PROBLEMATIKA KETENTUAN PASAL 8(2)(b)(iv) STATUTA ROMA DALAM MEREKOGNISI KEJAHATAN EKOSIDA YANG EKOSENTRIS
on
PROBLEMATIKA KETENTUAN PASAL 8(2)(b)(iv) STATUTA ROMA DALAM MEREKOGNISI
KEJAHATAN EKOSIDA YANG EKOSENTRIS
I Gede Yoga Pradana Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Tjokorda Istri Diah Widyantari Pradnya Dewi Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui jejak historis terbentuknya Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma serta mengusut problematika di dalam pengamalan pasal a quo. Penelitian ini bertumpu pada penelitian normatif yuridis dengan Pendekatan Statuta, Frasa, dan Sejarah. Sumber bahan hukum mengelaborasikan bahan hukum primer, sekunder, serta tersier. Berdasarkan Risalah Rome Diplomatic Conference 1998, final teks Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma merupakan proyeksi dari beberapa klausul di bawah Protokol Tambahan I, inter alia, Pasal 35(3), Pasal 51(5)(b), dan Pasal 85(3). Namun pada praksisnya, pengamalan Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma sebagai satu-satunya pasal yang merekognisi kejahatan ekosida yang ekosentris masih menjumpai berbagai hambatan, seperti ambigunya standarisasi dalam mengkriminalisasi suatu serangan agar memenuhi unsur actus reus, yaitu ‘widespread, long-term and severe damage’; sulitnya membuktikan unsur mens rea dari si pelaku, dimana letak persoalan ada pada ‘pengetahuan’ si pelaku per se; dan yang terakhir adalah keberlakuan Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma tidak dapat diterapkan dalam situasi Konflik Bersenjata Non-Internasional
Kata Kunci: Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma, Problematika, Kejahatan Ekosida, Ekosentris.
ABSTRACT
The purpose of this study is to ascertain the historical trail of Article 8(2)(b)(iv) Rome Statute, also to examine issues within its implementation. This study relies on normative legal research using Statute, Words and Phrase, once with Historical Approach. The legal sources are the elaboration of primary, secondary, and tertiary sources. In accordance with the travaux préparatoires of Rome Diplomatic Conference 1998, the final text of Article 8(2)(b)(iv) Rome Statute is a projection from several articles under Additional Protocol I, inter alia, Article 35(3), Article 51(5)(b), and Article 85(3). However, praxisly, the implementation of Article 8(2)(b)(iv) Rome Statute as the only provision which recognizes ecocide-ecocentric crimes, remain encounters various obstacles, for instance the ambiguity of standardization in criminalizing an attack to meet the actus reus, namely ‘widespread, long-term, and severe damage’; the distress in proving mens rea of the perpetrator, where the problem genuinely lies with respects to the ‘knowledge’ perpetrator per se; and last, Article 8(2)(b)(iv) Rome Statute cannot be applied in the situation of Non-International Armed Conflict.
Key Words: Article 8(2)(b)(iv) Rome Statute, Problematic, Crimes of Ecocide, Ecocentric.
Peradaban modern tampaknya sudah tidak asing dengan istilah ekosida, sebuah gagasan yang pertama kali muncul pasca Perang Vietnam, sebagai kritik atas peluncuran ‘Agen Oranye’ untuk misi penghancuran lingkungan oleh Militer Amerika Serikat, yang telah membinasakan seluruh ekosistem dan makhluk hidup di Vietnam Selatan pada abad ke-20 silam.1 Kala itu, sebanyak 19.000 ton atau lebih kurang 13 juta galon senjata herbisida beracun ‘Agen Oranye’ ditebar oleh tentara Amerika hingga menutupi sepersepuluh bagian Vietnam Selatan, meliputi 86% kawasan hutan dan 14% lahan pertanian. Akibatnya, kawasan vegetasi lebat di Vietnam Selatan menjadi gundul dan tentara Amerika berhasil melumpuhkan operasi pejuang Viet Cong. Tidak hanya menumpas para pejuang Viet Cong dan flora di sana, tetapi seluruh fauna pun turut terkena imbasnya, bahkan efek kimiawi dari ‘Agen Oranye’ tersebut diduga dapat mengubah gen manusia.2 The Vietnam Association of Agent Orange/Dioxin mencatat jumlah korban akibat paparan ‘Agen Oranye’ mencapai 3 juta jiwa warga Vietnam, dimana sekitar 150.000 anak-anak di antaranya cacat lahir serta mengidap gangguan kronis neurologis.3
Penghancuran lingkungan secara besar-besaran kembali terulang semasaPerang Teluk I (1990-1991). Invansi Irak atas Kuwait melalui Desert Storm Operation (Operasi Badai Gurun) telah mendestruksi sebanyak 590 kilang minyak, dimana 508 kilang minyak terbakar dan 82 lainnya bocor. Implikasi kerusakan kilang minyak tersebut mencemari tiga wilayah sekaligus, meliputi wilayah darat, laut, dan udara. Organisasi internasional pemerhati lingkungan, Greenpeace menggolongkan insiden ini merupakan pencemaran lingkungan terbesar dan terparah sepanjang sejarah modern.4 Jelaga dari kebakaran ratusan kilang minyak itu mampu menaikkan suhu panas di bumi 86 Milyar watt lebih panas, atau setara dengan 500 kebakaran hutan perharinya, serta melepaskan 10% pembakaran biomassa global sampai ke Himalaya dengan produksi kandungan Karbondioksida (CO2) berada pada tingkat terburuk.5
Penghancuran kilang minyak milik Kuwait oleh tentara Irak menyebabkan pula gurun tergenangi oleh danau minyak,6 sehingga hampir seluruh flora dan vegetasi alami yang bertumbuh kembang di wilayah terestrial tersebut mati, padahal ini merupakan sumber makanan bagi pelbagai fauna gurun pasir. Di satu sisi, U.S Coast Guard turut mengungkap bahwa kebocoran minyak menggenangi dan menutupi sekitar 600 mil2 wilayah Teluk Persia serta menyebar sejauh 300 mil mendekati bibir pantai Mesir.
