiri kimiawi yaitu sesuai dengan pasal 3 yang menegaskan petugas yang memiliki kompetensi pada bidangnya, sesuai perintah kejaksaan. Kemudian mengenai tahapan tahapan kebiri kimiawi juga diatur secara tegas di dalam PP No. 70/2020 pada pasal 6 menjelaksan tahapan atau mekanisme kebiri kimiawi dilaksanakan dengan 3 tahapan, yaitu mulai dari tahap penilaian klinis, tahap kesimpulan, terakhir tahap pelaksanaan. Sehingga dengan adanya PP No. 70/2020 ini telah menutupi kekesongan hukum mengenai bagaimana definisi dan mekanisme menjalankan sanksi kebiri kimiawi yang sebelumnya pada PERPU No. 1/2016 dan UU No. 17/2016 yang tidak menjelaskan secara terperinci tentang kebiri kimiawi dan hanya menegaskan bahwa pelaku kekerasan bisa dijatuhkan sanksi kebiri kimiawi jika telah terbukti bersalah menurut ketentuan pasal 81 UU 17/2016 serta tidak menjelaskan mengenai definisi serta tata cara pelaksanaan kebiri kimiawi.

Jika kita kaitkan kembali mengenai pengaturan sanksi kebiri kimiawi yang dijatuhkan pada pelaku kekerasan seksual menurut HAM, sanksi kebiri kimiawi merupakan sebuah Tindakan penyiksaan kepada seseorang dan melanggar prinsip HAM. HAM sendiri menurut ketentuan UU No. 39/1999 tentang HAM pada pasal 1

ayat (1) menegaskan, semua manusia memiliki hak asasinya masing masing sebagai sebuah karunia dari Tuhan serta harus dijaga oleh negara. Kebiri kimiawi yang diterapkan akan menurukan kadar hormone testosterone penerimanya, sehingga kemampuan untuk ereksinya akan memudar dan hal ini dianggap sebagai hal yang baik karena pelaku tidak akan berpikir untuk melakukan Tindakannya lagi. Akan tetapi, kebiri kimiawi sendiri memberikan beberapa efek negatif, diantaranya menimbulkan rasa frustasi, depresi, penyakit osteoporosis, kemandulan, dan efek negative lainnya yang masih banyak lagi. Sanksi kebiri kimiawi bukan saja menimbula dampak pada Kesehatan jasmani, dampak kebiri kimiawi pula akan memengaruhi mental penerima, sehingga akan berujung kepada rasa depresi bahkan memungkin orang tersebut justru melaksanakan kejahatan yang lebih besar.9 Melihat hal tersebut, dengan berpacu terhadap UU No. 39/1999 tentang HAM, sanksi kebiri kimiawi dapat melumpuhkan organ (disfungsi organ) serta membuat pelaku kekerasan seksual merasakan depresi, sehingga dapat digolongkan sebagai bentuk Tindakan penyiksaan.10 Sanksi kebiri kimiawi dinilai melanggar Hak Asasi Manusia yang dimiliki seseorang untuk bebas dari berbagai bentuk penyiksaan serta memberikan pengaruh negatif terhadap Kesehatan pelaku.

Pada hakekatnya seperti yang dipaparkan Tri Andrisman, bahwa pidana merupakan sebuah nestapa yang disengaja diberikan pada seseorang yang berbuat kejahatan sesuai suatu persyaratan.11 Pemaparan oleh Tri Andrisman ini mengindikasikan bahwa hukum pidana diperbolehkan untuk melanggar HAM seseorang dalam terlindunginya HAM orang lain. Hal ini sama kaitannya dengan apa yang menjadi fungsi khusus yang dimiliki oleh hukum pidana itu sendiri yaitu menjamin ketertiban beserta kepentingan hukum atas perilaku-perilaku yang bersifat mengganggu, dengan sanksi pidana yang sifatnya menderitakan. Sehingga sanksi kebiri kimiawi dianggap dapat diterapkan demi melindungi Hak Asasi yang dimiliki oleh korban walaupun memberikan penyiksaan kepada pelaku kejahatan. Namun, terdapatnya beberapa hak-hak dari seorang manuisa yang tidak dapat dibatasi oleh negara itu sendiri, karena hak-hak ini telah mendapatkan persetujuan dari masyarakat Internasional (derogable rights). Mengenai kuasa dari seorang manusia yang tidak boleh dibatasi ini, telah dicantumkan dalam ketentuan konvenan Hak Sipil dan Sipil pada pasal 4 ayat (2). Pada ketentuan tersebut menjelaskan bahwa adanya beberapa kuasa yang tidak boleh dibatasi, contohnya hak tidak diperbudak, tidak mendapat penyiksaan, hidup, bebas dalam memeluk agama, bebas berpikir, serta hak lainnya.

