PERIHAL BATAS USIA DALAM HUKUM PENGANGKATAN ANAK DI INDONESIA

Ni Made Kintan Oktavianti, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Gede Pasek Pramana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Perihal Batas Usia dalam Hukum Pengangkatan Anak di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji serta mengtehaui terkait dengan batasan usia seorang anak yang dapat diangkat berdasarkan hukum positif yang diberlakukan di Indonesia serta untuk mengetahui apakah pengangkatan terhadap seorang anak yang usianya sudah melampaui usia 18 tahun dianggap sah menurut hukum yang ada di Indonesia. Metode yang dipergunakan pada penyusunan jurnal ini ialah metode penelitian normative yang mempergunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Bahan hukum yang dipakai dalam penulisan ini ialah bahan hukum primer yang terdiri dari beberapa jenis peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder berupa berbagai buku maupun literatur, jurnal hukum, pandangan ahli sertajuga yurisprudensi yang berkaitan dengan pokok persoalan yang tengah dibahas. Berdasarkan hasil analisis, maka diperoleh kesimpulan bahwa ada 2 sistem hukum yang diberlakukan prihal penganggkatan anak di Indonesia, yakni hukum nasional dan hukum adat. Diantara 2 sistem hukum tersebut, memiliki perbadaan pandangan mengenai hakikat pengangkatan anak. Namun perbedaan tersebut bukan merupakan suatu konflik norma, mengingat hukum negara mengakui keabsahan pengaturan hukum adat terkait pengangkatan anak. Jika bertolak dari konstitusi, maka pengangkatan anak terhadap orang yang sudah dewasa adalah hal yang legal menurut hukum, sepanjang bersesuaian dengan prasyarat dan ketentuan yang telah ditetapkan hukum adat(dalam hal ini khususnya hukum adat Bali). Arguementasi ini juga berpedoman pada teori pluralisme hukum yang diberlakukan di Indonesia.

Kata Kunci : Batas Usia, Pengangkatan Anak , Hukum

ABSTRACT

This writing is entitled Regarding the Age Limit in the Adoption Law in Indonesia. This study intend to examine and find out related to the age limit of a child who can be adopted under positive law enforced in Indonesia and to find out whether the adoption of a child who has exceeded the age of 18 is considered legal according to existing regulations in Indonesia. The method used in the preparation of this journal is a normative research method that uses a statutory approach and a conceptual approach . The legal materials used in this research are in the form of primary legal materials consisting of several types of legislation and secondary legal materials in the form of various books or literature, legal journals, expert opinions and norms relating to the subject matter being discussed. Based on the results of the study, it can be concluded that there are two legal systems applied regarding child adoption in Indonesia, namely national law and customary law. Between the two systems of norms, there are dissimilar views on the nature of adoption. However, this difference does not constitute a conflict of norms, considering that state law recognizes the validity of customary law arrangements regarding child adoption. If it departs from the constitution, then the adopttion of children of adults is legal according to law, as long as it is in accordance with the prerequisites and clause stipulated by customary law (in this case especially Balinese customary law). This argument is also guided by the theory of legall pluralism applied in Indonesia.

Keywords : Age Limit , Child Adoption , Law

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang

Sebagai makhluk social , Sang Mahakuasa menciptakan manusia senantiasa akan memiliki pendamping atau berpasang-pasangan . Maka dari itu, manusia dilahirkan secara berlawanan jenis yaitu perempuan dan laki-laki. Secara alami bahwa manusia akan memiliki rasa suka dan tertarik terhadap lawan jenisnya. Adanya rasa ketertarikan antara laki-laki dan perempuan ini akan berujung pada keinginan untuk menjalin sebuah ikatan dan hidup bersama. Keinginan untuk hidup bersama akan menjadi sempurna apabila dilangsungkan dengan ikatan sah yaitu perkawinan kemudian diatur dalam tatanan kehidupan bernegara. Perkawinan memiliki tujuan yang utama yaitu mendapatkan keturunan sebagai penerus, memenuhi naluri manusia sebagai makhluk social , menciptakan serta mengatur bahtera rumah tangga yang didasarkan atas ketulusan dan cinta kasih , menjauhkan manusia dari kenegatifan serta yang terakhir ialah keuletan dalam memperoleh rejeki yang halal serta memuliakan perkawinan itu disertai tanggung jawab yang besar. Hal tersebut terdapat pada buku bertajuk Pluralisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia yang ditulis oleh Soetojo Prawirohamidjojo.1

