Analisis Pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Korban Tindak Pidana Revenge Porn

Gusti Arya Dharma Kusuma, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Gde Made Swardhana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan dari penulisan jurnal ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis tentang tindak pidana revenge porn dari kacamata hukum pidana serta analisis pengesahan undang-undang tindak pidana kekerasan seksual atau UU TPKS guna menjamin kepastian hukum dan hak korban tindak pidana revenge porn. Penulisan jurnal ini tergolong penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Berdasarkan hasil yang telah ditemukan dalam penulisan jurnal ini, bahwasannya pengesahan UU TPKS dipelopori oleh beberapa ketentuan hukum positif di Indonesia yang belum cukup untuk mewadahi tindak pidana revenge porn dikarenakan posisi korban dapat beralih menjadi pelaku dalam suatu peristiwa pidana yang tergolong kejahatan terhadap kesusilaan.

Kata Kunci: Revenge Porn, Korban, Analisis

ABSTRACT

The purpose of writing this journal is to find out and analyze the crime of revenge porn from the perspective of criminal law as well as to analyze the ratification of the sexual violence crime law or the TPKS Law to ensure legal certainty and the rights of victims of revenge porn. The writing of this journal is classified as normative legal research with a statutory approach. Based on this study, it has been found that in the writing of this journal, it is clear that the ratification of the TPKS Law was pioneered by several positive legal provisions in Indonesia which are not sufficient to accommodate the crime of revenge porn since the position of the victim can turn into the perpetrator in a criminal event which is classified as a crime against decency.

Keywords: Revenge Porn, Victim, Analysis

  • 1.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang

Manusia memiliki ketergantungan dengan manusia lain dalam banyak hal, salah satu contohnya adalah ketika manusia memiliki kebutuhan seksualitas untuk melanjutkan keturunannya. Manusia, baik laki-laki maupun perempuan akan membutuhkan lawan jenisnya untuk bereproduksi guna mendapatkan keturunan. Meskipun memiliki perbedaan dari segi fisik, semua jenis kelamin memiliki derajat yang sama dimata tuhan begitu pula dengan lawan jenisnya. Maka dengan demikian kebutuhan seksualitas adalah kebutuhan yang berorientasi terhadap kelangsungan keturunan bagi setiap manusia. Sayangnya seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, hal tersebut justru dimanfaatkan oknum untuk melakukan aksi kejahatannya. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi berbasis digital ternyata dapat menjadi wadah guna melangsungkan kejahatan terkait dengan hal-hal seksualitas.

Dengan datangnya internet yang merupakan cyber space, maka segala perbuatan peyalahgunaan sarana internet yang bermaksud merugikan orang lain dengan sengaja adalah cyber crime itu sendiri. Cyber Crime diidentikan dengan computer crime, menurut the U.S. The Department of Justice, computer crime diartikan “any illegal act requiring knowledge of computer technology for its perpretation, investigation, or prosecution”.1 Sementara terkait ruang lingkup cyber crime terdiri dari:

  • a)    Pembajakan

  • b)    Penipuan

  • c)    Pencurian

  • d)    Pornografi

  • e)    Pelecehan

  • f)    Pemfitnahan

  • g)    Pemalsuan

Pastinya berdasarkan ruang lingkup daripada cyber crime tersebut, diperlukan adanya ketentuan hukum untuk melindungi hak dan kewajiban para pemangkunya guna terciptanya rasa aman dan keadilan bagi bersama. Bentuk-bentuk cyber crime meliputi:2

  • a)    Unauthorized Access To Computer System And Service

Kejahatan yang bermaksud untuk mengakses sistem jaringan komputer tanpa ijin dari pemilik.

  • b)    Illegal Contents

Kejahatan dilakukan memakai cara memasukan data berisikan informasi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya serta melanggar hukum dan melanggar ketertiban umum. Contoh dari illegal contents adalah mengenai revenge porn yang akan dikaji lebih lanjut pada bab pembahasan.

  • c)    Data Forgery

Kejahatan pemalsuan data terhadap dokumen penting dengan media internet.

  • d)    Cyber Espionage

Kejahatan yang bermaksud memata-matai target menggunakan media internet.

  • e)    Cyber Sabotage And Extortion

Kejahatan dengan maksud untuk melakukan penghancuran, gangguan, serta perusakan data, progam komputer, atau sistem jaringan komputer berbasis internet.