Diktat historis tersebut memberikan pemahaman secara pragmatis bahwa ekosida acap kali terjadi dalam situasi perang atau konflik bersenjata semata. Sehubungan dengan hal tersebut, International Monsanto Tribunal menilik motif kejahatan ekosida yang terjadi pada rentetan insiden di atas dan memberikan definisi ekosida sebagai berikut: “devastation along with destruction, aim to damage or destroy the ecology of geographic areas to the detriment of all life, including human, animal or plant”7 atau “pengrusakan dan penghancuran dengan tujuan untuk merusak atau membinasakan ekologi-geografis hingga berakibat merugikan semua kehidupan, baik manusia, hewan, atau tumbuhan.” Pada realitas kini, para ahli dalam afiliasi Independent Expert Panel for the Legal Definition of Ecocide (“the Panel”) pun mendisukursuskan ekosida sebagai topik krusial dan memformulasikan unsur-unsur kejahatan yang ada di dalamnya. Dalam hal ini, ekosida dipahami sebagai: “unlawful or wanton acts committed with knowledge that there is a substantial likelihood of severe and either widespread or long-term damage to the environment being caused by those acts”8 yang berarti “tindakan hukum atau kecerobohan yang dilakukan dengan pengetahuan bahwa ada probabilitas akan terjadinya kerusakan lingkungan parah dan meluas atau berjangka panjang yang disebabkan oleh tindakan terkait.” Dalam ranah kontekstualitas, definisi ekosida oleh the Panel merupakan kodifikasi dari Hukum Kebiasaan Internasional yang ada.9
Sejatinya, khazanah hard law internasional telah memuat beberapa ketentuan yang berfokus pada kelestarian lingkungan, dimana secara implisit mengandung konsep larangan terhadap kejahatan ekosida. Kendati demikian, beragam hard law a quo masih saja bersifat antroposentris, dalam artian hanya melarang ‘serangan’ terhadap lingkungan yang memiliki kontribusi langsung bagi kepentingan manusia. Paradigma antroposentris demikian memberi celah bagi manusia untuk tetap menjadikan alam beserta isinya sekadar sebagai alat pemuas kepentingan dan kebutuhannya saja.10
Melalui tataran ius in bello, salah satu ketentuan antroposentris ditemukan pada Pasal 53 Konvensi Den Haag IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat (1907). Bila ditafsirkan secara kontekstual, Pasal 53 seolah memberi kesempatan bagi penguasa pendudukan untuk dengan bebas menghancurkan alam liar yang tidak berpengaruh bagi kelangsungan hidup umat manusia. Sebagian sifat antroposentris tercermin pula dalam Pasal 55 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa (1977) (“Protokol Tambahan I”). Ketentuan a quo secara tegas melarang serangan penghancuran terhadap lingkungan yang akan merugikan kesehatan atau kelangsungan hidup penduduk sipil.
Senada dengan ketentuan di atas, muatan materi Pasal 57 Protokol Tambahan I tampak seperti mendahulukan ‘kepentingan manusia’ di atas segalanya, sebab tatkala sebuah serangan menawarkan posisi keuntungan militer, maka serangan tersebut sah untuk dilancarkan selama menimbulkan bahaya yang paling kecil bagi penduduk sipil
beserta objeknya. Sifat antroposentris turut tersirat pada Konvensi ENMOD 1976. Melalui penafsiran literal hukum, konvensi ini bukanlah merupakan instrumen yang secara agregat melindungi penuh lingkungan dalam artian ekosentris, melainkan hanya melarang negara untuk menggunakan serangan dengan teknik modifikasi lingkungan yang destruktif,11 seperti peneberan senjata herbisida beracun ‘Agen Oranye’ pada Perang Vietnam oleh Militer Amerika Serikat. Oleh karena itu, sifat antroposentris yang tersirat pada beberapa konvensi supra, tidak dapat menutupi permasalahan lingkungan yang terjadi pada masa kontemporer ini, misal seperti ekosistem serta biota laut yang hancur akibat dari tes trial and error peluncuran senjata nuklir di bagian terpencil Samudra Pasifik.12
Sebagai antitesis dari paham antroposentris, lahirlah paham ekosentris. Quinn, seorang ahli lingkungan, menerangkan konsep dasar ekosentris ialah sebagai upaya perlindungan unsur-unsur lingkungan yang tidak secara langsung memberikan kontribusi bagi kesejahteraan manusia (lingkungan non-antroposentris).13 Urgenitas perlindungan lingkungan non-antroposentris didukung oleh Inter-American Court of Human Rights (“IACHR”) bahwa “tak hanya karena manfaat yang mereka berikan kepada umat manusia…, tetapi karena pentingnya mereka bagi organisme hidup lainnya…juga pantas mendapatkan perlindungan atas hak mereka sendiri”.14 Paradigma ini sebetulnya telah tersirat dalam instrumen hukum pidana internasional, yaitu Statuta Roma 1998. Masyarakat internasional mengakui bahwa Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma merupakan ketentuan pertama yang mengadopsi paham ekosentris,15 dengan klausul sebagai berikut: “Intentionally launching an attack in the knowledge that such attack will cause incidental loss of life or injury to civilians or damage to civilian objects or widespread, long-term, and severe damage to the natural environment which would be clearly excessive in relation to the concrete and direct overall military advantage anticipated.”
