URGENSI PEMBENTUKAN ATURAN TINDAKAN

TRADING IN INFLUENCE TERHADAP

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

KORUPSI DI INDONESIA

I Dewa Gede Agung Krishna Putera, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Diah Ratna Sari Hariyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai bentuk-bentuk pola tindakan trading in influence yang menimbulkan perbedaan dengan jenis-jenis korupsi lainnya serta dapat menganalisis terkait urgensi pembentukan aturan tindakan trading in influence terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, permasalahan kasus dan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa trading in influence sebagai tindak pidana korupsi tidak hanya dilakukan oleh pejabat publik melainkan dapat dilakukan oleh orang biasa. Secara umum trading in influence dilakukan melalui tiga bentuk pola yakni: vertikal, vertikal dengan broker dan horizontal. Bentuk-bentuk pola tersebut menyebabkan perbedaan mendasar dengan jenis-jenis tindak pidana korupsi yang ada di Indonesia. Adanya perbedaan, menyebabkan kekosongan norma, dikarenakan keterbatasan aturan yang menyebut trading in influence sebagai tindak pidana korupsi. kekosongan norma tersebut akan menyulitkan aparat penegak hukum dalam mengungkap kasus yang terindikasi adanya tindakan trading in influence. Dilihat dari situasi yang ditimbulkan oleh tindakan trading in influence, perumusan ketentuannya menjadi suatu urgensi dalam hukum positif Indonesia. Nantinya, didalam merumuskan aturan trading in influence perlu mengadopsi ketentuan yang ada didalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) agar perubahan pasal ataupun pembaharuan undang-undang terkait tindak pidana korupsi dapat menciptakan suatu kepastian hukum, keadilan hukum serta kemanfaatan hukum.

Kata Kunci: Trading In Influence, Tindak Pidana Korupsi, Pembaharuan aturan.

ABSTRACT

This research aims to provide an understanding about the forms of trading in influence patterns that lead to diffrences from other types of corruption and to analyze the urgency of establishing trading in influence regulation in eradicating the corruption act in Indonesia. The method that used in this research is normative legal research with statutory, case and conceptual approach. Research results show that trading in influence as a criminal act of corruption can not only be carried out by public officials but it is also possible to be done by ordinary people. In general, trading in influence is carried out through three patterns, namely: vertical, vertical with a broker and horizontal. These forms of patterns lead to different types of corruption that exist in Indonesia. The existence of differences causes a void in norms, due to limited regulations which state trading in influence as an act of corruption. The void of norms, will make it difficult for law enforcement officials to uncover cases that indicate trading in influence. Judging from the situation caused by the act of trading in influence, the formulation of its provisions has become an urgency in Indonesia positive law. Later, regarding the formulation of trading in influence regulations, it is necessary to adopt the provisions contained in the United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) so that amending articles or reformed laws related to criminal acts of corruption can create legal certainty, legal justice and legal benefits.

Key Words: Trading In Influence, Criminal Acts of Corruption, Reformed Regulations.

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia merupakan negara hukum yang dinyatakan pada Pasal 1 ayat (3) UUD NRI tahun 1945. Selaku negara yang berlandaskan hukum, maka sudah sepantasnya seluruh peraturan serta mekanisme atau prosedur penyelenggaraan otoritas kepemerintahan negara mesti berpedoman akan hukum (rechstaat), bukan beralaskan atas kekuasaan semata (machstaat).1 Dengan kata lain, segenap perspektif dalam menjalankan kehidupan bernegara perlu adanya standar hukum yang mengurusnya. Begitupun pada aturan hukum pidana. Perubahan aturan hukum pidana akan selalu mengiringi situasi atau kondisi yang ditimbulkan atas kegiatan yang dijalankan oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan akan berdampak pada kenaikan angka kriminalitas kedepannya. Apabila adanya kenaikan suatu tindak kejahatan, maka diperlukan penegakan hukum yang tegas agar dapat menyelesaikan kasus kejahatan tersebut dengan tepat. Namun, saat ini terdapat tindak pidana yang sulit untuk diungkap. Lamanya pengungkapan kasus seringkali berkaitan atas kedekatan pelaku dengan pemegang kekuasaan. Tindak kejahatan ini identik dengan sebutan korupsi. Tindak kejahatan ini diketahui hampir bermunculan di setiap negara-negara di dunia. Bukan hanya berlangsung di negara-negara berkembang seperti Negara Indonesia, namun demikian terdapat pula di negara-negara maju sebut saja Amerika Serikat.2 Dampak dari kejahatan ini dipastikan akan sangat mempengaruhi bagi keseimbangan negara, entah itu dalam level negara berkembang atau negara maju.

Tindak pidana korupsi terkhusus pada Negara Indonesia telah hadir lebih dahulu sebelum maupun setelah kemerdekaan, baik di masa demokrasi terpimpin maupun pada masa demokrasi pancasila yang kemudian malah berkepanjangan di masa demokrasi reformasi sampai dengan kini. Adanya penyelewengan kekuasaan bersamaan dengan menduduki jabatan yang tinggi, acap kali menjadi pemicu kenapa kejahatan korupsi tetap berkembang dengan baik di Indonesia.3 Tindak pidana korupsi saat ini hadir tidaklah bertepatan dengan human eror yang dilakukan oleh seseorang dalam penginputan data keuangan yang dilakukan pada instansi lembaga keuangan negara atau daerah/kota. Akan tetapi, merupakan suatu kejahatan korupsi yang dilaksanakan secara terstruktur oleh oknum-oknum yang telah mengerti seluk-beluk anggaran pemerintah, mulai pada tingkat perencanaan hingga pendistribusiannya.4 Berlandaskan akan perkembangan tindak pidana korupsi yang semakin sistematik, dapat dipastikan akan sangat berpeluang menghancurkan perekonomian negara, mencelakai stabilitas serta keamanan warga negara, menodai kehidupan sosial politik dan bisa mengendorkan mutu atas integritas maupun kedaulatan yang dimiliki negara. Munculnya berbagai bahaya yang ditimbulkan oleh kejahatan korupsi, harus diiringi dengan pola penanggulangan dengan metode comprehensive extra ordinary measures dengan membentuk berbagai ketentuan, badan hukum serta komisi yang tujuannya

untuk menghilangkan tindak pidana korupsi di Indonesia.5 Segala bentuk tindakan telah ditempuh untuk bisa menggagalkan, membendung maupun menghentikan tindak pidana ini. Namun, sampai sejauh ini masih sangat sulit untuk memberatasnya, praktik tindak pidana korupsi seakaan tidak ada matinya.

