PENGATURAN PENURUNAN DARI HAK MILIK MENJADI HAK GUNA BANGUNAN BAGI PERSEROAN TERBATAS

Tabitha Christina Sihotang, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tanah adalah pusat kehidupan manusia yang juga berfungsi sebagai tempat tinggal dan tempat kehidupan. Disamping mendapatkan kehidupan, juga adalah tempat untuk tinggal. Dalam hukum agraria, kepemilikan tanah dapat berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak sewa, dan hak pakai. Perseroan Terbatas sebagai badan usaha mempunyai hak untuk memiliki hak guna bangunan. Perseroan Terbatas yang bergerak dibidang perumahan harus mengubah status hak milik menjadi hak guna bangunan. Permasalahan dalam tulisan ini adalah yang pertama, prosedur penurunan hak milik menjadi hak guna bangunan yang dilakukan oleh Perseroan Terbatas. Kedua, hambatan dalam penurunan status hak atas tanah dari hak milik menjadi hak guna bangunan oleh Perseroan Terbatas. Ketiga, cara mengatasi hambatan penurunan status hak milik menjadi hak guna bangunan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normative dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep, dan pendekatan analisis, yaitu norma-norma hukum yang berhubungan dengan hak-hak atas tanah oleh Perseroan Terbatas. Prosedur penurunan hak milik menjadi hak guna bangunan oleh Perseroan Terbatas dilakukan dengan cara mengajukan permohonan kepada badan pertanahan setempat disertai dengan identitas para pihak, sertifikat hak milik yang dimohonkan penurunannya, ijin lokasi dan ijin prinsip. Sementara itu, terdapat hambatan dalam penurunan hak milik menjadi hak guna bangunan berupa pelaksanaannya rumit dan waktunya lama. Untuk mengatasi hambatan tersebut, Badan Pertanahan Nasional perlu melakukan efisiensi birokrat dan mempersempit atau memperpendek waktu penurunan haknya.

Kata Kunci : Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Perseroan Terbatas.

ABSTRACT

Land is the center of human life which also functions as a place to live and a place of life. Besides getting a life, it is also a place to live. In agrarian law, land ownership can be in the form of property rights, cultivation rights, building rights, rental rights, and use rights. Limited Liability Company as a business entity has the right to have building rights. Limited Liability Companies engaged in housing must change the status of property rights to building use rights. The problems in this paper are the first, the procedure for reducing property rights to building use rights carried out by a Limited Liability Company. Second, the obstacle in decreasing the status of land rights from property rights to building rights by Limited Liability Companies. Third, how to overcome obstacles to the decline in the status of property rights to building use rights. This study uses a normative research method with a statutory approach, a conceptual approach, and an analytical approach, namely legal norms related to land rights by Limited Liability Companies. The procedure for reducing property rights to building use rights by a Limited Liability Company is carried out by submitting an application to the local land agency accompanied by the identities of the parties, certificates of property rights being requested for reduction, location permits and in-principle permits. Meanwhile, there are obstacles in reducing property rights to building use rights in the form of complex implementation and long time. To overcome these obstacles, the National Land Agency needs to improve bureaucratic efficiency and narrow or shorten the time for the reduction of their rights.

Keywords: The Right of Ownership, Cultivation Right, Incorporated.

I.Pendahuluan

  • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Fungsi tanah sangat penting bagi manusia karena sejak manusia lahir sampai dengan meninggal membutuhkan tanah. Manusia tumbuh, hidup, berkembang diatas tanah dan memperoleh bahan untuk pangan mereka dengan mendayagunakan tanah.1 Disamping itu, tanah juga diperlukan oleh manusia untuk digunakan sebagai tempat tinggal. Tanah yang digunakan sebagai tempat tinggal dapat berasal dari tanah yang peruntukannya adalah untuk pertanian agar tanah tersebut berubah peruntukan dari pertanian menjadi wilayah tempat tinggal atau permukiman maka harus melalui prosedur perubahan peruntukan. Tanah memiliki andil yang cukup besar terhadap makhluk hidup di seluruh muka bumi ini tidak hanya manusia tanah juga diperlukan untuk kebutuhan primer, dan juga sarana meliputi berbagai jenis perkebunan hingga pertanian, pertambangan, dan lain-lain.2 Guna memberikan kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, telah ditegaskan bahwa sertifikat merupakan alat bukti yang kuat.3

Perseroan Terbatas adalah badan usaha yang banyak dipakai sebagai alat untuk mengubah peruntukan tanah pertanian menjadi tanah pemukiman. Perusahaan yang berbadan hukum khususnya Perseroan Terbatas dijadikan dan diminati banyak orang karena melalui badan usaha ini dianggap memiliki kapasitas untuk dikembangkan, dibuat juga untuk mengumpulkan modal serta wadah potensial mendapatkan keuntungan untuk perusahaan sendiri maupun bagi penyetor modal. Oleh sebab itulah, banyak yang meminati badan usaha perseroan terbatas ini sebagai alat untuk mendapatkan untung. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Sri Rejeki.