Pasal a quo memang memberikan perlindungan terhadap lingkungan yang relatif ekosentris, tidak seperti konvensi-konvensi sebelumnya. Tiga actus reus dalam pasal tersebut dipisahkan pula menggunakan konjungsi “…or…” sehingga kerusakan lingkungan akibat dari suatu serangan akan dikriminalisasi oleh pasal ini dan individu yang terlibat dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas kerusakan lingkungan yang terjadi. Statuta Roma memberikan yurisdiksi kepada Mahkamah Pidana Internasional untuk mengadili kejahatan individu terhadap lingkungan pada situasi konflik bersenjata.16 Akan tetapi, konkritisasi Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma masih menemui berbagai problematika. Saif-Alden berpendapat bahwa kriminalisasi atas kejahatan terhadap lingkungan di bawah Statuta Roma masih rumit, sebab kejahatan ini terkualifikasi sebagai kejahatan perang yang hanya bisa dikriminalisasi pada situasi
perang atau konflik bersenjata saja, padahal realitanya kerusakan lingkungan non-antroposentris yang serius acap kali terjadi pada situasi damai.17 Kemudian, timbul persoalan mengenai keambiguitasan standar pembuktian unsur actus reus ‘widespread, long-term, and severe damage’ pada ketentuan a quo. Hanya saja, hingga kini, acuan standarisasi untuk membuktikan unsur-unsur tersebut masih dalam ranah ‘grey area’.
Diskursus kekaburan norma (vague norm) dalam ketentuan Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma sesungguhnya belum pernah disoroti oleh tulisan pada portal nasional, melainkan perbahasan serupa kerap dijumpai pada beberapa tulisan dalam portal asing. Beberapa di antaranya, tulisan oleh: i) Ines Peterson bertajuk “The Natural Environment during Armed Conflict: A Concern for International War Crimes Law?” yang mengkaji keambiguitasan unsur actus reus dalam ketentuan Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma;18 dan ii) Michael N. Schmitt bertajuk “Green War: An Assessment of the Environmental Law of International Armed Conflict” menguraikan instrument ius in bello (tidak mencakup Statuta Roma) yang relatif belum memadai dalam memberikan arti kejahatan ekosida secara ekosentris, sehingga kriminalisasi terhadap kejahatan tersebut masih mengalami pergumulan.19 Terhadap tulisan ini, pembaharuan yang diberikan oleh penulis adalah tidak hanya berfokus kepada kekaburan actus reus-nya semata, tetapi lebih dalam akan mengkaji beberapa problematika yang ditemukan dalam pengamalan Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma agar kelak dapat dijadikan bahan kontemplasi oleh praktisi hukum, jika nanti akan dilakukan amandemen kembali terhadap Statuta Roma.
Terdapat dua rumusan masalah yang akan dikaji berdasarkan uraian latar belakang, ialah sebagai berikut:
-
1. Bagaimanakah historis pembentukan Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma?
-
2. Bagaimanakah problematika yang ditemukan pada pengamalan Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma dalam merekognisi kejahatan ekosida yang ekosentris?
-
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui jejak historis terbentuknya Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma. Kemudian, untuk mengusut problematika yang ada pada pengamalan Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma, manakala kelak dapat dijadikan bahan dasar untuk berbenah dan membentuk suatu acuan pasti guna membuktikan unsur-unsur pidana pada kejahatan ekosida yang ekosentris.
Terhadap penelitian ini, penulis bertumpu pada metode penelitian normatif yuridis, sebagaimana yang dikaji adalah perihal norma, dalam hal ini kekaburan norma atau keambiguitasan norma, khususnya pada Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma tentang kejahatan Ekosida yang ekosentris. Penelitian ini mengelaborasikan beberapa jenis pendekatan, antara lain Pendekatan Statuta (Statute Approach), Pendekatan Frasa (Words and Phrase Approach), dan Pendekatan Sejarah (Historical Approach), sehingga melalui tiga jenis pendekatan ini mampu mengungkap pelbagai problematika yang ada dalam Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma. Untuk bahan sumber hukum pada penelitian ini digolongkan
ke dalam tiga jenis, mencakup: i) bahan hukum primer yang berasal dari berbagai konvensi internasional, misalnya Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977 dan Statuta Roma 1998; ii) bahan hukum sekunder berupa data-data pendukung, seperti doktrin dan pendapat para ahli; serta iii) bahan hukum tersier yang diperoleh melalui berita atau artikel di internet.
Dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (“PBB”) ke-49, International Law Commission melalui Report of the ILC on the Work of its 46th Session, memutuskan untuk membentuk panitia ad-hoc sebagai tahap awal pembentukan suatu badan peradilan pidana internasional.20 Di Sidang Umum PBB ke-50, kemudian terbentuklah panitia ad-hoc yang bernama Preparatory Committee on the Establishment of an International Criminal Court (“PrepCom ICC”) dengan tugas utama untuk mempersiapkan draft landasan berdirinya Mahkamah Pidana Internasional. Melalui Rome Diplomatic Conference 1998 yang dihadiri oleh sebanyak 120 Negara, Statuta Mahkamah Pidana Internasional atau Statuta Roma berhasil diundangkan tepatnya pada tanggal 17 Juli 1998 dan diberlakukan empat tahun setelahnya, yaitu pada tanggal 1 Juli 2002.21 Tercatat per tahun 2016, sebanyak 123 Negara di seluruh dunia sudah resmi menjadi State Parties (Negara Anggota) Statuta Roma,22 dan mengakui Mahkamah Pidana International mempunyai jurisdiksi ratione personae atas mereka.
Saat diundangkannya Statuta Roma, ketentuan yang ekosentris dirumuskan melalui Pasal 8(2)(b)(iv). Kriminalisasi kejahatan terhadap lingkungan di bawah Statuta Roma terkategorisasi sebagai kejahatan perang yang memiliki batasan ratione temporis hanya pada saat situasi perang atau konflik bersenjata saja. Otto menilik bahwa rumusan Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma berkiblat pada rumusan Pasal 85(3) Protokol Tambahan I.23 Atas pembentukan ketentuan Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma berdasarkan Report of the Inter-sessional Meeting: January 1st-30th, 1998 di Zutphen, Belanda, PrepCom ICC pada awalnya menghadirkan tiga rancangan pasal, sebagai berikut:
Rancangan 1:
“Intentionally launching an attack in the knowledge that such attack will cause…or widespread, long-term, and severe damage to the natural environment which is not justified by military necessity.”
Rancangan 2:
“Intentionally launching an attack in the knowledge that such attack will cause…or widespread, long-term and severe damage to the natural environment which would be excessive in relation to the concrete and direct overall military advantage anticipated.”
Rancangan 3:
“Intentionally launching an attack in the knowledge that such attack will cause…or widespread, long-term and severe damage to the natural environment.”
Para Prepcom ICC sengaja menghadirkan tiga rancangan pasal dengan raison d’etre yang berbeda per rancangannya guna memberikan ruang interaktif kepada Negotiationg State saat itu. Sekilas, refleksi hukum oleh masing-masing rancangan di atas mempunyai segelintir perbedaan. Secara tekstual, Rancangan 1 mengadopsi Pasal 147 Konvensi Jenewa IV mengenai Perlindungan Orang-orang Sipil pada Waktu Perang 1949 (“Konvensi Jenewa IV”) tentang kualifikasi pelanggaran berat yang tak dapat dibenarkan sekalipun oleh kepentingan militer. Sementara, Rancangan 2 dibentuk berdasarkan elaborasi antara Pasal 35(3) dan Pasal 51(5)(b) Protokol Tambahan I, tetapi disisipkan kata ‘overall’ di antara kata ‘direct’ dan frasa ‘military advantage anticipated’. Alasan dibubuhkannya kata ‘overall’ telah dijelaskan dalam catatan kaki nomor 36 Elements of Crime (“EoC”) Statuta Roma bahwa keuntungan militer yang dimaksud ialah mencakup seluruh keuntungan militer, baik terkait maupun tidak secara temporal atau geografis dengan objek serangan. Kemudian, Rancangan 3 mengutip persis Pasal 35(3) Protokol Tambahan I tentang larangan penggunaan alat atau metode perang yang dapat memicu kerusakan parah pada lingkungan.
Risalah konferensi menunjukkan bahwa Rancangan 2-lah yang termaktub pada teks final Statuta Roma, dengan lengkapnya sebagai berikut:
“Intentionally launching an attack in the knowledge that such attack will cause incidental loss of life or injury to civilians or damage to civilian objects or widespread, long-term and severe damage to the natural environment which would be clearly excessive in relation to the concrete and direct overall military advantage anticipated.”
Namun, jika ditelisik secara komprehensif, rancangan supra menyiratkan inkonsistensi karakter ‘keuntungan militer’ dalam kaitannya dengan kejahatan ekosida. Melalui penafsiran sistematis, dengan menghubungkan makna ‘overall’ di bawah EoC Statuta Roma dan makna ‘concrete and direct’ pada Commentary Protokol Tambahan I, rancangan 2 justru terkesan kontradiktif. Sebab pada ihwal ini, frasa ‘concrete and direct’ mensyaratkan keuntungan bersangkutan harus substansial dan relatif dekat, sehingga seluruh keuntungan militer yang akan diperoleh pada waktu yang belum pasti diketahui dan tidak terlihat harus dikecualikan,24 sementara kata ‘overall’ per se mencakup pula keuntungan militer yang direncanakan akan terwujud pada lain waktu dan tempat berbeda.25
Kontradiksi ini mengakibatkan distorsi persepsi bahwa peluncuran satu atau lebih serangan dengan asumsi bahwa tidak akan menimbulkan collateral damage (kerusakan imbasan) atau cedera secara berlebihan, maka tidak akan melanggar hukum. Namun, untuk menampik kontradiksi itu, beberapa Negotiating States telah menegaskan bahwa kata ’overall’ tidak dapat merujuk pada keuntungan politik jangka panjang atau kemenangan atas perang itu sendiri.26 Dengan demikian, ambang pembuktian keuntungan militer dimaksud pada Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma dibuat lebih tinggi, yakni menggunakan proportionality test (tes proporsionalitas).