Dalam perkembangannya saat ini tindak pidana korupsi memperlihatkan berbagai modus baru yang begitu kompleks dan dinamis. Kasus korupsi bukan sekedar berkaitan mengenai tindakan melanggar hukum yang diperbuat oleh seseorang berintelektual tinggi (otoritas negara) yang memanipulasi data negara untuk kepentingan pribadi, namun kejahatan korupsi sekarang ini bisa saja keluar dari lingkup tersebut. Tindak kejahatan korupsi, yang berpotensi bisa dijalankan oleh orang biasa atau sekelompok orang yang mempunyai suatu tujuan tertentu disertai adanya jaringan melalui penguasa, dapat dilakukan melalui cara tindakan perdagangan pengaruh atau sering disebut dengan trading in influence.

Tindakan Trading in influence dapat diketahui sebagai jenis kejahatan dengan menggunakan konsep trilateral relationship ataupun bilateral relationship dalam menjalankan aksi kejahatannya.6 Mekanisme trading in influence bisa digambarkan ketika seseorang yang memiliki kepentingan (klien), meminta pertolongan kepada seseorang yang memperdagangkan pengaruhnya (calo) dari pejabat pemegang kewenangan yang dikenali. Singkatnya, untuk dapat merealisasikan kepentingannya tersebut, calo akan melakukan segala cara untuk mempengaruhi pejabat publik pemegang kekuasaan agar dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk keuntungan yang bukan sepantasnya diterima oleh kliennya.7 Kemudian dalam prosedur hukum untuk memproses penyelesaian kasus tindak kejahatan trading in influence pada negara-negara di dunia yaitu berdasarkan ketentuan dari The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Mengenai isi dari konvensi tersebut dibagi menjadi 8 BAB aturan berkenaan terhadap cara-cara menindak kejahatan korupsi sesuai jenis tindakannya. Selanjutnya, terkait ketentuan tindakan trading in influence dijelaskan dalam BAB ke-3 yang secara terperinci diatur pada Pasal 18 huruf (a) serta (b).8 Terciptanya konvensi ini merupakan suatu bentuk kepedulian negara-negara di dunia atas munculnya berbagai macam masalah serta bahaya didalam kesejahteraan negara akibat tindak pidana korupsi. Perlu diketahui bahwa satu diantara negara-negara yang ikut mengesahkan The United Nations Convention Against Corruption yang dilangsungkan di Mexico, ialah Negara Republik Indonesia, yang kemudian melalui UU No. 7/2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, telah dan secara resmi meratifikasinya menjadi peraturan perundang-undang.

Setelah Negara Indonesia mengesahkan UNCAC menjadi undang-undang, nampaknya keadaan penegakan hukum terkait kejahatan korupsi jurstru belum masuk kategori yang maksimal. Keadaan yang demikian, dikarenakan pasifnya pemerintah dalam membentuk aturan yang patut serta motif kejahatan korupsi dan aktor tindak pidana korupsi umumnya selalu berhubungan dengan cabang-cabang kekuasaan yang

menduduki jabatan tinggi. Dapat dilihat, dalam merespon perkembangan korupsi yang terjadi seperti trading in influence ini, justru pemerintah negara (eksekutif dan legislatif) tidak melakukan perbaikan ketentuan pada UU No. 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Padahal dalam undang-undang tersebut tidak ada pengaturan mengenai trading in influence. Seharusnya, sebagai negara yang telah mengesahkan UNCAC menjadi undang-undang, Indonesia mampu untuk mengakomodir aturan-aturan tindak kejahatan korupsi yang belum mempunyai keterkaitan dengan ketetapan-ketetapan dalam konvensi tersebut.

Keadaan seperti ini menyebabkan timbulnya penegakan hukum yang kurang maksimal dalam menyelesaikan kasus yang ada, berkaitan dengan trading in influence. Aparat penegak hukum di Indonesia, dalam pemberian hukuman kepada pelaku trading in influence acapkali mengaitkannya dengan korupsi jenis gratifikasi ataupun suap. Padahal tindakan trading in influence sangat berlainan dengan korupsi jenis suap ataupun gratifikasi.9 Trading in influence merupakan konsep tindakan yang sangat sulit untuk terdeteksi, apalagi dilakukan oleh seorang anggota partai politik atau seseorang yang bukan merupakan pejabat publik. Jika dicermati terdapat beberapa kasus penyuapan yang selayaknya menurut penulis, kasus tersebut mengarah pada tindakan trading in influence. Dapat dilihat dalam kasus yang pertama, pada nomor putusan 89/Pid.Sus-TPK/2021/PN. Jkt. Pst., yang melibatkan tersangka Azis Syamsuddin. Putusan dari kasus tersebut menyebutkan bahwa yang bersangkutan bersalah secara sah serta meyakinkan membantu proses penyelenggaraan kasus di lingkungan KPK yang terdeteksi adanya tindak kejahatan korupsi jenis suap. Tersangka berperan sebagai perantara antara Walikota nonaktif Tanjungbalai (M. Syahrial) dengan mantan peyidik KPK (Stepanus Robin Pattuju) dalam upaya untuk memberi bantuan mengurus perkara jual beli jabatan pada Pemkot Tanjungbalai, agar tidak naik ke tingkat penyidikan yang saat itu sedang diproses oleh KPK.10 Agar proses lobi-melobi berjalan mulus tersangka nantinya, akan diberikan sejumlah uang senilai Rp. 4.000.000.000 jika permasalah tersebut berhasil direalisasikan sesuai tujuan yang dinginkan Walikota nonaktif Tanjungbalai (M. Syahrial). Di dalam putusan terkait kasus tersebut, menjelaskan bahwa Azis Syamsuddin seharusnya paham atau patut mencurigai bahwa uang tersebut adalah hadiah agar Azis Syamsuddin dan Stepanus Robin Pattuju menolong M. Syahrial agar dapat mengurus perkara jual beli jabatan di Pemkot Tanjungbalai agar tidak naik ke tingkat penyidikan.