Kehidupan bahtera rumah tangga bermaksud agar tercapainya sebuah keluarga utuh yang terdiri dari ayah, ibu serta buah hati atau keturunan. Setiap pasangan yang terikat dalam hubungan perkawinan akan mendambakan hadirnya keturunan atau anak. Anak adalah anugrah yang diberikan oleh tuhan dan memiliki posisi yang penting di dalam sebuah keluarga. Hadirnya seorang anak di dalam keluarga akan menjadikan kehidupan pasangan suami-isteri akan terasa sangat lengkap. Namun, jikalau ikatan perkawinan tersebut tidak dianugrahkan keturunan maka timbullah suatu kecemasan dan persoalan baru di dalam kehidupan rumah tangga mereka. 2 Bagi setiap pasangan suami-isteri yang mengarungi bahtera rumah tangga bahwa harapan akan hadirnya seorang anak di dalam keluarga sangat didambakan dan anak akan menjadi penerus generasinya.

Namun, kadangkala sesuatu yang kita idamkan terjadi ternyata tidak berjalan sesuai dengan harapan kita di awal dan menimbulkan kesedihan, banyak pasangan suami-isteri yang hubungan pernikahannya berjalan sudah cukup lama nyatanya tidak kunjung dianugrahkan seorang anak atau keturunan. Hal tersebutlah yang menjadi alasan utama dari pasangan suami-isteri atau keluarga memilih untuk melakukan pengangkatan anak. Pelaksanaan pengangkatan ini ialah substansi yang tercantum pada Undang-Undang Perlindungan Anak, yang merupakan bagian hukum yang hidup dan bertumbuh dalam masyarakat menurut adat, motif , daerah masing-masing.3 Indonesia merupakan sebuah negara berpondasikan masyarakat yang puspawarna atau beragam dan dikenal majemuk. Kemajemukan ini mencakup atas banyaknya budaya, ras, agama yang berbeda di Indonesia. Perbedaan diantara kemmajemukan inilah yang dimaknakan dengan suatu realitas pluralism yang saling

menerima perbedaan dan juga saling memahami demi terwujudnya persatuan bangsa dan negara.4

Sebagai sebuah negara, Indonesia menerapkan system hukum yang memiliki sifat pluralistic ( Pluralisme Hukum ) yang dimana adanya 4 hukum yang keberadaanya diakui yaitu hukum barat, hukum negara, hukum agama serta hukum adat. Pluralisme Hukum ialah situasi suatu arena social tidak hanya diberlakukan hukum negara saja akan tetapi diberlakukan juga system normatif lainnya yang dapat menimbulkan suatu harmoni sekaligus ketegangan.5 Hukum adat dan Hukum agama sangat diakui dan dihormati keeksistensiannya di Indonesia. Setiap daerah-daerah di Republik Indonesia ini memiliki tatanan hukum adatnya tersendiri yang diberlakukan untuk mengatur segala tindakan kehidupan masyarakatnya yang beranekaragam serta lazimnya bahwa hukum adat tersebut tidak tertuang dalam bentuk tertulis. Bila berpedoman pada konstitusi, bahwa keberadaan masyarakat adat dan hukum adat ialah diakui serta dihormati oleh negara hal ini tertuang pada Pasal 18 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

Terkait konteks pengangkatan anak maka pluralism hukum ini juga berlaku didalamnya. Terdapat 2 sistem hukum yang berlaku dalam pelaksanaan pengangkatan anak yaitu hukum nasional dan hukum adat. Pada hukum nasional bahwa pelaksanaan pengangkatan anak ini diatur dalam beberapa peraturan perundang -undangan. Pada hukum adat , ditemukan dalam beberapa pengkajian ilmiah serta refrensi berupa buku yang didalamnya ada pembehasan berkaitan tentang hukum adat . Sejalan dengan itu maka berdasarkan dengan uraian latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mengkaji tentang Pengangkatan Anak terutama perihal isu batas usianya yang kemudian dituangkan dalam jurnal yang berjudul “Perihal Isu Batas Usia dalam Pengangkatan Anak Menurut Hukum di Indonesia’’