-
3.2 Temuan Problematika pada Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma dalam Merekognisi
Kejahatan Ekosida yang Ekosentris
Predikat sebagai satu-satunya pasal yang sampai saat ini berhasil merekognisi kejahatan ekosida yang ekosentris,27 sejatinya memang layak dijatuhkan kepada Pasal
8(2)(b)(iv) Statuta Roma. Kendati demikian, pengamalan pasal ini masih mendapati berbagai kendala sehingga sulit bagi Penuntut Umum untuk membuktikan suatu serangan agar dapat terkriminalisasi sebagai kejahatan perang terhadap lingkungan. Beberapa temuan problematika pada Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma terkhusus berkenaan dengan kejahatan ekosida terhimpun sebanyak tiga perbahasan. Pertama, ambigunya standarisasi dalam mengkriminalisasi suatu serangan agar memenuhi unsur actus reus, yaitu ‘widespread, long-term and severe damage’. Kedua, sulitnya membuktikan unsur mens rea dari si pelaku, dimana letak persoalan ada pada ‘pengetahuan’ pelaku per se atas serangan yang dilakukannya. Ketiga, Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma tidak dapat berlaku pada situasi Konflik Bersenjata Non-Internasional.
-
3.2.1 Ambigunya standarisasi dalam membuktikan unsur actus reus, yaitu ‘widespread, long-term, and severe damage’
Perbahasan pertama ini merupakan problematika yang paling mencolok dari pasal a quo. Bahkan hingga saat ini belum ada kiblat pasti untuk menentukan sejauh mana sebuah serangan agar terbilang ‘widespread, long-term, and severe damage’. Pun dalam ihwal demikian, Statuta Roma beserta EoC-nya belum bisa mendefinisikan masing-masing unsur actus reus yang termuat di Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma. Praksisnya, tatkala Mahkamah Pidana Internasional (“MPI”) dihadapkan dengan dugaan kasus pelanggaran ketentuan Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma, maka MPI dapat merujuk pada Commentary Protokol Tambahan I, dimana unsur ‘long-term’ berarti ‘decades rather than months.’28 Tetapi, perlu digarisbawahi bahwa commentary itu tidak mendefinisikan unsur lainnya, yakni ‘widespread’ dan ‘severe damage’. Kemudian, International Law Comission (“ILC”) sejatinya sudah memberikan interpretasi terhadap masing-masing unsur actus reus pada Pasal 35(3) Protokol Tambahan I, yang mana rumusan pasal itu dikutip oleh Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma, bahwasanya unsur ‘longterm’ sebatas ‘long-lasting nature of the effects and not the possibility that such damage will occur for a long-time afterwards,29 sementara ‘widespread’ merujuk hanya sampai ‘the geographical size which are ostentatious by damage’30 tanpa ada penjelasan luas yang pasti, dan ‘severe’ dilihat melalui ‘the extent or intensity of the damage’31 tanpa dengan tegas membubuhkan ambang ‘keparahan’ dari suatu serangan.
Di satu sisi, jika MPI berupaya merujuk pada perjanjian internasional serupa, seperti Konvensi ENMOD 1976, sekilas memberikan harapan baginya untuk relatif lebih mudah membuktikan unsur-unsur actus reus di bawah Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma. Berdasarkan interpretasi Committte of Disarmament atas unsur ‘widespread, long-term, or severe damage’ sesuai ketentuan Pasal 1 angka 1 Konvensi ENMOD 1976 bahwa: 1) ‘widespread’ terdefinisi sebagai ‘an ostentatious area on extent of several hundred square meters’; 2) ‘long-lasting’ terdefinisi sebagai ‘the enduring period of months, or approximately a season involving for the last’; atau 3) ‘severe damage’ terdefinisi sebagai ‘serious or significant disruption or harm to human life, natural and economic resources or other assets’. Lebih dalam, unsur-unsur actus reus di dalam Konvensi ENMOD 1976 bersifat alternatif, sehingga lebih mudah untuk membuktikan sebuah kejahatan ekosida. Sebagai ilustrasi belaka, bilamana sebuah serangan herbisida beracun dilancarkan pada situasi konflik bersenjata dan berdampak pada lingkungan non-antroposentris selama terhitung satu
tahun sejak diluncurkannya, maka tetap tergolong sebagai kejahatan terhadap lingkungan di bawah ketentuan Konvensi ENMOD 1976.