Pemenuhan pemukiman masyarakat dalam wilayah yang luas membutuhkan juga tanah yang luas. Pada umumnya, kepemilikan tanah yang luas merupakan tanah pertanian yang dihaki dengan kepemilikan. Berdasarkan ketentuan UUPA khususnya pada Pasal 16 ayat (1) ditentukan pembagian hak atas tanah berupa Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP), Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, dan Hak Memungut Hasil Hutan. Hak atas tanah adalah kewenangan yang diberikan seseorang terhadap tanah untuk mempergunakannya dan memanfaatkan tanah yang dimiliki haknya itu.4

Menurut Pasal 20 Ayat (1) UUPA No. 5 Tahun 1960 menentukan bahwa maksud dari hak milik yaitu hak yang turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan Pasal 6. Penjelasan ketentuan tersebut bahwa yang dimaksudkan dengan turun temurun, terkuat, danterpenuh yaitu menunjukkan perbedaan antara hak milik dengan

hak atas tanah lainnya yang dipunyai Perseorangan, dimana hak milik merupakan hak yang terkuat dan terpenuh diantara hak-hak lainnya atas tanah. Pemerintah dalam kebijakannya masih menggunakan UUPA. Ketentuan hukum agrarian ini menurut pendapat dari Wahyu Nugroho sebaiknya tidak dapat diterapkan lagi saat ini dan masa depan karena sudah ada substansi hukum lain yang diatur secara sectoral, misalnya aturan Kehutanan, Undang-Undang Tata Ruang, dan Undang-Undang Pertambangan. Menurut Mohammad Machfudh Zarqoni, mengenai sifat yang melekat pada hak milik : “Sesuai dengan nama dan sifat hak milik, maka UUPA menetapkan bahwa hak milik tidak terbatas jangka waktu berlakunya. Hak milik juga dapat beralih karena pewarisan dan juga dapat dipindahkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Selain itu untuk memenuhi kebutuham perkreditan modern atas tanah, maka hak milik dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.”5

Pemegang hak milik atas tanah memberikan kewenangan untuk menguasai tanah secara fisik dengan dilandasi hak yang dimiliki, namun dalam kenyataannya ada pemilik tanah yang tidak menguasai fisik tanah namun berada pada penguasaan orang lain. Misalnya: A mempunyai sebidang tanah yang telah disertifikatkan, kemudian A mendirikan sebuah bangunan didalam tanah yang disertifikatkan tersebut. Maka, secara hukum A memiliki kewenangan untuk melakukan apapun terhadap tanah miliknya.

Hak atas pertanahan merupakan suatu hak yang dipunyai setiap pemilik hak untuk mengambil manfaat dan menggunakan tanah yang dimaksud. Kepastian hukum perihal hak atas tanah sudah diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 mengenai Pendaftaran Tanah. Dalam regulasi itu sudah jelas ditentukan mengenai sertifikat yang dapat menjadi bukti kepemilikan dengan pembuktian yang kuat dan sempurna.6 Disamping hak milik, UUPA menurut Pasal 16 ayat (1) masih dikenal hak atas tanah lainnya yang salah satunya adalah Hak Guna Bangunan. Hak Bangunan oleh ketentuan Pasal 35 ayat (1) UUPA adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun, kemudian dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun. Ketentuan Pasal 37 undang-undang Agraria menegaskan tentang terjadinya Hak Guna Bangunan, dimana Hak Guna Bangunan itu dapat dilakukan terhadap tanah yang dikuasai secara langsung oleh negara atau terhadap tanah hak milik orang lain. Pembangunan yang terkait dengan tanah, dapat dilihat dibidang infrastruktur untuk kepentingan umum maupun pembangunan yang bersifat perorangan. Pembangunan atas tanah yang diperuntukkan bagi perumahan tidak boleh dari tanah yang diperuntukkan untuk pertanian karena itu, status tanah pertanian tersebut harus dirubah menjadi HGB. Perubahan ini wajib dicatatkan pada BPN. Sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah nomor : 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah disebutkan bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan dalam

rangka memberikan jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan.7 Dengan demikian, adanya penurunan dari HM ke HGB harus didaftarkan dikantor pertanahan.

