IUS CONSTITUTUM & IUS CONSTITUENDUM SAKSI MAHKOTA BERKAITAN DENGAN KEPASTIAN KEDUDUKANNYA DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA
on
IUS CONSTITUTUM & IUS CONSTITUENDUM
SAKSI MAHKOTA BERKAITAN DENGAN
KEPASTIAN KEDUDUKANNYA DALAM HUKUM
PIDANA INDONESIA
I Gusti Mahendra Satria Pranata, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
I Wayan Bela Siki Layang, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan kepastian terkait norma hukum dalam hal kedudukan atau posisi seorang Terdakwa saat memberikan kesaksiannya sebagai saksi mahkota pada perkara tindak pidana agar sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia dan tidak merenggut hak dari seorang terdakwa dalam memberikan kesaksiannya demi menjunjung tinggi proses peradilan yang adil atau due process of law di Indonesia. Metode penelitian dalam tulisan ini menggunakan jenis penelitian normative dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan fakta, serta teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah teknik bola salju. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa pengaturan hukum terkait penggunaan saksi mahkota masih tidak mendapatkan kepastian hukum sehingga terjadinya kekaburan norma dalam penerapannya. Dalam pasal-pasal hukum positif saat ini, Pasal 168 KUHAP adalah pasal yang secara implisit mentafsirkan aturan mengenai saksi mahkota tersebut. Namun, Pasal 66 KUHAP sendiri tidak membenarkan adanya pembebanan pembuktian pada Terdakwa, sehingga penafsiran-penafsiran yang dihasilkan oleh aparat penegak hukum melalui pasal tersebut berbeda satu dengan lainnya yang menyebabkan tidak adanya kepastian hukum dalam menyelenggarakan proses peradilan yang adil. Oleh karena masih belum adanya kepastian pengaturan hukum mengenai saksi mahkota, maka dari itu pengaturan saksi mahkota kedepannya sebagai ius constituendum perlu diperjelas kembali dengan upaya penegak hukum merumuskan pasal-pasal baru atau dengan perubahan undang-undang yang ada sehingga melahirkan konsistensi aparat penegak hukum dalam terwujudnya proses peradilan yang adil.
Kata Kunci: Saksi Mahkota, Ius Constitutum, Ius Constituendum, Norma Kabur
ABSTRACT
This study aims to provide certainty regarding legal norms in terms of the position or position of a defendant when giving his testimony as a crown witness in a criminal case so that it is in accordance with the positive law in force in Indonesia and does not take away the rights of a defendant in giving testimony in order to uphold the judicial process fair or due process of law in Indonesia. This research method uses normative research with two approaches, namely the statue approach and the fact approach, as well as the data collection technique used is the snowball technique. Based on the results of the study it was found that legal arrangements related to the use of crown witnesses still do not get legal certainty so that there is a blurring of norms in their application. In the current positive law articles, Article 168 of the Criminal Procedure Code is an article that implicitly interprets the rules regarding the crown witness. However, Article 66 of the Criminal Procedure Code itself does not justify the burden of proof on the Defendant, so that the interpretations produced by law enforcement officials through this article differ from one another which results in a lack of legal certainty in administering a fair trial. Because there is still no certainty regarding legal arrangements regarding crown witnesses, therefore the arrangements for crown witnesses in the future as ius constituendum need to be clarified again by law enforcement efforts to formulate new articles or by changing existing laws so as to give birth to the consistency of law enforcement officials in realizing due process of law.
Key Words: Crown Witness, Ius Constitutum, Ius Constituendum, Blurred Norms
Indonesia diakui dan dinyatakan sebagai negara hukum berdasarkan ketentuan dari Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Aturan dasar tersebut telah mendapatkan amandemen yang sebelumnya menyebutkan bahwa Indonesia salah satu negara hukum yang secara implisit termuat dalam Alinea Pembukaan dan Batang Tubuh Konstitusi, serta secara tegas dicantumkan dalam bagian Penjelasan Konstitusional negara yakni UUD 1945. Indonesia yang berposisi sebagai suatu negara hukum, tentunya mencakup perlindungan hak asasi manusia (HAM) pada aturan-aturannya, pemerintahan yang dijalankan sesuai hukum positif nasional, suatu badan peradilan administrasi, dan pembagian atau pemisahan kekuasaan.1 Pembagian kekuasaan sendiri secara umum terbagi menjadi 3, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Lembaga peradilan terdiri dari Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial dengan peran dan fungsi pokoknya masing-masing, salah satunya adalah mengadili perkara. Kemudian dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi lembaga-lembaga tersebut diperlukan media atau tempat yang dikenal sebagai pengadilan.
Pengadilan secara yuridis didefinisikan dari rumusan Pasal 1 angka 1 UU No. 49/2009 mengenai Perubahan Kedua Undang-Undang No. 2/1986 tentang Peradilan Umum, yaitu yang tercakup dalam konteks pengadilan disini adalah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi pada lingkungan peradilan umum. Dalam pengadilan inilah nantinya akan dilaksanakan suatu proses pembuktian atas dasar dakwaan, gugatan ataupun tuntutan yang dilayangkan oleh pihak Penuntut Umum kepada Tersangka atau Terdakwa itu sendiri. Permasalahan yang menyangkut pembuktian dalam suatu tindak pidana adalah masalah yang rumit. Ini dilatarbelakangi sebab pelaku dari tindak pidana ini seringkali melakukan tindakannya dengan terorganisir dan hati-hati.2 Pada proses pembuktian tersebut, hak asasi manusia (HAM) menjadi hal yang fundamental menyangkut dakwaan terhadap seseorang yang apabila dinyatakan terbukti atas dasar bukti yang ada dan disertai keyakinan hakim, namun pada nyatanya hal tersebut tidak benar maka dapat merenggut hak-hak dari orang tersebut. Tahapan pembuktian di suatu persidangan memiliki tujuan dan maksud untuk menyatakan kebenaran atau fakta terhadap suatu perkara, sehingga hal-hal tersebut dapat diterima logika menyangkut kebenaran dari perkara tersebut sesuai dengan hukum formil pidana di Indonesia. Untuk mencari atau menyatakan kebenaran berupa fakta-fakta tersebut tidaklah suatu hal yang mudah, maka dibutuhkan alat-alat bukti berupa keterangan dari saksi, keterangan dari seorang ahli, surat, petunjuk, keterangan dari terdakwa dan beberapa hal yang sudah diketahui secara umum serta tidak perlu diadakan suatu pembuktian lagi terhadapnya sesuai rumusan dalam Pasal 184 KUHAP.
