KEABSAHAN PERJANJIAN SEWA RAHIM (SURROGATE MOTHER) DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERDATA

Ni Made Dwi Ananda Laksmi Wiharini, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Made Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini guna menganalisa sahnya perjanjian sewa rahim dalam Hukum Perdata serta status hukum anak yang dilahirkan melalui perjanjian tersebut. Metode Hukum normatif digunakan pada penelitian ini menitikberatkan pendekatan Perundang-Undangan dan Pendekatan konseptual dalam menguraikan permasalahan dengan menggunakan bahan hukum primer dan sekunder dalam teknik pengumpulan data studi kepustakaan. Hasil penelitian bahwa sewa rahim berdasarkan KUHPer tidak sah dilakukan karena tidak memenuhi syarat objektif pasal 1320 KUHPer yaitu syarat ketiga “mengenai suatu hal tertentu” dan syarat keempat “Suatu sebab yang halal”yang mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum. Mengenai status hukum anak, maka dilihat dari perkawinan ibu penggantinya apabila ibu pengganti tidak terjalin sebuah perkawinan sah, maka anak itu merupakan anak luar kawin yang hanya memiliki hubungan keperdataannya, sedangkan ibu pengganti yang telah menikah maka anak tersebut anak sah dari ibu pengganti dan suaminya.

Kata Kunci : Perjanjian Surogasi, Ibu Pengganti, KUH Perdata

ABSTRACT

The purpose of this study is to analyze the validity of surrogacy agreement in Civil Law and the legal status of children born through the agreement. The normative legal method used in this study focuses on the legislative approach and the conceptual approach in describing the problem by using primary and secondary legal materials in library study data collection techniques. The results of research that surrogacy agrement on the KUHPer is not valid because it does’nt meet the objective requirements of Article 1320 of the KUHPer, namely the third requirement "regarding a certain matter" and the fourth requirement "A lawful cause" which results in the agreement being null and void. Regarding the legal status of the child, it can be seen from the marriage of the surrogate mother, if the surrogate mother does’nt marriage, then the child is an legal child, while the surrogate mother is married, then the child is legal child of a surrogate mother

Keywords: Surrogacy Agreement, Surrogate Mother, Civil Code

  • 1.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Dalam proses kehidupan manusia pernikahan adalah suatu momen yang sangat istimewa. Setiap orang tentu memiliki hak untuk membentuk keluarga dengan orang yang dicintainya, serta memiliki anak dalam ikatan perkawinan yang sah. Pasal 1 UU Perkawinan mendefinisikan perkawinan adalah suatu ikatan batin diantara seorang wanita dengan seorang pria sebagai pasangan suami istri guna membentuk keluarga bahagia serta kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka tujuan dari perkawinan yaitu untuk memiliki keturunan agar memperoleh kehidupan yang lebih lengkap.1 Akan tetapi, tidak semua pasangan mampu untuk melahirkan keturunan, hal ini dapat terjadi karena infertilisasi yang disebabkan kelainan reproduksi dari sejumlah penyebab yaitu dari suami, istri serta gabungan dari pihak istri dan suami. 2