  • f)    Offence Against Intellectual Property

Kejahatan dengan maksud untuk meniru atau menjiplak karya orang lain yang termasuk kedalam hak cipta si pembuat lewat media internet.

  • g)    Infrigements Of Privacy

Kejahatan dengan sasaran informasi pribadi milik orang lain.

Berikut merupakan data dari Komisi Nasional Perempuan terkait kekerasan seksual dalam catatan tahunan tahun 2021:

Sumber: Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2021

Dari diagram tersebut terlihat bahwa terdapat 329 kasus kekerasan berbasis gender siber yang ditemukan. Salah satu jenis Kekerasan Berbasis Gender Siber adalah tindak pidana revenge porn. Menurut Ekti Oktaviani, S.H. revenge porn atau dalam bahasa Indonesianya balas dendam porno adalah termasuk salah satu kekerasan seksual. Perbuatan tersebut dilakukan dengan upaya pemaksaan ataupun dengan ancaman yang ditujukan terhadap korban. Kebanyakan korban merupakan perempuan dengan tujuan untuk dilakukannya penyebaran muatan asusilanya ke dunia maya.3 Sementara menurut Komisi Nasional Perempuan dalam catatan tahunannya memberikan definisi revenge porn / non-consensual pornography adalah Kegiatan menyebarkan foto atau video intim seseorang secara online tanpa ijin sebagai bentuk usaha balas dendam dan bertujuan untuk merusak kehidupan korban di dunia nyata ataupun mempermalukan.4

Pelaku revenge porn diantaranya sang mantan pacar korban yang tidak terima karena hubungannya telah selesai atau menginginkan hubungannya kembali seperti semula, dan dapat juga orang lain yang memiliki hubungan lain dengan korban. Revenge porn merupakan tindak kejahatan yang menciderai norma kesusilaan. Korban dari kejahatan revenge porn tidak membedakan menurut jenis kelaminnya, semua gender memiliki kemungkinan yang sama untuk menjadi korban dari kejahatan balas dendam porno atau revenge porn. Sayangnya kodifikasi hukum di Indonesia berupa KUHP, UU ITE, UU Pornografi belum dengan sempurna dapat menjamin hak serta jaminan perlindungan hukum bagi korban tindak pidana revenge porn dikarenakan ketentuan yang ada itu justru dapat mengkriminalisasi korban. Undang-undang tindak pidana kekerasan seksual atau UU TPKS yang di sahkan pada 12 April 2022. UU TPKS digadah-gadahkan dapat menjadi tameng terkait tindak pidana kekerasan seksual termasuk bagi tindak pidana revenge porn.

Berkaitan dengan state of the art, dalam jurnal ini dibuat berdasarkan refrensi dari hasil penelitian yang telah ditemukan dengan topik yang serupa. Hasil penelitian tersebut terdiri dari jurnal dengan judul “Urgensi Perlindungan Hukum Bagi Korban Pornografi Balas Dendam (Revenge Porn)” yang ditulis oleh Nabila Chandra Ayuningtyas dari Universitas Sebelas Maret pada tahun 2021. Dimana dalam jurnal tersebut dapat disimpulkan bahwa payung hukum di Indonesia guna memberikan hak serta perlindungan bagi korban revenge porn masih belum memadai. Selain itu, jurnal ini juga bersumber pada jurnal yang berjudul “Revenge Porn Sebagai Kejahatan Kesusilaan Khusus: Perspektif Sobural” yang ditulis oleh Hwian Christianto dari dari Universitas Surabaya pada tahun 2017. Pada jurnal ini ditemukan hasil mengenai pentingnya pendekatan sobural sebagai pemahaman terkait pornografi balas dendam merupakan tanggung jawab sosial dari seluruh lapisan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka penulis ingin membahas mengenai bagaimana tindak pidana revenge porn dalam kaca mata hukum pidana dan bagaimana analisis terkait pengesahan UU TPKS sebagai wadah terkait tindak pidana revenge porn dalam tulisan ini dengan mengangkat judul “Analisis Pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Korban Tindak Pidana Revenge Porn”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah tindak pidana revenge porn ditinjau dari kacamata hukum pidana?

