Buletin Veteriner Udayana                                                   Volume 15 No. 6: 1324-1332

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712                                                Desember 2023

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/bulvet           https://doi.org/10.24843/bulvet.2023.v15.i06.p32

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Parasit Gastrointestinal pada Unta Punuk Satu di Bali

(GASTROINTESTINAL PARASITES ON ONE-HUMPED CAMELS IN BALI)

Rahma Anissa Prayoko1*, I Made Dwinata2, I Wayan Batan3

  • 1Mahasiswa Sarjana Pendidikan Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia, 80234;

  • 2Laboratorium Parasitologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia, 80234;

  • 3Laboratorium Diagnosa Klinik Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia, 80234.

*Corresponding author email: [email protected]

Abstrak

Unta punuk satu (Camelus dromedarius) merupakan spesies unta yang populasinya paling banyak di dunia. Unta yang berada di Bali dimanfaatkan untuk atraksi wisata yakni untuk ditunggangi oleh para wisatawan. Penyakit parasit gastrointestinal berpengaruh pada kesehatan unta yang dapat mengurangi produktivitas dan kinerja unta serta sebagai predisposisi penyakit menular lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis-jenis parasit gastrointestinal yang ada pada unta agar pencegahan dan pengobatan dapat dilakukan dengan efektif. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross-sectional study. Sampel yang digunakan adalah feses dari seluruh unta yang berada di Bali dengan jumlah 10 ekor unta yang dipelihara di Bali Camel Adventure, Bali Camel Safari, dan Akame Camel. Feses segar unta disimpan dalam pot plastik menggunakan formalin 10% dan kalium bikromat 2% secara terpisah. Pemeriksaan feses dilakukan dengan tiga metode yakni metode natif, sedimentasi, dan pengapungan. Parasit gastrointestinal yang ditemukan diidentifikasi berdasarkan morfologi sesuai dengan literatur. Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian dari 10 sampel yang diperiksa didapati (9/10) unta positif parasit gastrointestinal jenis nematoda dengan prevalensi mencapai 90%. Parasit nematoda gastrointestinal yang teridentifikasi pada unta punuk satu di Bali adalah Capillaria spp., tipe Strongyle, Trichostrongylus spp., Strongyloides spp., dan Trichuris spp. Melihat tingginya prevalensi parasit gastrointestinal pada unta punuk satu di Bali disarankan untuk memperbaiki manajemen pemeliharaan.

Kata kunci: Bali; parasit gastrointestinal; unta punuk satu

Abstract

One-hump camel (Camelus dromedarius) is the most populous camel species in the world. Camels in Bali are used for tourist attractions, namely to be ridden by tourists. Gastrointestinal parasitic diseases. affect camel health which can reduce camel productivity and performance as well as predisposing to other infectious diseases. This study aims to identify the types of gastrointestinal parasites present in camels so that prevention and treatment can be carried out effectively. This study is an observational study with a cross-sectional study approach. The samples used were feces from all camels in Bali with a total of 10 camels kept at Bali Camel Adventure, Bali Camel Safari, and Akame Camel. Fresh feces of camels are stored in plastic pots using 10% formalin and 2% potassium bichromate separately. Fecal examination is carried out by three methods, namely the native method, sedimentation, and flotation. The gastrointestinal parasites found are identified based on morphology according to the literature. The data obtained are presented in a qualitative descriptive manner. The results of the study from 10 samples examined found (9/10) positive camels for nematode type gastrointestinal parasites with a prevalence reaching 90%. The gastrointestinal nematode parasites identified in one-hump camels in Bali are Capillaria spp., Strongyle type, Trichostrongylus spp., Strongyloides spp., and Trichuris spp. Given the high prevalence of gastrointestinal parasites in onehumped camels in Bali, improved husbandry management is recommended.