Sesuai dengan ketentuan Konvenan Hak Sipil dan Politik, seorang manusia mempunyai beberapa hak yang harus dijaga oleh negara seperti halnya, yaitu hak bebas akan berbagai jenis penyiksaan. Definisi suatu penyiksaan telah diatur secara tegas pada pasal 1 ayat (4) UU No. 39/1999 tentang HAM, yaitu “setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu

perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik”. Penolakan terhadap segala Tindakan penyiksaan pada manusia Dapat dilihat juga dalam ketentauan UU No. 39/1999 pasal 33 ayat (1) menerangkan “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaanya”. Kebebasan akan penyiksaan sebagai sebuah hukuman turut dijamin di dalam konvensi Internasional seperti halnya pada ketentuan konvensi UNCAT (The United Nations Convention Against Torture And Other Cruel Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment) dan ICCPR (Internasional Covenant On Civiland And Political Rights).

Pemerintahaan negara Indonesia sendiri telah mengesahkan dan tunduk terhadap kedua konvensi ini. Pada ketentuan artikel 7 dalam konvensi PBB (ICCPR) telah menegaskan bahwa adanya larangan penyiksaan serta sanksi yang merendahkan harkat seorang manusia. Ketentuan terhadap larangan Tindakan penyiksaan tersebut bukan saja berhubungan terkait perilaku yang menimbulkan rasa sakit secara jasmani saja, melainkan berhubungan juga tentang Tindakan yang berdampak pada penyiksaan mental korban.12 Pada pasal 1 Konsvensi PBB tentang penyiksaan, UNCAT menegaskan yaitu “Perbuatan apapun yang dengannya sakit berat atau penderitaan, apakah fisik ataupun mental, dengan sengaja dibebankan pada seseorang untuk tujuan–tujuan seperti memperoleh darinya atau orang ketiga informasi atau suatu pengakuan, menghukum dia karena suatu perbuatan yang dia atau orang ketiga telah melakukannya atau disangka telah melakukannya, atau mengintimidasi atau memaksa dia atau orang ketiga, atau karena alasan apapun yang didasarkan pada diskriminasi macam apapun, apabila sakit atau penderitaan tersebut dibebankan oleh atau atas anjuran atau dengan persetujuan atau persetujuan diam-diam seorang petugas pemerintah atau orang lain yang bertindak dalam suatu kedudukan resmi.”13 UUD NRI Tahun 1945 juga memerintahkan terkait, pertentangan berbagai bentuk penyiksaan, yaitu pada ketentuan pasal 28 G ayat (2). Ketentuan tersebut menegaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”. Selain itu, UUD NRI Tahun 1945 pada Pasal 28I ayat (1) menegaskan bahwa: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui secara pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Kedua ketentuan ini mengindikasikan bahwa adanya jaminan dari pemerintahan Indonesia mengenai segala hak-hak dasar dari masyarakat Indonesia dan negara tidak dapat bertindak sewenang-sewenang kepada warga negara seperti halnya menjatuhkan kebiri kimiawi yang merupakan sebuah Tindakan penyiksaan serta merendahkan harkat martabat seseorang.