Dengan adanya perkembangan zaman yang diiringi dengan kemajuan teknologi utamanya di bidang kedokteran permasalahan mengenai pasangan sah yang tidak dapat memiliki anak dapat dibantu dengan metode inseminasi buatan yang ditemukan sekitar tahun 1970-an, metode ini sering disebut dengan program bayi tabung.3 Salah satu teknik bayi tabung yaitu sewa rahim. Teknik ini ditawarkan untuk mengatasi permasalahan reproduksi yang dialami oleh seorang istri yang tidak bisa mengandung. Beberapa faktor penyebab dipilihnya teknik ini yaitu apabila seorang istri tidak memiliki rahim sejak lahir, pernah melakukan pengangkatan rahim. Sehingga hal tersebut tidak dapat membuat seorang istri mengandung secara alami sehingga digantikan oleh wanita lain dengan cara meminjam rahim dari wanita tersebut. Namun, untuk melakukan teknik bayi tabung ini kondisi sel telur yang dimiliki oleh sang istri harus berkondisi baik.4 Surogasi suatu perjanjian yang mengikat antara ibu pengganti dan pihak lain dengan cara menitipkan hasil fertilisasi pihak lain ke dalam rahimnya, yang kemudian harus bayi itu harus diserahkan kepada pihak lain setelah bayi lahir sesuai dengan perjanjian yang dibuat (gestational agreement).5 Pelaksanaan surrogate mother sudah dilakukan di beberapa Negara yaitu Amerika Serikat, Finlandia, Australia, Inggris, Austria, Israel, Jepang, India, Singapura, Jerman, Norwegia, Prancis, Denmark. System hukum dari Negara-negara tersebut memperbolehkan adanya donasi sel gamet.6 Yang paling banyak

mempraktekkan perjanjian sewa rahim adalah India, salah satunya di daerah Cjenna telah memberikan pelayanan sewa rahim kepada lebih dari 12 rumah sakit.7 Inseminasi buatan merupakan cara yang diberikan sebagai upaya untuk suami istri yang sulit mempunyai keturunan.8 Teknik reproduksi buatan diatur pada pasal 127 ayat (1) UU KESEHATAN Nomor 39 Tahun 2009 yaitu hanya pasangan suami istri yang sah yang dapat menggunakan upaya kehamilan di luar rahim dengan diaturnya beberapa ketentuan diantaranya : hasil fertilisasi dari ovum dan sperma yang bersangkutan ditanamkan ke dalam rahim dari mana asal ovum itu berasal; hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis yang berwenang dan memiliki keahlian mengenai hal itu; dapat dilakukan pada fasilitas layanan kesehatan tertentu.

Pasal 13 ayat (2) PERMENKES No. 43 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Reproduksi Dengan Bantuan Atau Kehamilan Di Luar Cara Alamiah menyebutkan bahwa Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu dengan cara konvensional prosesnya dilakukan dengan cara mempertemukan oosit istri dengan spermatozoa suami yang normal ke dalam tabung, embrio yang telah terbentuk ditransfer dan dimasukkan ke dalam rahim istri. Di dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa yang hanya diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan mengenai bayi tabung pada dasarnya adalah sel gamet dari pasangan suami istri, dimana tempat pembuahannya dilakukan di luar rahim dengan menggunakan teknologi serta bantuan dari tenaga kesehatan. Selanjutnya embrio ditanamkan ke dalam rahim tempat ovum tersebut berasal.

Tidak diaturnya peraturan khusus yang mengatur perjanjian sewa rahim di dalam hukum positif. Sejauh ini, pelaksanaan sewa rahim hanya dilakukan tertutup dikalangan keluarga, sehingga belum ditemukan pengajuan mengenai sewa rahim di pengadilan.9 Hal tersebut dapat menimbulkan akibat hukum apabila ibu pengganti enggan untuk memberikan anak karena timbul insting alami dari seorang ibu yang telah mengandung serta melahirkan anak, meskipun tidak berasal dari benihnya maka terjadilah wanprestasi terhadap perjanjian sewa rahim. Sehingga, hal ini tentu saja mengakibatkan ketidakpastian hukum.10 Pelaksanaan ini juga dianggap bisa membahayakan bagi ibu pengganti dan masyarakat.11 Bertolak belakang dari pemikiran tersebut penulis hendak mengkaji keabsahan perjanjian1sewa1rahim ditinjau dari hukum perdata, serta status hukum dari anak yang dilahirkan melalui

perjanjian ini. Munculnya niat penulis dalam menulis artikel ini sebab melihat ketidakadaan pengaturan mengenai surrogate mother di Indonesia serta melihat rahim dijadikan sebagai objek suatu perjanjian, hal ini sangatlah tidak lazim dilakukan di Indonesia. Sehingga akan menimbulkan akibat hukum terhadap keabsahan dari perjanjian sewa rahim menurut Hukum Perdata serta akibat terhadap kerancuan status hukum dari anak yang dilahirkan melalui perjanjian ini. Oleh karena itu, artikel ini sangat menarik untuk dibahas dan didalami pada penulisan yang berjudul “Keabsahan Perjanjian Sewa-Rahim (Surrogate Mother) Ditinjau dari Perspektif Hukum Perdata”.