Pengertian Perseroan Terbatas menurut Soedjono Dirjosisworo ialah badan hukum yangdidirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 sebagaimanatelah diubah dengan serta peraturan pelaksanaannya. Permasalahan tentang tanah oleh perseroan terbatas selalu berkenaan dengan masalah, karena pembagian hak atas tanah yang masih beragam sebagaimana dikemukakan diatas. Tanah hak milik umumnya dikuasai oleh perseorangan. Menurut Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UUPA menentukan bahwa hak milik hanya dapat dimiliki oleh WNI perseorangan dan badan hukum.

Berdasarkan Surat Keputusan dari Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 16 Tahun 1997 tentang Perubahan HM menjadi HGB atau HP dan HGB menjadi HP, bahwa penurunan hak atas tanah ada dua macam yaitu penurunan dari Hak Milik menjadi HGB atau HP dalam tiga puluh tahun dan dua puluh lima tahun, dan juga penurunan dari Hak Guna Bangunan atas tanah negara atau tanah hak pengelolaan yang dimiliki oleh perorangan baik yang dimiliki oleh Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia menjadi Hak Pakai, hal ini didasarkan atas permohonan dari pemegang haka tau kuasanya dalam jangka waktu 25 tahun. Sehubungan dengan pembahasan ini, maka yang menjadi objeknya adalah prosedur penurunan dari Hak Milik menjadi Hak Guna Bangunan, dimana si pemohon atau Perseroan Terbatas mengajukan permohonannya kepada kantor BPN setempat dengan melengkapi sertifikat hakmilik yang dimohon perubahan haknya; atau bukti kepemilikan tanah yang bersangkutan dalam hal ini hak milik yang belom terdaftar dan bukti identitas termohon. Pemilik tanah dengan hak milik merubah status menjadi hak guna bangunan apabila dilakukan oleh Perseroan Terbatas, maka Perseroan Terbatas tersebut harus mendapat ijin lokasi dan ijin prinsip dari kantor pertanahan. Kemudian, pemilik tanah yang menjual tanah tersebut kepada Perseroan Terbatas baru akan dapat melakukan proses akta jual beli dilanjutkan dengan merubah nama pemilik atas tanah menjadi Hak Guna Bangunan. Bilamana sertifikat Hak Bangunan itu lebih dari satu sertifikat, Perseroan Terbatas harus melakukan lebih dahulu jual beli atas tanah tersebut dengan akta jual beli, kemudian Perseroan Terbatas tersebut mengajukan permohonan kepada badan pertananan nasional setempat supaya semua sertifikat itu dibalik nama atas nama Perseroan Terbatas yang digabung menjadi satu sertifikat untuk keseluruhan luas tanah. Apabila tanah yang dimohonkan perubahannya belum terdaftar, maka pengajuan permohonan perubahan hak pendaftarannya dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak milik tersebut, dan perubahan hak dalam penyelesaian pendaftaran dilakukan setelah pendaftaran hak milik sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Permohonan perubahan hak milik yang dilakukan melalui pelelangan umum, harus terbukti bahwa pelelangan tersebut dimenangkan oleh Perseroan Terbatas sehingga perseroan terbatas yang mengajukan permohonan perubahan hak milik harus diikuti secara bersama-sama dengan mendaftarkan peralihan haknya yang dilanjutkan

dengan mendaftarkan peralihan hak yang selalu melihat pada aturan tentang hak milik yang pendaftarannya belum dilakukan.

Menurut Agus Suntoro, bahwa penyebab adanya sengketa untuk membangun infrastruktur yang berhubungan adanya tuntutan ganti rugi yaitu adanya ketentuan mengenai kelayakan dan keadilan sebagaimana dimaksudkan menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2015 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum beserta aturan pelaksanannya. Hambatan tentang penurunan status tanah juga merupakan persoalan dalam hukum pertanahan. Menurut pendapat Muchsin dalam pelaksanaan UUPA pada masa sekarang, memiliki kendala utama yaitu ketentuan pengaturan menurut UUPA belum lengkap, dimana ketentuan dimaksud adalah guna terlaksananya UUPA karena adanya ketentuan yang lebih bawah kurang sinkron terhadap ketentuan yang lebih atas serta adanya penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan yang diterapkan aparat baik di pusat maupun di daerah untuk menenarpakn ketentuan hukum agraria. Adapun kendala yang kerap terjadi atas terjadinya kegiatan menurunkan hak atas tanah dari HM diturunkan ke HGB adalah prosedurnya terlalu berbelit-belit atau rumit, dengan pengurusan cukup lama serta dana yang tidak sedikit. Disamping itu, kendala lain adalah kurangnya informasi dan transparansi atas penguasaan dan kepemilikan atas tanah. Kemudian perserikatan tanah juga tidak dapat dilakukan secara cepat, serta belum lengkapnya standarisasi pengajuan yang diinginkan sampai saat ini, dan adanya pengertian tentang tanah adat dan tanah negara yang masih simpang siur.