Kemudian, kasus yang kedua dengan nomor putusan 87/2019/PN. Jkt. Pst., yang menyeret nama Muchammad Romahurmuziy (Ketua Dewan Pembina Partai Persatuan Pembangunan). Romahurmuziy, dinyatakan menjadi tersangka pada perkara jual beli jabatan di Kemenag RI, terkait suap. Pada putusan yang ada disebutkan bahwa yang bersangkutan bersinergi dengan Menteri Agama dalam membantu meloloskan calon-calon pejabat yang nantinya akan menduduki jabatan di Kemenag pusat maupun di daerah. Disebutkan bahwa antara periode dari tanggal 6 januari hingga 9 maret tahun 2019, mereka menjalankan sesuatu tindakan yang disinyalir adanya suatu tindakan berlanjut, yakni mendapatkan uang berjumlah total Rp. 325.000.000 melalui salah satu

peserta seleksi jabatan yaitu Haris Hasanuddin. Romahurmuziy sepantasnya memahami atau dapat mencurigai bahwa uang itu diserahkan atas tindakan tersangka yang secara langsung atau tidak langsung ikut mencampuri urusan Kemenag dalam sistem penetapan Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag Provinsi Jawa Timur, dengan Haris Hasanuddin sebagai pemegang jabatannya. Merujuk dari dua kasus tersebut, sangat mencerminkan adanya tindakan trading in influence sehingga selayaknya, diperlukan suatu bentuk pengaturan tindak pidana korupsi tentang trading in influence dalam produk hukum Indonesia.

Beberapa penelitian terkait trading in influence, khususnya yang membahas tentang pentingnya pembentukan aturan terhadap tindakan tersebut di Indonesia dapat dilihat pada sejumlah penulisan penelitian yang diantaranya: pertama, terdapat penelitian Ansi Lailatul Fajriah, Ni Ketut Sari Adnyani dan Made Sugi Hartono (2021), melalui jurnal berjudul “Perdagangan Pengaruh (Trading In Influence) Ditinjau Dari Perspektif United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)”. Penelitian ini menekankan pada analisa ketentuan terhadap trading in influnce yang mengacu pada perspektif United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Penelitian mengutamakan membedah aturan-aturan yang ada di dalam UNCAC untuk dikomparasikan dengan undang-undang tentang korupsi yang ada di Indonesia.11 Kedua, Penelitian Sheryn Lawrencya (2021), dalam jurnal berjudul “Faktor Penghambat Kebijakan Formulasi Trading In Influence Sebagai Korupsi di Indonesia”, yang merupakan penelitian yuridis normatif dengan memfokuskan penelitian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi terhambatnya kebijakan formulasi aturan atas tindak kejahatan korupsi dengan tindakan trading in influence sebagai motifnya.12 Ketiga, Penelitian Yolanda Islamy (2021), berjudul ”Urgensi Pengaturan Trading In Influence Sebagai Sarana Pembangunan Masyarakat”. Penelitian ini menganalisa keharusan Negara Indonesia mengadopsi aturan yang ada didalam UNCAC untuk tujuan pembagunan masyarakat yang bersih dari tindak kejahatan korupsi dengan motif trading in influence sebagai konsep pelaksanaannya.13

Mengacu pada beberapa penelitian yang mengangkat issue seputar pembentukan aturan trading in influence terhadap reaktualisasi produk hukum Negara Indonesia, mencerminkan bahwa memang perkembangan tindak kejahatan ini sangat intens terjadi dan memerlukan suatu aturan untuk memagari kesenjangan tindakan tersebut. Penulisan penelitian ini akan menjelaskan secara rinci bahwa trading in influence sebagai perbuatan korupsi memiliki unsur adanya ”kualitas pelaku”, sehingga menimbulkan suatu polemik yang cukup menarik. Dapat diketahui ketika yang melakukan tindakan trading in influence bukanlah pejabat publik, melainkan hanya orang biasa yang ingin meraih keuntungan melalui kedekatan personalnya dengan penguasa, sulit untuk dijerat dikarenakan tindak pidana korupsi merupakan suatu delik jabatan. Adanya permasalahan tersebut tercipta dikarenakan dampak dari kekosongan norma atau aturan, yang tidak dapat menjangkau tindakan seseorang tersebut akibat syarat ”kualitas pelaku” itu sendiri. Pembentukan atau perumusan aturan baru terkait tindakan trading in influence sebagai motif dari kejahatan korupsi merupakan sesuatu yang urgent terhadap kemajuan proses penegakkan hukum di Indonesia. Maka dari itu,

penulis akan mengkaji dan menganalisis lebih lanjut permasalahan tersebut melalui penulisan penelitian yang berjudul ”Urgensi Pembentukan Aturan Tindakan Trading In Influence Terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berlandaskan dari latar belakang di atas, maka dalam penulisan penelitian ini mengangkat rumusan permasalahan yang diantaranya :

  • 1.    Apa saja bentuk-bentuk pola tindakan trading in influence sehingga menimbulkan perbedaan dengan jenis-jenis korupsi yang ada di Indonesia ?

  • 2.    Bagaimana urgensi pembentukan aturan tindakan trading in influence terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia ?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini yakni untuk memberikan pemahaman mengenai bentuk-bentuk pola tindakan trading in influence sehingga menimbulkan perbedaan dengan jenis-jenis korupsi lainnya yang yang ada di Indonesia, dan dapat mengetahui serta menganalisis urgensi pembentukan aturan tindakan trading in influence terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

  • 2.    Metode Penelitian

Penulisan penelitian ini akan menggunakan metode penelitian hukum normatif, yang berkenaan mengenai adanya kekosongan norma terkait tindakan trading in influence pada ketentuan tindak pidana korupsi di indonesia. Penulisan penelitian akan mempertimbangkan ketentuan yang lebih dahulu sudah hadir serta menyampaikan pemikiran untuk merumuskan ketentuan anyar sesuai dengan yang didambakan sah nantinya (ius constituendum). Penulisan penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pendekatan permasalahan kasus dan pendekatan konseptual.14 Pendekatan peraturan perundang-undangan (statue approach) adalah penelitian hukum dengan didasarkan atas hipotesis, prinsip-prinsip hukum serta ketentuan-ketentuan peraturan yang berkenaan pada topik penulisan penelitian. Pedekatan kasus (case approach) didasarkan dengan menelaah pemanfaatan dari ketentuan-ketentuan hukum yang dipergunakan dalam penyelesaian masalah hukum, dan memakai hasil kajiannya sebagai bakal anjuran dalam kontruksi hukum. Pendekatan konseptual (conceptual approach) dilaksanakan berlandaskan melalui ajaran yang berkembang dalam disiplin hukum, sehingga kemudian mendapat buah pikiran yang memunculkan asas-asas hukum, konsep, dan pengertian yang sesuai dengan topik penelitian. Metode pengumpulan bahan hukum dilaksanakan melalui riset kepustakaan (library research), dengan didasarkan atas dua sumber pokok, yakni : pertama, sumber hukum primer yang menyangkut ketentuan peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan atau yurisprudensi. Kedua, sumber hukum sekunder terdiri atas aneka buku-buku hukum serta artikel ilmiah yang berkaitan dengan penelitian. Teknik analisa bahan-bahan hukum dilaksanakan melalui metode deskriptif, komparatif, evaluatif serta argumentatif guna menjabarkan permasalahan hukum yang hadir serta nantinya dapat memperoleh pertimbangan untuk membentuk suatu pemikiran yang dapat menyelesaikan permasalah yang ditimbulkan.15