  • 2.    Bagaimanakah analisis pengesahan UU TPKS terhadap tindak pidana revenge porn?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui tinjauan tindak pidana revenge porn dari kacamata hukum pidana serta untuk mengetahui analisis pengesahan UU TPKS terhadap tindak pidana revenge porn.

  • 2.    Metode Penelitian

Penulisan jurnal ini tergolong sebagai penelitian normatif, dengan tujuan untuk berfokus kepada analisis pengesahan UU TPKS sebagai ketentuan utama untuk mewadahi tindak pidana revenge porn. Dikarenakan ditemukan adanya celah hukum yang cukup fatal dimana belum ada ketentuan yang dapat dipergunakan untuk mewadahi tindak pidana revenge porn sebagai

kepastian dan dasar hukumnya. Alih-alih dasar hukum, ketentuan sebelum Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual disahkan justru memiliki konsekuensi yuridis berbentuk kemungkinan korban akan terseret dan berubah statusnya menjadi pelaku yang akan dibahas lebih dalam di bagian pembahasan. Jurnal ini menggunakan pendekatan perundang-undangan yang dijadikan pedoman utama guna penyusunannya. Bahan hukum primer yang digunakan dalam mendukung penelitian ini adalah UUD NRI Tahun 1945, KUHP, UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, UU No. 19 Tahun 2016 Tentang ITE, UU TPKS. Sementara terkait bahan hukum sekunder menggunakan beberapa sumber seperti buku, jurnal, website, dll. Seluruh bahan yang telah ditemukan serta menjadi dasar dari penelitian ini selanjutnya dianalisis secara kualitatif.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.1.    Revenge Porn Dalam Kacamata Hukum Pidana

Tindak pelecehan seksual ringan maupun berat merupakan tindakan yang menciderai hak-hak privasi seseorang perihal seksualitas.5 Tindak pidana revenge porn dapat digolongkan sebagai pelecehan seksual yang bersifat berat. Pengaturan hukum tentang revenge porn sebelum undang undang tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia khususnya dari kacamata hukum pidana belum mendapatkan kepastian serta perhatian yang tepat. Belum adanya suatu aturan yang memfasilitasi mengenai dasar hukum revenge porn secara spesifik pada saat itu menjadi bukti bahwa kasus mengenai revenge porn merupakan kasus baru. Sesuai dengan urgensi adanya hukum pidana dalam masyarakat yakni guna “menegakan supremasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara” sesuai dengan ketetapan MPR nomor X/MPR/19986, tiap perbuatan yang dapat merugikan seseorang harus punya aturan atau dasar hukum. Oleh karena itu meskipun tindak pidana revenge porn merupakan fenomena kasus yang baru, keadilan serta hak korban harus tetap ditegakkan.

Sebelum suatu perbuatan dapat dikatakan serta dikategorikan sebagai tindak pidana, suatu perbuatan tersebut harus memenuhi unsur-unsur suatu tindak pidana terlebih dahulu. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang unsur-unsur dari tindak pidana revenge porn, berikut merupakan contoh kasusnya. Dilansir dari kompas.com Bunga (nama yang disamarkan) menjadi salah satu korban dari tindak pidana revenge porn. Bunga dan sang mantan kekasihnya mulai menjalin hubungan sejak mereka duduk di bangku SMP. Awalnya hubungan mereka baik baik saja dan ketika beranjak di bangku kuliah kedua pasangan itu melakukan hubungan persetubuhan. Hubungan persetubuhan itu didokumentasikan serta dilakukan tanpa paksaan dan atas seijin bunga. Seiring berjalannya waktu bunga mendapatkan perlakuan yang tidak enak dari sang mantan pacar. Mantan pacarnya melarang segala aktivitas perkuliahan bunga dimulai dari segi organisasi bahkan sampai ke hubungan pertemanan. Dikarenakan bunga sudah tidak tahan dengan perlakuan yang ia terima, bunga akhirnya berkehendak untuk memutuskan hubungannya dengan mantannya itu. Namun naas bunga justru mendapatkan ancaman terkait penyebaran video porno mereka jika hubungannya itu berakhir. Tidak berhenti sampai disitu, perlakuan mantan pacarnya semakin kelewat batas dikarenakan bunga

mendapatkan perlakuan-perlakuan fisik serta video persetubuhan mereka berdua telah disebarkan oleh sang mantan.