Keywords: Bali; gastrointestinal parasites; one-humped camel

PENDAHULUAN

Unta punuk satu    (Camelus

dromedarius) merupakan spesies unta yang populasinya paling banyak di dunia. Terdapat dua spesies unta lainnya yang ada di dunia, dua diantaranya adalah unta baktria (Camelus bactrianus) dan unta baktria liar (Camelus ferus). Unta punuk satu tersebar di Afrika, India, dan Timur Tengah. Di Afrika unta punuk satu kebanyakan berada di Somalia dan Sudan, sementara itu populasi unta punuk satu liar terbesar berada di Australia (San Diego Zoo Wildlife Alliance Library,  2021). Di

Indonesia terdapat dua spesies unta yaitu unta punuk satu (C. dromedarius) dan unta punuk dua (C. bactrianus) yang tersebar di penangkaran dari berbagai wilayah di Indonesia. Spesies unta yang berada di Bali adalah unta punuk satu.

Unta adalah hewan yang sangat kuat dan beradaptasi dengan baik secara anatomis maupun fisiologis terhadap kondisi iklim yang ekstriem. Walaupun unta sangat kuat, unta dapat menderita berbagai penyakit yang disebabkan oleh parasit yang merupakan kendala utama dalam peningkatan kesehatan unta (Parsani et al., 2008). Unta merupakan hewan herbivora yang memakan tumbuhan. Unta dapat memperoleh infeksi parasit dengan merumput pada rumput yang terinfeksi atau dengan menelan larva infektif melalui air minum (Wario et al., 2020).

Parasit gastrointestinal dianggap penting karena dapat memberi pengaruh pada kesehatan unta. Penyakit tersebut tidak hanya mengurangi produktivitas dan kinerja unta tetapi juga menjadi predisposisi penyakit menular lainnya. Penyakit parasit juga dapat memengaruhi infeksi penyakit lainnya, menurunkan efisiensi kerja atau mengakibatkan kematian, disamping itu ada potensi bahaya bagi kesehatan masyarakat. Tanda dan gejala klinis parasit gastrointestinal pada unta adalah penurunan bobot badan bersamaan dengan gangguan pertumbuhan, kolik, demam, diare, anemia, gastritis, dan

enteritis. Namun, dapat juga bersifat subklinis atau tanpa gejala (Wario et al., 2020).

Pada penelitian yang telah dilaporkan oleh Sazmand dan Joachim (2017) mengenai penyakit parasit pada unta di Iran berhasil melacak 48 spesies cacing dalam sistem pencernaan, termasuk tiga spesies Trematoda, empat spesies Cestoda dan 41 spesies Nematoda. Parasit gastrointestinal yang terdapat pada unta meliputi cacing dan protozoa. Parasit cacing gastrointestinal pada unta diantaranya Haemonchus, Nematodirella,             Nematodirus,

Trichostrogylus, Strogyloides, Ostertagia, Marshallagia, Cooperia, Trichuris dan Camelostrongylus (Parsani et al., 2008).

Unta yang berada di Bali Camel Adventure, Bali Camel Safari dan Akame Camel dimanfaatkan untuk atraksi wisata yakni untuk ditunggangi oleh para wisatawan, maka dari itu, pihak pengelola tempat wisata dengan unta tersebut bertanggung jawab dalam menjaga kesehatan dan memelihara unta-unta tersebut. Untuk mampu mencegah dan menangani penyakit parasit, terutama parasit gastrointestinal pada unta, diperlukan identifikasi parasit untuk dapat mengetahui       jenis-jenis       parasit

gastrointestinal yang ada pada unta, agar pencegahan dan pengobatan dapat dilakukan dengan efektif. Kurangnya sumber maupun data mengenai parasit gastrointestinal pada unta punuk satu, terutama di Indonesia terkhusus Bali, maka hal tersebut mendorong penelitian ini dilakukan.

METODE PENELITIAN

Objek Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan sampel feses dari 10 ekor unta punuk satu yang dipelihara di Bali Camel Adventure (Desa Tuban, Kec. Kuta, Kab. Badung) sebanyak tiga ekor yang terdiri dari dua betina dan satu jantan, Bali Camel Safari (Desa Benoa, Kec. Kuta Selatan, Kab. Badung) sebanyak tiga ekor yang terdiri dari tiga jantan dan Akame Camel (Desa Sanur Kauh, Kec.

Denpasar Selatan, Kota Denpasar) sebanyak empat ekor yang terdiri dari dua jantan dan dua betina.

Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross-sectional study, dimana peneliti melakukan pengamatan pada parasit gastrointestinal yang ada pada unta punuk satu di Bali.