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Bentuk-Bentuk Pola Tindakan Trading In Influence Sehingga Menimbulkan Perbedaan Dengan Jenis-Jenis Korupsi Yang Ada di Indonesia

Tindakan trading in influence atau sering disebut sebagai memperdagangkan pengaruh ialah pola korupsi dengan menggunakan motif bilateral relationship dan trilateral relationship. Tindak pidana ini pada umumnya menyertakan tiga orang pelaku, dengan peranannya masing-masing. Sebut saja dua orang pelaku dari sudut pemilik atau pemegang kewenangan, serta calo atau broker sebagai orang yang memperdagangkan pengaruh (tidak harus pejabat publik) dari kewenangan yang dimiliki oleh pejabat publik. Kemudian, satu orang lagi sebagai pembeli pengaruh dari calo, agar kepentingan yang tidak sepantasnya didapat, bisa direalisasikan melalui calo dan tidak langsung ke pejabat publik. Untuk memudahkan pemahaman terkait tindakan trading in influence, setidaknya dapat dibagi menjadi tiga pola cara dalam melakukan tindaknya. Pertama, bentuk pola vertikal. Terkait bentuk trading in influence dengan pola vertikal, dapat diketahui bahwa mereka yang mempunyai pengaruh umumnya merupakan pengontrol otoritas kepemerintahan. Dimiliknya pengaruh tersebut tidak lain diperuntukan untuk membagi sejenis ”uang perangsang” terhadap suatu individu ataupun kelompok khusus. Bentuk pola tindakan trading in influne seperti ini sering dijumpai dalam negosiasi lembaga tertentu ataupun partai politik dengan menyertakan orang yang mempunyai pengaruh.16

Dalam bentuk pola vertikal digambarkan sebuah kasus, bahwa terdapat ”seorang pebisnis tambang sebut saja (A) yang dikenal sebagai tim sukses perpolitik dari kepala daerah (B) di kota (X). Maksud dan tujuannya (A) disini, ialah hendak memperbarui besaran pembayaran pajak pada peraturan daerah di kota (X) tersebut. Peraturan daerah terkait pembayaran pajak, menyatakan untuk mobil ataupun truk tambang yang melintasi kota (X) mesti membayar pajak senilai Rp. 30.000/ton dari pendapatan tambang yang melintasi jalan kota (X)”.17 Dalam hal ini timbulah konsep perdagangan pengaruh. Si pebisnis tambang (A) melobi kepala daerah (B). Proses lobi-melobi dilakukan sangat mudah, dikarenakan dahulu si pebisnis tambang (A) sempat menjadi tim sukses perpolitikannya (B). Akhirnya, revisi peraturan daerah terkait pembayaran pajak pun dilakukan dengan cepat. Setelah revisi aturan selesai dan disetujui oleh DPRD, nominal pembayaran pajak diubah menjadi Rp. 7.000/ton. Dilihat dari apa yang diperbuat oleh pebisnis tambang dengan kepala daerah, dapat dianalisis bahwa adanya dorongan untuk memperbarui aturan tersebut didasarkan atas balas budi semata, dikarenakan pebisnis bersangkutan merupakan tim sukses pada kiprah politiknya. Kemudian pada perkara ini pula si kepala daerah tidak mendapat imbalan apapun. Akan tetapi, apabila si kepala daerah memperoleh sejumlah fee atau imbalan atas jasanya memperbarui aturan tersebut, sangat tepat untuk dikenakan sanksi berupa ketentuan mengenai suap atau gratifikasi.

Selanjutnya, dalam bentuk pola trading in influence yang kedua dikenal istilah bentuk pola vertikal dengan broker. Motif dari pola ini yakni, seseorang atau sekelompok orang akan menjadi broker yang mempunyai tujuan memanfaatkan pengaruh pejabat publik, yang umumnya dijalankan ketika ada suatu kegiatan seleksi

penematan jabatan atau pengadaan barang dan jasa.18 Untuk memahami bentuk pola ini dapat dijabarkan suatu ilustrasi kasus, yaitu ”terdapat pihak yang berpengaruh sebut saja (A) adalah salah seorang majelis hakim dalam sengketa sebidang tanah. (A) mempunyai seorang anak sebut saja (B) yang merupakan pegawai swasta. Dalam rangka menghasut putusan dari majelis hakim (A), pihak yang berperkara sebut saja (C) menghubungi anaknya (A)”.19 Dalam alurnya (C) akan menghubungi (B) agar dapat menghasut putusan yang dikeluarkan (A). Setelah dijanjikan akan diberikan sebuah mobil mewah, akhirnya (C) berhasil melobi (B). Sehingga, (C) berhasil memenangkan sengketa tersebut. Maka dapat dianalisis bahwa hakim (A) telah dihasut anaknya (B) untuk menentukan putusan dalam suatu kasus. Walaupum hakim (A) tidak mendapatkan uang, tetap saja ia dapat dihukum sesuai ketentuan pasal trading in influence pasif. Kemudian (B) secara jelas telah menyetujui perjanjian dalam menghasut hakim (A) (orangtuanya), akibatnya ia dibekuk dengan ketentuan trading in influence pasif. Selanjutnya (C) sebagai pihak yang bersengketa dijerat dengan perdagangan pengaruh atau trading in influence aktif, dikarenakan telah memberikan sesuatu kepada B agar menghasut hakim (A).