Dari kasus revenge porn yang dialami bunga, terdapat beberapa unsur-unsur pidana didalamnya. Dimulai dari unsur subyektifnya yakni bunga dan mantannya, adanya pengancaman yang diterima oleh bunga, adanya kesengajaan sang mantan untuk memvideokan hubungan persetubuhan mereka sebagai senjata, adanya hubungan kasualitas antara bunga dan sang mantan yang diikat atas nama cinta, serta adanya perbuatan melawan hukum yakni memvideokan serta menyebarluaskan video yang berisikan privasi korban tanpa seijinnya dan pengancaman yang dilakukan oleh sang mantan supaya hubungannya dengan bunga tidak berakhir. Prioritas pertama unsur perbuatan pidana adalah adanya sifat melawan hukum yang dikaitkan dengan asas legalitas dalam pasal 1 ayat 1 KUHP. Perbuatan melawan hukum/ PMH dibagi menjadi dua yakni 7

  • 1)    PMH formil, ketika PMH saat perbuatan itu telah diatur dan ada dalam UU berdasarkan hukum tertulis.

  • 2)    PMH materiil, ketika PMH itu belum diatur dalam UU yang bersandar pada asas umum.

Tindak pidana revenge porn erat kaitannya dengan norma kesusilaan. Eksistensi norma kesusilaan pada hukum pidana dapat dimengerti dari 2 sisi kedudukan, yakni kesusilaan untuk menjadi acuan berlakunya aturan hukum dan norma kesusilaan untuk menjadi norma yang bersifat publik. 8 revenge porn merupakan tindakan asusila, dikarenakan muatan yang terdapat dalam konten yang disebarluaskan dan memiliki unsur ketelanjangan terkait hal berbau seksual karena si pelaku memiliki perasaan sakit hati atau ingin balas dendam kepada korban berdasarkan suatu penyebab. Muatan atau konten yang disebarluaskan itulah yang dapat menciderai martabat dan moralitas masyarakat serta sang korban.

Hukum pidana juga memfasilitasi setiap korban kekerasan seksual terkait pemenuhan perlindungan dan hak korbannya. Dalam pasal 6 UU No. 31 tahun 2014 mengatur bahwasannya korban kekerasan seksual memiliki hak untuk memperoleh bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psikososial serta psikologis, dimana bantuan tersebut korban dapatkan berdasarkan keputusan LPSK. Pasal 6 tersebut mengatur mengenai pertanggungjawaban negara terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual. Hal tersebut menunjukan penderitaan yang korban derita tidak dapat dianggap sebelah mata. Perlindungan hukum tersebut mengacu kepada undang-undang perlindungan saksi dan korban dikarenakan dalam undang-undang ITE tidak diatur mengenai perlindungan hukum terhadap korban cyber crime. Diatur lebih lanjut dalam pasal 7A UU No. 31 tahun 2014 korban revenge porn memiliki hak untuk memperoleh restitusi. Restitusi merupakan upaya untuk memulihkan ataupun mengembalikan keadaan korban seperti semula (restutio in integrum). 9 Permasalahan yang sering muncul dalam penaganan kasus kejahatan seksual ada dalam proses pembuktian. Sulitnya proses pembuktian tersebut dapat diselesaikan dengan kebijakan legislatif, kebijakan

legislatif yaitu perumusan kebijakan tentang perbuatan pidana dengan andil dari ilmu pengetahuan dan teknologi terkait pembuktian pidana.10 Selain dari proses pembuktian yang memiliki persoalan, persoalan lainnya juga terjadi dalam konsistensi dari korban atau saksi guna memperjuangkan keadilan mereka dalam persidangan.11

Tanggung jawab negara dalam mengatasi tindak pidana revenge porn terhadap korban sebagai pemangku kewajiban (duty holder) yakni terbagi dalam: kewajiban untuk menghormati yang meliputi pengadaan proses hukum terhadap kasus revenge porn, kewajiban untuk melindungi yang meliputi perlindungan terhadap korban dan adanya proses penyelidikan, kewajiban negara untuk memenuhi yakni meliputi pemulihan diri korban akibat dari tindak pidana revenge porn. 12