Walaupun interpretasi oleh Committte of Disarmament di atas memberi kejelasan atas unsur-unsur ‘widespread, long-term, and severe damage’, MPI justru akan tetap merujuk pada Commentary Protokol Tambahan I, lantaran rumusan Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma merupakan hasil kodifikasi dari beberapa klausula di bawah Protokol Tambahan I.32 Gagasan ini pun kemudian ditegaskan oleh Mark Drumbl bahwa definisi unsur-unsur actus reus di bawah Konvensi ENMOD 1976 tidak dimaksud untuk menafsirkan istilah serupa dalam perjanjian internasional lain,33 misalnya Statuta Roma. Oleh karena itu, MPI masih terkendala dalam mengungkap kejahatan ekosida yang ekosentris di bawah Statuta Roma akibat dari kekaburan definisi unsur-unsur actus reus tersebut.
Kendala yang dihadapi MPI di dalam mengungkap kejahatan Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma tidak hanya sampai disini. Konjungsi ‘and’ yang menghubungkan antara unsur-unsur actus reus pada Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma bersifat kumulatif, dalam artian bila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka pembuktian dari kejahatan tersebut akan tidak terbuktikan secara konkrit. Kontekstualnya, sifat kumulatif itu seakan memberi kesan ilusioner,34 sebab beberapa tulisan bahkan mengungkap bahwa dahsyatnya kerusakan lingkungan non-antroposentris akibat dari rentetan insiden Perang Teluk I masih belum bisa meyakinkan adanya pelanggaran atas ketentuan Pasal 35(3) dan Pasal 55(1) Protokol Tambahan I, karena kerusakan yang ditimbulkan tidak dianggap memenuhi syarat ‘long-term’.35 Hulme menambahkan bahwa akumulasi dari ketiga unsur ini menempatkan “…pembuktian dari kejahatan ekosida, jauh terlampau tinggi dari apa yang mungkin dapat dicapai oleh senjata modern sekalipun…”36. Diktat historis selebihnya menggariskan bahwa belum ada kerusakan lingkungan dalam beberapa dekade terakhir yang dianggap cukup kuat untuk mencapai ambang batas yang telah digariskan oleh Pasal 35(3) dan Pasal 55(1) Protokol Tambahan I serta Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma. Dengan demikian, tidak hanya kekaburan definisi, tetapi juga sifat kumulatif ketiga unsur actus reus seolah menghambat MPI dalam membuktikan dugaan-dugaan kasus tindak kejahatan ekosida terhadap lingkungan non-antroposentris.
Unsur mental (mens rea) telah diatur melalui Pasal 30 Statuta Roma, dimana seseorang akan bertanggung jawab secara pidana, jika unsur materiil itu terpenuhi.37 Persoalan unsur mens rea dalam Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma, khususnya berkaitan dengan kejahatan ekosida cukup problematis. Secara tekstual, berdasarkan EoC pasal a quo, pertanggungjawaban pidana kejahatan perang terhadap lingkungan baru bisa dijatuhkan, manakala si pelaku sebelumnya telah mengetahui bahwa serangan yang dilancarkan akan berakibat ‘widespread, long-term, and severe damage’ dan secara sadar mengetahui bahwa dampak serangan itu sungguh ‘clearly excessive’. Maka dari itu, unsur mens rea di bawah pasal ini mensyaratkan adanya dolus directus tingkat pertama, atau minimal dolus directus tingkat kedua. Padahal secara realita, mens rea pelaku kejahatan ekosida cenderung mendekati karakteristik dolus eventualis yang mensyaratkan bahwa pelaku: ‘(a) aware of the risk that the objective elements of crime may result from his or her actions or omissions’ dan ‘(b) accepts such an outcome by reconciling himself or herself with it or consenting to it.’38 Hanya saja, pelaku per se pun belum tentu menyadari bahwa serangannya akan berdampak ‘widespread, long-term, and severe damage’.
Kekosongan definisi ‘widespread, long-term, and severe damage’ di bawah Statuta Roma serta multi-interpretasi terhadap istilah serupa pada perjajian internasional lain, seperti Protokol Tambahan I dan Konvensi ENMOD 1976, turut membelenggu MPI dalam membuktikan unsur ‘pengetahuan’ si terdakwa kejahatan ekosida. Andai kata, MPI merujuk Commentary Protokol Tambahan I sebagai interpretasi actus reus Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma, maka yang dikhawatirkan adalah terdakwa bisa saja melayangkan pembelaan dengan dalih mistake of law (kekeliruan penerapan hukum).39
Dalam lingkup ini, klaim terdakwa tidak dapat diterima, jika ia berdalih tidak mengetahui bahwa serangan yang dilakukannya tergolong sebagai tindak pidana, namun ia bisa saja berdalih atas ketidaktahuannya mengenai ambang pembuktian unsur actus reus ‘widespread, long-term, and severe damage’ mengingat definisi istilah tersebut masih kosong di bawah Statuta Roma, dan ambigu pada Commentary Protokol Tambahan I. Sebab itu, dalih berdasarkan konsep kekeliruan penerapan hukum terpaksa diterima oleh Hakim MPI dan tanggungjawab pidana harus dihapuskan.