Saksi yang memberikan keterangan adalah suatu alat bukti dalam perkara pidana yang mana itu merupakan sesuatu peristiwa yang dialami dan diketahui sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.3 Pembuktian perkara pidana dengan menggunakan keterangan saksi ini tidaklah suatu hal yang mudah. Hal ini dikarenakan seringkali kesaksian menjadi tidak jelas dan cenderung minim apabila dalam perkara pidana tidak terdapat saksi yang mengetahui terjadinya tindak pidana ini.4 Meskipun demikian, teori pembuktian dalam hukum formil pidana ini menyatakan bahwa keterangan yang diberikan saksi dalam persidangan akan dipandang sebagai bukti penting dan utama di hampir seluruh
proses pembuktian perkara.5 Hal ini dibuktikan dalam proses pembuktian, keterangan seorang saksi selalu diutamakan meskipun keterangan tersebut bukanlah satu-satunya alat bukti. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selain terdapat alat bukti lain, selalu diperlukan yang namanya keterangan dari seorang saksi sebagai alat bukti. Jenis-jenis dari saksi ini sendiri ada beberapa jenis, diantaranya saksi biasa yang merupakan orang umum yang mengalami, mendengar, dan melihat peristiwa yang disengketakan.6 Kemudian terdapat saksi ahli yang merupakan seseorang yang memiliki pengetahuan dan keahlian khusus tentang pokok sengketa.7 Selain dua saksi itu, ada juga saksi mahkota yang berupa Tersangka atau Terdakwa yang diambil dan kemudian dijadikan saksi dengan memberikan mahkota kepadanya. Oleh karena itu, dimensi dari saksi mahkota disini dalam tiga hal, yakni sebagai seorang saksi, salah satu dari Tersangka atau Terdakwa, dan adanya pemberian sebuah mahkota kepada Tersangka atau Terdakwa sehingga menjadi suatu saksi.8
Saksi adalah kunci untuk memecahkan suatu perkara atau kejahatan, demikian pula adanya saksi mahkota (kroongetuige) atau saksi yang merupakan Terdakwa dengan Terdakwa lain melakukan suatu kejahatan secara yang bersama-sama.9 Pengaturan terkait penggunaan Terdakwa sebagai saksi ini dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 168 KUHAP yang secara implisit mengatur pengecualian penggunaan saksi yang berhubungan khusus dengan Terdakwa ataupun saksi yang sebagai Terdakwa itu sendiri. Namun dalam pengaturan tersebut tidak disebutkan secara eksplisit terkait saksi mahkota, tetapi penafsiran pasal tersebut sering disangkutpautkan dengan penggunaan saksi mahkota atau Terdakwa sebagai saksi. Penggunaan saksi yang berstatus sebagai Terdakwa ataupun memiliki hubungan khusus dengan Terdakwa sebagaimana yang telah dikecualikan dalam ketentuan KUHAP, pada kenyataannya oleh Mahkamah Agung masih diberikan ruang untuk mempergunakan kesaksian dari saksi yang dikecualikan itu dengan adanya pemisahan berkas perkara. Hal tersebut dapat dilihat dari suatu Yurisprudensi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung RI, yakni dengan Nomor: 1986 K/Pid.1989, yang menyatakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dapat menghadirkan saksi kunci berupa saksi mahkota apabila terjadi deelneming atau penyertaan dan harus dilakukan pemisahan berkas perkara. Selain itu dalam Surat Edaran Kejaksaan Agung No. B-69/E/02/1997 Tahun 1997, menyatakan bahwa saksi mahkota sebagai salah satu alat bukti yang disatukan dengan alat bukti keterangan saksi.10
Saksi mahkota ini dipergunakan dalam beberapa keadaan, diantaranya saat terjadi suatu penyertaan (deelneming) dalam tindak pidana, saat adanya pemisahan suatu berkas perkara (splitsing), dan dikala alat bukti yang dibawa oleh JPU ini kurang, terkhususnya alat bukti keterangan saksi.11 Untuk memenuhi unsur-unsur dari delik Terdakwa dan untuk menghindari kemungkinan kekurangan alat bukti sesuai rumusan Pasal 183 dan 184 KUHAP, maka perlu untuk dilakukan tindakan pemisahan berkas perkara atau splitsing. Saksi mahkota ini diajukan oleh JPU untuk memvalidasi ke hadapan hakim di depan persidangan, bahwa suatu kejahatan itu benar-benar telah terjadi dan pelakunya sesuai dengan yang dipaparkan
dalam surat dakwaan. Tujuan pengajuan saksi mahkota ini untuk tidak melepas pertanggungjawaban dari seorang Terdakwa sebagai suatu pelaku kejahatan.12 Walaupun diajukannya saksi mahkota ini guna memperjelas pemeriksaan tindak pidana, namun hakim akan menguji kebenaran dan korelasi saksi mahkota tersebut serta bukti-bukti pendukung keterangan itu guna memberikan keyakinan pada Majelis Hakim.
Penerapan dari saksi mahkota ini dapat dijumpai pada perkara yang termuat dalam Putusan Kasasi Nomor: 1942K/Pid B/2012 Pengadilan Negeri Denpasar, Bali yakni mengenai pencurian dengan kekerasan. Pada kasus tersebut saksi mahkota Endro Widio Seno dipergunakan sebagai saksi karena memiliki ancaman pidana paling ringan dan dalam kasus tersebut hanya ikut serta di mobil yang digunakan dalam melakukan kejahatan, namun tidak melakukan kekerasan ataupun ancaman kekerasan. Dengan keterlibatan Endro Widio Seno dalam tindak pidana tersebut, tentunya keterangan saksi sebagai saksi mahkota sendiri dapat meringankan (a de charge) ataupun memberatkan (a charge) Terdakwa lainnya.13 Dalam memberikan suatu kesaksian sebagai saksi mahkota, Terdakwa tidaklah memiliki suatu kedudukan ataupun kewajiban beban pembuktian sesuai rumusan Pasal 66 KUHAP, melainkan seluruh hal ini adalah siasat dari JPU itu sendiri. Keterangan Terdakwa juga hanya dapat dipergunakan untuk dirinya sendiri dan seharusnya tidaklah dapat didengar serta dijadikan kesaksian bagi Terdakwa lainnya meskipun kejahatan antara kedua Terdakwa ini masih bertautan sesuai dengan rumusan Pasal 189 ayat (3) KUHAP. Pengaturan dalam KUHAP tersebut menunjukkan adanya pembatasan, namun pada nyatanya saksi mahkota masih tetap digunakan dalam proses pembuktian perkara pidana. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penyimpangan penerapan hukum acara, terutama pada hak-hak seorang Terdakwa.