Penelitian ini merupakan buah hasil dari penelitian terdahulu, yaitu Jurnal yang berjudul “Surrogate Mother Menurut Hukum Di Indonesia” yang ditulis oleh Nyoman Angga Pandu Wijaya dan I Wayan Novy Purwanto pada tahun 2015 dimana penelitian ini fokus terhadap pembahasan pelaksanaan surrogate mother menurut hukum kesehatan dan hukum perdata di Indonesia.Penelitian ini menghasilkan bahwa “Hukum Indonesia tidak memiliki aturan mengenai pelaksanaan perikatan surrogate mother”. Penelitian selanjutnya itu pada tahun 2019 penelitian yang berjudul “Legal Qonsewuences Surrogate Mother Ditinjau Dari Hukum Pidana” yang ditulis oleh Risa Jaya Wulandari dan I Nyoman Darmadha penulisan ini fokus membahas mengenai akibat hukum dari segi hukum pidana terhadap surrogate mother dalam hukum positif di Indonesia. Penelitian ini menghasilkan bahwa “fenomena surrogate mother ini menimbulkan akibat hukum yakni perbuatan yang termasuk perbuatan pidana dikarenakan bertentangan dengan Perundang-Undangan di Indonesia, dan dikarenakan tidak adanya regulasi yang mengatur secara tegas tentang masalah ini sehingga para pihak yang terlibat tidak mendapatkan kepastian hukum” . Berdasarkan uraian penelitian terdahulu maka penelitian ini berbeda dengan penelitian tersebut. Penelitian ini yang berjudul “Keabsahan Perjanjian Sewa-Rahim (Surrogate Mother) Ditinjau dari Perspektif Hukum Perdata” yang fokus terhadap pembahasan bagaimana keabsahan dari perjanjian sewa rahim apabila ditinjau dari Hukum Perdata serta bagaimana status hukum anak yang dilahirkan melalui perjanjian sewa rahim.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah keabsahan perjanjian sewa rahim ditinjau dari Hukum Perdata?

  • 2.    Bagaimanakah status hukum anak yang dilahirkan melalui perjanjian sewa rahim (surrogate mother)?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui keabsahan perjanjian sewa rahim ditinjau dari Hukum Perdata dan status hukum anak yang dilahirkan melalui perjanjin sewa rahim (surrogate mother).

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, karena melihat dari latar belakang diatas bahwa terjadinya kekosongan norma mengenai perjanjian sewa rahim sehingga dirasa perlu untuk melakukan penelitian secara normatif dengan mengkaji melalui peraturan, literature,

jurnal serta badan hukum lainnya. Pendekatan yang digunakan yaitu Pendekatan Undang-Undang yang mengkaji peraturan yang berkaitan dengan permasalahan yang ada, pendekatan konseptual juga digunakan pada penelitian ini. Pendekatan konseptual adalah pendekatan yang memberikan sudut pandang analisa penyelesaian masalah yang dilihat dari konsep hukum yang mendasarinya. Bahan hukum yang digunakan bahan hukum primer terdiri atas peraturan perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan serta putusan hakim. Bahan hukum sekunder teridi atas buku hukum, kamus hukum, jurnal hukum serta tinjauan dari putusan hakim. Teknik pengumpulan data studi pustaka digunakan pada penelitian ini, yaitu menggabungkan peraturan-peraturan hukum, buku-buku yang berkaitan dengan perjanjian sewa rahim.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.1.    Keabsahan perjanjian sewa rahim ditinjau dari Hukum Perdata