Pengaturan sanksi kebiri kimiawi tentunya berbenturan dengan HAM. Seperti halnya yang telah dijelakan, bahwa kebiri kimiawi merupakan sebuah Tindakan

penyiksaan kepada pelaku kekerasan seksual karena dengan dijatuhkannya sanksi kebiri kimiawi, pelaku akan mengalami beberapa dampak negatif seperti halnya gangguan kesuburan dan depresi kepada seseorang. Sehingga pengaturan terkait sanksi kebiri kimiawi ini, tentunya dapat dikatakan berbenturan dengan apa yang telah dicantumkan pada UUD NRI 1945, UU No. 39/1999, serta konvensi ICCPR dan UNCAT bahwa seseorang memiliki kuasa bebas akan penyiksaan. Negara Indonesia sebelum menetapakan pengaturan sanksi kebiri kimiawi sebagai sebuah sanksi kepada pelaku kekerasan seksual pada anak semestinya terlebih dahulu memperhatikan bahwa dengan diterapkannya sanksi kebiri kimiawi ini sangat berbenturan pada ketentuan hukum di Indonesia. Terlebih lagi, sanksi kebiri kimiawi yang diterapkan hanya berdasarkan kepada penyiksaan serta pembalasan kepada pelaku. Pengaturan sanksi kebiri kimiawi menjadikan penerima tidak menjadi lebih baik, melainkan justru menimbulkan hilang kepercayaan diri dan lebih emosional pada pelaku. Pakar kesehatan pun menentang adanya sanksi kebiri kimiawi, karena dianggap justru menimbulkan sifat agresif bagi pelaku serta tidak dapat memastikan tidak terulangnya kasus kekerasan seksual yang sama, dikarenakan ingatan seksual seorang pelaku kekerasan seksual masih melekat di pikirannya, meskipun hormon testosteronnya menurun. Sehingga, dikhawatirkan dengan penjatuhan kebiri kimiawi pada pelaku kekerasan seksual kepada anak justru menimbulkan tindak pidana baru yang disebabkan oleh dampak dari sanksi kebiri kimiawi itu sendiri. Mengingat juga pengaturan kebiri kimiawi ini akan berdampak negatif bagi kesehatan jasmani dari pelaku seperti halnya osteoporosis dikarekan penurunan hormon dalam tubuh pelaku.

Dengan demikian, dapat dikatakan dengan diterapkannya pengaturan mengenai sanksi kebiri kimiawi sangat bertolak-belakang pada prinsip di dalam HAM. Pertentangan ini dapat dilihat dari sanksi kebiri kimiawi yang merupakan suatu tindakan merampas hak seseorang untuk bebas dari berbagai macam bentuk penyiksaan seseorang, karena dengan kebiri kimiawi menimbulkan gejala negatif pada Kesehatan jasmani dan rohani seseorang. Ditambah lagi, pengaturan sanksi kebiri kimiawi mengarah pada Tindakan yang bersifat pembalasan yang mengakibatkan kehilangannya kepercayaan diri untuk kembali dengan masyarakat bagi penerima sanksi.

  • 3.2.    Implikasi Hukum Terhadap Pengaturan Sanksi Kebiri Kimiawi Kepada Pelaku Kekerasan Seksual Pada anak

Pengaturan sanksi kebiri kimiawi telah sah diterapkan dan diberlakukan kepada pelaku kekerasan seksual. Pengaturan sanksi kebiri kimiawi kepada pelaku pelecehan atau kekerasan seksual, sudah dijelaskan pada ketentuan UU No. 17/2016 serta PP No.70/2020 sebagai pedoman mekanisme tahapan kebiri kimiawi. Ketentuan Pasal 81 ayat (7) menegaskan “Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimiawi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik”. Jenis-jenis perbuatan ini dijatuhkan beriringan dengan pidana pokok yang terlebih dahulu divoniskan kepada pelaku dengan berisikan lamanya waktu pemberian sanksi, namun dikecualikan kepada pelaku yang masih dibawah umur.