Hak-hak yang dimiliki seorang Terdakwa dalam memberikan keterangan erat kaitannya dengan hak asasi manusia dimana seorang Terdakwa berhak untuk diam (right to remain silence) dan hak untuk tidak mengkriminalkan dirinya sendiri dalam suatu kasus persidangan (non self incrimination).14 Asas-asas ini sudah diakui secara umum dan menjadi tolak ukur dalam kaitan Terdakwa berposisi sebagai saksi mahkota. Tidak menutup kemungkinan adanya penolakan terhadap posisi Terdakwa lain sebagai saksi mahkota dalam suatu perkara sebagaimana yang ada dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 1174 K/Pid/1994 jo. Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1592 K/Pid/1995, yang menanggapi bahwa suatu pemeriksaan saksi mahkota dianggap tidak perlu dilakukan dikarenakan melanggar prinsip hak asasi manusia yang dijunjung KUHAP. Hal ini karena diragukan dalam penyampaian keterangannya Terdakwa yang berposisi sebagai saksi mahkota dan telah disumpah tersebut menyatakan hal yang tidak sesuai dengan asas-asas atau hak yang dimiliki seorang Terdakwa dimuka persidangan. Oleh karena itu, eksistensi dari saksi mahkota ini masih diperdebatkan hingga saat ini dikarenakan kekaburan norma pengaturnya dimana pengaturan hukum terkait saksi mahkota tidak tercantum secara jelas, namun adanya penafsiran hukum secara samar-samar dalam penerapannya di hukum pidana Indonesia sehingga penulis mengangkat jurnal yang berjudul “Ius Constitutum & Ius Constituendum Saksi Mahkota Berkaitan Dengan Kepastian Kedudukannya Dalam Hukum Pidana Indonesia” guna menentukan bagaimana kedudukan saksi mahkota dihadapan hukum pidana di Indonesia baik dalam hukum yang berlaku saat ini sebagai hukum positif negara ataupun hukum yang dicita-citakan negara.
Penelitian ini jika dibandingkan dengan penelitian yang sebelumnya, terdapat kesamaan dari segi topik pembahasannya yakni sama-sama membahas terkait dengan saksi mahkota, akan tetapi dengan fokus kajian yang berbeda. Perbandingan pertama terdapat pada Jurnal
berjudul “Eksistensi Saksi Mahkota Dalam Proses Peradilan Pidana Di Indonesia Berdasarkan Asas Non Self Incrimination” yang ditulis oleh Ni Kadek Driptayanti dan I Ketut Mertha dengan fokus kajian terletak pada penggunaan saksi mahkota di peradilan pidana Indonesia sesuai asas non self incrimination.15 Selanjutnya untuk perbandingan kedua terdapat pada Jurnal yang berjudul “Reformulasi Kewenangan Penuntut Umum Terhadap Penerapan Saksi Mahkota Dalam Pembuktian Tindak Pidana Korupsi” karya I Putu Gede Sumariartha Suara dengan fokus kajiannya hanya pada kewenangan Penuntut Umum dalam menerapkan saksi mahkota di proses pembuktian tindak pidana korupsi berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini serta meninjau juga berdasarkan hukum yang dicita-citakan (Ius Constituendum).16 Hal yang membedakan antara kedua penelitian tersebut dengan penelitian yang penulis angkat kali ini terletak pada pembahasan penerapan saksi mahkota dalam kedudukannya pada hukum pidana Indonesia yang tidak hanya dibahas dari sudut pandang penegak hukum melainkan dari sudut pandang Terdakwa itu sendiri. Selain itu, pembahasan yang penulis angkat kali ini juga turut menguraikan perlindungan hukum saat ini (Ius Constitutum) dan perlindungan hukum yang tengah dalam rancangan (Ius Constituendum) terkait penerapan saksi mahkota pada penegakan hukum di Indonesia.
Beranjak dari latar belakang permasalahan tersebut, maka dirumuskan dua permasalahan yang kemudian akan dibahas antara lain sebagai berikut.
-
1. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap terdakwa yang berposisi sebagai saksi mahkota dalam ius constitutum Indonesia?
-
2. Bagaimana pengaturan saksi mahkota kedepannya (ius constituendum) ditinjau berdasarkan due process of law?
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan kepastian terkait norma hukum dalam hal kedudukan atau posisi seorang Terdakwa saat memberikan kesaksiannya sebagai saksi mahkota pada perkara tindak pidana agar sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia dan tidak merenggut hak dari seorang terdakwa dalam memberikan kesaksiannya serta meninjau mengenai perlindungan hukum yang seharusnya diperoleh Terdakwa demi menjunjung tinggi proses peradilan yang adil atau due process of law di Indonesia.
Metode penulisan penelitian ini adalah penelitian normatif. Penelitian hukum normatif menurut E. Saefullah Wiradipradja dinyatakan sebagai suatu tindakan penelitian yang bidang studinya berupa pengkajian norma hukum.17 Masih berkaitan dengan pengertian hukum normatif, yang mana diungkapkan oleh Ahmad Mukti Fajar dan Yulianto yang menyatakan bahwasannya penelitian hukum normatif itu diumpamakan sebagai pemosisian hukum dalam menjadi sistem norma yang dianut masyarakat dengan meliputi, asas, kaidah, peraturan perundang-undangan, doktrin dan juga perjanjian.18 Atas dasar kedua pandangan
yang disampaikan oleh ahli hukum tersebut, maka penelitian hukum normatif secara sederhana dapat berarti penelitian yang mana suatu hukum ditetapkan sebagai norma, aturan, asas, ataupun prinsip hukum dalam proses untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. Kemudian pada metode penelitian normatif ini dipergunakan dua jenis pendekatan, yang mana pendekatan pertama adalah pendekatan perundang-undangan atau the statue approach dan pendekatan kedua adalah pendekatan fakta atau the fact approach. Pendekatan pertama, yakni pendekatan perundang-undangan atau the statue approach merupakan pendekatan dengan usaha untuk mengumpulkan berbagai macam peraturan perundang-undangan, baik itu hukum nasional ataupun hukum internasional yang masih berkorelasi dengan topik atau pembahasan yang sedang diteliti. Sehubungan dengan pendekatan perundang-undangan tersebut, maka didapat fakta-fakta yang terjadi dalam masyarakat. Kemudian melahirkan pendekatan kedua, yakni pendekatan fakta yang dilakukan dengan menganilisis terhadap berlakunya peraturan perundang-undangan tersebut dimasyarakat, apakah peraturan tersebut telah memberikan suatu kepastian dalam perlindungan hukum atau sebaliknya menyebabkan adanya kerancuan dalam penafsiran hukum tersebut. Kemudian untuk teknik pengumpulan data pada penilitian ini menggunakan teknik bola salju (snow ball method), yang mana disini akan dikumpulkan terkait dengan peraturan perundang-undangan baik itu nasional ataupun internasional yang berkaitan dengan hukum pidana, putusan pengadilan, jurnal hukum, buku hukum, dan yurisprudensi yang erat kaitannya dengan topik permasalahan kemudian disesuaikan keberlakuan hukum tersebut diantara masyarakat.