Tidak hanya itu, terdakwa harus secara sadar mengetahui bahwa serangan dimaksud memang ‘clearly excessive’. Penilaian ‘clearly excessive’ adalah satu-satunya penilaian atau value judgment terbalik yang dibebankan kepada terdakwa untuk merumuskan serangan yang dilancarkan betul-betul berlebihan. Kerangka berpikir demikian dilandaskan oleh General Introduction EoC Statuta Roma bahwa ‘clearly excessive’ dalam hal ini tergolong ke dalam ‘unless otherwise indicated’,40 yang mana berdasarkan catatan kaki nomor 37 EoC Statuta Roma, hal yang terkategorisasi sebagai ‘unless otherwise indicated’ merupakan penilaian terbalik bagi terdakwa untuk merumuskan sendiri unsur mens rea sebagaimana yang digariskan oleh Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma.
Bahwa dapat ditafsirkan bahwa konsep itu menggiring ke distorsi keadilan dalam proses beracara pidana internasional, sebab jika sedari awal terdakwa telah mengetahui secara sadar serangan akan ‘clearly excessive’, tetapi ia tetap melancarkan serangan itu. Kemudian, bisa dipastikan ia akan berupaya untuk mengelabui Penuntut Umum dalam membuktikan unsur mens rea Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma, maka barangkali si
terdakwa melakukan value judgment yang tidak sesuai dengan fakta konkrit di lapangan, antara cenderung jauh dibawah kerusakan lingkungan yang nyata atau dengan sengaja meninggikan bahwa serangan itu berpotensi menimbulkan keuntungan militer yang besar bagi dirinya. Oleh karena itu, sulitnya pembuktian mens rea si pelaku dapat bermuara pada penghapusan pertanggungjawaban pidana, padahal serangan yang dilakukan berdampak parah bagi lingkungan non-antroposentris.
Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma tentang kejahatan perang terhadap lingkungan hanya bisa diterapkan dalam situasi Konflik Bersenjata Internasional (“KBI”),41 maka kriminalisasi kejahatan a quo tidak dapat berlaku pada situasi Konflik Bersenjata Non-Internasional (“KBNI”). Berdasarkan Risalah Rome Diplomatic Conference 1998, Negotiating States tidak mempermasalahkan keberlakuan pasal ini. Begitu pula dengan pendapat Carl Bruch bahwa kejahatan terhadap lingkungan dalam situasi sejatinya KBNI telah tersirat pada pasal lain, inter alia, Pasal 8(2)(e) Statuta Roma,42 berkenaan dengan penyerangan warga sipil,43 penyerangan bangunan yang dilindungi,44 dan penghancuran atau perampasangan properti musuh. Ketiga klasula tersebut dapat digunakan untuk menuntut pertanggungjawaban pidana atas taktik merusak lingkungan tertentu.45 Lebih lanjut, konsep ‘property’ pada muatan Pasal 8(2)(e)(xii) Statuta Roma diamini secara luas hingga mencakup pelbagai kasus kerusakan lingkungan.46
Namun, ketentuan Pasal 8(2)(e) Statuta Roma masih bersifat antroposentris, karena lingkungan yang diberi perlindungan terbatas pada lingkungan yang hanya memberikan kesejahteraan kepada kehidupan manusia.47 Tawaran solusi untuk perbahasan ini adalah mengadopsi muatan tindak pidana Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma menjadi norma jus cogens, sehingga kriminalisasi atas kejahatan lingkungan non-antroposentris dapat diberlakukan pada situasi KBI maupun KBNI.
Diktat historis menunjukkan bahwa pembentukan Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma merupakan hasil kodifikasi beberapa klausula dalam Protokol Tambahan I, inter alia, Pasal 35(3), Pasal 51(5)(b) dan Pasal 85(3). Pada awalnya, frasa ‘concrete and direct’ dan kata ‘overall’ saling berkontradiksi. Akan tetapi, persoalan ini telah tercerahkan melalui Elements of Crime Statuta Roma bahwa kata ’overall’ tidak dapat merujuk pada keuntungan politik jangka panjang atau kemenangan atas perang itu sendiri. Dalam praksisnya, pengamalan Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma menjumpai berbagai hambatan, seperti ambigunya standarisasi dalam mengkriminalisasi suatu serangan agar memenuhi unsur actus reus, yaitu ‘widespread, long-term, and severe damage’. Lebih dalam, sulitnya membuktikan unsur mens rea dari si pelaku, dimana letak persoalan ada pada ‘pengetahuan’ si pelaku per se, dimana ambang karakter mens rea yang disyaratkan masih terbilang tinggi untuk membuktikan kejahatan Ekosida. Yang terakhir adalah keberlakuan Pasal 8(2)(b)(iv) Statuta Roma hanya pada situasi Konflik Bersenjata
Internasional. Meskipun keberlakukan ini tidak menjadi kontensius, karena kejahatan terhadap lingkungan pada situasi Konflik Bersenjata Non-Internasional dianggap telah tersirat pada Pasal 8(2)(e) Statuta Roma, tetapi pasal demikian masih kian antroposentris.
