PENGATURAN KAIDAH HUKUM PERDATA INTERNASIONAL TERHADAP PEMBAGIAN HARTA BERSAMA PADA PERKAWINAN CAMPURAN
on
PENGATURAN KAIDAH HUKUM PERDATA
INTERNASIONAL TERHADAP PEMBAGIAN HARTA BERSAMA PADA PERKAWINAN CAMPURAN
Ni Putu Risa Pramiswari Asak, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Tjokorda Istri Diah Widyantari Pradnya Dewi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Studi ini bertujuan untuk menjawab isu-isu yang muncul dalam perkawinan berbeda kewarganegaraan, khususnya mengenai konsekuensi hukum atas kekayaan yang diperoleh selama menjalin hubungan yang sah bersama. Isu ini akan ditinjau berdasarkan dua instrumen hukum utama, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) juga berdasarkan atas ketentuan perdata yang bersifat lintas negara atau internasional. Studi ini ditelaah melalui penelitian hukum normatif dengan pendekatan konseptual dan perundang-undangan. Melalui studi ini, diketahui bahwa pernikahan campuran kerap kali menimbulkan suatu persoalan yang penyelesaiannya terbilang cukup sulit. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kewarganegaraan yang mengakibatkan suami dan istri tunduk dalam hukum yang berbeda berdasarkan kewarganegaraannya. Selain berhadapan dengan UU Perkawinan, aparat penegak hukum juga harus mematuhi asas-asas HPI. Pada hakikatnya, masalah-masalah yang timbul dalam perkawinan campuran dapat diantisipasi melalui sebuah kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian perkawinan yang telah disepakati oleh pasangan tersebut sebelum melangsungkan perkawinan campuran. Akan tetapi, dalam praktikknya kerap kali ditemukan pasangan yang tidak memiliki perjanjian perkawinan sehingga penyelesaian persoalannya akan cukup rumit. Oleh karena itu, studi ini sangatlah penting untuk mengetahui kepastian hukum terhadap pembagian harta bersama dari pasangan yang melakukan perkawinan campuran.
Kata kunci: Perkawinan, Perkawinan Campuran, Harta Bersama
ABSTRACT
This study is aimed to answer the issues regarding mixed marriage’s problem related to the legal consequences about their marriage assets under the Marriage Act 1 of 1974 and according to the Principles of International Law. This legal research utilizes a normative juridical approach with the statute and conceptual approaches. The result of this study indicates that some problems often come to mixed marriages and the problem is hard to solve because of the different citizenship of the mixed marriage couple which makes them obey different laws based on their citizenship. Furthermore, besides obeying the Marriage Act, law enforcement officers also have to obey the rules of International Private Law. In fact, the problems that come from mixed marriage couples can be solved with a marriage agreement. But, most of them do not have a marriage agreement and it becomes one of the reasons why the law enforcement officers hard to solve their problems. This study is very important to know the regulation in solving marriage treasure of mixed marriage couples.