Penelitian ini jika dibandingkan dengan penelitian dari Mogi Ksatria Prayogi yang berjudul “Penurunan Status Hak Kepemilikan Atas Tanah dari Hak Milik menjadi Hak Guna Bangunan akibat Penyertaan Modal di Perseroan Terbatas”8 mempunyai kesamaan dalam segi topik dimana sama-sama membahas mengenai penurunan dari Hak Milik menjadi Hak Guna Bangunan, akan tetapi fokus kajiannya yang berbeda. Dalam penelitian dari Mogi Ksatria Prayogi mengkaji mengenai alasan hukum dan akibat hukumnya. Sementara penelitian ini mengenai prosedur dan hambatan. Mogi Ksatria Prayogi dalam kajiannya membahas alasan hukum tidak diperbolehkannya Perseroan Terbatas memiliki hak atas tanah dengan tujuan untuk menghindari penyelundupan hukum. Sementara, penulisan ini lebih menekankan kepada prosedur penurunan status dari Hak Milik menjadi Hak Guna Bangunan yang dilakukan oleh Perseroan Terbatas.

Sementara terhadap tulisan Wahyu Nugroho dalam jurnalnya yang berjudul “Reorientasi Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Penerapan Otonomi Daerah di Bidang Pertanahan dan Penataan Ruang”9 sama sekali berbeda dengan penelitian ini, baik dalam hal kajian maupun orientasi. Karena tulisan Wahyu Nugroho menekankan orientasi penelitiannya pada kebijakan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan pengembangan perekonomian daerah sementara tulisan ini mengangkat tentang tindakan Perseroan Terbatas dalam menurunkan status Hak Milik terhadap Hak Guna Bangunan oleh Perseroan

Terbatas dengan maksud agar Perseroan Terbatas dapat memaksimalkan penggunaan hak atas tanah yang diperolehnya.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1)    Bagaimanakah prosedur penurunan dari hak milik yang diturunkan menjadi hak guna bangunan oleh Perseroan Terbatas?

  • 2)    Apa hambatan dalam pengajuan penurunan status hak atas tanah dari hak milik menjadi hak guna bangunan oleh Perseroan Terbatas?

  • 3)    Bagaimanakah cara menyelesaikan hambatan penurunan status dari hak milik menjadi hak guna bangunan?

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan ini bertujuan menguraikan secara mendalam prosedur penurunan hak atas tanah dari hak milik menjadi hak guna bangunan yang dilakukan oleh Perseroan Terbatas terhadap tanah pertanian dan juga menguraikan dan menemukan hambatan dalam prosedur menurunkan hak atas tanah dari milik menjadi hak guna bangunan yang dilakukan oleh Perseroan Terbatas atas tanah pertanian.

  • 2 .Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normtif untuk menjawab permasalahan yang akan dibahas. Menurut Hadjon, Penelitian normative adalah penelitian yang menganalisis ketentuan-ketentuan hukum positif maupun asas-asas hukum, dengan melakukan penjelasan secara sistematis ketentuan hukum dalam sebuah kategori hukum tertentu, menganalisis hubungan antara ketentuan hukum, menjelaskan dan memprediksi pengembangan kedepan. Pendekatan yang diterapkan untuk menjawab permasalahan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan analisis (analytical approach).

  • 3 .Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Prosedur Penurunan Hak Atas Tanah Dari Hak Milik Menjadi Hak Guna Bangunan yang dilakukan oleh Perseroan Terbatas

Negara memiliki wewenang untuk menguasai tanah. Pengertian tanah menurut agraria sendiri bukan hanya merupakan tanah dalam segala aspek, akan tetapi tanah dalam aspek yuridis yaitu hak. Wewenang negara untuk menguasai tanah tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang mana dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur. Hak menguasai oleh negara tersebut merupakan satu-satunya hak kebendaan yang secara eksplisit diberikan oleh konstitusi kepada negara Indonesia.10 Wewenang negara untuk menguasai atas tanah memiliki arti bahwa negara memegang kekuasaan untuk menguasai dan mengusahakan segala sumber daya agraria yang berada di wilayah negara Indonesia.11