Secara literal rahim sewaan/ibu pengganti yang diartikan sebagai sebuah kontrak yang mengikat antara seorang wanita dan pihak lain dengan cara menitipkan hasil fertilisasi pihak lain ke dalam rahimnya, yang kemudian bayi itu harus diserahkan kepada pihak lain setelah bayi tersebut lahir dengan memberikan imbalan berupa uang kepada wanita tersebut . Pengaturan mengenai sewa rahim belum diatur secara khusus di Indonesia, tetapi secara normatif dapat beberapa pasal-pasal di dalam KUHPerdata yang dapat digunakan untuk menelaah keabsahan kontrak sewa rahim.

Berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata mendefinisikan perjanjian merupakan suatu perbuatan yang mengikatkan dirinya diantara satu orang atau lebih terhadap satu orang atau lebih. Menurut Prof. Subekti S.H perjanjian adalah suatu peristiwa antara seseorang yang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Sehingga kontrak sewa rahim tergolong sebagai perjanjian karena adanya kesepakatan untuk saling mengikatkan diri diantara para pihak dalam melakukan embrio transfer. Menurut pasal 1320 KUHPer maka perjanjian harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian , diantaranya :

  • a.    Adanya Kesepakatan Para Pihak Untuk Mengikatkan Diri ;

Pihak pihak yang telibat wajib terlebih dahulu untuk menyetujui hal dasar dari perjanjian yang akan disepakati. Pasal 1321 KUHPer menyebutkan tiada sepakat yang sah jika sepakat itu diberikan karena kekhilafan/diperoleh dengan paksaan/penipuan. Para pihak terlibat dalam hal ini yaitu ibu pengganti dengan pasangan suami istri harus memiliki kehendak yang sama dan sepakat secara sukarela tanpa adanya paksaan.

  • b.    Para Pihak Harus Cakap Dalam Membuat Suatu Perikatan ;

Hakikatnya, setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap (Pasal

1329 KUHPer). Pasal 1330 KUHPer menyebutkan Orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang yang belum dewasa ; yang di taruh di bawah pengampuan ; perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Di dalam membuat perjanjian sewa rahim maka para pihak yang terlibat harus cakap. Ibu pengganti (surrogate mother) dimungkinkan dilakukan oleh wanita yang belum menikah atau yang telah menikah. Selain harus memenuhi ketentuan pasal 1330 KUH Perdata, sebagai ibu pengganti yang telah menikah juga harus memenuhi persyaratan usianya tidak boleh melebihi 38 (tiga puluh delapan) tahun, sehat rohani serta jasmani, rahim yang sehat, telah menikah, mempunyai minimal seorang anak, serta mendapatkan persetujuan dari suami. Sedangkan surrogate mother yang belum menikah minimal harus berusia 24 tahun.

  • c.    Suatu hal tertentu;

Kejelasan dari suatu prestasi sering disebut objek perjanjian ini mempunyai hubungan dengan adanya suatu hal tertentu.