Keywords: Marriage, Mixed Marriage, Marriage Treasure
Membina sebuah keluarga melalui proses perkawinan adalah hak dasar setiap individu khusunya Warga Negara Indonesia (WNI) yang diatur dalam Konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Hukum nasional di Indonesia mendefinisikan perkawinan sebagai hubungan yang timbul atas ikatan sah lahir bathin antara pihak di dalamnya yang terdiri dari seorang pria dan wanita berstatus sebagai pasangan suami istri yang mana bertujuan untuk membina sebuah keluarga dengan berlandaskan nilai-nilai Ketuhanan untuk mencapai kebahagiaan dan keluarga yang kekal.1 Apabila ditinjau melalui ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya akan disebut dengan UU Perkawinan), ikatan antara suami dan istri dianggap sah apabila perkawinan dilangsungkan berdasarkan ketuhanan serta keyakinan masing-masing. Di samping itu, untuk menjamin ikatan sebuah pasangan telah terikat sah menurut agama dan hukum, perkawinan harus dicatatkan pada Petugas Pencatat Perkawinan (PPN). Pencatatan perkawinan merupakan hal vital bagi keabsahan perkawinan sebagai bukti autentik bahwa perkawinan itu benar-benar terjadi sehingga hak-hak yang timbul di dalamnya mendapat perlindungan hukum.2
Salah satu hak yang timbul dari ikatan antara suami dan istri yang diakui oleh hukum adalah hubungan hukum terhadap harta kekayaan perkawinan, yaitu timbulnya harta bersama.3 Ketentuan ini diatur melalui aturan privat di Indonesia yang merupakan warisan Belanda, yaitu Brugerlijk Wetboek (KUHPer) dan UU Perkawinan. Pasal 119 KUHPer mengatur bahwa setelah melangsungkan perkawinan maka sistem persatuan harta secara bulat akan diterapkan kepada harta sendiri-sendiri. Menyatukan kekayaan secara bulat merupakan fusi antara harta yang berlainan menjadi satu sehingga tidak ada lagi yang namanya harta bawaan. Harta ini tidak memiliki sekat yang jelas, terlebih lagi apabila pasangan yang sah tersebut menjalin ikatan tanpa memiliki perjanjian perkawinan pisah harta. Terlebih lagi pada saat belum dilangsungkannya UU Perkawinan, perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum dilangsungkannya pernikahan sama seperti dengan apa yang tertera dalam aturan perdata di Indonesia, yaitu Pasal 139-154 KUHPer.4
Setelah diundangkannya UU Perkawinan, terdapat sedikit perbedaan pengaturan dengan KUHPer mengenai harta bersama. Khususnya, Pasal 35 UU Perkawinan menyebutkan bahwa harta kekayaan perkawinan merupakan harta gabungan dari masing-masing pihak antara pasangan yang sah dan diperoleh selama membina rumah
tangga. Dengan kata lain, UU Perkawinan memandang bahwa harta yang dibawa sebelum kawin dan harta yang timbul setelah kawin adalah dua hal yang berbeda.
Seiring berkembangnya zaman, pengaruh globalisasi kian begitu masif dan menjangkau seluruh kalangan masyarakat sehingga akses untuk berinteraksi dengan orang di seluruh belahan dunia terbilang cukup mudah. Apalagi didukung dengan kemajuan teknologi seperti penemuan jaringan komunikasi elektronik melalui telepon pintar (smartphone) yang dapat mengakses dunia maya. Dengan adanya kemajuan teknologi, mobilitas manusia juga menjadi tidak terbatas. Interaksi antara masyarakat lokal dengan Warga Negara Asing (WNA) pun kerap terjadi dan beberapa diantaranya berakhir pada perkawinan beda warga negara.
Fenomena ini sedang marak terjadi dan tercatat sejumlah 1.200 (seribu dua ratus) orang telah melakukan perkawinan beda warga negara dan terhimpun melalui suatu wadah yang disebut dengan Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia (PerCa). Pengaturan secara internasional melalui ketentuan Article 16 Universal Declaration of Human Rights turut menjamin hak-hak setiap orang untuk menikah dan berkeluarga karena itu merupakan hak dasar setiap individu tanpa dibatasi oleh kewarganegaraan. Di Indonesia, hal itu dikenal sebagai perkawinan campuran menurut Pasal 57 UU Perkawinan. Dalam perkawinan campuran antara WNI dengan WNA yang berbeda kewarganegaraan ditemukan pertalian antara dua stelsel hukum, yaitu hukum Indonesia dengan hukum asing suatu negara yang bersangkutan. Pertailan antara dua stelsel hukum tersebut mengakibatkan isu-isu hukum keperdataan yang muncul akan masuk kedalam ranah hukum perdata internasional (selanjutnya akan disebut dengan HPI) yang menyangkut mengenai hukum manakah yang dapat dijadikan pijakkan oleh penegak hukum dalam menghadapi peristiwa hukum yang muncul.