Di dalam penulisan jurnal ini terdapat penelitian terdahulu yang berkaitan dengan Pengangkatan, yaitu penelitian dengan judul ‘’Tinjauan Hukum Tentang Pengangkatan Anak Terlantar di Bali. ‘’6 yang ditulis oleh I Gede Pasek Pramana, S.H.,M.H. Karya ilmiah ini mengangkat rumusan masalah siapakah yang dapat diangkat menjadi anak menurut hukum adat bali dan apakah anak terlantar dapat diangkat menjadi anak menurut hukum adat bali. Hasil penelitian Hukum Adat Bali tidak memiliki aturan yang tegas mengenai perihal siapa saja yang dapat diangkat menjadi anak dan menurut hukum adat bali bahwa anak terlantar dapat diangkat menjadi anak angkat berdasarkan teori pluralisme hukum, teori semi otonom, dan Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI 1945. Selanjutnya penelitian dengan judul ‘’Pengangkatan Anak Beda Kasta Dalam Perspektif Hukum dan Hak Asasi Manusia.’’ 7 Yang ditulis oleh I Gede Pasek Pramana S.H.,M.H dan Ni Putu Niti Suari Giri. Pada karya ilmiah ini terdapat dua permasalahan yang diangkat yaitu tentang legalitas pengangkatan

anak berbeda kasta yang kemudian ditinjau dari segi hukum positif di Indonesia dan tentang tanggung jawab negara mengenai kasus pembatalan pengangkatan anak beda kasta dalam rangka pemenuhan , penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia. Hasil penelitian Pengangkatan anak beda kasta adalah perbuatan yang legal menurut hukum positif di Indonesia dan tanggung jawab negara terhadap kasus pembatalan pengangkatan anak beda kasta dilihat dalam 2 bentuk, yaitu : negara hadir sebagai mediator dan melalui mediasi.

Pembahasan masalah terkait dengan Pengangkatan Anak pada kedua karya ilmiah tersebut di atas tentu berbeda dengan pembahasan masalah pada karya ilmiah ini. Karena pada karya ilmiah ini memfokuskan pada bahasan mengenai batasan usia seorang anak yang dapat diangkat berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia serta terkait dengan keabsahan melakukan pengangkatan anak terhadap orang yang usianya sudah lebih dari 18 tahun.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang , diperoleh rumusan permasalahan yakni

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan hukum terkait batas usia dalam konteks pengangkatan anak di Indonesia?

  • 2.    Bagaimanakah legalitas pengangkatan anak terhadap orang yang telah berusia lebih dari 18 tahun dalam perspektif pluralism hukum di Indonesia?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penulisan jurnal ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis tentang dualisme hukum terkait batas usia dalam konteks pengangkatan anak di Indonesia. Selain itu, juga memiliki tujuan untuk mengkaji tentang legalitas pengangkatan anak terhadap calon anak angkat yang sudah dewasa dan/atau cakap menurut hukum.

II.Metode Penelitian

Dalam penyusunan jurnal ini mempergunakan metode penelitian hukum normatif ( Normative Legal Research ).Hukum diartikan ada dalam peraturan perundang-undangan8. Kemudian dikonseptualisasikan sebagai aturan atau norma, yang menjadi tolak ukur mengenai apa yang dianggap pantas bagi perilaku manusia. 9Dipergunakannya metode penelitian normatif pada penulisan karya tulis ini adalah guna untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang dibahas mengenai pengangkatan anak terutama batasan usianya yang dilakukan dengan pengkajian terhadap aturan tertulis maupun aturan tidak tertulis terkait. Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan perundang-undangan ( Statue approach ) dan pendekatan konseptual ( conceptual approach ) . Bahan hukum yang digunakan berupa bahan hukum primer yang terdiri atas beberapa peraturan perundang-undangan lalu bahan hukum sekunder berupa buku,literatur, jurnal hukum, pendapat para ahli pula yurisprudensi yang relevan dengan permasalahan pada karya tulis ini. Dalam mengumpulkan bahan

hukum penelitian menerapkan Teknik library research ( kepustakaan ) sebagai cara untuk mengumpulkan data melalui kajian terhadap peraturan perundang-undangan nasional serta adat . Setelah semua bahan terkumpul maka selanjutnya akan dianalisis melalui Teknik kualitatif.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1 . Pengaturan Hukum Berkaitan Batas Usia dalam Konteks Pengangkatan Anak di Indonesia