  • 3.2.    Analisis Pengesahan UU TPKS Terhadap Tindak Pidana Revenge Porn

Berangkat dari aturan yang termuat dalam pasal 28D ayat 1 & 28G ayat 1 undang-undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945 atau UUD NRI tahun 1945 merupakan tanggung jawab negara kita sebagai negara hukum untuk memberikan serta menjamin hak asasi kepada para korban dari tindak pidana revenge porn. Dalam pasal 28D ayat 1 UUD NRI tahun 1945 yakni “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”, korban tindak pidana revenge porn juga harus mendapatkan haknya dalam memperoleh kepastian hukum serta perlindungan dari pelaku. Serta dalam pasal 28G ayat 1 UUD NRI tahun 1945 mengenai hak semua orang untuk mendapatkan rasa aman dan perlindungan terkait pemenuhan hak asasinya, pasal tersebut juga merupakan dasar hukum guna adanya kepastian hukum bagi korban tindak pidana revenge porn karena para korban tidak bisa melaksanakan kegiatan sehari-harinya dengan baik dikarenakan bayangan ketakutan dari ancaman pelaku.

Sebenarnya hukum pidana Indonesia telah mewadahi beberapa aturan terkait tindak pidana kesusilaan sebelum UU TPKS disahkan, namun sangat disayangkan aturan-aturan hukum yang telah ada belum secara spesifik dapat menangani serta memberikan perlindungan dan jaminan hak bagi korban tindak pidana revenge porn. Undang-undang yang mengatur mengenai kekerasan seksual sebelum berlakunya UU TPKS adalah KUHP. Sayangnya terkait kekerasan seksual yang ada dalam KUHP menganut hanya 2 jenis saja yaitu Pemerkosaan dan Pencabulan.13 Berikut merupakan beberapa aturan pidana terkait tindak pidana kesusilaan yang ada dalam hukum positif di Indonesia sebelum berlakunya UU TPKS:

  • 1)    KUHP

Dalam KUHP tindak pidana kesusilaan diatur pada buku kedua tentang kejahatan bab 14 yang terdiri dari beberapa pasal. Pasal 281, 282, dan 283 mengatur tentang menampilkan materi asusila di depan umum. Tentu saja ketiga pasal tersebut tidak bisa dijadikan dasar untuk tindak pidana revenge porn dikarenakan pasal 281 itu ditujukan untuk seseorang yang menampilkan perbuatan asusila di depan umum dengan tujuan untuk diketahui oleh orang lain. Contoh daripada perbuatan tersebut adalah melakukan hubungan seksual di depan umum. Sementara pasal 282 ditujukan untuk seseorang yang menyebarluaskan muatan asusila, dalam pasal tersebut belum secara spesifik mengatur mengenai revenge porn dan akibatnya terhadap korban. Pada pasal 283 ditujukan untuk seseorang yang menyebarluaskan muatan asusila terhadap anak dibawah umur. Pasal 281, 282, dan 283 belum cukup untuk menjadi dasar ketentuan bagi tindak pidana revenge porn, hal itu diakibatkan dalam ketentuan ketiga pasal itu tidak diatur mengenai pengancaman yang diterima korban, konten kesusilaan yang pelaku punya juga atas dasar persetujuan korban untuk konsumsi pribadi dan bukan untuk umum. Sementara fokus ketiga pasal tersebut lebih kepada pelaku yang menyebarluaskan konten kesusilaan tanpa motif ikatan perasaan dengan korban.

Pasal 284 berisi tentang dasar hukum dari tindak pidana perselingkuhan yang dilakukan seseorang ketika masih terikat dalam perkawinan sah. Pasal 284 pun tidak bisa dijadikan dasar guna kepastian hukum sang korban tindak pidana revenge porn dikarenakan perselingkuhan dan revenge porn merupakan dua kejahatan yang berbeda. Pasal 285-288 ditujukan untuk tindak pidana perkosaan, aturan tersebut juga belum dapat digunakan untuk memfasilitasi tindak pidana revenge porn dikarenakan hubungan intim antara pelaku dan korban bisa saja merupakan hal yang disetujui oleh korban. Pasal 289296 mengatur tentang tindakan pencabulan, sayangnya pasal-pasal tersebut juga tidak dapat digunakan untuk mewadahi tindak pidana revenge porn karena konten yang dibuat dan diberikan kepada pelaku bisa saja dengan persetujuan korban.