Di dalam ketentuan pasal 1234 KUHPer mengatur prestasi dalam perjanjian dimana setiap perikatan bertujuan untuk berbuat sesuatu, memberikan sesuatu dan atau tidak berbuat sesuatu. “Sesuatu” disini mengarah kepada suatu barang, benda, dan bisa juga berupa jasa. Apabila dihubungkan dengan kontrak maka objek yang dilaksanakan yaitu dalam bentuk memberi sesuatu berupa kesepakatan pemberian suatu hak dalam menggunakan sesuatu dengan kesepakatan jangka waktu tertentu.12 Yang menjadi prestasi di dalam kontrak sewa rahim yaitu rahim seorang wanita. Pasal 499 KUHPer mendefinisikan kebendaan merupakan sebagai tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai dengan hak milik. Meskipun rahim adalah benda padat namun rahim bukanlah sebuah objek benda sebagaimana yang dimaksud di dalam ketentuan tersebut melainkan merupakan bagian dari seorang wanita yaitu subyek hukum. Selain itu, Pasal 1332 KUH Perdata juga menyebukan barang barang yang dapat diperdagangkan hanya yang dapat dijadikan sebagai pokok suatu perikatan (prestasi). Serta ketentuan pasal 1333 KUHPer yang menyebutkan suatu perjanjian harus berupa objek tertentu berupa benda atau zaak yang minimal dapat ditentukan atau dihitung. Adapun objek perjanjian ini yaitu rahim wanita, apabila dilihat berdasarkan pasal tersebut maka rahim bukan merupakan objek suatu perjanjian karena rahim bukanlah barang yang dapat diperdagangkan serta bukan objek hukum.

  • d.    Merupakan Causa Yang Halal

Causa yang halal berarti suatu perjanjian tidak boleh kontradiktif terhadap norma kesusilaan, ketertiban umum serta hukum positif yang berlaku. Sejalan dengan yang termuat di dalam pasal 1337 KUH Perdata pada pokoknya menentukan bahwa suatu sebab dikatakan kontradiktif, bilamana terhadap Undang-Undang dilarang serta berlawanan dengan kesusilaan ataupun ketertiban umum. Dalam sewa-rahim tidak mencukupi syarat ke-empat yaitu “suatu sebab yang halal”. Hal tersebut disebabkan terdapat beberapa alasan yaitu:

  • 1.    Karena berlawanan terhadap Hukum Positif yang berlaku di Indonesia diantaranya;

  • 1)    Pasal 127 ayat (1) UU Kesehatan

Dalam ketentuan pasal diatas pada pokoknya menjelaskan bahwa cara alamiah dalam mengupayakan kehamilan hanya boleh dilakukan terhadap suami isrti yang sah dengan beberapa ketentuan upaya tersebut merupakan hasil fertilisasi ovum dan sperma dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam Rahim dari mana ovum tersebut berasal ; serta hanya boleh dikerjakan oleh tenaga media yang memiliki kewenangan serta keahlian terhadap hal tersebut; dan pada fasilitas layanan kesehatan tertentu. Berdasarkan pasal tersebut, di Indonesia inseminasi buatan yang boleh dilakukan hanya pembuahan sel gamet dari suami istri yang sah serta untuk selanjutnya hasil fertilisasi ditanam ke rahim tempat ovum itu berasal.

  • 2)    Pasal 13 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan No. 43 Tahun 2015 menyebutkan bahwa Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu prosesnya dilakukan dengan mempertemukan spermatozoa suami dengan oosit istri ke dalam tabung, membentuk embrio yang kemudian ditransfer ke dalam rahim istri.

  • 3)    Pasal 43 ayat (3) PP No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi menyebutkan kelebihan embrio hasil fertilisasi in vitro yaitu di luar tubuh manusia dilarang ditanam di dalam rahim perempuan lain dan juga apabila ayah dari embrio tersebut meninggal atau bercerai maka embrio tidak dapat ditanamkan ke dalam rahim ibu.

  • 2.    Bertentangan dengan kesusilaan

Perjanjian Sewa rahim bertentangan dengan nilai-nilai moral, budaya masyarat, adat istiadat, serta keyakinan yang dianut oleh masyarakat Indonesia.

  • 3.    Kontradiktif terhadap ketertiban umum

Hal ini bertentangan dengan ketertiban umum dikarenakan apabila tetap dilakukan sewa rahim di ndonesia maka wanita yang menyewakan rahimnya akan menjadi bahan pergunjingan di masyarakat dan dikucilkan dari pergaulannya.