Terakhir, bentuk pola trading in influence yang ketiga ialah bentuk pola horizontal. Pada pola trading in influence seperti ini, mereka yang memiliki kepentingan akan membagikan imbalan terhadap seseorang yang mempunyai pengaruh, dan bukan termasuk pejabat publik atau yang disebut dengan calo untuk memuluskan kepentingannya dengan tujuan mendekati pejabat pemegang kewenangan yang memiliki pengaruh. Jika saja klien langsung memberikan uangnya kepada pejabat pemegang kewenangan tersebut, barang tentu dapat dibekuk melalui ketentuan suap. Bentuk pola horizontal, sering dijumpai pada lingkungan partai politik yang memiliki kedekatan terhadap pemegang kewenangan di lembaga legislatif maupun eksekutif. Dalam memahami bentuk pola horizontal disini dapat digambarkan sebuah ilustrasi kasus, yaitu ”Seorang pengusaha kontruksi (klien) sebut saja (A) menjajaki pendekatan dengan salah seorang ketua dewan pembina partai politik (calo) sebut saja (B) dengan tujuan bisa mendapatkan pekerjaan dalam pengadaan barang dan jasa di kementerian ESDM. Adanya kedekatan antara (A) dengan (B), diharapkan mampu melobi salah seorang pejabat publik/menteri (C) yang diketahui merupakan kader partai, yang diketuai oleh (B)”.20 Penjabaran kasusnya dijelaskan demikian, sebagai pengusaha kontruksi (A) mendapat sebuah kabar bahwa kementrian ESDM akan mengadakan mega proyek dalam bidang barang dan jasa senilai 100 miliar. Namun (A) menyadari, agar mampu mendapat pekerjaan tersebut banyak rintangan yang harus dilewatinya. Kemudian, (A) mendekati menteri (C) di kementrian tersebut lewat (B) dikarenakan ia adalah ketua dewan pembina partai politik dari si menteri (C). Ketika ketua dewan pembina partai politiknya sudah turun tangan, si menteri akan sangat mudah untuk dipengaruhi. Pengusaha tersebut telah berjanji jika tender dapat dimenangkan, (B) akan mendapatkan 5 % dari nilai kontrak proyek. Singkatnya, proses tender berhasil dimenangkan oleh si pengusaha (A) selanjutnya diberikanlah uang tersebut sesuai perjanjian awal kepada (B) sebagai tanda balas budi. Pasal tentang delik suap tidak bisa menjerat Ketua Dewan Pembina Parpol. Hal ini dikarenakan (B) bukan merupakan pejabat penyelengara negara yang mempunyai otoritas jabatan yang menempel di dalam dirinya, maka ketentuan-ketentuan terkait delik suap dalam UU No. 20/2001

tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 5, Pasal 11 dan Pasal 12 a) tidak bisa membekuk yang bersangkutan. Hal ini sangat disayangkan, sekelas pimpinan partai politik yang memperoleh commitment fee serta dipandang sebagai beneficiary actor pada kasus tersebut bisa lepas dari jeratan hukum.

Dengan adanya tiga bentuk pola trading in influence ini menyebabkan perbedaan aturan dengan jenis-jenis korupsi yang ada di Indonesia. Dapat diketahui perbedaan tindak pidana korupsi jenis suap serta gratifikasi dengan trading in influence, secara mendasar terlihat dalam pengaturannya, bahwa trading in influence diatur pada Pasal 18 (a) dan (b) United Nation Convention Against Corruption yang secara tegas belum diatur di Indonesia. Sebaliknya, korupsi jenis suap diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2), Pasal 11, UU No. 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian, terkait tindak pidana korupsi yang berjenis gratifikasi diatur dalam Pasal 12 (a), (b) dan (c) termasuk tambahannya, Serta Pasal 13 UU No. 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 21 Mengenai pihak yang terlibat dalam tindakan trading in influence dijelaskan bahwa tindak pidana korupsi ini dilakukan meanfaatkan konsep bilateral relationship serta trilateral relationship. Sementara itu, dalam kejahatan korupsi jenis suap serta gratifikasi menggunakan konsep bilateral relationship saja. Dalam perbedaan pada subjek hukumnya diketahui bahwa trading in influence terkait orang yang melakukan pelanggaran tidak harus pejabat negara, akan tetapi mempunyai kapabilitas ataupun kontrol terhadap pejabat publik. Sebaliknya dalam tindak pidana korupsi jenis suap dan gratifikasi berkenaan terhadap subjek hukumnya mengacu pada orang yang memperoleh ataupun yang memberikan perjanjian merupakan pejabat publik. Sementara dalam konteks bentuk perbuatan, trading in influence dilakukan oleh seseorang dengan tidak adanya sesuatu yang bertolak belakang antara kewajiban ataupun kewenangannya. Sebaliknya dalam kasus gratifikasi atau suap bentuk perbuatannya, mengacu pada tindakan pelaku yang bertolak belakang terhadap kewajiban ataupun kewenangannya. Terakhir perbedaan dalam hal bentuk penerimaan kejahatan tindak korupsi jenis trading in influence berfokus pada pelaku yang sepantasnya tidak mendapat keuntungan atas perbuatannya. Dapat dikatakan lingkupnya sangat besar daripada gratifikasi atau suap. Selanjutnya, terkait gratifikasi atau suap penerima mendapat suatu hibah ataupun perjanjian. Tekait hibah atau perjanji yang diberikan bisa dimengerti sebagai sesuatu hal yang mempunyai arti22

Sementara itu, dalam bentuk pola tranding in influence horizontal, dalam konteks pernyataan tentang ”mereka dari sisi yang memperdagangkan pengaruh menuntut imbalan dari klien berdasarkan pengaruh yang diberikan” yang menurut berbagai pihak dapat diartikan sebagai suatu pemerasan. Namun, dapat diketahui baik itu tindakan trading in influence dan tindak pidana korupsi jenis pemerasan mempunyai perbedaan. Dalam hal tindakan pemerasan, didasarkan atas perbuatan tersangka yang memiliki unsur ancaman ataupun kekerasan terhadap korbannya. Sementara itu, terkait tindakan trading in influence, berkenaan terhadap konsepnya tidak diiringi dengan unsur ancaman ataupun kekerasan. Sementara itu, dalam ketentuan mengenai pemerasan disini terdapat dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP yang kemudian diperbaharui dalam Pasal 482 ayat (1) serta Pasal 483 ayat (1) dan (2) pada KUHP baru atau UU No. 1/2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Berkaitan pemerasan disini disebut sebagai

tindak pidana korupsi dijelaskan tindakan tersebut dilakukan oleh pejabat publik yang diatur dalam ketentuan Pasal 12 huruf (e), (f) dan (g) UU No. 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini berbanding terbalik dengan trading in influence. Tindak kejahatanya lebih menekankan pengaruh yang telah dikantongi untuk selanjutnya, dijalankan melalui cara berdiskusi kepada broker ataupun terhadap seseorang yang berkuasa.

  • 3.2.    Urgensi Pembentukan Aturan Tindakan Trading In Influence Terhadap

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Keterbatasan aturan tindak pidana korupsi yang berlaku terkait trading in influence mengakibatkan para pelaku susah untuk dijerat. Maka dari itu diperlukan analisa lebih tegas, apakah tindak pidana korupsi dengan motif trading in influence wajib dimasukkan dalam pasal tersendiri, merupakan sesuatu yang urgent untuk segera dirumuskan?. Kemudian, apakah dengan hal tersebut menjadikan tindakan trading in influence secara otomatis diakui sebagai delik tersendiri? Ataukah eksistensi dari ketentuan-ketentuan pada UU No. 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta ketentuan-ketentuan mengenai ”ikut serta” pada KUHP sudah memadai untuk membekuk pelaku-pelaku tindakan trading in influence? Untuk menanggapi semua pertanyaan tersebut, selanjutnya akan dikaji melalui kasus-kasus yang berimplikasi menurut penulis, adanya tindak pidana korupsi trading in influence di dalamnya.