Salah satu penyebab terjadinya pembagian harta adalah perceraian yang mengakibatkan putusnya ikatan lahir bathin antara pasangan yang sah. Aturan di Indonesia, yaitu pengaturan ranah privat dalam KUHPer dan Kompilasi Hukum Islam mengatur pembagian harta bersama menjadi ½ (setengah) bagi janda atau duda. Sementara itu, UU Perkawinan mengatur bahwa harta bersama dibagi menurut hukum masing-masing, yaitu berdasarkan hukum agama dan kepercayaan masing-masing.5 Pada hakikatnya, perceraian termasuk dalam bidang keperdataan dan bersifat privat. Kaidah HPI mengatur pula bahwa perceraian termasuk dalam bidang status personal. Hal ini mengakibatkan pasangan yang berbeda kewarganegaraan akan mempertahankan hukumnya masing-masing sehingga mereka tunduk pada hukum yang berbeda-beda. Dengan demikian, apabila pasangan sah yang melakukan perkawinan campuran memutuskan untuk bercerai maka akan diselesaikan dengan kaidah HPI. Kaidah HPI menyangkut mengenai penyelesaian peristiwa hukum dengan menentukan kaidah hukum mana yang dapat digunakan.
Pada prinsipnya, masalah yang kemungkinan timbul terhadap perceraian campuran dapat diatasi melalui kesepakatan antara para pihak dalam perkawinan tersebut, yaitu suami dan istri. Kesepakatannya pun beragam baik berupa harta yang diperoleh dari usaha masing-masing, hutang dan piutang yang dibawa oleh para pihak sebelum berumah tangga, pemeliharaan dan pengawasan terhadap keturunan yang lahir dalam hubungan sah, status mengenai identitas kebangsaan anak, serta lain sebagainya. Kesepakatan ini umumnya dikenal dengan perjanjian perkawinan (prenuptial agreement) yang bertujuan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan. Pengaturannya dapat
ditemukan dalam Pasal 29 UU Perkawinan yang menentukan bahwa perjanjian ini dapat dibuat kapan pun baik sebelum, setelah, maupun saat perkawinan dilaksanakan.6
Apabila pasangan tidak memiliki perjanjian perkawinan maka akan timbul permasalahan-permasalahan tertentu saat terjadinya perceraian, seperti menemukan payung hukum atas suatu peristiwa hukum untuk mewujudkan kepastian atas pembagian kekayaan oleh pasangan yang sah. Terlebih lagi, Indonesia tidak memiliki pengaturan khusus mengenai isu tersebut melainkan hanya mengaturnya supaya menaati ketentuan hukum masing-masing pihak seperti yang disebutkan oleh Pasal 31 UU Perkawinan.
Berbicara mengenai orisinilitas artikel, artikel ini merupakan gagasan orsinil dari penulis yang dimulai dari tahapan perancangan hingga penulisan artikel. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, diketahui bahwa latar belakang artikel ini ditulis karena maraknya masyarakat Indonesia yang melakukan perkawinan campuran juga seringkali timbul isu-isu dalam keretakan rumah tangga yang salah satunya mengenai pembagian kekayaan antara pihak di dalamnya. Karena itu, telah banyak artikel yang mengulas mengenai isu tersebut seperti artikel yang dibuat oleh Josia Sedana Putra pada tahun 2020 dalam Jurnal Kertha Negara dengan judul “Perjanjian Perkawinan setelah Perkawinan Berlangsung dalam Perkawinan Campuran atas Kepemilikan Tanah”.7 Pada dasarnya, kedua jurnal membahas mengenai kekayaan dalam perkawinan campuran. Namun, penulis menyadari bahwa kekayaan dalam perkawinan bentuknya dapat berbagai macam tidak terbatas hanya tanah saja sehingga penulis merasa bahwa penulisan lebih lanjut mengenai isu ini perlu dilakukan. Selain Josia Sedana Putra, Ida Ayu Putu Kristanty Mahadewi juga membahas mengenai pembagian harta bersama melalui artikelnya dalam Jurnal Kertha Semaya tahun 2020 yang berjudul “Akibat Hukum Serta Penyelesaian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Hukum Perkawinan”8. Meskipun artikel milik Kristanty dan penulis sama-sama membahas mengenai harta bersama, tetapi instrumen hukum yang digunakan dalam penulisannya berbeda. Kristanty menggunakan hukum nasional seperti UU Perkawinan dan KUHPer sedangkan penulis menggunakan kaidah HPI.