Isi Pasal 1339 KUHPer memuat asas kebebasan berkontrak yang di dalamnya mengandung arti suatu perjanjian tidak hanya mengikat terhadap isi dari perjanjian tersebut yang dinyatakan secara tegas di dalamnya, namun terhadap segaala sesuatu yang menunjuk kepada sifatnya perjanjian, kepatutan, kebiasaan atau undang-undang harus diperhatikan. Di dalam menyepakati isi dari sebuah perjanjian maka hal tersebut tidak boleh kontradiktif terhadap pokok pokok perjanjian itu sendiri. Rahim bukan merupakan suatu benda yang disewakan berdasarkan hukum sewa-menyewa KUHPer. Apabila syarat subyektif dalam suatu perjanjian yaitu dua syarat yang pertama (1 dan 2) dapat dibatalkan apabila suatu syarat tersebut tidak dapat terpenuhi, adapun apabila syarat objektif yaitu syarat ke-3 dan ke-4 tidak dapat terpenuhi, maka suatu perjanjian menjadi batal demi hukum.13 Tidak terpenuhinya syarat obyektif di dalam perjanjian surogasi yaitu syarat ketika mengenai objek tertentu, karena rahim bukan merupakan suatu objek yang dapat dijadikan sebagai objek perjanjian serta syarat keempat yaitu “suatu sebab yang halal” sebab sewa rahim telah melanggar norma hukum, norma kesusilaan, serta ketertiban umum di Indonesia. Oleh karena itu sewa rahim di Indonesia tidak absah, apabila terdapat pelaksanaan perjanjian sewa rahim yang dilakukan secara diam-diam akibatnya dari semula perjanjian tersebut batal demi hukum.

  • 3.2.Status hukum anak yang dilahirkan Melalui Perjanjian Sewa Rahim (surrogate mother)

Tidak diaturnya pengaturan khusus tentang sewa rahim di Indonesia akan menimbulkan dampak status hukum anak. Kejelasan status hukum anak sangat penting sebagai upaya perlindungan HAM bagi anak, sebagaimana tertuang pasal 28B ayat (2) UUD NRI 1945 menyebutkan “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta memiliki hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Selain itu terhadap kejelasan status hukum anak akan berpengaruh terhadap hubungan perdata anak dengan orang tuanya. Status hukum terhadap anak yang dilahirkan sangat berpengaruh terhadap status perkawinan ibu penggantinya. Ibu pengganti yang statusnya menikah, maka anak yang tersebut yang lahir melalui perjanjian ini adalah anak sah dari ibu pengganti meskipun yang menitipkan benih pada rahim ibu pengganti adalah orang tua biologisnya. Ketentuan Pasal 250 KUH Perdata menyebutkan setiap anak yang lahir atau ditumbuhkan di dalam suatu perkawinan, akan memperoleh si suami sebagai bapaknya. Sehingga hak mewaris anak tersebut, memiliki hak mewaris yang penuh terhadap suaminya yang sah. Namun, apabila suami sah dari surrogate mother menyangkal anak tersebut sebagai anaknya di dalam ketentuan Pasal 251, Pasal 252,

Pasal 253 KUH Perdata dengan melakukan pemeriksaan darah dan hasil keputusan tetap dari pengadilan.

Pasal 44 UU Perkawinan memberikan hak kepada suami utuk menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya apabila sang suami dapat membuktikan status anaknya bahwa istrinya telah melakukan zina dan anak tersebut merupakan hasil dari perzinaan. Pengadilanlah yang berhak di dalam memberikan suatu