Pertama, kasus korupsi jenis suap mengenai pertolongan penyelesaian kasus pada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang menyeret nama Azis Syamsuddin (2021). Sesuai putusan nomor 89/Pid.Sus-TPK/2021/PN Jkt. Pst., menetapkan saudara Azis Syamsuddin sebagai tersangka. Azis mendapat sanksi berupa pidana penjara 3 tahun dan 6 bulan serta pidana denda sebesar Rp. 250.000.000 atau diganti dengan pidana kurungan 4 bulan dan mencopot hak perpolitik tersangka selama 4 tahun dihitung semenjak tersangka telah melaksanakan pidana pokok.23 Kemudian dari sisi PPATK telah memberikan Political Exposed Person (PEP) kepada tersangka. Sehingga sepatutnya tersangka bisa berhati-hati menggunakan kewenangan politiknya dalam memperoleh kekayaan agar tidak bermasalah dengan hukum. Menurut penulis, Azis Syamsuddin terindikasi melakukan tindakan trading in influence bentuk pola horizontal. Dinyatakan masuk pola horizontal, karena mengacu pada yang bersangkutan merupakan orang yang menjadi penghubung antara kliennya dengan pejabat publik yang memiliki pengaruh. Disini Azis Syamsuddin yang kala itu sedang menduduki jabatan Wakil Ketua DPR-RI (dari partai golkar) berperan mempertemukan Walikota Tanjungbalai yang saat itu dijabat oleh M. Syahrial dengan Stepanus Robin Pattuju (penyidik KPK). Dalam pertemuan tersebut Azis Syamsuddin sebagai pihak yang mempengaruhi penyidik KPK, meminta agar Stepanus Robin Pattuju (Penyidik KPK) dapat mengatur perkara jual beli jabatan di Pemkot Tanjung Balai yang sedang diproses oleh KPK supaya tidak naik ke tingkat penyidikan.24 Dalam aktivitas lobi-melobi tersebut Azis Syamsuddin dijanjikan oleh Walikota Tanjungbalai (M. Syahrial)

sejumlah uang senilai Rp. 4.000.000.000 jika berhasil melobi penyidik KPK (Stepanus Robin Pattuju) untuk dapat mengurus perkaranya tersebut. Singkatnya, aktivitas lobi-melobi berjalan lancar dan Azis Syamsuddin berhasil mempengaruhi Stepanus Robin Pattuju (Penyidik KPK) untuk mengatur perkara Walikota Tanjungbalai yang sedang diproses KPK. Dengan demikian, didapatlah uang yang dijanjikan oleh Walikota Tanjungbalai tersebut.

Kedua, tindakan trading in influence terindikasi pula dalam perkara di Kementrian Agama berkaitan dengan adanya jual beli jabatan. Pada putusan nomor: 87/Pid.Sus-TPK/2019/PN. Jkt. Pst., dijelaskan bahwa Muchammad Romahurmuziy sebagai tersangka dinyatakan resmi bersalah dengan menjalankan perbuatan korupsi secara bersama-sama serta berlanjut sesuai ketentuan pada Pasal 11 UU No. 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.25 Hal ini sangat sesuai dengan hasil tinjauan dari PPATK yang menyatakan adanya transanksi mencurigakan ditubuh Kemenag RI dengan aktor utama yakni Romahurmuziy.26 Berkenaan dengan hal tersebut, menurut penulis dalam perkara ini terindikasi adanya suatu perbuatan atau tindakan trading in influence dengan bentuk pola horizontal. Dapat dilihat melalui putusan yang telah dinyatakan oleh majelis hakim serta infromasi yang diberikan oleh PPATK yang secara rahasia diteruskan ke KPK bahwa tersangka (pihak yang dapat mempengaruhi merangkap calo) selaku Ketua Dewan Pembina Partai Persatuan Pembangunan (P3) sekaligus selaku anggota DPR-RI yang melaksanakan intervensi terhadap saksi Menteri Agama yang kala itu dipegang oleh Lukman Hakim Saifuddin (orang berpengaruh) terkait proses seleksi aparatur pemerintah di jajaran Kemenag RI bagian Pejabat Tinggi Pratama. Tujuan dilakukan intervensi tersebut adalah agar saksi Haris Hasanuddin (klien/pihak berkepentingan) berhasil menduduki kursi Kepala Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Timur. Saksi juga telah memberi sejumlah uang kepada tersangka (Muchammad Romahurmuziy).

Mengacu pada pertimbangan daripada badan atau lembaga hukum tersebut, sangat memperlihatkan telah terjadinya tindakan trading in influence sebagai bentuk kejahatan korupsi yang dijalankan oleh tersangka kepada saksi. Hal tersebut selaras terhadap apa yang diperbuat oleh tersangka, yakni telah menerima sejumlah uang yang disinyalir menjadi suatu hadiah yang diberikan oleh saksi Haris Hasanuddin sebanyak dua tahap. Tahap pertama, saksi memberikan uang sebesar Rp. 5.000.000 pada tanggal 6 Januari 2019. Kemudian, tahap kedua pada tanggal 6 Februari 2019 saksi kembali memberikan sejumlah uang sebesar Rp. 250.000.000 sebagai imbalan kepada Romahurmuziy yang telah menolongnya dalam proses pengangkatan menjadi Kepala Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Timur. Walaupun dinyatakan demikian, tersangka masih saja mengelak bahwa dia tidak sempat mendapat uang yang diungkapkan oleh Haris. tersangka pada dasarnya tidak mempunyai otoritas di Kemenag RI. Akan tetapi, sebagai Ketua Dewan Pembina parpol dari Partai Persatuan Pembangunan (P3), memanfaatkan relasinya mengingat Menteri Agama merupakan anggota partainnya. Berkaitan pada perkara ini apabila tersangka bukan merupakan anggota DPR-RI, dapat dipastikan KPK akan susah untuk melakukan tindakan terhadap tersangka jika ia hanya mempunyai jabatan di partai politiknya saja. Hal ini mengacu pada ketentuan UU No. 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, tidak mengatur mengenai korupsi yang dilakukan oleh seorang yang bukan merupakan pejabat pemerintah (legislatif atau eksekutif).