Dengan diberlakukannya sanksi tambahan kebiri kimiawi ini, menimbulkan beberapa perdebatan di dalam masyarakat tentang pelaksaaan Tindakan kebiri kimiawi kepada pelaku kekerasan yang dinilai bertolak-belakang dengan prinsip-prinsip HAM yang telah ditetapkan dalam UUD NRI 1945 beserta UU No. 39/1999 tentang HAM. Tidak hanya itu, Pengaturan kebiri kimiawi juga berbenturan dengan UU No. 12 Tahun 2005 mengenai Pengesahan ICCPR. Pertentangan kebiri kimiawi ini, dikarenakan oleh

penjatuhan kebiri kimiawi yang dinilai tidak manusiawi dan tidak menghormati harkat dan martabat dari seorang manusia manusia. Terdapatnya norma konflik dalam permasalah ini terkait adanya perbenturan norma yang memiliki tingkatan lebih rendah dengan yang tingkatan lebih tinggi, yaitu pengaturan sanksi kebiri kimiawi pada ketentuan UU No. 17 Tahun 2016 dan PP No. 70/2020 yang berbenturan dengan UU No. 39/1999 dan UUD NRI Tahun 1945. Perbenturan ini dikarenakan, kebiri kimiawi adalah bentuk penyiksaan, dapat menimbulkan dampak negatif secara jasmani dan rohani, serta merendahkan harkat dan martabat seseorang sehingga dinilai berbenturan dengan UU Hak Asasi Manusia dan UUD NRI Tahun 1945. Seperti halnya pada pasal 1 ayat (2) PP No. 70/2020 menegaskan tentang definisi kebiri kimiawi yaitu sebuah sanksi untuk memberikan zat kimiawi dengan metode penyuntikan kepada penerima sanksi yang dulunya sudah menjalankan pidana dengan kasus yang sama yaitu melaksanakan kejahatan seksual kepada anak seperti melakukan persetubuhan dengannya. Akan tetapi seperti yang diketahui kebiri kimiawi sendiri memberikan efek negatif, menumbuhkan rasa frustasi dan depresi dalam diri pelaku. Tentunya hal ini berbenturan dengan UU No. 39/1999 tentang HAM dan UUD NRI Tahun 1945, pada ketentuannya mengindikasikan adanya jaminan dari pemerintahan Indonesia mengenai segala hak-hak dasar dari masyarakat Indonesia dan negara tidak dapat bertindak sewenang-sewenang kepada warga negara seperti halnya menjatuhkan kebiri kimiawi yang merupakan sebuah Tindakan penyiksaan serta merendahkan harkat martabat seseorang.

Konflik secara estimologi berarti tabrakan atau benturan sendangkan norma menurut Soedjono Dirdjosisworo, norma merupakan ketentuan terkait tingkah laku manusia dalam lingkup kehidupannya serta menentukan perangkat peraturan yang memiliki sifat perintah serta larangan. Perintah dalam aturan tersebut dibentuk untuk menemukan Tindakan yang mesti dipatuhi demi terciptanya ketertiban beserta keadilan dalam kehidupan manusia, sedangkan larangan dibentuk untuk melarangan tingkah Langkah laku yang bersifat merugikan kehidupan kehidupan masyarakat.14 Sehingga, dapat diartikan bahwa norma konflik merupakan sebuah aturan yang teah diciptakan tapi, tidak selaras dengan aturan lainnya. Jenis dari norma konflik sendiri dapat dibagi menjadi 2 yaitu norma konflik secara vertikal dan norma konflik secara horizontal. Norma konflik vertikal ialah kedisharmonisan kaidah hukum yang kedudukan lebih tinggi dengan yang berkedudukan dibawahnya menurut susunannya dalam hierarki perundang-undangan. Sedangkan, Norma konflik horizontal secara ialah kedisharmonisan diantara kaidah hukum yang berkedudukan sama sesuai urutan ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang– Undangan.15