putusan  mengenai  sah/tidaknya anak atas permintaan pihak  yang

berkepentingan.14 Apabila ibu pengganti tidak menikah maka anak yang dilahirkannya bertatus anak luar kawin.15 Pasal 42 UU Perkawinan mendefinisikan Anak sah merupakan anak yang dilahirkan didalam atau sebagai suatu akibat perkawinan yang sah. Hal ini juga diperkuat oleh ketentuan pasal KUHPer tidak menentukan secara tegas definisi anak luar kawin. Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, hanya menyebutkan anak yang terlahir di luar perkawinan yang sah hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sehingga hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu penggantinya. Namun ayah biologis tetap memiliki kewajiban untuk menanggung nafkah untuk anak terbut sesuai kemampuannya. Ketentuan Pasal 869 KUHPer menyebutkan apabila ayah dan ibunya telah memberikan jaminan nafkah seperlunya untuk anak yang lahir dari hasil zina maka anak tersebut tidak dapat menuntut untuk mendapatkan warisan dari ibu dan ayahnya.

Anak yang dilahirkan oleh surrogate mother hanya memiliki hubungan keperdataan dengan orang tua biologisnya, apabila orang tua biologis melakukan upaya hukum melalui proses pengangkatan anak secara langsung.16 Pasal 10 ayat (1) menyebutkan yang dimaksud dengan “pengangkatan anak secara langsung adalah pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang tua angkat terhadap calon anak angkat yang berada langsung dalam pengasuhan orang tua kandung.” Sehingga, status kedudukan anak sewa rahim ditentukan oleh perkawinan ibu penggantinya, apabila ibu pengganti yang melahirkan nya tidak terikat di dalam sebuah perkawinan, maka hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan dirinya, apabila ibu pengganti terikat perkawinan anak tersebut anak sah yang memiliki hubungan perdataan dengan suami istri ibu pengganti. Orang tua biologis hanya memiliki hubungan keperdataan dengan anak dari hasil sewa-rahim apabila dilakukan proses pengangkatan anak secara langsung.

  • 4.    Kesimpulan

Pengaturan perjanjian sewa-rahim tidak diatur dalam Peraturan di Indonesia, mengenai keabsahan perjanjian sewa-rahim apabila ditinjau di dalam KUHPer, tidak memenuhi pasal 1320 KUHPer yaitu syarat obyektif yaitu syarat ke-3

mengenai suatu objek tertentu, dimana rahim bukan benda yang dapat dijadikan sebagai prestasi serta syarat keempat mengenai causa yang halal karena surogasi telah kontradiktif terhadap hukum positif yang berlaku yaitu Pasal 127 ayat (1) UU Kesehatan, Pasal 13 ayat (2) PERMENKES Nomor 43 Tahun 2015, dan PP Nomor 61 Tahun 2014, bertentangan terhadap norma kesusilaan, dan ketertiban umum. Sehingga, perjanjian sewa rahim tidak sah dilakukan di Indonesia, apabila terdapat pelaksanaan sewa rahim yang dilakukan secara diam-diam akibatnya batal demi hukum. Status hukum anak dari perjanjian surogasi dilihat dari perkawinan ibu pengganti, apabila belum menikah, sehingga anak yang dilahirkan itu berstatus anak luar kawin yang hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu penggantinya, apabila terikat perkawinan maka adalah anak sah yang mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu pengganti dan suaminya. Orang tua biologis dari anak tersebut hanya akan mempunyai hubungan keperdataan apabila dilakukan proses pengangkatan anak secara langsung.

Adapun beberapa saran yang dapat diberikan terhadap permasalahan tersebut; Mengingat belum adanya aturan khusus mengenai perjanjian sewa rahim sehingga menimbulkan adanya kekosongan hukum maka diharapkan pemerintah membuat aturan khusus mengenai perjanjian sewa-rahim, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, sehingga unsur keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum akan terpenuhi, dan terhadap suami-istri yang mengalami permasalahan keturunan, khususnya terhadap masalah tidak bisa memiliki keturunan, maka disarankan memilih pengangkatan anak sebagai jalan keluarnya.

Daftar Pustaka

Buku :

Ratman, Desriza. Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum: Bolehkah Sewa Rahim di Indonesia?. (Jakarta: Elex Media Komputindo,2012).