Prosedur Penelitian

Pengambilan Sampel Feses

Sebelum melakukan pemeriksaan feses, dilakukan pengambilan feses unta punuk satu di Bali Camel Adventure, Bali Camel Safari dan Akame Camel. Sampel feses diambil menggunakan sendok plastik. Feses yang masih segar atau segera setelah jatuh ke tanah diambil sebanyak 10 g dan dimasukkan kedalam pot plastik pertama, lalu ditambahkan cairan formalin 10% supaya sampel feses tersebut terendam dan sampel feses dari tinja yang sama dimasukkan kedalam pot plastik kedua, pastikan feses tersebut direndam menggunakan kalium bikromat 2%. Pot plastik yang telah berisi feses diberi label identitas berupa nama unta dan jenis cairan perendam. Pot plastik yang telah berisi feses unta punuk satu disimpan didalam wadah dingin (coolbox) dan dibawa ke Laboratorium Parasitologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana di Kampus Unud Denpasar.

Pemeriksaan Feses

Pemeriksaan feses dilakukan secara kualitatif dengan tiga metode, yakni metode natif, sedimentasi dan pengapungan (Kusumamihardja 1995; Taylor et al., 2007; Zajac dan Conboy 2012)

Metode Natif

Metode natif ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan bertujuan untuk menentukan ada atau tidaknya telur cacing. Tinja diambil dengan menggunakan lidi pengaduk dan dioleskan di atas gelas objek. Kemudian air ditambahkan dan dihomogenkan.

Selanjutnya ditutup dengan gelas penutup dan diperiksa di bawah mikroskop binokuler dengan perbesaran 10 dan 40 kali.

Metode Sedimentasi

Metode sedimentasi ini bertujuan untuk mengisolasi telur cacing, karena ada sejumlah jenis cacing trematoda dan nematoda yang telurnya tidak mudah mengambang dalam larutan pengapung/flotasi biasa. Sampel tinja sebanyak 3 g disaring menggunakan penyaring untuk menghilangkan debris sambil diberikan air dan ditampung di gelas beaker. Hasil saringan dimasukkan kedalam tabung sentrifuge sebanyak 14 mL. Campuran tersebut diaduk hingga homogen dan disentrifuge menggunakan alat sentrifugator dengan kecepatan 1500 rpm selama lima menit. Setelah disentrifuge supernatan dibuang dengan hati-hati supaya endapan tidak ikut terbawa air. Endapan feses diambil sebanyak dua tetes dan diteteskan pada akuades yang telah disiapkan sebelumnya pada gelas objek. Selanjutnya ditutup dengan gelas penutup dan diperiksa di bawah mikroskop binokuler dengan pembesaran 10-40 kali.

Metode Pengapungan

Metode ini berfungsi untuk mengetahui ada tidaknya telur cestoda dan nematoda pada sampel tinja serta protozoa yang ukurannya lebih kecil dari telur cacing. Endapan tinja dari hasil metode sedimentasi yang berada dalam tabung sentrifuge diberi larutan garam (NaCl) jenuh sebanyak 14 mL. Campuran tinja dan larutan pengapung diaduk. Larutan yang sudah homogen dimasukkan ke dalam sentrifugator dan disentrifuge dengan kecepatan 1500 rpm selama lima menit. Setelah disentrifuge tabung dikeluarkan secara hati-hati dan diposisikan tegak lurus pada rak tabung lalu ditetesi NaCl jenuh dengan pipet pasteur sampai permukaan cairan dalam tabung cembung. Selanjutnya biarkan beberapa saat (lima menit) sehingga memberi kesempatan telur-telur cacing maupun protozoa untuk mengapung. Objek gelas

kemudian ditempelkan pada permukaan cairan dalam tabung dan kemudian ditutup menggunakan gelas penutup. Pemeriksaan dilakukan di bawah mikroskop binokuler dengan mengamati telur cacing melalui perbesaran objektif 10-40 kali.

Identifikasi Parasit

Telur cacing yang ditemukan pada unta dibandingkan      secara      morfologi

berdasarkan literatur (Taylor et al., 2016; Zajac dan Conboy 2012).