  • 2)    UU Pornografi

Pasal 4 ayat 1 jo. Pasal 29 yang mengatur bahwasannya “Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi. Ketika ada yang melanggar aturan pasal tersebut maka si pelanggar terancam hukuman penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun dan juga terancam hukuman denda paling sedikit Rp250.000.000,00 dan paling banyak Rp6.000.000.000,00”. Sebenarnya ketentuan tersebut dapat dikenakan kepada pelaku revenge porn dikarenakan si pelaku menyebarluaskan konten pornografinya, namun yang menjadi permasalahan adalah dalam hal penegakan keadilan serta perlindungan terhadap korban. Jelas diatur bahwasannya setiap orang dilarang membuat dan memproduksi konten pornografi, padahal korban bisa saja tidak mengetahui bahwa hubungan persetubuhan yang dilakukan dengan pelaku sedang didokumentasikan ataupun, ketika memang maksud korban menyerahkan konten pornografinya itu bagi si pelaku saja tanpa adanya niat untuk menyebarluaskan gambar atau video yang ia buat kepada masyarakat luas.

Tentu saja pasal tersebut juga mengancam hak dan jaminan perlindungan hukum bagi korban karena korban dapat terseret serta dapat menjadi pelaku, padahal ia merupakan korban dari tindak pidana revenge porn. Artinya ketentuan dalam pasal 4 ayat 1 jo. pasal 29 juga belum secara spesifik mengatur tentang revenge porn dan berpotensi

mengancam hak serta jaminan perlindungan bagi korban revenge porn. Selain itu, ketentuan dalam pasal tersebut hanya menekankan aturan pornografi secara umum.14 Padahal revenge porn berbeda dengan penyebaran pornografi secara umum dari segi faktor kepemilikan konten serta motif dan tujuan yang hendak dicapai oleh si pelaku.

  • 3)    UU ITE

Pasal 27 ayat 1 jo. pasal 45 ayat 1 mengatur mengenai orang yang didasari oleh kesengajaan tanpa memiliki hak untuk menyebarluaskan atau mempermudah orang lain untuk mengakses informasi berisi muatan asusila dapat dipidana penjara paling lama 6 tahun atau dengan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Sebenarnya ketentuan dalam undang-undang ITE dapat dijadikan dasar bagi tindak pidana revenge porn, namun dalam ketentuan tersebut unsur-unsur yang ada kurang dapat mencakup terkait motif revenge porn mengenai pengancaman yang dilakukan oleh pelaku. Lantas bagaimanakah pertanggung jawaban pidana bagi pelaku yang sebatas melakukan pengancaman dengan senjata dokumentasi kesusilaan milik korban. Motif pelaku dalam ketentuan tersebut adalah guna mendistribusikan atau menyebarluaskan dokumen asusila, sementara motif dari revenge porn merupakan balas dendam pelaku yang dilatarbelakangi perasaan sakit hati pelaku terhadap hubungannya dengan si korban sehingga pelaku dengan sengaja menyebarluaskan dokumen asusila miliknya dan korban. Ketentuan dalam undang undang ITE kurang mencakup mengenai jaminan perlindungan hukum serta hak korban akibat penderitaan yang ia alami sebagai korban tindak pidana revenge porn.

Dari ketiga dasar hukum yang ada dan sah di Indonesia terkait tindak pidana kesusilaan sebelum berlakunya undang-undang kekerasan seksual ternyata belum sepenuhnya dapat menjawab permasalahan tindak pidana revenge porn dengan spesifik dan tepat. Bahwasannya setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan seksual. UU TPKS dibentuk dikarenakan sistem hukum di Indonesia belum dapat mengakomodir pencegahan, perlindungan, pemulihan serta pemberdayaan bagi korban dan belum dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk dapat aktif serta peduli terhadap permasalahan kekerasan seksual. Korban kekerasan seksual dapat mengalami dampak negatif akibat penderitaan yang ia derita. Dampak negatif yang diderita korban antara lain kehancuran psikologis, diasingkan, kehancuran ekonomi, keterbatasan pergerakan, dan sensor diri.15 Kehancuran psikologis yang diderita dapat berbentuk kekhawatiran, keputusasaan, serta kecemasan untuk melanjutkan kegiatan sehari-harinya. Bahkan tidak sampai disitu, korban dapat melakukan percobaan bunuh diri karena depresi yang dia derita serta rasa malu dan cemas yang ia alami. Mengenai keterasingan sosial, korban cenderung akan menyendiri dari lingkungan sebelumnya yakni seperti lingkungan keluarga, pertemanan, bahkan masyarakat. Hal tersebut mungkin saja terjadi bilamana video atau foto dari korban revenge porn telah disebar ke media sosial tanpa persetujuan dari korban.