Pengaturan merupakan proses atau upaya untuk mencapai suatu tujuan tertentu.12 Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945 menentukan : “Bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Secara tegas dinyatakan bidang pertanahan harus dikuasai oleh negara demi terciptanya kemakmuran rakyat.13 Dapat diperhatikan bahwa bunyi dari Pasal 33 UUD Tahun 1945 pasal tersebut tidak mencantumkan mengenai penguasaan terhadap ruang angkasa, akan tetapi dilihat dari hukum internasional yang telah dikodifikasi atau diterapkan di Indonesia dan juga hasil dari konferensi-konferensi internasional dapat diketahui bahwa ruang angkasa atau udara drengan batas-batas yang telah ditentukan adalah menjadi wilayah yurisdiksi batas kedaulatan suatu negara.14 Akan tetapi, sering ditemui pemerintah pusat seakan ingin menguasai semua kewenangan pada bidang pertanahan, sedangkan pemerintah daerah pun memiliki keinginan untuk dapat menerima bagian dalam hal urusan pertanahan. Adapun alasan hal ini dilakukan agar tercipta suatu kesatuan hukum dalam bidang pertanahan yang memiliki sifat nasional, yang mana daerah tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan agraria, kecuali hal itu sudah tercantum dalam peraturan yang berlaku.

Indonesia mempunyai keinginan untuk menciptakan kemakmuran rakyat melalui pembangunan, khususnya dibidang ekonomi dan bisnis, hal terlihat dengan berlomba-lombanya pengusaha untuk mendirikan badan usaha berbentuk Perseroan Terbatas di Indonesia karena bentuk badan usaha ini dianggap mempunyari kelebihan dibanding badan usaha lain. Dilihat dari nilai ekonomisnya, sering kali tanah dijadikan sebagai modfal dasar yang diwujudkan dalam saham dalam pendirian suatu Perseroan Terbatas, terjadi karena harga tanah yang terus meningkat dan jarang nilai tanah menurun. Adanya penggunaan tanah sebagai modal dasar disebabkan hak atas tanah yang bermacam-macam terlebih atas hakmilik atas tanah. Namun, ketentuan agraria pasal 27 huruf a angka (3), pasal 34 huruf e, dan pasal 40 huruf e UUPA menyatakan bahwa HM, HGU, dan HGB hapus apabila tanah tersebut merupakan tanah terlantar. Adapun kriteria dari tanah yang terlantar adalah:

  • 1.    Objeknya adalah tanah yang diterlantarkan yang mencakup hak atas tanah, hak pengelolaan dan tanah yang mempunyai dasar penguasaan hak atas tanah;

  • 2.    Tanah yang tidak diusahakan, tanah tidak dipergunakan atau tanah yangtidak dimanfaatkan;

  • 3.    Tanah yang tidak sesuai dengan keadaannya, atau sifat dan tidak sesuai dengan tujuan daripemberian haknya atau dasar penguasaannya.

Pasal 49 ayat (1) UUPA menentukan hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial selama dipergunakan untuk melakukan usaha keagamaan dan social diakui dan dilindungi. Selain itu, negara juga menjamin badan-badan keagamaan dan sosial tersebut akan memperoleh tanah yang cukup untuk pembangunan dan usaha di bidang yang mereka geluti yaitu keagamaan dan sosial.15

Permasalahan kenaikan harga tanah yang tidak wajar pun sering terjadi. Salah satu alasannya ialah adanya pembangunan yang berorientasi bisnis. Para pengembang membeli tanah dengan harga yang relatif terjangkau atau murah lalu mereka menjual

tanah itu ke masyarakat umum dengan harga yang jauh lebih mahak. Kemudian, situasi inipun diperburuk dengan banyak ditemukannya pengalihan fungsi tanah, dimana pada awalnya tanah memiliki fungsi pada pertanian dialihkan menjadi non pertanian.

Hasim Purba mengutip pendapat dari Maria S. W. Sumardjono yang mengatakan bahwa di Indonesia sering kali ditemukan berbagai rumusan peraturan yang bias, dimana peraturan itu hanya mendukung kepentingan sekelompok kecil masyarakat seperti pihak pemilik modal atau pengusaha, sedangkan pada sisi yang lain belum memberikan perhatiannya kepada kelompok masyarakat yang lebih besar (masyarakat kecil), bahkan banyak peraturan tersebut yang justru memberangus hak atas tanah, khususnya petani. Kewenangan terhadap sebuah tanah dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pemilik hak atas tanah tersebut. Namun, hal ini harus didasari pada pemerataan terhadap kepemilikan tanahnya. Jadi, harus ada kejelasan terhadap kepemilikan suatu tanah. Begitu pula terhadap tanah pertanian yang akan dipakai oleh suatu PT, apakah tanah itu benar-benar milik PT tersebut atau bukan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA bahwa pengertian hakmilik adalah hak yang turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat kententuan Pasal 6. Sedangkan, ketentuan Pasal 35 ayat (1) UUPA hak guna banguan adalah hak untuk mendirikan dan mmpunyai bangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 Tahun, kemudian dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 Tahun.

Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 36 ayat (1) menentukan secara khusus tentang kedudukan dari Perseroan Terbatas sebagai Badan Hukum dalam hal penguasaan HGB menjelaskan secara khusus bahwa hanya warga negara Indonesia dan badan hukum yangdidirikan dan berkedudukan di Indonesia yang dibolehkan memiliki hak guna bangunan.

Selanjutnya aturan tentang Penujukan BadanHukum yang dibolehkan memiliki Hak Milik atas Tanah diatur pada PP No. 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah, dimana ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah itu menentukan: “Badan-Badan Hukum yang disebut dibawah ini dapat mempunyai hak milik atas tanah, masing-masing dengan pembatasan yang disebutkan pada pasal-pasal 2, 3 dan 4 peraturan ini : (a).Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara); (b). Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan atas Undang- undang No. 79 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 No. 139); (c). Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama; dan (d) Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial:”. Sesuai dengan pengaturan ini PT tidak termasuk badan hukum yang diperbolehkan memperoleh hakmilik karena bukan bagian dari badan hukum sebagaimana disebutkan di atas. Undang-Undang Cipta Kerja dalam Pasal 109 angka 1 yang mengubah Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”) menentukan bahwa Perseroan Terbatas.

Berdasarkan ketentuan di atas, menurut UUPA badan hukum yaitu perseroan terbatas hanya diperbolehkan memiliki hak atas tanah berupa: Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa unruk Bangunan dan Hak Pengelolaan atas tanah negara.

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka Tanah hak milik yang dibeli oleh oleh PT diubah statusnya menjadi HGB karena ketentuan UUPA tidak mengizinkan sebuah PT mempunyai hak milik atas tanah selain badan hukum yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Karenanya sebuah perseroan terbatas diperbolehan mendapatkan hak guna bangunan melalui akta yang dibuat PPAT.

Prosedur pengajuan atas tanah oleh Perseroan Terbatas dilaksanakan melalui perubahan hak dengan cara menurunkan hak milik tersebut menjadi hak yang diinginkan oleh perusahaan, atau dengan cara penyerahan / pelepasan hak atas tanah kepada negara sehingga tanah tersebut berubah status menjadi tanah negara yang kemudian dengan berdasarkan pada kesepakatan sebelumnya bahwa tanah tersebut dimohonkan oleh perusahaan.

Adapun ketentuan yang mengatur tentang prosedur penurunan Hak Milik menjadi HGB / HGU / Hak Pakai yaitu Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 16 Tahun 1997 adalah dengan cara dimana Perseroan Terbatas sebagai pemohon, dilakukan dengan pengajuan penurunan hak tersebut kepada kepala BPN setempat agar diberikan hak sesuai dengan yang diingin berupa penurunan dari hak milik menjadi hak guna usaha. Untuk mengikathubungan antara perseroan dengan pemilik tanah sebagai penjual maka mereka diikat melalui PPJB, selanjutnya apabila status tanah tersebut sudah dirunkan oleh BPN seperti yang diinginkan oleh perseroan terbatas, maka Langkah selanjutnya adalah melakukan pembuatan AJB dihadapan PPAT dengan berkoodinasi terlebih dahulu Bersama badan pertanahanan nasional setempat.. Ada prosedur lain penurunan hak milik menjadi HGB oleh PT dengan cara pelepasan hak, dimana dalam pelepasan hak milik ini pemilik hak atas tanah akan melepaskan haknya kepada negara terlebih dahulu dengan akta pelepasan hak yang dibuat dihadapan notaris yang berwenang. Setelah tanah dilepaskan menjadi tanah negara, pembeli harus mengajukan permohonan hak atas tanah dengan status tanah yang dimaksud yaitu Hak Guna Bangunan atau Hak lain yang diingini.

Berdasarkan surat keputusan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 1997 Tentang Perubahan Hak Milik Menjadi Hak Guna Bangunan Atau Hak Pakai Dan Hak Guna Bangunan Menjadi Hak Pakai terdapat 2 jenis hak atas tanah yang dapat dilakukan penurunan yaitu pertama penurunan dari hak milik menjadi hak guna bangunan atau hak pakai, dimanajangka waktu yang diberikan adalah 30 Tahun atau 25 Tahun. Kedua, penurunan dari hak guna bangunan atas tanah negara atau atas tanah hak pengelolaan kepunyaan perseorangan WNI atau badan hukum Indonesia menjadi hak pakai atas permohonan pemegang hak atau kuasanya untuk jangka waktu 25 Tahun. Dalam hal ini pemohon yang merupakan Perseroan Terbatas mengajukanpermohonan penurunan dari hak milik diturunkan menjadi hak guna bangunan kepada kepala kantor pertanahan setempat. Permohonan itu disertai dengan sertifikat hak milik yang akan diubah haknya atau bukti pemilikan tanah yang bersangkutan dalam hal hak milik yang belum terdaftar dan bukti identitas termohon. Agar pemilik tanah dengan hak milik dapat merubah status menjadi hak guna bangunan dalam hal ini dilakukan oleh Perseroan Terbatas, maka Perseroan Terbatas tersebut harus mendapatlan ijin lokasi dan ijin prinsip dari kantor pertanahan. Lalu, pemilik tanah tersebut dapat melakukan proses akta jual beli yang kemudian dilanjutkan dengan perubahan nama pemilik atas tanah diubah menjadi hak guna bangunan.