Daftar Pustaka:
Buku:
Arkin, W.M., Durrant, D. dan Cherni, M. On Impact Modern Warfare and Environment: A Case Study of The Gulf- War (London, Greenpeace, 1991)
Bellelli, R. International Criminal Justice: Law and Practice from the Rome Statute to Its Review (England, Ashgate, 2010)
Dinstein, Y. The Conduct of Hostilities Under the Law of International Armed Conflict (Cambridge, CUP, 2022)
Dörmann, Knut. Elements of War Crimes under the Rome Statute of the International Criminal Court (Cambridge, CUP, 2003)
ICRC. Guidelines on the Protection of the Natural Environment in Armed Conflict (Geneva, ICRC, 2020)
Zimmerman (eds). The Commentary on the Additional Protocols of 8 June 1987 (Geneva, ICRC, 1987)
Triffterer, Otto dan Ambos, Kai. The Rome Statute of the International Criminal Court: A Commentary (3rd Edn., Germany, C.H. Beck and Nomos, 2015)
Jurnal:
A., Puja, dan H., Ahmad. "Edukasi Perlindungan Pelestarian Lingkungan Hidup Masyarakat Desa Melalui Penguatan Pengaturan Tentang Ekosida." Jurnal Dedikasi Hukum 2, No. 3 (2022)
Antoine, P. "Internationl Humanitarian Law and the Protection of the Environment in Time of Armed Conflict." International Review of the Red Cross (1992)
Bruch, Carl E. "All's Not Fair in (Civil) War: Criminal Liability of Environmental Damage in Internal Armed Conflict." Vt. L. Rev. 25 (2000)
Bustami, A., dan H. Marie-C. "Perspectives of New International Crime Against the Environment: International Criminal Responsibility for Environmental Degradation under the Rome Statute." Goettingen J. Int'l L. 11 (2021)
Chiarini, G. “Ecocide: From the Vietnam War berfore International Criminal Jurisdiction? Procedural Issues in Between Environmental Science, Climate Change and Law” COLR 21 (2022)
Drumbl, M. "Waging War Against the World: Need to Move from War Crimes to Environmental Crimes." Fordham Int'l LJ 22 (1998)
Evliya, H. "Black Rain Turkey. Possible Environmental Effects of the Gulf War." Environmental Science & Technology 26, Vol. 5 (1992)
G., Ryan. “Expanding Environmental Justice after War: Need for Universal Jurisdiction over Environmental War Crimes” Colo. J. Int'l Envtl. L. & Pol'y 22, Vol. 3 (2011)
Hulme, K. "Armed Conflict, Wanton Ecological Devastation and Scorched Earth Policies: How Gulf War Revealed the Inadequacies of the Current Laws to Ensure Effective Protection and Preservation of the Natural Environment." Journal of Armed Conflict Law 2, Vol. 1 (1997)
Peterson, I. “The Natural Environment during Armed Conflict: A Concern for International War Crimes Law?” LJIL 22, Vol. 02 (2009)
Quinn, F., Castéra, J. dan Pierre C. "Teachers’ conceptions of the environment: Anthropocentrism, non-anthropocentrism, anthropomorphism and the nature place." Environmental Education Research 22, Vol. 6 (2016)
Saif-Alden W., M. “The Rome Statute and Captain Planet: What Lies Between ‘Climate against Humanity’ and the ‘Natural Environemnt’” Fordham Environ. Law Rev. 3, Vol. 19 (2009)
Schmitt, M.N. "Green War: An Assessment of the Environmental Law of International Armed Conflict." Yale J. Int'l L. 22 (1997)
Sutoyo. "Paradigma Perlindungan Lingkungan Hidup." ADIL: Jurnal Hukum 4, Vol. 1 (2013)
T., Catherine. “Brussels Enters Debate on Effects of Nuclear Tests on Environment.” NATURE 376 (1995)
Dokumen Resmi:
Advisory Opinion of International Monsanto Tribunal (2017), 46. (URL:
https://www.monsanto-tribunal.org/upload/asset_cache/189791450.pdf)
Inter-American Court on Human Rights (“IACHR”). “Advisory Opinion: The Environment and Human Rights” IACHR Doc. OC-23/17 (2017). (URL:
https://www.elaw.org/IACHR_CO2317)
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (“PBB”). “Guidelines of Military Manuals & Instructions prepared by the ICRC” UN Doc. A/49/323 (1992). (URL: https://digitallibrary.un.org/record/158808#record-files-collapse-header)
San Remo Manual on International Law Applicable to Armed Conflicts at Sea (1994)
Internet:
Kompas. “Seluk Beluk Agen Oranye, Zat Berbahaya AS di Perang Vietnam” (2021). URL: https://www.kompas.com/global/read/2021/09/23/085134170/seluk-beluk-agen-oranye-zat-berbahaya-as-di-perang-vietnam?page=all
NY Times. “Environmental Tol Mounting Kuwait as Oil Fires Burn” (1991). URL: https://www.nytimes.com/1991/06/25/news/environmental-toll-mounting-in-kuwait-as-oil-fires-burn-on.html
Stop Ecocide International. “Legal Definition of Ecocide” (2021). URL: https://www.stopecocide.earth/legal-definition
Perjanjian Internasional:
Konvensi Den Hague IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat 1907
Konvensi ENMOD 1976
Konvensi Jenewa IV mengenai Perlindungan Orang-orang Sipil pada Waktu Perang 1949
Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977
Statuta Roma 1998 & Elements of Crime Statuta Roma
Putusan Pengadilan:
Mahkamah Pidana Internastional, Jaksa v. Lubanga, ICC-01/04-01/06-803, 29 Januari 2009.
Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 1 Tahun 2023 hlm 85-98
97
Discussion and feedback