-
3. Pembahasan
-
3.1 Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Terdakwa yang Berposisi Sebagai Saksi Mahkota Dalam Ius Constitutum Indonesia
-
Upaya pemerintah dan bahkan dunia dalam memberikan perlindungan hukum bagi saksi, khususnya saksi mahkota (koorn getuide) dilingkup perkara pidana perlu lebih diperhatikan. Ini disebabkan oleh karena saksi mahkota (koorn getuide) yang bersedia untuk menyampaikan kesaksiannya tentang kejahatan yang melibatkan mereka atau orang lain, guna memfasilitasi keberhasilan penyelesaian perkara bagi penegakan hukum. Perlindungan saksi mahkota ini sendiri selain sebagai suatu alat bukti, juga adalah suatu hal yang wajib dilaksanakan dalam peradilan pidana. Oleh karena itu, menjamin keadilan melalui persamaan di depan hukum menjadi suatu prinsip dasar proses peradilan pidana yang ada, suatu saksi yang ikut serta pada suatu tindak pidana maka wajib diberikan suatu jaminan perlindungan seperti yang diterima oleh terdakwa atau tersangka.19 Pelaksanaan perlindungan yang diterima nantinya oleh saksi mahkota pada proses pembuktian dalam persidangan harus disesuaikan dengan ketentuan atau norma hukum yang berlaku, agar saksi tersebut tetap mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan terhadap saksi mahkota sebagai wujud upaya pemerintah dan dunia ini dapat diteliti melalui diaturnya beberapa pengaturan hukum terkait dengan saksi-saksi dimulai dari perlindungan dalam konvenan internasional hingga hukum positif di Indonesia.
Konvenan hukum internasional tentang perlindungan saksi ini dapat ditemukan dalam International Criminal Court (ICC) yang berstandar pada Statuta Roma Tahun 1998, terkhususnya dalam Pasal 68 ayat (1) yang menyatakan bahwa pengadilan harus mengambil tindakan yang tepat untuk melindungi keamanan, keselamatan tubuh/fisik serta kesejahteraan psikologis, martabat dan juga privasi daripada korban ataupun saksi. Selain itu, Pasal 69 ayat (2) menegaskan kembali bahwa saksi diperbolehkan memberikan keterangan secara viva voce (lisan) di pengadilan dengan menggunakan teknologi audio atau video, selama tetap mengikuti ketentuan aturan yang berlaku dan relevan dengan aturan-aturan
yang lainnya.20 Hal ini diperlakukan guna mencapai suatu pengungkapan kesaksian yang benar, jujur, dan terjaminnya keselamatan, keamanan, martabat, dah hal pribadi saksi. Perlindungan dalam konvenan ini tidak hanya sebatas itu, tetapi diatur juga adanya penghapusan identitas saksi yang memberikan kesaksian namun berada dalam posisi yang riskan, adanya pemberian nama samaran yang akan digunakan saksi apabila akibat kesaksiannya mengakibatkan bahaya atau posisi yang riskan, dan adanya penggunaan peralatan teknik yang memiliki kemampuan dalam penggantian gambar, suara, atau visual secara khusus dalam hal saksi memberikan keterangan melalui video conference agar keamanan dan kerahasiaannya terjamin.21 Selain dalam ICC tersebut, konvenan internasional yang membahas perihal perlindungan saksi didalamnya adalah DUHAM atau Universal Declaration Universal of Human Right (DUHAM) dan ICCPR atau The Internasional Convenant of Civil and Political Right, yang dikukuhan melalui Resolusi Majelis Umum PBB pada tahun 1966 dan kemudian disahkan oleh Indonesia pada tahun 2005 dengan UU No. 12/2005 tentang Pengesahan Internasional Convenant on Civil and Politic Right.22 Secara internasional dengan adanya instrument berupa konvenan internasional tersebut, maka dapat dikatakan bahwa dunia mengakui pentingnya perlindungan saksi dan diharapkan dari konvenan-konvenan tersebut dapat menjadi rujukan bagi negara lain seperti Indonesia dalam mewujudkan perlindungan saksi sebagai suatu hukum positif atau ius constitutum.
Ius constitutum atau yang lebih sering dikenal dengan sebutan hukum positif merupakan hukum yang berlaku di masa sekarang.23 Untuk penataan ius constitutum ini sendiri tidak lepas dari pemahaman mengenai suatu norma dasar atau disebut dengan grundnorm. Dalam membicarakan tentang norma dasar ini, terdapat dua pemikiran yakni, pertama berhenti sampai pada konstitusi atau UUD 1945 atau yang kedua, masih terdapat norma lain diatas konstitusi.24 Pemikiran pertama ini mendudukan Pancasila sebagai volksgeist (jiwa bangsa) dan UUD 1945 sebagai norma dasar, sedangkan pada pemikiran kedua lebih mendudukan Pancasila sebagai suatu norma dasar dikarenakan diatas UUD 1945 masih terdapat Pancasila. Guna memperjelas mengenai penataan ius constitutum tersebut, dapat dilihat melalui teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa “the creation of one norm, the lower one is determined by another the higher, the creation of which is determined by a still higher norm and that this regresses is terminated by a highest, the basic norm which being the supreme reason of validity of the whole legal order, constitutes in unity”.25 Dalam pandangannya tersebut, dapat diartikan bahwa aturan-aturan hukum yang lebih rendah kedudukannya akan ditentukan berdasar dari aturan yang lebih tinggi, sehingga acuan dari aturan hukum tersebut akan menjadi suatu pertimbangan bagi tatanan hukum yang ada.
Aturan-aturan hukum yang ada dan berkedudukan lebih tinggi menjadi acuan dalam pembentukan aturan hukum yang lebih rendah, serta dalam pembentukannya aturan-aturan tersebut tidaklah boleh bertentangan satu sama lain. Berkaitan dengan hal itu, apabila melihat Indonesia yang seperti diketahui hingga saat ini memiliki beragam hukum yang berlaku sebagai ius constitutum atau hukum positif bagi masyarakatnya, diantaranya hukum Islam, hukum perdata, dan juga hukum pidana. Keseluruhan aturan hukum yang ada haruslah membentuk suatu harmoni norma atau dengan kata lain tidak adanya pertentangan antara norma satu dengan norma lainnya, dalam hal ini terkhususnya adalah aturan hukum pidana. Hukum pidana materiil yang berlaku di Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), sedangkan hukum pidana formilnya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), meskipun disamping kedua hukum tersebut masih terdapat beberapa peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur perihal hukum pidana. Apabila dikaitkan dalam penegakan hukum Indonesia, salah satunya adalah dengan hadirnya seorang saksi dalam persidangan, maka tentunya kehadirannya ini memerlukan suatu perlindungan hukum guna menjamin keselamatan dari saksi tersebut. Keberadaan saksi sendiri diatur dalam KUHAP, yaitu Pasal 1 angka 26 dalam hal pemberian kesaksian pada tahapan penyidikan, kemudian pada tahap dilakukannya penuntutan, dan tahap peradilan pidana, yang mana semua itu saksi dengar, lihat, dan alami sendiri.