Beranjak ke ketentuan selanjutnya yakni UU TPKS, tepatnya pada ketentuan dalam pasal 11, 13 dan pasal 95 – 100. Pasal 11 mengatur mengenai larangan setiap orang untuk berbuat kekerasan seksual dalam ayat 1, sementara dalam ayat 2 mengatur mengenai klasifikasi kekerasan seksual dimana salah satu diantaranya adalah eksploitasi seksual, dalam ayat terakhir yakni ayat 3 mengatur lingkup kekerasan seksual yang terdiri dari relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik, dan situasi khusus lainnya. Ketentuan terakhir yakni mengenai pasal 13 dimana mengatur bahwasannya “Eksploitasi seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b adalah Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, nama atau identitas atau martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan, agar seseorang melakukan hubungan seksual dengannya atau orang lain dan/atau perbuatan yang memanfaatkan tubuh orang tersebut yang terkait hasrat seksual, dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain”. Terkait ancaman hukumannya dalam pasal 95-100, pelaku eksploitasi seksual terancam pidana kurungan paling singkat 4 tahun serta maksimal hukuman penjaranya adalah seumur hidup. Jelas bahwasannya konten berbentuk gambar atau video milik korban dengan tujuan untuk menguntungkan diri si pelaku yang di sebarkan ke media sosial atau platform apapun yang memungkinkan orang lain untuk mengaksesnya merupakan perbuatan eksploitasi seksual sesuai dengan apa yang diatur dalam pasal 11 dan 12.

Hal itu dikarenakan penyebaran konten tersebut dilakukan tanpa persetujuan korban dan untuk kepentingan si pelaku guna membuktikan ke korban bahwa ancaman tersebut bukanlah sekedar gurauan. Penyebaran konten revenge porn milik korban ketika dikaitkan dengan teori tipologi korban dari Mandelsohn, korban revenge porn termasuk korban dengan klasifikasi ke-2 yaitu korban dari sedikit kontribusi kesalahan yang dianutnya.16 Dalam ketentuan yang ada pada UU TPKS dapat mewadahi dasar hukum bagi tindak pidana revenge porn dikarenakan korban terhindar dari kriminalisasi yang ada pada undang-undang pornografi, artinya status korban tindak pidana revenge porn dalam UU TPKS tidak memiliki kemungkinan untuk ikut menjadi pelaku padahal ia merupakan korban. Hal tersebut merupakan urgensi pengesahan UU TPKS dikarenakan dalam undang-undang tersebut korban tindak pidana revenge porn dapat terhindar dari ancaman kriminalisasi yang ada pada undang-undang Pornografi akibat frasa “membuat”. Padahal niat awal korban mengirim konten tersebut hanya untuk kepentingan sang kekasih bukan untuk disebarkan ke sosial media atau platform lain yang memudahkan orang lain untuk mengakses konten asusila milik korban, namun hal tersebut akhirnya justru dimanfaatkan oleh pelaku untuk memeras korban dengan motif perasaan sakit hati dalam hubungan cinta pelaku dan korban. Pengesahan UU TPKS memang merupakan kabar baik bagi perkembangan kemajuan hukum di Indonesia. Namun perlu diingat juga mengenai pelaksanaan daripada ketentuan tersebut tetap harus diperhatikan dengan baik.

  • 4.    Kesimpulan

Berdasarkan tulisan yang sudah dikaji pada poin-poin sebelumnya, dapat disimpulkan bahwasannya tindak pidana revenge porn dapat ditinjau dari dua disiplin hukum yakni hukum

pidana. Berdasarkan hukum pidana, tindak pidana revenge porn tergolong kejahatan terhadap kesusilaan. Selanjutnya mengenai analisis dari pengesahan UU TPKS terhadap tindak pidana revenge porn dapat diketahui berdasarkan beberapa ketentuan pidana terkait kekerasan seksual yang berlaku di Indonesia sebelumnya. KUHP, UU ITE dan UU Pornografi ternyata belum cukup guna mewadahi kepastian hukum serta hak korban. Salah satu permasalahan dari ketentuan hukum yang telah berlaku di Indonesia sebelum UU TPKS disahkan adalah adanya norma kabur dalam beberapa ketentuan. Kekaburan norma tersebut terkait kepentingan korban yang harus dilindungi. Sayangnya ketentuan yang telah ada malah mengancam status korban untuk menjadi pelaku, dikarenakan frasa-frasa yang ada.