Analisis Data

Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil pemeriksaan 10 sampel feses unta punuk satu yang dipelihara di Bali Camel Adventure sebanyak tiga ekor, Bali Camel Safari sebanyak tiga ekor dan Akame Camel sebanyak empat ekor ditemukan (9/10) sampel terinfeksi parasit gastrointestinal dengan prevalensi 90%. Prevalensi infeksi parasit gastrointestinal pada unta punuk satu di Bali disajikan pada (Tabel 1.).

Dari hasil pemeriksaan (Tabel 1.) didapati hasil pada lokasi pengambilan sampel di Bali Camel Adventure terdapat tiga jumlah sampel dengan dua sampel positif dan satu sampel negatif dengan prevalensi mencapai 66,7%. Di Bali Camel Safari terdapat tiga jumlah sampel dan semuanya positif dengan prevalensi mencapai 100%. Di Akame Camel terdapat empat jumlah sampel dan semuanya positif dengan prevalensi mencapai 100%. Berdasarkan data tersebut didapati prevalensi parasit gastrointestinal pada unta punuk satu di Bali sebesar 90%.

Dari total 10 ekor unta punuk satu yang terdapat di Bali, di antaranya terdiri dari enam ekor jantan dan empat ekor betina. Pada enam ekor unta jantan.

Parasit gastrointestinal yang ditemukan pada unta punuk satu di Bali disajikan pada (Gambar 1.).

Setelah dilakukan identifikasi pada 10 sampel unta punuk satu yang berada di Bali

tidak ditemukan adanya protozoa semua teridentifikasi cacing nematoda gastrointestinal pada Sembilan sampel positif. Jenis cacing nematoda gastrointestinal yang teridentifikasi pada unta punuk satu di Bali adalah Capillaria spp., tipe Strongyle, Trichostrongylus spp., Strongyloides spp., dan Trichuris spp.

Parasit gastrointestinal pada unta punuk satu di Bali berdasarkan lokasi pengambilan sampel di Bali Camel Adventure ditemukan Trichuris spp., tipe Strongyle, dan Strongyloides spp. Di Bali Camel Safari ditemukan Strongyloides spp. dan Trichuris spp. Di Akame Camel ditemukan Capillaria spp., tipe Strongyle, Strongyloides spp., Trichostrongylus spp. dan Trichuris spp. Dari hasil tersebut Strongyloides spp. dan Trichuris spp. ditemukan di seluruh lokasi pengambilan sampel.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada unta punuk satu di Bali didapatkan prevalensi parasit gastrointestinal jenis nematoda mencapai 90%. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Radfar dan Gowhari (2012) melaporkan bahwa prevalansi parasit gastrointestinal jenis nematoda pada unta punuk satu di Iran mencapai 64%. Wario et al. (2020) juga melaporkan bahwa prevalensi nematoda gastrointestinal pada unta di Zona Borena, Ethiopia Selatan mencapai 75%. Sementara itu Saidi et al. (2022) melaporkan prevalensi nematoda gastrointestinal pada unta di Aljazair Selatan mencapai 32%.

Perbedaan prevalensi hasil penelitian tersebut dapat disebabkan oleh manajemen pemeliharaan, iklim, dan jumlah sampel yang diperiksa. Pada penelitian ini menunjukkan angka prevalensi yang tinggi (90%) karena jumlah sampel yang diperiksa lebih sedikit daripada penelitian yang dilakukan di negara-negara Afrika Utara maupun Timur Tengah lainnya sehingga itu menjadi faktor utama tingginya prevalensi parasit gastrointestinal pada unta punuk satu di Bali. Variasi iklim dari tiap Negara juga berbeda untuk mendukung atau tidak

mendukung sebagai tempat berkembangnya telur cacing dan larva parasit sehingga penelitian di Negara-negara tersebut mempunyai perbedaan prevalensi. Manajemen pemeliharaan juga menjadi faktor penting tingginya prevalensi parasit gastrointestinal pada unta. Manajemen pemeliharaan yang kurang baik dapat menjadi faktor tingginya prevalensi parasit yang memengaruhi kesehatan unta (Wario et al. 2020).