Pengaturan hukum pidana formil mengenai perlindungan saksi di Indonesia terdapat dalam KUHAP. Dalam KUHAP terdapat beberapa pengaturan, diantaranya Pasal 117 KUHAP ayat (1) yang menyebutkan bahwa Tersangka dan/atau saksi dalam memberikan keteranganya kepada penyidik diberikan tanpa adanya tekanan dari siapapun itu, baik dari pihak terkait maupun dari pihak penegak hukum. Kemudian dapat ditemukan pada Pasal 166 KUHAP, ditegaskan bahwa tidak dapat diajukan suatu pertanyaan yang bersifat menjerat baik kepada terdakwa ataupun saksi, itu sendiri. Selain perlindungan hukum dalam hal pemberian keterangan oleh saksi, dalam hal keterbatasan yang dimiliki serta biaya yang dikeluarkan oleh saksi juga termasuk dilindungi dalam KUHAP. Hal ini diatur dalam Pasal 177 KUHAP ayat (1) mengenai bantuan penerjemah bahasa yang akan diterima oleh saksi apabila saksi tidak paham bahasa Indonesia dan dalam Pasal 229 KUHAP mengenai penggantian biaya yang berhak diterima atas kehadiran saksi guna memberikan keterangan di tingkat pemeriksaan.26 Selain pengaturan hukum perlindungan saksi dalam hukum pidana formil, perlindungan saksi juga diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan lainnya.
Pengaturan perlindungan saksi lainnya dapat dijumpai pertama pada Peraturan Pemerintah No. 24/2003 terkait dengan tata cara pemberian perlindungan terhadap saksi, penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam menyelesaikan perkara Tindak Pidana Terorisme. Dalam peraturan tersebut, tepatnya dalam Pasal 1 angka 1 diformulasikan bahwa perlindungan sebagai pemberian suatu kepastian rasa aman oleh negara yang ditujukkan pada beberapa pihak, yakni penyidik, penuntut umum, hakim dan saksi dari tindak kekerasan maupun ancaman kekerasan dalam tindak pidana terorisme. Kendati hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tersebut menyangkut tindak pidana terorisme, namun hal yang perlu digaris bawahi adalah adanya perlindungan dari kekerasan ataupun ancaman kekerasan terhadap saksi yang dijamin oleh negara itu sendiri. Kedua, dalam Peraturan Pemerintah No. 2/2002 mengenai mekanisme atau tata cara perlindungan korban dan saksi menyangkut pelanggaran HAM Berat, terkhususnya pada Pasal 2 ayat (1) dan (2) yang sederhananya menyebutkan bahwa korban atau saksi dalam pelanggaran HAM berat ini memiliki hak untuk dilindungi oleh aparatur penegak hukum baik itu dimulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Ketiga, UU No. 30/2002 mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi juga menegaskan bahwasannya saksi atau pelapor yang menyampaikan suatu laporan atau keterangan terjadinya tindak pidana korupsi maka akan mendapatkan perlindungan, sesuai dengan yang dirumuskan dalam Pasal 15 huruf a UU ini. Keempat, dalam Peraturan Pemerintah No. 57/2003 mengenai suatu tata cara dalam pelindungan khusus tertentu terhadap pelapor dan saksi pada perkara Tindak Pidana Pencucian Uang yang terceminkan dari formulasi Pasal 1 angka 1 yang menjelaskan perlindungan khusus untuk menjamin rasa aman pelapor ataupun saksi yang berkemungkinan mendapatkan ancaman baik itu fisik dirinya ataupun harta serta keluarga sebagai perlindungan dari negara. Kelima, perlindungan kepada saksi diatur pula dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pada formulasi Pasal 1 angka 6
yang mengutarakan perlindungan sebagai salah satu upaya yang dilakukan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai perundang-undangan, untuk memenuhi hak dan bantuan yang dapat diterima guna menjamin rasa aman saksi ataupun korban. Hal yang menjadi fokus pada pasal ini adalah adanya pemberian hak dan bantuan terkait rasa aman saksi bahkan jika saksi berposisi Terdakwa dalam perkara dengan berkas terpisah. UU No. 13/2006 ini kemudian mendapat perubahan menjadi UU No. 31/2014.
UU No. 31/2014 didalamnya tidaklah merumuskan bahwa saksi mahkota (koorn getuide) sebagai subjek yang mendapatkan perlindungan hukum, akan tetapi keberadaan dari saksi mahkota ini ditafsirkan sama dengan status saksi pelaku (justice collaborator) yang memperoleh perlindungan berupa penjatuhan pidana yang diringankan atau dibebaskan dengan suatu syarat, ada penambahan remisi, dan hak lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi saksi pelaku (justice collaborator) dengan posisi Terdakwa. Kedua hal diantara saksi mahkota dan saksi pelaku jelas berbeda, dilihat dari penyebab dipergunakannya saksi mahkota adalah dikarenakan kekurangan alat bukti sebagaimana dalam Pasal 183 KUHAP, sehingga terjadi kesulitan dalam mengungkap suatu tindak pidana oleh aparat penegak hukum. Atas dasar hal tersebut, maka diambilah salah satu Terdakwa yang berperan paling sedikit guna diposisikan sebagai saksi terhadap pelaku lainnya dengan adanya pemisahan berkas perkara (split)27, yang kemudian Terdakwa-Terdakwa yang berposisi sebagai saksi mahkota dapat memberikan keterangannya guna kepentingan pemeriksaan Terdakwa lainnya sehingga terpenuhi syarat minimal alat bukti sebagaimana dalam Pasal 183 KUHAP tersebut.28 Inisiatif penggunaan saksi mahkota ini berasal dari aparat penegak hukum itu sendiri karena seperti yang diketahui bahwa Terdakwa tidak dibebankan beban pembuktian sebagaimana dalam Pasal 66 KUHAP dan dalam Pasal 189 ayat (3) KUHAP diformulasikan mengenai keterangan yang telah disampaikan oleh Terdakwa guna kepentingan pemeriksaan sebagai saksi mahkota hanya untuk Terdakwa lainnya dan tidak dapat didengar serta tidak dapat dijadikan suatu kesaksian untuk Terdakwa yang berposisi sebagai saksi mahkota meskipun peristiwa atau tindakan pidananya masih bertautan. Berbeda dengan saksi pelaku atau justice collaborator yang berinisiatif dengan kesadarannya sendiri dalam pemberian keterangan menyangkut tindak pidana yang dilakukannya guna membantu penegak hukum mengungkap tindak pidana pelaku lainnya.29 Dengan demikian, perspektif terkait persamaan diantara saksi mahkota dengan saksi pelaku tidak dapat dipersamakan karena kedua saksi ini memiliki sebab yang berbeda sehingga dapat dijadikan sebagai seorang saksi.