Berdasarkan uraian di atas yang berkaitan dengan perkawinan campuran antar warga negara telah dijelaskan bahwa dalam pelaksanaanya kerap menimbulkan beberapa permasalahan. Dengan demikian, penelitian perlu diadakan untuk menjawab permasalahan yang timbul. Penelitian ini dilaksanakan secara normatif dengan mengkaji bahan hukum primer dan sekunder mengenai konsekuensi hukum baik dari perpisahan maupun penyatuan pihak-pihak dalam berumah tangga yang berbeda kewarganegaraan, terutama terkait pembagian harta bersama.
Setelah pemaparan latar belakang di atas, ditemukan dua persoalan dalam studi ini yang terdiri dari:
-
1. Bagaimana hukum nasional mengatur mengenai harta bersama dari pasangan yang berbeda kewarganegaraan?
-
2. Bagaimana kaidah Hukum Perdata Internasional (HPI) mengatur mengenai pembagian harta bersama terhadap hubungan yang sah antara pasangan yang berbeda kewarganegaraan?
Tujuan penulisan tulisan ilmiah ini adalah untuk mengkaji bagaimana hukum nasional di Indonesia mengatur mengenai pembagian harta yang timbul selama berlangsungnya ikatan yang sah apabila pasangan yang berbeda kewarganegaraan memutuskan untuk berpisah, terlebih lagi apabila pasangan tersebut belum ataupun tidak memiliki perjanjian perkawinan. Selanjutnya, tulisan ilmiah ini juga bertujuan untuk mengetahui kepastian hukum Indonesia dalam menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan pembagian harta bersama yang ditimbulkan oleh ketentuan hukum mengenai perceraian dari pasangan yang menjalin ikatan sah dengan berumah tangga, tetapi berbeda kewarganegaraan.
Untuk menjawab persoalan yang telah disebutkan dalam rumusan masalah di atas maka jurnal ini ditulis dengan metode penelitian hukum yuridis normatif.9 Pendekatan ini menitikberatkan pada aturan-aturan yang mengikat masyarakat melalui peraturan perundang-undangan, kaidah-kaidah hukum yang ada dan digunakan sebagai dasar untuk membahas isu hukum pada rumusan masalah. Selanjutnya, studi kepustakaan juga turut menjadi metode dalam penulisan jurnal ini. Jurnal ini disusun atas rujukan dari berbagai macam literatur yang sesuai dan mampu menjawab persoalan yang ada. Adapun literatur yang mendukung proses penulisan ini berupa buku-buku, jurnal ilmiah yang diperoleh melalui internet serta google scholar, dan penelitian sebelumnya.
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Pengaturan hukum di Indonesia terhadap harta bersama dari perkawinan berbeda kewarganearaan
-
Ikatan yang sah antara suami dan istri yang berbeda kewarganegaraan disebut dengan Perkawinan Campuran. Di Indonesia, ketentuan mengenai hal tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 57 UU Perkawinan. UU Perkawinan memandang bahwa masing-masing pihak yang memiliki kewarganegaraan berbeda tentunya akan tunduk pada hukun yang berbeda pula. Selain itu, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, diketahui bahwa terkandung foreign element atau elemen yang bersifat asing dalam perkawinan campuran. Unsur asing yang dimaksud adalah perbedaan kewarganegaraan yang dimiliki oleh suami maupun istri dan salah satunya memiliki status sebagai Warga Negara Indonesia. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa antara kedua belah pihak tersebut harus mengindahkan kaidah Hukum Perdata Internasional (HPI).
Ketentuan mengenai kaidah HPI di Indonesia dapat dilihat melalui Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie (AB). Eksistensi AB bermula sejak masa penjajahan dan merupakan aturan yang di dalamnya mengantur mengenai kaidah-kaidah yang bersifat umum mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan. Kaidah penting dalam HPI yang terdapat dalam AB diatur melalui Pasal 16 AB, Pasal 17 AB, dan Pasal 18 AB. Ketiga ketentuan itu mengandung makna yang sangat penting dalam penyelesaian masalah yang berkaitan dengan perdata internasional.