Perbedaan prevalensi parasit gastrointestinal yang ditemukan antara jantan dan betina tidak terlalu signifikan bedanya, jantan menunjukkan jumlah yang lebih banyak terinfeksi dibandingkan dengan betina yang ditemukan hanya pada satu ekor negatif. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Bouragba et al. (2020) di Aljazair yang mengemukakan bahwa infeksi parasit gastrointestinal pada unta jantan lebih tinggi daripada unta betina, walaupun ada beberapa yang melaporkan sebaliknya seperti Radfar dan Gowhari, (2012) tetapi Bouragba et al. (2020) juga melaporkan bahwa jenis kelamin pada unta tidak memiliki pengaruh terhadap terjadinya infeksi, implikasi dari faktor tersebut masih belum diketahui dengan baik, sehingga penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memperjelas mengenai hal tersebut.

Parasit gastrointestinal yang teridentifikasi dari hasil (Gambar 1.) merupakan jenis nematoda Capillaria spp. yang teridentifikasi pada tiga ekor unta di Akame Camel. Infeksi Capillaria spp. jarang ditemukan pada unta namun, cacing ini pernah dilaporkan oleh Cirak et al. (2011) pada unta di Turki sedangkan di Uni Emirat Arab ditemukan dengan prevalensi 0,6% dari 5.686 sampel feses unta yang diperiksa (Schuster dan Wernery, 2004). Locklear et al. (2021) juga melaporkan infeksi Capillaria pada unta di Amerika Utara dengan prevalensi mencapai 7,79%.

Telur tipe Strongyle adalah telur cacing yang paling sering ditemukan pada kotoran sapi, ruminansia kecil, dan unta (Zajac et al. 2012). Telur tipe Strongyle yang

teridentifikasi pada unta punuk satu di Bali termasuk juga Trichostrongylus spp. Jenis telur Strongyle yang terdapat pada unta punuk satu diantaranya Ostertagia, Haemonchus, Cooperia, Trichostrongylus, Camelostrongylus, Nematodirus, Marshallagia (Taylor et al. 2016; Zajac et al. 2012). Ditemukannya Strongyle pada satu ekor unta di Bali Camel Adventure dan satu ekor unta di Akamel Camel serta Trichostrongylus spp. pada dua ekor unta di Akame Camel, hal tersebut sejalan dengan laporan penelitian yang dilakukan di Distrik Yabello, Ethiopia Selatan pada unta dengan prevalensi tipe Strongyle mencapai 59,67% dan Trichostrongylus spp. mencapai 79,67% dan merupakan yang tertinggi (Demelash et al. 2014). Hussein dan Musse, (2022) juga telah melaporkan prevalensi tipe Strongyle pada unta di Ethiopia Timur mencapai 61,3%. Pada unta di Iran juga dilaporkan prevalensi Trichostrongylus spp. mencapai 49% (Radfar dan Gowhari, 2012) sedangkan pada unta di Sudan mencapai 76,8% (Hamed dan Abdelgadir, 2021)

Unta punuk satu di Bali yang terinfeksi Strongyloides spp., sebanyak (6/10) unta diseluruh lokasi pemeliharaan dan merupakan infeksi yang paling banyak kedua setelah Trichuris spp. diantaranya satu ekor unta di Bali Camel Adventure, tiga ekor unta di Bali Camel Safari, dan dua ekor unta di Akame Camel. Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan dilaporkannya prevalensi Strongyloides spp. pada unta punuk satu di Aljazair mencapai 11,16% dan merupakan yang tertinggi dari parasit gastrointestinal lainnya (Bouragba et al. 2020). Wario et al. (2020) juga melaporkan prevalensi Strongyloides spp., pada unta di Zona Borena, Ethiopia Selatan mencapai 21.60% sedangkan di Mogadishu, Somalia mencapai 4,8% (Ibrahim et al. 2016). Faktor yang menyebabkan tingginya infeksi Strongyloides spp. karena telur Strongyloides spp. dapat ditularkan melalui tiga cara yakni secara vertikal (induk ke janin), per-oral (larva infektif tertelan bersama pakan), dan melalui kulit (larva

filariform menembus kulit). Strongyloides juga memiliki masa prepaten yang singkat, yakni hanya selama 8-14 hari (Taylor et al. 2016; Madani et al. 2021).