Salah satu contoh penerapan saksi mahkota dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia (Ius Constitutum) terlihat dalam perkara pembunuhan berencana dengan korban atas nama Nasrudin Zulkarnaen yang merupakan direktur dari PT Putra Rajawali Banjaran. Dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum menghadirkan mantan ketua KPK yakni Antasari Azhar dan Kombes Williardi Wizard sebagai dua saksi mahkota dalam penyelesaian perkara tersebut. Tindakan penghadiran saksi mahkota ini mendapatkan keberatan dari pihak Tim Penasihat Hukum Terdakwa yang dituangkan pada eksepsinya karena penghadiran saksi mahkota tersebut telah melanggar asas non self incrimination. Namun, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak eksepsi dari Tim Penasihat Hukum Terdakwa tersebut Putusan Sela dengan menyatakan bahwa penggunaan saksi mahkota itu dibenarkan dalam rangka penegakkan keadilan dan untuk kepentingan pembuktian serta selaras juga dengan yurisprudensi Mahkamah Agung. Oleh karena itu, selanjutnya Majelis Hakim
memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk menghadirkan kedua saksi mahkota tersebut dalam agenda persidangan pembuktian.30
Dengan melihat salah satu contoh perkara yang ada di Indonesia dan berkaitan dengan keseluruhan pengaturan hukum yang ada dimulai dari konvenan-konvenan internasional, hukum formil pidana Indonesia, serta peraturan perundang-undangan lainnya terkait perlindungan saksi, maka tidak terdapat pengaturan hukum yang secara eksplisit menyebutkan perlindungan terhadap saksi mahkota, melainkan hanya sebatas saksi biasa. Pengaturan hukum yang sering dipergunakan penafsiran terhadap saksi mahkota adalah Pasal 168 KUHAP, meskipun penafsiran tersebut dilakukan secara samar-samar. Penafsiran-penafsiran tersebut menyebabkan suatu aturan menjadi bias dan tidak memberikan kepastian hukum. Biasnya suatu norma atau hukum ini disebut sebagai norma kabur, yang dimana kekaburan norma ini ditimbulkan dari ketidakpastian aturan hukum sehingga menjadi penyebab dari adanya multitafsir terhadap suatu aturan hukum, dalam hal ini adalah dalam perlindungan saksi terkait saksi mahkota. Oleh karena itu, diperlukan suatu aturan hukum baru kedepannya (ius constituendum) demi menjamin kepastian hukum terhadap saksi mahkota.
Ius constitutum Indonesia memang mengatur mengenai perlindungan saksi, terkhususnya saksi yang juga posisinya sebagai Terdakwa dalam kasus perkara lainnya ataupun sama yang disebut sebagai saksi pelaku. Namun, pengaturan hukum terkhusus yang secara eksplisit menyebutkan ataupun mengatur mengenai saksi mahkota secara khusus belum ditemukan. Bahkan dalam KUHAP sendiri yang diatur adalah mengenai pihak perseorangan yang memiliki hubungan dengan Terdakwa ataupun yang bersama-sama berposisi sebagai Terdakwa tepatnya dalam Pasal 168 KUHAP, dan bukanlah pengaturan mengenai penggunaan saksi mahkota itu sendiri. Hal ini sebagaimana yang diketahui bahwa saksi mahkota merupakan seorang saksi yang diperoleh dari seorang Terdakwa dalam berkas perkara yang terpisah lainnya yang kemudian dipergunakan dan didengarkan kesaksiannya dalam persidangan pembuktian Terdakwa lainnya yang tentunya memiliki keterkaitannya dengan Terdakwa tersebut sendiri. Meskipun penggunaan sebutan saksi mahkota seringkali ditafsirkan serupa dengan saksi pelaku (justice collaborator), pada nyatanya dalam UU No. 31/2014 tidak sedikitpun menyebutkan adanya persamaan penggunaan istilah saksi mahkota ini. UU No. 31/2014 menyebutkan bahwa saksi pelaku (justice collaborator) itu sendiri adalah seorang Tersangka, Terdakwa, ataupun Terpidana yang atas kehendaknya dan kesadarannya bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 2. Pengertian tersebut tentunya tidak serupa dengan saksi mahkota yang mana merupakan pelaku tindak pidana yang karena kurangnya bukti sehingga berkasnya dipisah, sehingga bukan dalam satu kasus yang sama. Berdasarkan pemahaman sederhana ini, dengan tidak adanya aturan hukum yang eksplisit mengatur saksi mahkota menyebabkan penggunaan saksi mahkota tidak sepenuhnya mendapatkan perlindungan hukum, dan bagi Terdakwa atau Tersangka sendiri tidak adanya perlindungan hukum yang jelas sehingga dapat dikatakan hukum positif Indonesia mengenai saksi mahkota ini terbilang hukum atau norma yang kabur. Oleh karena kekaburan norma ini, maka penting untuk diciptakan suatu hukum baru yang mengatur mengenai saksi mahkota sehingga terpenuhinya perlindungan hukum bagi Terdakwa yang berposisi sebagai saksi mahkota ini.
Hukum baru atau dapat disebut sebagai ius constituendum adalah hukum yang dicari dalam kehidupan masyarakat negara tetaoi belum dirumuskan atau belum disahkan menjadi suatu undang-undang ataupun ke dalam peraturan lainnya.31 Suatu ius constituendum dapat berubah dan berlaku sebagai ius constitutum dengan berbagai upaya yang dapat dilakukan, yaitu dengan penggantian aturan hukum lama menjadi aturan hukum yang baru, perubahan isi atau rumusan aturan hukum yang sudah ada dengan cara memasukkan unsur-unsur baru, dan interpretasi atau ditafsirkannya suatu aturan hukum ke dalam arti yang baru.32 Dengan dilakukannya interpretasi atau penafsiran ini tentunya akan menghasilkan suatu arti yang baru dalam aturan hukum yang ada dengan kemungkinan adanya perbedaan dengan interpretasi atau penafsiran yang ada di masa lampau. Apabila melihat ius constituendum Indonesia, maka dapat dilihat dari beberapa rancangan-rancangan baru terkait dengan KUHAP seperti yang terjadi pada 2009 silam. Dalam rancangan KUHAP ini konseptual saksi mahkota yang akan dipergunakan di Indonesia hampir sama dengan konsep yang diterapkan di Amerika Serikat terkait saksi mahkota. Hal ini dapat dilihat mulai dari Pasal 200 Rancangan KUHAP tersebut yang terdiri dari 3 (tiga) ayat.33 Pada Pasal 200 ayat (1) disini menyebutkan bahwa salah seorang Tersangka atau Terdakwa yang berperan paling kecil atau sedikit dalam suatu tindak pidana maka dapat dijadikan saksi dalam perkara yang sama dan berkemungkinan untuk dibebaskan dari tuntutan pidana bila saksi bersedia membantu mengungkap keikutsertaan Tersangka atau Terdakwa lainnya dalam tindak pidana tersebut. Kemudian Pasal 200 ayat (2) menyatakan bilamana tidak didapatkam Tersangka ataupun Terdakwa yang berperan sedikit ataupun perannya ringan dalam suatu tindak pidana, maka mereka yang mengaku bersalah dan mengungkap tindak pidana serta peran tersangka lainnya secara subtansional akan dapat pengurangan pemidanaan sesuai dengan kebijaksanaan hakim pengadilan tersebut. Muatan dari dua rumusan ayat dalam Pasal 200 ini kemudian dipertegas kembali dengan ayat (3) yang yang menyatakan bahwa Penuntut Umumlah yang dapat memanggil seorang Tersangka atau Terdakwa untuk menjadi saksi mahkota.