Apabila dijabarkan satu-persatu maka akan dijelaskan sebagai berikut: Pasal 16 AB menentukan bahwa hukum nasional atau Lex patriae harus dijadikan dasar untuk menilai status dan wewenang seseorang; Pasal 17 AB mengatur mengenai hukum benda, baik itu bergerak maupun tidak yang harus dinilai berdasarkan letak benda itu berada (Lex Resitae); Pasal 18 AB mengatur mengenai status campuran yang dinilai berdasarkan tempat suatu peristiwa terjadi (Locus Regit Actum). Berdasarkan penjelasan mengenai aturan di atas, diketahui bahwa ketentuan dalam AB mengatur bahwa segala hal yang mengandung unsur asing di dalamnya akan memperhatikan status pihak yang berperkara dan letak objek yang diperkarakan.
Putusnya hubungan berumah tangga dari pasangan yang sah dapat menjadi alasan atas pemisahan harta dari kedua belah pihak tersebut. Pasal 37 UU Perkawinan menentukan bahwa hukum masing-masinglah yang berlaku apabila suatu perkawinan putus karena perceraian. Saat sebuah pasangan memutuskan untuk melangsungkan perkawinan dan membina hubungan yang sah tersebut, maka kekayaan yang mereka peroleh semasa hubungan sah itu berlangsung akan menjadi milik bersama-sama kecuali para pihak menentukan untuk pemisahan harta kekayaannya.10 Sejalan dengan hal tersebut, ketentuan lebih lanjut masih berada dalam UU yang sama, tepatnya Pasal 35 dengan ketentuan yang tertulis seperti di bawah ini:
-
“(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
-
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”
Sesuatu yang digolongkan sebagai harta benda yang dimaksud dalam ketentuan di atas adalah terdiri dari:11
-
1. “Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan;
-
2. Harta yang diperoleh sebagai hadiah/pemberian atau warisan apabila ditentukan demikian;
-
3. Hutang-hutan yang timbul, selama perkawinan berlangsung, kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami istri.”
Selain diatur dalam instrumen hukum yang telah dipaparkan sebelumnya, Indonesia juga memliki aturan serupa yang tertera dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) seperti yang dijabarkan di bawah ini:.
-
• Pasal 96 KHI
“(1)Apabila terjadi cerai mati, maka separo harta bersama menjadi hak pasangan yang hidp lebih lama.
(2)Pembagian harta bersama bagi seseorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau mati secara hukum atas dasar keputusan Pengadilan Agama.”
-
• Pasal 97 KHI
“Janda atau dua yang cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”
Sesungguhnya, perjanjian perkawinan dapat menjadi jalan keluar bagi sebuah pasangan untuk menghindari problematika mengenai pembagian kekayaan, mereka dapat mengatur secara terpisah antara hartanya sendiri maupun harta bersama yang dimiliki.12 Konsekuensi dari pemisahan harta ini adalah baik pihak suami maupun istri memiliki haknya masing-masing untuk mengelola sendiri harta bendanya. Meskipun telah ada kaidah hukum yang mengatur mengenai pemisahan harta bersama, tetapi penyelesaiannya bukanlah suatu hal yang mudah karena memerlukan persetujuan dari kedua belah pihak melalui musyawarah yang berdasar pada prinsip keimanan, keadilan, dan keseimbangan.13 Salah satu konsekuensi yang dapat diterima oleh pasangan suami dan istri apabila tidak mengadakan perjanjian pisah adalah harta kekayaan mereka akan dicampur menjadi satu dan pembagiannya masing-masing mendapat separuh.