Terdapatnya norma konflik sendiri akan menyebabkan beberapa dampak diantaranya, seperti adanya perbedaan penafsiran dalam pelaksaan suatu peraturan perundangan; timbulnya ketidakpastian hukum; ketidakefektifan jalannya suatu peraturan perundang-undangan; dan adanya tergangunya fungsi hukum atau norma tidak akan memberikan acuan tingkah laku pada masyarakat, penyelesaian sengketa,

pengendalian kemasyarakatan, dll.16 Adanya norma konflik mengenai Tindakan kebiri kimiawi ini akan memengaruhi kepastian hukum dari UU 17/2016 dan PP No.70/2020 dalam penjatuhan kebiri kimiawi, sehingga memengaruhi dalam hal tujuan dari peraturan ini dirancang, yaitu untuk menekan jumlah kejahatan seksual pada anak, karena adanya tanggapan dari rakyat yang menolak adanya kebiri kimiawi dengan alasan berbenturan dengan prinsip Hak Asasi Manusia. Menurut Roscoe Pound, kepastian hukum itu sendiri mengandung 2 arti, yaitu sebagai peraturan yang memiliki sifat umum yang bertujuan agar setiap orang mengerti tentang Tindakan yang benar dan salah dalam kehidupan bernegara dan sebagai alat kemanan hukum bagi masyarakat terhadap Tindakan sewenang-wenang dari pemerintah. Sehingga, adanya dengan terdapatnya suatu hukum yang memiliki sifat umum tersebut, seseorang dapat mengetahui terkait jenis pembebanan yang boleh dan tidak boleh diterapkan oleh negara bagi setiap warga negaranya.17 Tentunya suatu kepastian hukum telah menjadi bagian dari suatu norma tertulis sehingga tidak dapat terpisahkan satu sama lain dikarenakan kepastian hukum sendiri pada kenyataannya merupakan tujuan utama dari norma itu sendiri.18 Dengan berpedoman kepada apa yang telah dikemukakan oleh rescoe Pound maka dapat dikatakan bahwa adanya ketidakpastin hukum akan menimbulkan sulit tercapainya secara maksimal keadilan dan kemanfaatan hukum. Tujuan hukum untuk menjamin HAM setiap orang juga akan sulit dicapai dikarenakan kepastian hukum berperan dalam menjamin bahwa suatu peraturan perundang-undangan harus dilaksanakan dengan sepenuhnya.

Norma konflik nantinya pula akan berdampak kepada terganggunya hierarki hukum perundang-undangan. Menurut H. Kelsen, menegaskan bahwa adanya sistem anak tangga dalam tatanan hukum dengan kaidah berjenjang, yaitu norma hukum yang berkedudukan rendah semestinya berpedoman pada kaidah yang berkedudukan daitasnya, serta kaidah yang berkedudukan paling atas (seperti Konstitusi) harus berpacu kepada kaidah hukum mendasar.19 Berpedoman kepada sistem hukum anak tangga yang telah dikemukakan oleh Hans Kelsen, semestinya UU No. 17 Tahun 2016 dan PP No. 70/2020 di dalam perancangannya lebih berpacu kepada UUD NRI 1945 sebagai sebuah konstitusi, sehingga norma konflik pada subtansi–substansinya dapat terhindarkan dan terciptanya keselarasan serta memperhatikan UU No. 39/1999 tentang HAM sebagai pedoman umum di Indonesia mengenai permasalahan menjaga Hak Asasi Manusia bagi seluruh masyarakat Indonesia. Pembaharuan hukum seharusnya menerapkan pendekatan kebijakan, dikarenakan pembaharuan hanya merupakan bagian dari suatu langkah policy atau kebijakan.20 Pada setiap kebijakan memuat suatu pertimbangan nilai, sehingga di dalam suatu kebijakan terjaminnya nilai-nilai keadilan. Pelaksanaan sanksi pidana sebenarnya juga bukan merupakan suatu keharusan, melainkan ialah permasalahan mengontrol atau menuntaskan kejahatan pidana dengan menerapkan sanksi pidana yang bukan hanya termasuk permasalahan kemasyarakatan,

namun juga yang tergolong kedalam masalah kebijakan. Perancangan hukum pidana baru seharusnya berorientasi pada perlindungan korban maupun perbaikan pelaku serta tidak menimbulkan penyiksaan terhadap Kesehatan jasmani dan kerohanian pelaku yang diakibatkan sebuah peraturan yang juga merendahkan harkat dan martabat pelaku sebagai seorang manusia. Pemidanaan sendiri tidak hanya sebagai salah satu alat untuk melampiaskan dendam, melainkan semestinya juga dapat digunakan sebagai sarana dalam memperbaiki pola pikir dan perilaku seseorang.21