Trichuris spp. merupakan parasit yang paling banyak teridentifikasi pada unta punuk satu di Bali. Sebanyak (7/10) unta positif mengandung telur cacing Trichuris spp. yang diantaranya satu ekor unta di Bali Camel Adventure, tiga ekor unta di Bali Camel Safari, dan tiga ekor unta di Akame Camel. Penemuan Trichuris spp., pada unta punuk satu di Bali senada dengan laporan penelitian yang dilakukan oleh Umardhani (2011) yang melaporkan infeksi Trichuris spp. pada unta di Jawa Tengah dan pada penelitian tersebut hanya Trichuris spp., yang ditemukan pada unta. Prevalensi Trichuris spp. pada unta di India Selatan juga telah dilaporkan mencapai 50% (Mohanapriya et al. 2020). Hussein dan Musse, (2022) juga melaporkan prevalensi Trichuris spp. mencapai 15,5% pada unta di Ethiopia Timur sedangkan pada unta di Sokoto, Nigeria mencapai 7,41% (Mahmuda et al. 2014). Faktor yang menyebabkan tingginya infeksi Trichuris spp. dan Strongyloides spp. karena telur Trichuris spp. yang berdinding tebal dapat bertahan lama dilingkungan selama beberapa tahun yakni sekitar 3-4 tahun (Taylor et al. 2016), hal tersebut dapat menjadi faktor penentu sehingga relatif banyak ditemukannya telur cacing Trichuris pada unta.

Faktor utama yang memengaruhi prevalensi maupun infeksi parasit gastrointestinal pada unta punuk satu di Bali adalah manajemen pemeliharaan. Manajemen pemeliharaan di Bali Camel Adventure, Bali Camel Safari dan Akame Camel memiliki perbedaan. Unta yang berada di Bali Camel Adventure dipelihara dengan kandang yang terpisah (kandang individu), pada kandang terdapat pagar besi yang memisahkan kandang satu dengan yang lain dan di setiap kandang terdapat wadah khusus untuk pakan dan air minum, sedangkan unta yang berada di Bali Camel Safari dan Akame Camel dipelihara dalam

satu kandang wadah pakan dan minum juga menjadi satu di Bali Camel Safari sedangkan di Akame Camel wadah pakan dan minum hanya menggunakan bak plastik.

Manajemen pemeliharaan dengan memisahkan kandang antar unta terbukti dapat mengurangi infeksi parasit gastrointestinal pada unta yang dibuktikan dari hasil penelitian yang menunjukkan prevalensi parasit gastrointestinal pada unta yang berada di Bali Camel Adventure merupakan paling rendah antara Bali Camel Safari dan Akame Camel yang memiliki sistem pemeliharaan unta dengan kandang tidak terpisah. Bahkan seluruh jenis parasit gastrointestinal ditemukan positif pada unta di Akame Camel. Hal seperti ini juga dilaporkan pada penelitian yang dilakukan oleh Umardhani (2011) pada unta di Taman Rekreasi Margasatwa Serulingmas Banjarnegara, Jawa Tengah yang melaporkan pemisahan kandang unta satu dengan unta yang lain (terdapat dua unta) pada penelitian tersebut terbukti dapat mencegah terjadinya penularan kecacingan di antara unta.

Pemberian obat cacing kepada unta-unta yang berada di Bali Camel Adventure, Bali Camel Safari dan Akame Camel juga memiliki perbedaan pada jangka waktu pemberiannya. Pemberian obat cacing di Bali Camel Adventure dan Bali Camel Safari dilakukan selama tiga bulan sekali, sedangkan di Akame Camel pemberian obat cacing hanya dilakukan selama enam bulan sekali, hal ini juga dapat menjadi faktor tingginya infeksi parasit gastrointestinal pada unta-unta yang berada di Akame Camel dibandingkan dengan unta-unta yang berada di Bali Camel Adventure dan Bali Camel Safari. Selain sistem kandang yang kurang baik, pemberian obat cacing dengan jangka waktu yang cukup lama juga memengaruhi infeksi parasit gastrointestinal pada unta.