-
3.2 Pengaturan kaidah Hukum Perdata Internasional (HPI) mengenai pembagian harta bersama terhadap perkawinan campuran
Unsur asing (foreign element) yang terdapat dalam suatu hubungan hukum yang bersifat keperdataan mengakibatkan berlakunya Hukum Perdata Internasional (HPI). Aturan mengenai ketentuan tersebut di Indonesia diatur melalui Algemene Bepalingen (AB). Secara sederhana, HPI merujuk kepada hukum mana yang akan digunakan apabila terjadi suatu peristiwa hukum. Adapun pengertian HPI menurut ahli yang bernama Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama, yaitu seluruh kaidah hukum maupun aturan yang dapat dipergunakan dalam memecahkan suatu peristiwa hukum yang mana peristiwa tersebut mengandung lebih dari satu pertalian hukum.14 Sementara itu, seorang akademisi bernama Prof. Mochtar Kusumaatmadja turut menyampaikan definisi mengenai HPI, Prof. Mochtar menyampaikan bahwa HPI merupakan aturan privat yang bersifat lintas negara.15 Kedua pendapat yang telah disampaikan tersebut membawa kita pada kesimpulan bahwa aturan perdata yang bersifat internasional mengatur mengenai segala hubungan privat antara pelakunya yang tunduk pada hukum perdata negaranya. Dalam pengertiannya, HPI mengandung dua macam aliran yang terdiri atas internasionalitas dan nasionalitas. Aliran internasionalitas mengharuskan supaya hukum perdata dapat diakui secara universal dan berjalan dengan efektif di setiap negara sedangkan nasionalitas mewajibkan setiap negara memiliki aturan perdata internasionalnya sendiri-sendiri. Berdasarkan pengertian aliran tersebut, diketahui HPI bukanlah hukum yang terkodifikasi secara internasional melainkan terkodifikasi di masing-masing negara.16
HPI memiliki hubungan yang erat dengan status personil. Status personil merupakan peraturan-peraturan hukum mengenai seseorang yang mengikutinya kemanapun orang itu berada. Dengan demikian, ruang lingkup status personil tidak terbatas pada wilayah suatu negara tertentu. Status personil dapat dilihat melalui dua konsepsi, yaitu konsepsi luas dan sempit. Adapun yang termasuk dalam konsepsi luas
adalah pengaturan mengenai hukum perorangan, hukum kekeluargaan, dan hukum pewarisan. Selanjutnya, konsepsi sempit mencakup semua hal yang terkandung dalam konsepsi luas kecuali mengenai pewarisan.17
Selanjutnya, HPI mengenal dua prinsip untuk menjawab mengenai hukum manakah yang harus digunakan terhadap persoalan yang timbul dalam lingkup HPI, yaitu prinsip personalitas dan prsinsip teritorialitas. Prinsip personalitas menentukan bahwa status personil pada WNI maupun WNA ditentukan oleh hukum nasionalnya sedangkan prinsip teritorialitas menentukan status personalitas dari tempat orang tersebut berada atau domisilnya.18
Selain itu, hal penting yang harus diperhatikan pula bahwa dalam menentukan hukum mana yang berlaku untuk menyelesaikan persoalan HPI adalah memahami klasifikasi dari objek yang dimaksud dalam harta bersama itu sendiri. Harta bersama yang diperoleh dari pasangan yang sah selama berumah tangga dapat diklasifikasikan menjadi harta benda bergerak dan tidak bergerak sehingga penyelesaiannya tentu akan berbeda. Terdapat dua macam klasifikasi, yaitu hukum dari tempat gugatan atas benda diajukan (lex fori) dan hukum dari tempat benda berada (lex situs).
Berbicara mengenai harta benda bergerak dan harta benda tidak bergerak, pengaturannya di Indonesia dapat merujuk pada ketentuan Pasal 504 KUHPer, lebih khususnya Pasal 506 sampai dengan Pasal 508 KUHPer mengatur mengenai benda tidak bergerak dan Pasal 509 sampai dengan Pasal 518 mengatur mengenai benda bergerak. Di samping itu, Prof. Subekti juga menyampaikan pendapatnya yang dituangkan melalui karya ciptaannya berupa buku berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata (tertulis di halaman 61-62). Prof. Subekti menyampaikan mengenai penggolongan suatu benda menjadi benda bergerak maupun benda tidak bergerak didasarkan pada tiga aspek, yaitu sifat suatu benda, tujuan pemakaian dari benda tersebut, dan benda tersebut memang ditentukan oleh undang-undang demikian.