Rancangan KUHAP yang telah disebutkan tersebutlah yang nantinya memberi suatu batasan dan juga sebagai suatu sebab kehati-hatian bagi Jaksa dalam melakukan pemanggilan Tersangka ataupun Terdakwa guna menjadi saksi mahkota. Hal ini memang dikarenakan beban pembuktian seharusnya berada di Jaksa Penuntut Umum dan bukanlah Terdakwa itu sendiri. Pada ketentuan Rancangan KUHAP itu disebutkan bahwasannya pengakuan bersalah harus dilaksanakan dengan sukarela agar tidak memicu pertentangan diantara hak yang dimiliki oleh terdakwa sebagaimana sesuai dengan asas non self incrimination.34 Berkenaan dengan pengakuan bersalah oleh Terdakwa ini dapat dilihat dari formulasi Pasal 199 Rancangan KUHAP tersebut yang terdiri atas 5 ayat sebagai berikut:
-
> Dalam ayat (1) disebutkan bahwa Penuntut Umum dapat melimpahkan perkara ke sidang pemeriksaan singkat apabila Terdakwa mengakui semua perbuatan yang didakwakan dan mengaku bersalah melakukan kejahatan yang ancamannya maksimal 7 (tujuh) tahun pada saat pembacaan surat dakwaan;
-
> Dalam ayat (2) disebutkan bahwa pengakuan dari Terdakwa tersebut akan dituangkan ke dalam berita acara yang nantinya akan ditandatangani oleh Terdakwa dan Penuntut Umum;
-
> Dalam ayat (3) disebutkan bahwa terdapat beberapa hal wajib yang diberitahukan Hakim kepada Terdakwa, yakni hak-haknya apabila memberikan pengakuan maka akan dilepaskan, pemberitahuan lamanya pemidanaan, dan kepastian dalam kesukarelaan pengakuan yang diberikan oleh Terdakwa itu;
-
> Dalam ayat (4) disebutkan bahwa pengakuan dari Terdakwa dapat ditolak oleh Hakim apabila Hakim ragu terkait kebenaran isi pengakuan Terdakwa itu;
-
> Dalam ayat (5) sendiri disebutkan bahwa atas dasar pengakuan yang telah dilakukan, maka penjatuhan pidana Terdakwa tidak boleh lebih dari 2/3 maksimum pidana yang didakwakan kepadanya.
Dengan adanya kedua pasal ini dalam Rancangan KUHAP memberikan sedikit perlindungan hukum kepada saksi mahkota dengan jelas. Dapat dikatakan bahwasannya Rancangan KUHAP, terkhususnya Pasal 199 dan 200 tersebut memiliki sedikit persamaan berkaitan dengan pengakuan bersalah secara sukarela dan juga plea bargaining system yang dianut oleh negara Amerika Serikat. Apabila hal seperti ini dipergunakan maka hak terdakwa seperti yang tercantum dalam asas non self incrimination tidak akan terpicu ke dalam pelanggaran. Hal ini karena Terdakwa dengan sukarela mengakui kejahatan yang telah diperbuatnya dengan Tersangka atau Terdakwa lain dan berkaitan dengan hal itu maka Terdakwa yang mengakui tindakannya tadi akan mendapatkan pengurangan hukuman atau bahkan dapat dibebaskan ketika perannya dianggap paling kecil atau ringan. Dalam hal ini terlihat bahwa hak dari seorang Terdakwa tidaklah terdistorsi akibat tidak adanya kejelasan pengaturan hukum terhadap saksi mahkota tersebut, sehingga terwujudnya suatu proses peradilan yang adil atau due process of law.
Penyelenggaraan peradilan yang adil sangat penting guna melindungi Terdakwa atau Tersangka dari perbuatan aparat penegak hukum yang menyalahgunakan kekuasaannya. Dengan didasarkan untuk mewujudkan peradilan yang adil, maka seluruh negara wajib menjunjung tinggi perlindungan dan penegakkan terhadap hak-hak yang dimiliki Tersangka dan Terdakwa.35 Lebih lanjut Hari Tahir mengungkapkan pandangannya berkaitan dengan proses hukum yang adil itu berhubungan dengan kebebasan peradilan sebagai salah satu unsur esensialnya.36 Penyelenggaraan peradilan yang adil ini hakikatnya tidak terlepas dari adanya suatu sistem peradilan pidana serta adanya bantuan hukum bagi pihak saksi ataupun Terdakwa atau Tersangka. Selain itu, Hari Tahir juga menjelaskan bahwa sistem peradilan pidana merupakan forum peradilan yang adil dan tidak mungkin membahas peradilan yang adil tanpa adanya keterkaitan dengan sistem peradilan pidana. Penjelasan Hari Tahir tersebut didasarkan karena roh dari sistem peradilan pidana adalah sebuah peradilan yang adil, dengan terlindunginya hak-hak Tersangka dan Terdakwa.37
Proses hukum juga mencakup perlindungan hak asasi manusia dalam proses peradilan yang adil, tidak memihak, wajar dan benar serta telah melalui prosedur dan mekanisme yang sesuai, sebagaimana kaitannya dengan due process of law. Menurut Yahya Harahap sendiri, hakikat dari penyelenggaraan peradilan yang adil atau due process of law itu terletak pada bagaimana hukum pidana itu ditegakkan dan diterapkan sesuai dengan konstitusional dan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, maka due process of law tidak mengizinkan pelanggaran terhadap suatu bagian peraturan perundang-undangan dengan dalih guna memberlakukan peraturan perundang-undangan yang lain.38 Secara subtantif, kedua hal itu baik due process of law ataupun due process model menegaskan adanya perlindungan dan penegakan hak asasi manusia sebagai suatu inti dalam peradilan pidana.39 Selain itu, due process model memiliki
nilai, ciri, mekanisme, dan tipologi yang mengedepankan keadilan, berpedoman pada keberadaan hak-hak terdakwa dan mengutamakan aspek hukum dan hak asasi manusia.