Dengan demikian, seharusnya pemerintah di dalam merancang suatu peraturan perundang lebih memperhatikan kepada UUD NRI Tahun 1945 supaya tidak menimbulkan pertentangan dengan Sistem hukum di Indonesia yang telah ditetapkan, dengan harapan terwujudnya kepastian dan keselarasan hukum dalam mewujudkan tujuan hukum yakni tercapainya kemanfaatan dan keadilan. Ditambah lagi, Seharusnya negara Indonesia di dalam menetapkan suatu peraturan perundang-undangan tentang penjatuhan sanksi tambahan berupa Tindakan kebiri kimiawi harus berpedoman kepada konsep Hak Asasi Manusia sehingga tidak berbenturan terhadap ketentuan yang telah ditegaskan di dalam ketentuan UU No. 39/1999 serta UUD NRI Tahun 1945.

  • 4.    Kesimpulan

Sesuai penjabarkan yang telah disampaikan di dalam karya ilmiah ini, dapat diketahui bahwa adanya Berbeda dengan PERPU No. 1/2016 dan UU No. 17/2016, pengaturan kebiri kimiawi pada PP No. 70 Tahun 2020 menjelaskan secara terperinci tentang definisi, pihak pelaksana, serta tata cara pelaksaanan sanksi kebiri kimiawi. Akan tetapi, Disahkannya pengaturan sanksi kebiri kimiawi ini, menimbulkan beberapa pertentang dengan aturan HAM yang telah ditegaskan pada ketentuan UU No. 39/1999 tentang HAM serta UUD NRI 1945. Sanksi kebiri kimiawi dinilai memberikan penyiksaan kepada pelaku yang dilihat dari efek negatif yang diberikan diantaranya meningkatkan kecemasan, stress, depresi kepada pelaku. Norma konflik antara UU No. 17/2016 dan PP No. 70/2020 terhadap UUD UU No. 39/1999 serta NRI Tahun 1945, akan memengaruhi kepastian hukum dari pemberlakuan UU 17/2016 dan PP No.70/2020 itu sendiri. Sehingga, dengan adanya ketidakpastian hukum ini menyebakan adanya dilema kepada pemerintah negara Indonesia dalam menerapakan sanksi kebiri kimiawi. Disatu sisi adanya peningkatan kasus seksual pada anak dari tahun-ketahunnya, sedangkan disisi lain sanksi kebiri kimiawi dinilai sebagai Tindakan penyiksaan yang melanggar HAM. Dengan demikian, pengaturan sanksi kebiri kimiawi sangat berbenturan dengan prinsip Hak Asasi Manusia dikarenakan efek negatif yang diberikan sehingga menimbulkan siksaan kepada seseorang. Semestinya pemerintah lebih berpedoman kepada di dalam merancang suatu peraturan perundang lebih memperhatikan kepada UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia serta UUD NRI Tahun 1945 supaya tidak menimbulkan pertentangan kepada ketentuan hukum yang telah disahkan oleh negara, dengan harapan terwujudnya kepastian serta keselarasan norma. Dengan adanya kepastian norma, maka akan menjadi dasar seseorang dalam berperilaku, sesuai ketentuan hukum yang telah sah dan memiliki kekuatan hukum. Selain itu, pemerintah Indonesia dalam merancanng sebuah peraturan, harus berpedoman kepada konsep Hak Asasi Manusia sehingga tidak berbenturan terhadap ketentuan yang telah ditegaskan di dalam ketentuan UU No. 39/1999 tentang HAM serta UUD NRI Tahun 1945.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Andrisman, Tri. Asas-asas dan Aturan umum Hukum Pidana Indonesia. (Bandar Lampung, Universitas Bandar Lampung, 2009).

Arief, Barda Nawawi. Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perandingan. (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2005).