Selanjutnya, Ny. Fierda Husni Hasbullah turut menyampaikan pemikirannya yang dituangkan melalui buku berjudul Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak yang Memeberi Kenikmatan (tertulis di halaman 45-48). Ny. Fierda menyampaikan hal yang fundamental mengenai perbedaan antara benda bergerak dan tidak bergerak. Dalam bukunya, dikatakan bahwa perbedaan yang ada akan mempengarui beberapa hal seperti penjabaran di bawah ini:19
-
1. Pertama, mengenai penguasaan atau yang disebut pula dengan bezit diketahui bahwa bezit terhadap benda bergerak adalah hal yang sempurna sebagaimana tertera dalam Pasal 1997 KUHPer;
-
2. Kedua, penyerahan atau yang disebut pula dengan levering atas benda bergerak dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu penyerahan secara nyata (feitelijke levering) dan yuridis (juridische levering) yang tertera dalam Pasal 612 KUHPer. Berbeda halnya dengan benda tidak bergerak, Pasal 620 KUHPer menentukan penyerahannya dilakukan melalui akta yang pembuktianya tercatat dalam register. Meskipun
begitu, terdapat beberapa perubahan sejak UU Agraria (UUPA) berlaku sehingga wajib mematuhi Pasal 19 UUPA;
-
3. Ketiga, pembebasan atau yang disebut pula dengan bezwaring diatur dalam ketentuan pasal yang berbeda. Pasal 1150 KUHPer menyebutkan gadai sebagai pembebanan terhadap benda bergerak. Sementara itu, benda tidak bergerak dibebankan dengan hipotik sesuai dengan yang ditentukan oleh Pasal 1162 KUHPer.
-
4. Keempat, daluwarsa atau yang disebut pula dengan verjaring mengatur bahwa benda bergerak tidak mengenal daluwarsa sebagaimana yang tertera dalam Pasal 1997 ayat (1) KUHPer. Akan tetapi, berbeda halnya dengan benda tidak bergerak yang tidak mengenal daluwarsa seperti yang tertulis Pasal 610 KUHPer.
Setelah penjabaran yang cukup komprehensif di atas, didapati bahwa setiap negara menerapkan kaidah perdata yang berbeda-beda sehingga penerapannya tidak berlaku secara universal. Dengan demikian, dalam praktiknya aparat penegak hukum akan menggunakan asas-asas tertentu, seperti asas Lex Rei Sitae. Asas ini mengatur bahwa hukum yang berlaku terhadap benda tidak bergerak di dasarkan atas tempat di mana benda tersebut berada. Apabila para pihak memutuskan untuk menyelesaikan sengketa di Indonesia, tentunya konsekuensi yang diterima adalah keberlakuan dari kaidah perdata Indonesia. Sementara itu, apabila objek sengketa berada di negara lain maka harus diputuskan oleh pengadilan yang bersangkutan karena kaidah perdata Indonesia tidak dapat melampaui kedaulatan negara lain.
4. Kesimpulan
Indonesia mengatur perkawinan campuran dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan khususnya pada Pasal 57. Adapun konsekuensi yang harus diterima dari perkawinan campuran adalah suami dan istri harus menganut hukum yang berbeda-beda berdasarkan kewarganegaraannya. Apabila timbul suatu persoalan dalam perkawinannya, maka harus diselesaikan meggunakan Hukum Perdata Internasional (HPI) mengingat keberadaan foreign element dalam ikatan yang sah tersebut. Dalam hal ini HPI mengatur mengenai dua unsur penting, yakni hukum dari tempat gugatan atas benda diajukan (lex fori) dan hukum dari tempat benda berada (lex situs). Ketentuan mengenai benda bergerak maka akan berlaku hukum dari pemegang benda tersebut berada sedangkan untuk benda tidak bergerak akan berlaku hukum di mana tempat benda tidak bergerak tersebut berada. Apabila benda tidak bergerak berada di luar negeri, maka yang berwenang untuk mengeksekusi adalah pengadilan setempat yang berada di negara tersebut atau dengan kata lain Pengadilan Negeri Indonesia tidak berwenang untuk itu.
Daftar Pustaka
Buku
Darmabrata, dkk. Hukum Perkawinan Dan Keluarga Indonesia. Jakarta, Rizkita, 2015.
Diantha, I Made Pasek. Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum.
Jakarta, Prenadamedia Group, 2016.
Isnaeni, Moch. Hukum Perkawinan Indonesia. Surabaya, PT. Refika Aditama, 2016.
Purwadi, Ari. Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional. Surabaya, Pusat Pengkajian Hukum dan Pembangunan (PPHP), 2016.