Protozoa tidak ditemukan pada unta punuk satu di Bali, faktor yang memengaruhi hal ini mungkin seperti yang dijelaskan oleh Rahmawati et al. (2018)

bahwa faktor yang memengaruhi prevalensi protozoa antara lain kepadatan populasi, distribusi geografis dan juga kondisi wilayah yang dapat memengaruhi perkembangan protozoa di wilayah tersebut. Unta-unta yang berada di Bali menghabiskan banyak waktunya di pantai dan ada kemungkinan wilayah pantai itu bukanlah tempat yang cocok untuk berkembangya protozoa. Jumlah populasi unta di Bali sangat kecil, hanya 10 ekor unta yang dipelihara atau terdistribusi di beberapa wilayah di Bali, kemungkinan juga menyebabkan mengapa tidak ditemukannya protozoa pada unta di Bali.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Parasit      gastrointestinal      yang

teridentifikasi pada unta punuk satu di Bali merupakan jenis cacing nematoda dengan prevalensi mencapai 90% sebanyak (9/10) unta positif. Jenis parasit gastrointestinal yang teridentifikasi pada unta punuk satu di Bali adalah Capillaria spp., Strongyloides spp., tipe Strongyle, Trichostrongylus spp., dan Trichuris spp.

Saran

Melihat tingginya prevalensi parasit gastrointestinal pada unta punuk satu di Bali disarankan untuk memperbaiki manajemen pemeliharaan guna mengurangi infeksi parasit gastrointestinal pada unta punuk satu di Bali. Perlunya penerapan pemisahan kandang unta dan meningkatkan kebersihan serta biosecurity kandang untuk mencegah infeksi parasit gastrointestinal. Waktu pemberian obat cacing secara berkala juga perlu diperhatikan agar dapat mengobati infeksi parasit gastrointestinal pada unta dengan maksimal. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, tentang penanganan yang efektif untuk membebaskan unta dari parasit nematoda gastrointestinal.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih kepada Seluruh pihak dan staff Bali Camel Adventure, Bali Camel

Safari, dan Akame Camel yang telah mengizinkan penulis dalam melakukan penelitian dan Laboratorium Parasitologi serta Diagnosa Klinik Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana yang telah memfasilitasi penulis dalam melakukan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Anvari-Tafti    M,    Sazmand    A,

Hekmatimoghaddam S, Moobedi I.

2013. Gastrointestinal helminths of camels (Camelus dromedarius) in center of Iran. Trop. Biomed. 30(1): 5661.

Biu AA, Abbagana A. 2007. Prevalence of paramphistomes in camels slaughtered at Maiduguri, Nigeria. Nigerian J. Parasitol. 28(1): 44-46.

Bouragba M, Laatamna A, Cheddad FE, Baroudi D, Houali K, Hakem A. 2020. Gastrointestinal parasites of dromedary camel (Camelus dromedarius) in Algeria. Vet. World. 13(8): 1635.

Cirak VY, Senlik B, Gulegen E. 2011. Gastrointestinal parasites of camels (Camelus dromedarius) from turkey and efficacy of doramectin against trichostrongyles. J. Camel Pract. Res. 18(2): 283-285.

Demelash K, Alemu F, Niguse A, Feyera T. 2014. Prevalence of gastrointestinal parasites and efficacy of anthelmintics against nematodes in camels in Yabello District, Southern Ethiopia. Acta Parasitol. Glob. 5(3): 223-231.

Desta, A. H. 2019. Major helminth parasites of Camelus dromedarius in afar pastoral area of Ethiopia. Iraqi J. Vet. Sci. 33(1): 117-122.

Dubey JP, Schuster RK. 2018. A review of coccidiosis in Old World camels. Vet. Parasitol. 262: 75-83.

Hamed MA, Abdelgadir AE. 2021. Survey on Gastro-intestinal Parasites Infection in One Humped Camels (Camelus dromedarius) in Al-Butana area, River Nile State, Sudan. Diag. Pathol. Open 5: 2.

Hussein HA, Musse AH. 2022. Prevalence of Camel Gastrointestinal Helminths in Selected Districts of Fafan Zone, Eastern Ethiopia.

Ibrahim AM, Kadle AA, Yusuf AA. 2016. Gastro-intestinal parasites of camels (Camelus     dromedarius)     from

Mogadishu, Somalia. Open J. Vet. Med. 6(07): 112.

Kusumamihardja S. 1995. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan Hewan Piaraan di Indonesia. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB.

Locklear TR, Videla R, Breuer RM, Mulon PY, Passmore M, Mochel JP, Smith JS. 2021. Presentation, clinical pathology abnormalities, and identification of gastrointestinal parasites in camels (Camelus  bactrianus and Camelus

dromedarius) presenting to Two North American Veterinary Teaching Hospitals. A retrospective study: 1980– 2020. Front. Vet. Sci. 8: 651672.