Padahal tujuan korban hanya memberikan konten tersebut kepada pelaku guna dirinya sendiri dan tidak dipertontonkan ke muka umum, ataupun korban juga dapat tidak mengetahui bahwa hubungan persetubuhan yang dilakukan pelaku dan korban diunggah kepada publik oleh pelaku. Dalam pasal 11 dan 13 UU TPKS terdapat poin yang sangat penting guna mewadahi tindak pidana revenge porn yakni mengenai eksploitasi seksual. Sementara terkait ancaman pidananya terdapat dalam pasal 95-100. Aturan yang ada pada UU TPKS dapat digunakan guna menjamin kepastian hukum serta perlindungan hak korban sebagai korban tindak pidana revenge porn. Untuk itulah pentingnya pengesahan UU TPKS dilakukan guna terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi korban tindak pidana revenge porn.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Marpaung, Leden, Asas - Teori – Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005).

Maskun, Kejahatan Siber (Cyber Crime): Suatu Pengantar, (Jakarta: Kencana, 2013).

JURNAL

Alfianita Atiq Junaelis Subarkah, and Faiq Tobroni. “Urgensi Pengesahan RUU PKS Terhadap Instrumen Penegakan Hak Asasi Perempuan.” Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum 9, no. 2 (2020).

Asrianto Zainal. “Kejahatan kesusilaan dan pelecehan seksual di tinjau dari kebijakan hukum pidana.” Al-'Adl Vol 7, no. 1 (2014).

Darmawan Nuryudha Pramana, and Subekti. “Bentuk perlindungan hukum    korban online

gender-based violence dalam peraturan perundang-undangan di indonesia.” Jurnal Hukum Pidana Dan Penanggulangan Kejahatan”, vol 9 no. 2 (2020).

Hwian Christianto, “Norma kesusilaan sebagai batasan pornografi menurut    undang-

undang no. 44 tahun 2008,” Jurnal Hukum & Pembangunan 40, no. 1       (March 3, 2010).

Hwian Christianto. “Revenge Porn Sebagai Kejahatan Kesusilaan Khusus: Perspektif Sobural.” Veritas et Justitia 3, no. 2 (2017).

Indah Sari, “Perbuatan melawan hukum (pmh) dalam hukum pidana dan hukumperdata,” Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara” vol 11, no. 1 (2020).

Ita, Rahayu Rahayu, and Nuswantoro Dwiwarno. “Kewajiban dan tanggungjawab negara memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan korban revenge porn di indonesia.” Diponegoro Law Journal 8, no. 1 (January 11, 2019).

Nabila Chandra Ayuningtyas, and Subekti. “Urgensi perlindungan hukum bagi korbanpor nografi balas dendam (revenge porn).” Jurnal Hukum Pidana DanPenanggulangan Kejahatan 10, no. 3 (2021).

Natasya Fila Rais, Gracia Putri Manurung, and Agnes Kusuma Wardani. “Analisis Keberlakuan RKUHP Dan RUU-PKS Dalam Mengatur Tindak Kekerasan Seksual.” Lex Scientia Law Review 3, no. 1 (2019)

Sri Endah Kinasih. “Penegakan ham dan perlindungan terhadap korban pelecehan seksual”. Journal Unair Vol 20, no. 4 (2007).

PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan tentang Hukum Pidana

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi

Undang Undang No. 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang ITE

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual

INTERNET

https://www.lbhsemarang.id/news/mengenali-revenge-porn-salah-satu-bentuk-kekerasan-seksual-melalui-dunia-maya41925, diakses pada tanggal 25 Maret 2022.

https://regional.kompas.com/read/2021/04/07/113000878/cerita-korban-kekerasan-online-konten-seksual-disebar-dicekik-hingga?page=all, diakses pada tanggal 1 April 2022.

Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 6 Tahun 2023 hlm 613-625

625