Merujuk dari kasus-kasus diatas, terlihat timbul suatu efek yang sangat serius dari perdagangan pengaruh pada pelanggaran hukum mengenai delik gratifikasi ataupun suap. Siasat yang dilakukan untuk tujuan menguntungkan diri sendiri sangat tertolong dengan adanya pihak yang memperdagangkan pengaruhnya, dikarenakan terbukanya suatu akses yang secara langsung dapat menghubungkan pihak yang memiliki kepentingan dengan pihak pemegang kewenangan. Kemudian PPATK sebagai lembaga analisis transaksi keuangan yang independen, seharusnya berani bersuara terkait korupsi kepada KPK yang cepat atau lambat akan berkembang menjadi tindak pidana pencucian uang. Berdasarkan hal tersebut menjelaskan bahwa pengaturan trading in influence di Indonesia merupakan sesuatu yang urgent terkait mengoptimalisasi program pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Pada kasus tersebut dapat diketahui bahwa mereka yang melakukan tindakan trading in influence yang merupakan pejabat publik atau penyelenggara negara serta sebagai Political Exposed Person (PEP) mengacu pada ketentuan UU No. 19/2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dapat dijerat dengan UU No. 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Disinilah muncul persoalan, bagaimana jika yang melakukan tindakan tersebut bukan merupakan pejabat publik? tidak ada kebijakan yang mengatur hal ini. Sehingga dapat dikatakan adanya suatu kekosongan aturan pada undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Kekosongan norma tersebut muncul atas buntut dari belum diadopsinya ketentuan perdagangan pengaruh atau trading in influence di Indonesia, yang berpedoman pada ketentuan BAB 3, Pasal 18 United Nation Convention Against Corruption (UNCAC).27

Demi menanggulangi kekosongan dikarenakan belum diimplementasikannya UNCAC kedalam aturan tindak pidana korupsi di Indonesia. Setidaknya, langkah aparat penegak hukum ketika terdapat indikasi adanya tindakan trading in influence didalam sebuah kasus tindak pidana korupsi, sering kali mengaitkan tindakan tersebut menjadi kejahatan korupsi jenis suap atau gratifikasi yang dihubungkan dengan ketentuan penyertaan yakni pada Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP lama (Pasal 20 dan Pasal 21 KUHP baru).28 Akan tetapi, memang disadari aturan tersebut sulit menjerat mereka yang bukan merupakan pejabat pemerintah. Hal ini dikarenakan ketika menggunakan ketentuan penyertaan sebagai penegakan hukum terkait seseorang yang turut serta dalam tindak pidana korupsi dengan motif tindakan trading in influence, sepantasnya ditunjang dengan suatu kualitas (seseorang yang merupakan pejabat publik juga). Adanya syarat tentang kualitas orang disini dikarenakan kejahatan korupsi berkenaan dengan delik jabatan.

Dapat dipahami aturan KUHP lama atau baru terkait penyertaan atau ikut serta juga belum bisa menjerat pelaku trading in influence dengan pelaku kejahatan bukan merupakan pejabat publik/orang biasa. Kemudian, berlanjut dalam KUHP baru pada BAB 35 tentang tindak pidana khusus bagian ketiga pasal 603, 604, 605 dan 606, secara substansi, juga belum bisa dikatakan dapat menjerat pelaku tindakan trading in influence.

Menurut penulis, dalam Pasal 603, 604, 605 serta 606 sama sekali tidak terdapat frasa ”menggunakan pengaruh” sebagai dua kata utama untuk membekuk pelaku kejahatan korupsi terkait trading in influence. Pasal 603 serta 604 hanya sebatas pengembangan dari Pasal 3 UU No. 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian, bila dihubungkan terkait memperdagangkan pengaruh pada Pasal 605 ayat (1) dan Pasal 606 ayat (1) lebih mengarah pada motif bilateral relationship saja. Sebagaimana yang termuat di dalam konvensi UNCAC, menyatakan bahwa tindakan perdagangan pengaruh bukan saja mengacu pada konsep bilateral relationship namun berdasarkan pada konsep trilateral relationship pula. Jika Pasal 605 ayat (1), (2) serta Pasal 606 ayat (1), (2) diterapkan, maka kurang cocok untuk membekuk pelaku yang berperan sebagai broker atau disebut pula sebagai pialang.

Mengacu pada dua KUHP tersebut, dilihat belum dapat mengakomodir tindakan trading in influence di Indonesia. Dengan demikian, solusi yang paling masuk akal berkaitan menuangkan pengaturan trading in influence setidaknya melalui revisi atau pembaharuan UU No. 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pembaharuannya tersebut diharapkan memiliki unsur-unsur ketentuan pasal yang setidaknya dapat memberantas tindakan trading in influence di Indonesia, yang selayaknya menyantumkan: (a) Seluruh elemen pemerintah negara ataupun semua orang; (b) Menyebarkan ataupun memperoleh kesepakatan berupa perjanjian ataupun kesepatan lainnya dari seluruh elemen pemerintah negara ataupun orang lain; (c) Menyelewengkan kewenangan atau kekuasaan ataupun pengaruh yang tampak atau yang dipandang ada; (d) Kemanfaatan yang bukan sepantasnya didapat; serta (e) Unsur dengan maksud.29

Diaturnya trading in influence ke dalam hukum pidana nasional ialah merupakan wujud responsibilitas sebagai pihak yang ikut serta mengesahkan UNCAC. Walaupun tindakan trading in influence merupakan non-mandatory offences, tidak semata-mata menjadi dalih untuk tidak merumuskan aturannya ke dalam produk hukum di Indonesia. Andaikan aturan mengenai trading in influence dapat masuk menjadi produk hukum di Indonesia, dapat dipastikan mampu menjamin suatu kepastian, keadilan serta kemanfaatan hukum. Kepastian untuk tidak di tuntut dengan pasal yang tidak sesuai dengan perbuatan, keadilan untuk mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya serta kemanfaatan hukum, supaya Negara Indonesia setidaknya dapat terbebas dan bersih dari tindak pidana korupsi.