  • 3.2    Hambatan dalam Penurunan Status Hak Atas Tanah dari Hak Milik Menjadi Hak Guna Bangunan oleh Perseroan Terbatas

Munculnya persoalan hukum yang krusial serta secara prinsip hukum filosofis, yuridis, dan sosiologis dapat diterjemahkan ke dalam norma hukum dalam suatu bentuk yaitu Undang-Undang. Dengan adanya peraturan pelaksanan UU tersebut dapat diterjemahkan kedalam norma hukum yang dapat membantu penyelesaian permasalahan hukum, dan norma hukum itu dapat dijadikan pedoman atas pelaksanaan perbuatan hukum. Agus Suntoro berpendapat bahwa salah satu persoalan timbulnya kasus dalam pembangunan infrastruktur berkaitan dengan ganti rugi adalah pengaturan layak dan adil yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum beserta aturan pelaksananya. Selanjutnya, menurut Muchsin yang menjadi kendala utama dalam melaksananakan UUPA adalah belum lengkapnya peraturan perundang-undangan yang diperintahkan UUPA, lalu terdapat peraturan perundang-undangan sebagai pelaksana UUPA yang tidak sinkron dengan aturan yang lebih tinggi, dan terdapat penyimpangan serta penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh aparat pemerintah dan pemerintah daerah dalam melaksanakan UUPA.

Dari pemaparan yang dikemukakan di atas, dilihat pada prosedur penurunan dari hak milikmenjadi hak guna bangunan oleh badan hukum perseroan terbatas, dapat dilihat hambatannya pada prosedur pengajuannya, dimana pemohon yaitu perseroan terbatas dikenakan dana atau biaya dalam melakukan penurunan hak tersebut, sementara perseroan terbatas sudah mengeluarkan biaya untuk pembelian tanah disamping biaya notaris untuk pengurusan sertifikat. Disamping itu hambatan dalam penurunan status hak atas tanah dari hak milik menjadi hak guna bangunan adalah prosedurnya yang berbelit-belit dan rumit, serta memakan waktu yang lama, kemudian hambatan lainnya adalah kurangnya transparansi, informasi, penguasaan, dan kepemilikan tanah. Kemudian, persertifikatan tanah tidak berjalan dengan cepat, kurang lengkapnya standar sampai saat ini dalam penurunan status hak atas tanah, dan terakhir belum adanya kesatuan definisi mengenai yang mana tanah adat dan tanah negara.

  • 3.3    Cara Mengatasi Hambatan dalam Penurunan Status Hak Atas Tanah dari Hak

    Milik Menjadi Hak Guna Bagunan

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, dalam rangka untuk menurunkan status hak atas tanah dari status hak milik menjadi hak guna bangunan mempunyai banyak hambatan dalam merealisasikannya. Baik karena prosedur penurunan hak itu sendiri yang terlalu berbelit-belit sehingga memiliki kesan yang rumit, jangka waktu prosedur penurunan hak yang memakan waktu terbilang panjang, memakan biaya yang tidak sedikit, kurangnya tranparansi dalam prosedur penurunan pajak yang memicu besarnya kemungkinan adanya penggelapan dana didalamnnya, selain itu persetifikatan tanah pun membutuhkan waktu yang lama, dan kurangnya standar dari penurunan status hak atas tanah. Melihat dari hambatan-hambatan tersebut, cara untuk mengatasinya tidak lain dengan adanya kesadaran dari badan yang mengurus penurunan hak atas tanah tersebut.