Due process model dengan crime control model tentunya berbeda. Dalam crime control model ini terdapat doktrin yang dikemukakan oleh Parcker bahwa model ini mengedepankan presumption of guilt atau praduga bersalah.40Dengan dikedepankannya praduga bersalah dalam suatu penegakan hukum, maka eksistensi dan juga penggunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum terhadap semua kejahatan dari pelaku kejahatan akan dimaksimalkan meskipun itu berarti adanya hak asasi manusia yang dikorbankan. Pengorbanan hak asasi manusia ini secara tidak langsung akan mendistorsi hak terdakwa yang sebelumnya dimiliki, yaitu hak asasi manusia yang dimana seorang terdakwa berhak untuk diam (right to remain silence) dan hak untuk tidak mengkriminalkan dirinya sendiri dalam suatu kasus persidangan (non self incrimination). Dalam KUHAP Indonesia saat ini sendiri mengedepankan due process model tersebut demi terwujudnya proses peradilan yang adil, namun karena masih belum diresmikannya Rancangan KUHAP menjadi hukum positif menyebabkan pengaturan hukum terkait saksi mahkota belum mendapat kejelasan atau norma kabur sehingga berpeluang menjurus ke arah crime control model yang dapat mengorbankan hak asasi manusia dalam penerapan hukumnya. Oleh karena itu, suatu aturan hukum baru atau ius constituendum berkaitan dengan saksi mahkota ini harus segera diresmikan sehingga menjadi suatu ius constitutum melalui pergantian undang-undang lama menjadi undang-undang baru ataupun perubahan substansi undang-undang tersebut agar terwujudnya kepastian hukum bagi saksi mahkota.
Pengaturan hukum terkait saksi mahkota tidak mendapatkan perumusan secara jelas dalam kaidah hukum yang mengatur saat ini sebagai hukum positif atau ius constitutum. Dalam pasal-pasal hukum positif saat ini, Pasal 168 KUHAP adalah pasal yang secara implisit mentafsirkan aturan mengenai saksi mahkota tersebut. Namun, Pasal 66 KUHAP sendiri tidak membenarkan adanya pembebanan pembuktian pada Terdakwa, sehingga penafsiran-penafsiran yang dihasilkan oleh aparat penegak hukum melalui pasal tersebut berbeda satu dengan lainnya yang menyebabkan tidak adanya kepastian hukum dalam menyelenggarakan proses peradilan yang adil. Dengan adanya perbedaan penafsiran maka perlindungan terhadap saksi mahkota itu terdapat kekaburan yang berpotensi mendistorsi hak-hak dari seorang terdakwa. Oleh karena masih belum adanya kepastian pengaturan hukum mengenai saksi mahkota, maka dari itu pengaturan saksi mahkota kedepannya sebagai ius constituendum perlu diperjelas kembali dengan upaya penegak hukum merumuskan pasal-pasal baru atau dengan perubahan undang-undang yang ada sehingga melahirkan konsistensi aparat penegak hukum dalam terwujudnya due process of law.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Muhaimin. Metode Penelitian Hukum. Mataram, Mataram University Press. 2020.
Muntoha. Negara Hukum Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945. Yogyakarta, Kaukaba. 2013. Wiradipraja, E. Saefullah. Penuntun Praktis Metode Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah Hukum.
Bandung, Keni Media. 2015.
Jurnal/Artikel/Tulisan Ilmiah
Atthallariq, Renaldy Sulthan Farid., Dkk. 2021. “Tinjauan Yuridis Mengenai Proses Pemeriksaan Saksi Mahkota Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Nomor: 94/Pid.Sus-TPK/2019/PN Smg)”. Diponegoro Law Journal, 10 (2).
Barama, Michael. 2016. “Model Sistem Peradilan Pidana Dalam Perkembangan”. Jurnal Ilmu Hukum, 3 (8).
Derek, Briant. 2017. “Pelaku Tindak Pidana Korupsi Sebagai Justice Collaborator Menurut Hukum Pidana di Indonesia”. Lex et Societatis, 5 (5).
Dewi, Ni Komang Ratih Kumala. 2021. “Kedudukan Saksi Mahkota Dalam Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Terhadap Jabatan”. Jurnal Hukum (JHS), 4 (01).
Driptayanti, Ni Kadek & Mertha, I Ketut. 2020. “Eksistensi Saksi Mahkota Dalam Proses Peradilan Pidana Di Indonesia Berdasarkan Asas Non Self Incrimination”. Jurnal Kertha Semaya, 8 (12).
Hariyanto, Diah Ratna Sari. 2017. “Due Process Of Law Dalam KUHAP Di Indonesia”. Fakultas Hukum Universitas Udayana, Laporan Penelitian.
Kabuhung, Fien Ratih., Dkk. 2021. “Saksi Mahkota Sebagai Alat Bukti Dalam Perkara Pidana Serta Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Mahkota”. Lex Crimen, 10 (7).
Muharikin, Irfan Maulana. 2015. “Kedudukan Saksi Mahkota Dalam Proses Peradilan di Indonesia Berdasarkan Asas Non Self Incrimination”. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Mokorimban, Drake Allan. 2013. “Perlindungan Terhadap Saksi Dalam Proses Penegakan Hukum Pidana Di Indonesia”. Lex Crimen, 2 (3).
Remincel. 2019. “Kedudukan Saksi Dalam Hukum Pidana”. Ensiklopedia of Journal, 1 (2).
Setiyawan, Wahyu Beny Mukti. 2017. “Analisis Keberadaan Saksi Mahkota Dalam Kasus Pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen Sebagai Upaya Penegakan Hak Asasi Manusia Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)”. Jurnal Serambi Hukum, 10 (2).
Suara, I Putu Gede Sumariartha. 2017. “Reformulasi Kewenangan Penuntut Umum Terhadap Penerapan Saksi Mahkota Dalam Pembuktian Tindak Pidana Korupsi”. Jurnal Magister Hukum Udayana, 6 (3).
Suari, Ni Made Elly Pradnya., dkk. 2020. “Kedudukan dan Perlinduangan Saksi Mahkota Dalam Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Denpasar)”. Jurnal Interpretasi Hukum, 1 (1).
Trijono, Rachmat. 2020. “Menata Ius Constitutum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional”.
Veritas: Jurnal Program Pascasarjana Ilmu Hukum, 6 (2).
Ulya, Zaki. 2017. “Politik Hukum Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh: Re:Formulasi Legalitas KKR Aceh”. Petita: Jurnal Kajian Ilmu Hukum dan Syariah, 2 (2).
Wangol, Winly. 2016. “Asas Peradilan Sederhana Cepat Dan Biaya Ringan Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP”. Lex Privatum, 4 (7).
Waskitara, Wisnu. 2022. “Pemisahan Berkas Perkara (Splitsing) Oleh Penuntut Umum Dalam Proses Pembuktian Suatu Tindak Pidana Pada Delik Penyertaan”. Mimbar Keadilan, 15 (2).
Yuliantari, Dwi Tania Wista. 2018. “Tinjauan Yuridis Mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Mahkota Dalam Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi”. Thesis, Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Yusman. 2019. “Saksi Mahkota Dalam Proses Penyelesaian Perkara (Splitsing) Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi”. Rechtsregel Jurnal Hukum, 2 (1).
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Rights
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Berat
Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 1986 K/Pid.1989
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 1174 K/Pid/1994 jo. Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1592 K/Pid/1995
Putusan Kasasi Nomor: 1942K/Pid B/2012 Pengadilan Negeri Denpasar
Surat Edaran Kejaksaan Agung No. B-69/E/02/1997
Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 5 Tahun 2023 hlm 548-562
562
Discussion and feedback