Dirdjosisworo, Soedjono. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta, Raja Grasindo Persada, 2010). Hak Asasi Manusia, Komite. Komentar Umum Kovenan Internasional: Hak Sipil Dan Politik, Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya. (Jakarta, KOMNAS HAM, 2009).

Mahmud Marzuki, Peter. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008).

Jurnal

Ahmad, Ali. Dkk, “Eksistensi Hukuman Kebiri Kimia Bagi Pelaku kekerasan seksual terhadap anak Ditinjau Dari Pembentukan Norma Hukum Pidana.” Novum Jurnal Hukum 7, No. 3 (2020)

Andari, Rosita Novi. “Evaluasi Kebijakan Penanganan Kejahatan Kekerasan Seksual Terhadap Anak Di Indonesia.” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 11, No. 1 (2017).

Antan, Kadek Widya, Dkk. “Tinjauan Yuridis Mengenai Antynomy Normen (Norma konflik) Antara Undang–Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar– Dasar Pokok Agraria Dengan Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Terkait Jangka Waktu Perolehan Hak Atas Tanah.” E-Journal Komunitas Yustisia 2, No. 2 (2019).

Arief, Hanafi. “Rekonstruksi Hukum Tentang Hukuman Kebiri Bagi Pelaku Tindak Pidana Pelecehan Seksual.” Jurnal Khazanah: Jurnal Studi Islam dan Humaniora 14, No. 1 (2017).

Eko, Seponyono. & Hafizal, Hasanah Nur. “Kebijakan Hukum Pidana Sanksi Kebiri Kimia Dalam Perspektif HAK ASASI MANUSIA Dan Hukum Pidana Indonesia.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 7, No. 3 (2018)

Kartika, Ari Purwita, M. Lutfi Rizal Farid, dan Ihza Rashi Nandira Putri. “Reformulasi Eksekusi Kebiri Kimia Guna Menjamin Kepastian Hukum Bagi Tenaga Medis/Dokter Dan Perlindungan Hukum Bagi Pelaku Pedophilia.” Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 27, No. 2 (2020).

Noviana, Ivo. “Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak dan Penanganannya.” Sosio Informa 1, No. 1 (2015).

Nurhidayat, Taufik. “Penerapan Hukum Kebiri Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Di Indonesia (Tinjauan Hukum Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016).” Jurnal Sosial dan Politik 24, No. 1 (2019).

Pranoto, Iskandar. “Tindak Penyiksaan Dan Hukum Internasional.” Pandecta 6, No. 2 (2011).

Ratih, Probosiwi. & Bahransyah, Daud. “Pedofilia Dan Kekerasan Seksual: Masalah Dan Perlindungan Terhadap Anak.” Sosio Informa 1, No. 1 (2015)

Ridwansyah, Muhamad. “Mewujudkan Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan Hukum Dalam Qanun Bendera dan Lambang Aceh.” Jurnal Konstitusi 13, No. 2 (2016).

Suwandi. “Program Pembentukan Peraturan Daerah Perkembangan Dan Permasalahannya (Kajian Yuridis Normatif Berdasarkan Undang–Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang–Undangan).” Jurnal Legislasi Indonesia 15, No. 3 (2018).

Internet

Maria Amanda. (2016). “Penjelasan Dokter Boyke tentang Dampak Kebiri Kimia”. URL: https://lifestyle.okezone.com/read/2016/06/01/481/1403478/penjelasan-dokter-boyketentang-dampak-kebiri-kimiawi, diakses pada tanggal 24 Desember 2022.

Rahma Dania. (2019). “Kebiri Kimia untuk Pemerkosa Anak Mojokerto, Apa Efek negatifnya?”.   URL:   https://tirto.id/kebiri-kimiawi-untuk-pemerkosa-anak-

mojokerto-apa-efek-sampingnya-eg7s, diakses pada tanggal 15 Desember 2022.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang–Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-undang

Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kebiri Kimiawi, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, Dan Pengumuman Identitas Pelaku kekerasan seksual pada anak

Konvensi International

Konvensi ICCPR (Internasional Covenant On Civiland And Political Rights)

Konvensi UNCAT (The United Nations Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment)

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 11 Tahun 2022 hlm 1180-1195

1195