  • 4.    Kesimpulan

Secara global, terdapat tiga bentuk pola trading in influence yaitu: bentuk pola vertikal, vertikal dengan broker serta horizontal. Tiga bentuk pola tindakan tersebut menyebabkan perbedaan antara suap, gratifikasi dan pemerasan yang terlihat dari segi pengaturan, bentuk perbuatan, bentuk penerimaan, pihak yang terlibat dan subjek hukumnya. Adanya perbedaan disini, menimbulkan suatu kekosongan norma yang menyebabkan tidak dapat dijangkaunya tindakan perdagangan pengaruh menjadi golongan kejahatan korupsi di Indonesia. Sehingga, perumusan kebijakan mengenai trading in influence menjadi sesuatu hal yang cukup urgent. Hal ini tidak terlepas pada ketidaksesuaian aturan hukum, baik itu pada KUHP lama, KUHP baru ataupun aturan terkait korupsi yang ada di Indonesia. Maka dengan itu, referensi yang bisa penulis sampaikan ialah selayaknya pemerintah Indonesia lekas mengambil sikap legislatifnya

terhadap perumusan undang-undang yang mengarah pada perbaikan ataupun pembaharuan. Mengenai perbaikan undang-undang, dapat diupayakan didalam UU No. 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan menambahkan pasal pendukung mengenai aturan tindakan trading in influence atau perdagangan pengaruh, agar tidak adanya suatu kekosongan norma apabila terjadi kasus dengan konsep tindak kejahatan tersebut. Selanjutnya, terkait pembaharuan undang-undang, diharapkan pemerintah negara (legislatif serta eksekutif) mampu membentuk suatu ketentuan yang representatif serta preventif dengan berpedoman pada United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) terkhusus terhadap tindakan-tindakan korupsi yang belum mempunyai aturan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Diantha, I Made Pasek. Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum (Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2017).

Manohara, Brigita P. Dagang Pengaruh (Trading In Influence) Di Indonesia (Depok: Rajawali Pers, 2017).

W, Muhammad Ichsan N. Mengenal Trading In Influence Sebagai Suatu Tindak Pidana Korupsi (Surabaya: CV. Garuda Mas Sejahtera, 2018).

Jurnal Ilmiah

Atmoko, Dwi dan Syauket, Amalia. ”Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Ditinjau Dari Perspektif Dampak Serta Upaya Pemberantasan.” Jurnal Binamulia Hukum 11, No. 2 (2022): 177-191.

Basri, Herlina. ”Implementasi Pengaturan Trading In Influence Dalam Pembaharuan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.” Jurnal Surya Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan 7, No. 2 (2020): 214-231.

Bunga, Marten, dkk. ”Urgensi Peran Serta Masyarakat Dalam Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” Jurnal Law Reform 15, No. 1 (2019): 85-97.

Fadhil, Muhammad, Rachman, Taufik dan Yunus, Ahsan. ”Kontruksi Hukum Perdagangan Pengaruh (Trading In Influence) Dalam Tindak Pidana Korupsi." Jurnal Amanna Gappa 30, No. 1 (2022): 15-34.

Fajriah, Anisa Lailatul, Adnyani, Ni Ketut Sari dan Hartono, Made Sugi. ”Perdagangan Pengaruh (Trading In Influence) Ditinjau Dari Perspektif United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).” Jurnal Komunitas Yustisia 4, No. 2 (2021): 554-563.

Ferdinand, Adan Khafi, Rahmat, Abdul Aziz dan Sonjaya, Angellino Vinanti. ”Perdagangan Pengaru (Trading In Influence) Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa.” Simbur Cahaya: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum 28, No. 2 (2021): 354-373.

Ifrani. “Tindak Pidana Korupsi Sebagai Kejahatan Luar Biasa.” Jurnal Al, Adl 9, No.3 (2017): 319-336.

Islamy, Yolanda. ”Penerapan Pengaturan Trading In Influence Dalam Pembaruan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.” Nagari Law Review 4, No. 1 (2020): 3847.

Islamy, Yolanda. “Urgensi Pengaturan Trading In Influence Sebagai Sarana Pembangunan Masyarakat.” Jurnal Ilmu Hukum 17, No. 1 (2021): 1-11.

Lawrencya, Sheryn. ”Faktor Penghambat Kebijakan Formulasi Trading In Influence Sebagai Korupsi Di Indonesia.” Jurnal Hukum Adigama 4, No. 2 (2021): 35544-3563.

Rumaday, Moh. Akil. “Kebijakan Hukum Pidana Terkait Perdagangan Pengaruh (Trading In Influence) Sebagai Tindak Pidana Korupsi.” Jurnal Lex Renaissan 6, No.2 (2021): 235-245.

Sari, Ratna Kumala dan Jaya, Nyoman Serikat Putra. ”Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Perbuatan Trading In Influence Sebagai Tindak Pidana Korupsi.” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 2, No. 1 (2020): 12-23.

Supanji, Ahmad, Purnawati, Andi dan Muliadi. ”Analisis Unsur Delik Trading In Influence Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.” Jurnal Kolaboratif Sains 2, No. 1 (2019): 1851-1861.

Tondatuon, Karina A., Watulingas, Ruddy R. dan Muaya, Harly Stanly. ”Tinjauan Yuridis Mengenai Trading In Influence Sebagai Sebuah Tindak Pidana Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia.” Jurnal Lex Crimen 10, No. 11 (2021): 58-65.

Viladelfia, Joice dan Octora, Rahel. “Urgensi Pemidanaan Bagi Pelaku Perdagangan Pengaruh (Trading In Influence) Dari Kalangan Non Pejabat Publik Dalam Rangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” Jurnal Dialogia Iuridica 13, No. 1 (2021): 16-32.

Internet

Hakim, Rakhmat Nur. “Nama Azis Syamsuddin di Pusaran Kasus Korupsi....” (2021). URL: https://amp.kompas.com/nasional/read/2021/09/25/12352571/nama-azis-syamsuddin-di-pusaran-kasus-korupsi diakses pada tanggal 25 Desember 2022.

Insi Nantika Jelita. ”Ternyata PPATK Rutin Laporkan Transaksi Mencurigakan ke KPK.” (2019). URL:      https://mediaindonesia.com/politik-dan-

hukum/224597/ternyata-ppatk-rutin-laporkan-transaksi-mencurigakan-ke-kpk diakses pada tanggal 17 Mei 2023.

Retaduari, Elza Astari. ”Kilas Balik Kasus Azis Syamsuddin, Suap Eks Penyidikan KPK agar Tak Diusut, Kini Divonis Bui dan Dicabut Hak Politiknya.” (2022). URL: https://amp.kompas.com/nasional/read/2022/02/17/15121741/kilas-balik-kasus-azis-syamsuddin-suap-eks-penyidik-kpk-agar-tak-diusut-kini     diakses

pada tangal 25 Desember 2022.

Putusan

Putusan Nomor: 87/Pid-Sus-TPK/2019/PN. Jkt. Pst.

Putusan Nomor: 89/Pid.Sus-TPK/2021/PN. Jkt. Pst.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4620).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6409).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6842).

Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 1 Tahun 2023 hlm 111-126

126