  • 4.    Kesimpulan

Dari uraian diatas, sehubungan dengan permasalahan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut, Pertama prosedur penurunan status tanah dari status kepemilikan hakmilik menjadi hak gunabangunan oleh Perseroan Terbatas dilakukan berdasarkan ketentuan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 16 Tahun 1997 Tentang Perubahan Hak Milik Menjadi Hak Guna Bangunan Atau Hak Pakai Dan Hak Guna Bangunan, dimulai dengan pengajuan permohonan penurunan

dengan melampirkan sertifikat hak milik, identitas para pihak, akta jual beli, beserta prinsip dan ijin lokasi. kendala yang dihadapi dalam penurunan status tanah dari hak milik menjadi hak guna bangunan adalah prosedurnya yang berbelit-belit atau rumit, memakan waktu yang lama dan biaya yang mahal. Cara untuk mengatasinya tidak lain dengan adanya kesadaran dari badan yang mengurus penurunan hak atas tanah tersebut. Karena, sebagian besar hambatan terjadi akibat dari kurangnya kinerja badan pengurus penurun hak milik menjadi hak guna bangunan atas tanah. Badan pengurus penurunan hak harus sadar dan meningkatkan kinerjanya agar penurunan hak atas tanah dapat berlangsung secara cepat dengan hambatan seminim mungkin.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Marqoni, Mohammad Machfudh. Hak Atas Tanh: Perolehan, Asal, dan Turunannya, Serta Kaitannya Dengan Jaminan Kepastian Hukum (Legal Guarantee) Maupun Perlindungan Hak Kepemilikannya (Property Right) (Jakarta, Prestasi Pustaka Publisher, 2015), 37.

Sugiharto, Umar Said, Suratman, dan Muchsin, Noorhudha. Hukum Pengadaan Tanah: Pengadaan Hak Atas Tanah untuk Kepentingan Umum Pra dan Pasca Reformasi (Malang, Setara Press, 2015), 2.

Wibawanti, Erna Sri dan Murjiyanto, R. Hak atas Tanah dan Peralihannya (Yogyakarta, Liberty, 2013), 47.

Jurnal Ilmiah

Buana, A. A. Sagung Tri Buana, and Marwanto. “Pengaturan Hak Penguasaan Tanah Hak Milik Perorangan Oleh Negara”. Jurnal Kertha Negara 5, No. 4 (2017) : 7.

Djanggih, Hardianto dan Salle. “Aspek Hukum Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum”. Jurnal Pandecta 12, No. 2 (2017): 166.

Fitri, Ria. “Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat Bidang Pertanahan”. Jurnal Ilmu Hukum 66, (2015): 231.

Juliadi, Kadek Ryan dan Surata, I Gede. “Kedudukan Warga Negara Asing Terhadap Hak Milik Atas Tanah Di Kantor Pertanahan Kabupaten Buleleng”. Jurnal Hukum Kertha Widya 3, No.2 (2015): 78.

Kartono, Satriyo Ardi. “Politik Hukum Pertanahan dalam Rangka Percepatan Pendaftaran Tanah di Indonesia”. Jurnal Esensi Hukum Magister Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta 2, No.I (2020): 9.

Kumalasari, Pury Apriliani, and Sudiarta, I Ketut. “Pemberian Ganti Rugi Kepada Pemilik Tanah Atas Penggunaan Tanah Perseorangan Tanpa Pembebasan Oleh Pemerintah”. Jurnal Kertha Semaya 8, No. 3, (2020): 303.

Kurniawan, Putu Agus Eka, and Dunia, Ngakan Ketut, and Darmadha, I Nyoman. “Pelaksanaan Pendaftaran Hak Milik Atas Tanah Melalui Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona) Di Kabupaten Gianyar”. Jurnal Kertha Negara 1, No. 5 (2013): 2.

Nugroho, Wahyu. “Reorientasi Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Penerapan Otonomi Daerah di Bidang Pertanahan dan Penataan Ruang”. Jurnal Legislasi Indonesia 12, No. 2 (2015): 3.

Prayogi, Mogi Ksatria and Sesung, Rusdianto. “Penurunan Status Hak Kepemilikan Atas Tanah dari Hak Milik menjadi Hak Guna Bangunan akibat Penyertaan Modal di Perseroan Terbatas”. Jurnal Selat 5, No. 2 (2018): 193.

Sudhyatmika, Ida Bagus Kade Wahyu, and Yasa, Putu Gede Arya Sumertha. “Pengaturan Hak Guna Usaha Terhadap Lahan Perkebunan Di Indonesia”. Jurnal Kertha Desa 8, No. 10 (2021): 2.

Sudiarta, I Gede Panca, and Kasih Desak Putu Dewi. “Kepastian Hukum Bagi Investor Dalam Perpanjangan Hak Guna Usaha”. Jurnal Kertha Semaya 9, No. 2 (2020): 279.

Udiyani, I Gusti Ayu Widya Chandra, and Dahana, Cokorda Dalem. “Tanggung Jawab Hukum Badan Pertanahan Nasional Dalam Menanggulangi Konflik Agraria Di Indonesia”. Jurnal Kertha Negara 10, No. 10 (2022): 1008.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang.

Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 1 Tahun 2023 hlm 99-110

110