Pengangkatan seorang anak masuk ke dalam kategori suatu perbuatan hukum yang didasarkan oleh perjanjian yang disepakati beberapa pihak untuk mengambil seorang anak dari orang lain, kemudian anak tersebut akan dirawat lalu dibesarkan oleh keluarga yang pada akhirnya diantara orang tua angkat dengan sang anak mengakibatkan adanya suatu jalinan social dan ikatan secara biologis.10 Di Indonesia, adopsi atau pengangkatan anak bukanlah suatu hal yang baru karena hal tersebut sudah sangat lumrah dilakukan oleh masyarakat Indonesia dan tidak bisa dipungkiri akan terus terjadi kedepannya . Namun, terkait dengan tata cara dan motivasi untuk mengangkat anak akan berbeda di setiap daerah karena dilaksanakanan sesuai dengan system hukum pada daerah yang bersangkutan. Dalam hukum positif Indonesia, telah diatur tentang pelaksanaaan pengangkatan anak.

Pengangkatan anak dalam hukum positif merupakan bagian dari negara dalam rangka memberikan perlindungan terhadap anak. Hal ini terlihat jelas pada Undang-Undang No.35 Tahun 2014 atas perubahan Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang anak bahwa hak hak anak harus dijamin dan dilindungi agar anak tersebut dapat hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta dilindungi dari kekerasan dan segala bentuk diskriminasi.

Indonesia adalah negara berlandaskan atas hukum. Hal ini diatur pada UUD RI tahun 1945 pada pasal 1 ayat (3). Sejalan dengan itu bahwa Indonesia menganut system hukum yang bersifat pluralistic ( pluralisme hukum ) yang memiliki arti yaitu bahwa pada suatu wilayah tertentu tidak saja hanya diberlakukannya hukum tertulis yang disusun oleh lembaga berwenang dengan presiden akan tetapi Indonesia juga mengakui dan menghormati keberadaan hukum adat dengan system hukum agama. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh sebuah keluarga atau perorangan tentunya harus sesuai dengan syarat-syarat yang sudah diatur dalam regulasi terkait. Sehubungan dengan praktek pelaksanaan pengangkatan anak terdapat 3 sistem hukum yang berlaku yaitu hukum nasional, hukum adat serta hukum agama. Maka dalam hal ini terdapat perbandingan pelaksanaan pengangkatan anak menurut 2 hukum yang berlaku yaitu hukum nasional dengan hukum adat khusunya pada pelaksanaan pengangkatan anak menurut hukum adat Bali.

Tabel mengenai pengaturan pelaksanaan pengangkatan anak menurut 2 hukum positif .

No.

Aspek

Hukum Nasional

Hukum Adat

1.

Dasar

Hukum

  • 1.    Konvensi    Hak

Anak , Pasal 21

  • 2. UU.No.35/2004

Tentang Perlindungan Anak, UU.No.12/2006 Tentang

Kewarganegaraan

  • 3.    Instruksi Presiden Republik Indonesia nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

  • 4.    PP No.54 Tahun 2007      tentang

Pelaksanaan Pengangkatan Anak

  • 5.    PERMENSOS No.110/HUK/2009 yang didalamnya mengatur   terkait

persyarat pengangkatan anak

  • 6.    PERMENSOS Nomor .37/HUK/2010 prihal Pertimbangan Perijinan Pengangkatan Anak Pussat

Pengangkatan Anak menurut hukum adat akan didasarkan dan disesuaikandengan norm adat yang berlaku di masing-masing daerah yang bersangkutan. Karena tiap daerah akan mempunyai tujuan ,tata cara motivasi yang berbeda-beda.

2.

Tujuan

Kepentingan terbaik bagi anak , terjaminnya kehidupan anaak yang lebih sejahtera dan perlindungan bagi anak tersebut.

Meneruskan keturunan  dari

orang tua angkatnya.

3.

Syarat Pengangkatan Anak

Pasal    12    Peraturan

Peemrintah No.54 Tahun 2007

(1)Syarat Anak yang akan diangkat meliputi:

a. Belum berusia 18 tahun;

(1) Pengaturan perihal batas usia anak yang diangkat tidak diatur dengan jelas , tidak terdapat batasan usia tertentu yang dapat diangkat anak

No.

Aspek

Hukum Nasional

Hukum Adat

  • b.    Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan

  • c.    Berada dalam asuhan keluarga atau dalam Lembaga pengasuhan anak;dan

  • d.    Memerlukan perlindungan khusus.

(2)Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi :

  • a.    Anak belum berusia 6 tahun, merupakan prioritas utama;

  • b.    Anak berusia 6 tahun sampai dengan belum berusia 12 tahun, sepanjang ada alasan mendesak;dan

  • c.    Anak berusia 12 tahun sampai dengan belum berusia 18 tahunn, sepanjnag anak memerlukan perlindungan khusus.