Raehanul, Bahraen. Fiqih Kontemporer Kesehatan Wanita, ed.Pustaka Imam Asy-Syafi’I. (Jakarta, 2017).

Simanjuntak,P.N.H.,S.H.,“Hukum  Perdata Indonesia”.(Jakarta, Prenadamedia

Group,2015). Hlm.288.

Jurnal

Abhimantara, Ida Bagus. “Akibat Hukum Anak Yang Lahir Dari Perjanjian Surrogate Mother.Jurnal Universitas Airlangga, Notaire: Vol. 1 No.1, Juni (2018).

Astuti, Ketut Sri Ari, dan Griadhi, Ni Made Ari Yuliartini. “Hak Waris Anak Hasil Proses Bayi Tabung Ditinjau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.” Kertha Semaya; Journal Ilmu Hukum Vol. 4, No. 3 (2016).

Dewi, Sonny, Susilowati Suparto, dan Deviana Yuanitasari. “Aspek Hukum Surrogate Mother dalam Perspektif Hukum Indonesia.” Jurnal Bina Mulia Hukum, Vol.1 No. 2 (2017)

Erma, Zetria, et al. Keabsahan Perjanjian Sewa Rahim (Surrogate Mother) Ditinjau dari pasal 1320 KUH Perdata. Jurnal Teknologi Kesehatan dan Ilmu Sosial (TEKESNOS) Vol 3, No. 2 (2021).

Khairatunnisa.”Keberadaan Sewa Rahim Dalam Perspektif Hukum Perdata”. Jurnal Lex Privatum Vol.III, No.1 (2015).

Lina Peng. “Surrogate Mother: An Exploration of The Empirical and The Normative”. American University Journal of Gender, Social Policy, and The Law Vol 21 Issue 3 Art 2(2012).

Malindi, Lintang Wistu. Perlindungan Hukum Terhadap Ibu Pengganti (Surrogate Mother) Yang Mengikatkan Diri Dalam Perjanjian Sewa Rahim (Surogasi) di Indonesia. Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi. Vol.8 No.1 (2020).

Rahmawati, Nurul Alifah, dan Susilawati, Hirma. “Fenomena Surrogate Mother Dalam Perspektif Islam Ditinjau Dari Hadists”, Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam Vol.14 No.2 (Juli-Desember 2017).

Sanjaya, Aditya Wiguna. “Aspek Hukum Sewa Rahim (Surrogate Mother) dalam Perspektif Hukum Perdata dan Hukum Pidana.” Jurnal Rechtens, Vol 5, No 2. (2016).

Sari, Vincensia Esti Purnama. “Hak Bereproduksi Pasangan Suami Isteri Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.Jurnal Law Review Vol XIII No.3 (2014).

Selian, Muhammad Ali Hanafiah. “Surrogate Mother; Tinjauan Hukum Perdata dan Islam.Jurnal Yuridis Vol 4 No. 2(2017).

Suindrayani, Ni Putu Tya, dan Purwani, Sagung Putri M. “Urgensi Pengaturan Surogasi Dengan Hukum Pidana Di Indonesia.” Kertha Wicara; Journal Ilmu Hukum Vol 9,No. 10.(2020).

Wijaya, Nyoman Angga Pandu dan Purwanto, I Wayan Novy. “Surrogate Mother Menurut Hukum di Indonesia.” Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol. 03, No. 01 (2015).

Wulandari, Risa Jaya, dan I Nyoman Darmadha. “Legal Qonsequences Surrogate Mother Ditinjau Dari Hukum Pidana.” Kertha Wicara; Journal Ilmu Hukum Vol 9,No. 1.(2019).

Peraturan Perundang-Undangan :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Tentang Kesehatan, No. 39 Tahun 2009 (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia, 5063)

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 186, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia, 6401)

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Reproduksi Dengan Bantuan Atau Kehamilan Di Luar Cara Alamiah

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi.

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 7 Tahun 2022 hlm 640-651

651