Madani I, Apsari IAP, Oka IBM. 2021. Identifikasi dan Prevalensi Cacing Strongyle pada Sistem Pemeliharaan Sapi Bali Terintergrasi di Mengwi, Badung, Bali. Indon. Med. Vet. 10(2): 223-232.

Mahmuda A, Mohammed AA, Alayande MO, Habila YI, Lawal MD, Usman M, Suleiman N. 2014. Prevalence and distribution of gastrointestinal parasites of working camels in Sokoto metropolis. Vet. World. 7(3): 108.

Mohanapriya T, Saravanan S, Ramprabhu R. 2020. Concomitant infection of Trichuris        globulosa        and

Trichostrongylus spp. in a dromedary camel.

Parsani HR, Singh V, Momin RR. 2008. Common parasitic Dis. of camel. Vet. World. 1(10): 317-318.

Radfar MH, Aminzadeh Gowhari M. 2013. Common gastrointestinal parasites of indigenous     camels     (Camelus

dromedarius)     with     traditional

husbandry management (free-ranging

system) in central deserts of Iran. J. Parasitic Dis. 37(2): 225-230.

Rahmawati E, Apsari IAP, Dwinata IM. 2018. Prevalensi infeksi protozoa gastrointestinal pada sapi bali di lahan basah dan kering di Kabupaten Badung. Indon. Med. Vet. 7(4): 324334.

Saidi R, Mimoune N, Chaibi R, Abdelouahed K, Khelef D, Kaidi R, Baazizi R. 2022. Camel gastrointestinal parasites in southern Algeria. Vet. Stanica. 53(3): 283-294.

San Diego Zoo Wildlife Alliance Library. 2021. Camels (extant/living species; Camelus spp.): Distribution & Habitat. https://ielc.libguides.com/sdzg/factshee ts/extantcamels/distribution

Sazmand A, Joachim A. 2017. Parasitic Dis. of camels in Iran (1931–2017)–a literature review. Parasite. 24.

Schuster RK, Wernery U. 2004. On intestinal parasites in dromedaries (Camelus dromedarius) in the Dubai Emirate, UAE. Multidisciplinarity Parasites, Vectors and Parasitic Dis. 2: 511-514.

Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology. Blackwell Publishing.

Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2016. Veterinary parasitology. John Wiley & Sons.

Umardhani T. 2011. Cacing Parasitik Pada Unta Punuk Satu (Camelus dromedarius) di Taman Rekreasi Margasatwa Serulingmas Banjarnegara Jawa Tengah. Skripsi. Bogor: IPB.

Wario S, Wubishet Z, Alemayehu M. 2020. Prevalence and associated risk factors of major prevalent gastrointestinal nematodes in camels of Borena Zone, Southern Ethiopia. J. Vet. Med. Res., 7(1), 1179.

Wernery U, Kaaden OR. 2002. Infectious Dis. in camelids. Georg Thieme Verlag.

Zajac AM, Conboy GA. 2012. Fecal examination for the diagnosis of parasitism. Vet. Clin. Parasitol. 8: 7273.

Tabel 1. Prevalensi Parasit Gastrointestinal pada Unta Punuk Satu di Bali

Lokasi Pengambilan Sampel

Jumlah Sampel

Positif (+)

Negatif (-)

Prevalensi (%)

Bali Camel Adventure

3

2

1

66,7

Bali Camel Safari

3

3

0

100

Akame Camel

4

4

0

100

Capillaria spp.

Tipe Strongyle

Strongyloides spp.

Trichostrongylus spp.

Trichuris spp.

Gambar 1. Jenis Parasit Gastrointestinal yang ditemukan pada Unta Punuk Satu di Bali

Tabel 2. Parasit Gastrointestinal pada Unta Punuk Satu di Bali Berdasarkan Lokasi

Pengambilan Sampel

Lokasi Pengambilan Sampel

Capillaria spp.

Tipe Strongyle

Strongyloides spp.

Trichostrongylus spp.

Trichuris spp.

Bali Camel

-

+

+

-

+

Adventure

Bali Camel

-

-

+

-

+

Safari

Akame Camel

+

+

+

+

+

1332