Jurnal
Adji, Adris Rafi. “Pengaturan Hukum Harta Bersama dalam Putusan Perceraian.” Jurnal Kertha Semaya, Vol. 9 No. 12 (2021).
Armin, Mansur. “Status Personal Dalam Rezim Hukum Perdata Internasional”. Mataram Journal of International Law, Vol. 1, No. 1 (2023).
Dwiyandi, Ricky. “Status Hukum Harta Bersama AKibat Putusnya Perkawinan Karena Perceraian.” Repertorium: Jurnal Ilmiah Hukum Kenotariatan, Vol. 6, No. 2 (2017).
Kurniawan, Muhamad Beni. “Konsep Pembagian Harta Bersama Berdasarkan Kontribusi Dalam Perkawinan.” AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah, Vol. 17, No. 2 (2017).
Mahadewi, Ida Ayu Putu Kristanty. “Akibat Hukum Serta Penyelesaian terhadap Harta Bersama Berdasarkan Hukum Perkawinan.” Jurnal Kertha Semaya, Vol. 9, No. 1 (2020).
Melia, Muzakkir Abubakar. “Pembagian Harta Bersama Setelah Perceraian (Studi terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 597K/AG/2016).” Jurnal IUS, Vol. VII, No. 3 (2019).
Muthiadina, Rizka., dan M. Faiz Mufidi. “Akibat Hukum Perceraian terhadap Harta Bersama dalam Perkawinan Campuran Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.” Karya Ilmiah Unisba, Vol. 3, No. 1 (2017).
Nikmah, Hilda Yuwafi. “Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian dari Perkawinan Campuran Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Pernikahan dan Kaidah Hukum Perdata Internasional.” Privat Law, Edisi 06 (2015).
Pebriana, Putu Rahajeng. “Fungsi Perjanjian Perkawinan terhadap Status Kepemilikan Harta pada Perkawinan Campuran.” Jurnal Kertha Semaya, Vol. 6 No. 11 (2018).
Permana, Brian Adi Putra., Enny Koeswarni, dan R. Ismala Dewi. “Kepastian Hukum Harta Bersama Berupa Tanah dari Perkawinan Campuran Akibat Perceraian Berdasarkan Putusan Nomor 20/Pdt.G/2017/PN/DPS.” Jurnal Kertha Semaya, Vol. 9 No. 10 (2021).
Putra, Josia Sedana. “Perjanjian Perkawinan Setelah Perkawinan Berlangsung Dalam Perkawinan Campuran Atas Kepemilikan Tanah.” Kertha Negara, Vol. 8, No. 2 (2020).
Rochaeti, Etty. “Analisis Yuridis Tentang Harta Bersma (Gono Gini) dalam Perkawinan Menurut Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif.” Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 28, No. 01 (2013).
S, Laurensius Arliman. “Perkawinan Antar Negara di Indonesia Berdasarkan Hukum Perdata Internasional.” Kertha Partrika, Vol. 39, No. 3 (2017).
Susilo, Andhika Putra., Aminah, dan Herni Widanarti. “Aspek Asas Resiprositas dalam Pengakuan Sahnya Perkawinan Campuran Antara Warga Negara Indonesia Dengan Warga Negara Asing.” Diponegoro Law Journal, Vol. 6, No. 1 (2017).
Usman, Rachmadi. “Makna Pencatatan Perkawinan Dalam Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan Di Indonesia.” Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 14, No. 3 (2017).
Widanarti, Herni. “Akibat Hukum Perkawinan Campuran terhadap Harta Perkawinan.” Diponegoro Private Law Review, Vol. 2, No. 1 (2018).
Wijaya, I Made Darma Putra. “Kajian Yuridis Terhadap Pembagian Harta Akibat Perceraian Berdasarkan Putusan Nomor: 552/Pdt.G/2013/PN. Dps.” Kertha Negara, Vol. 8, No. 1 (2019).
Zora, Zimty., dan Tasman Tasman. “Konsep Public Order Dalam Hukum Perdata Internasional”. Swara Justisia, Vol. 6, No. 4 (2023).
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015
Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 6 Tahun 2023 hlm 602-612
612
Discussion and feedback