  • (2)    Anak berusia lebih muda dari calon orang tua angkat.

  • (3)    Anak berjenis kelamin laki-laki            lebih

diutamakan

  • (4)    Diwajibkan   beragama

hindu

  • (5)    Anak  yang  diangkat

masih  berada  dalam

lingkaran keluarga atau berasal   dari   kerabat

terdekat.

  • (6)    Pengangkatan    Anak

dilakukan      dengan

upacara     adat     ‘’

pemerasan’’ dihadapan saksi-saksi

4.

Akibat Hukum

Secara hukum, anak tersebut akan memnerima nama dari bapak angkatnya , kemudian jadilah ia anak yang dilahirkan melalu perkawinan orang tua angkat yang sah serta menjadi pewaris

Pada hukum adat Bali bahwa diantara anak dan orang tua angkat akan menimbulkan ikatan hukum baru kemudian putuslah ikatan diantara anak angkat tersebut dengan orang tua biologisnya.

Jika melihat pada table diatas bahwa terlihat antara hukum nasional dengan hukum adat memiliki perbedaan-perbedaan pengaturan berkaitan pelaksanaan praktek pengangkatan anak . Dasar hukum pengangkatan anak menurut hukum nasional sudah tercantum secara jelas pada peraturan perundang-undangan yang sudah disebutkan pada table diatas sedangkan pada hukum adat akan mengacu pada hukum adat pada setiap masing-masing daerah karena setiap wilayah yang ada di Indonesia memiliki system hukum adat yang berbeda-beda mengenai pengangkatan anak ini . Antara hukum nasional dengan hukum Adat memiliki perbedaan pandangan mengenai tujuan dilaksanakannya pengangkatan anak. Pada hukum adat bahwa

tujuan pelaksanaan pengangkatan anak hanya semata-mata melanjutkan garis keturunan orang tua angkat . Terkait hal akibat hukumnya diantara hukum nasional dan adat juga memiliki pandangan yang berbeda . Syarat-syarat mengangkat yang diatur dalam hukum nasional juga berlainan dengan syarat-syarat yang diatur pada hukum adat , dalam hal ini terkhusus pada batas usia anak yang dapat diangkat.

Mengenai definisi tentang anak telah tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.35 tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dinyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun ( delapan belas tahunn ) termasuk anak yang masih ada dalam kandungan. Selanjutnya pada Undang-Undang No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak tercantum definisi tentang anak yaitu anak yang telah berumur 12 tahun (dua belas tahun ) , tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak juga tercantum definisi tentang anak yaitu anak adalah orang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah kawin. Lalu pada Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia juga mendefinisikan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Di Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata secara eksplisit juga termuat definisi mengenai anak yaitu seorang dianggap belum dewasa jika ia belum mencapai usia 21 tahun dan tidak pernah kawin sebelumnya.

Dilihat dari berbagai aturan hukum tersebut, maka ditemui suatu kesimpulan bahwa diantara suatu perundang-undangan dengan peraturan perundangan lainnya memberikan sebuah definisi anak yang berbeda-beda terutama dalam hal batasan usianya. Ketidakseragamnya batas usia diantara peraturan perundangan di Indonesia kerapkali memunculkan keambiguitasan dan pertanyaan dari berbagai kalangan mengenai batas usia mana yang sebenarnya digunakan. Pada hukum nasional, pengaturan hukum tentang batas usia anak dalam konteks pengangkatan anak , secara tegas sudah diatur pada PP Nomor 54 Tahun 2007 yang tercantum di pasal 12 tentang prasyarat mengangkat anak yakni ayat (1) bahwa anak yang diangkat ialah anak yang belum berumur 18 tahuun kemudian ayat (2) menerangkan anak yang belum mencapai usia delapan belas tahun itu meliputi anak yang belum berumur 6 tahun ialah diutamakan ,kemudian anak umur 6 tahun sampai dengan belum mencapai 12 tahun , sepanjang terdapat alasan yang mendesak serta anak umur 12 tahun sampai dengan blum 18 tahun, sepanjang anak membutuhkan perlindungan khusus.

Pandangan hukum adat bahwa mengangkat anak ialah suatu upaya untuk mengambil seorang anak yang bukan merupakan darah dagingnya lalu anak tersebut akan dirawat sebagaimana layaknya anak kandung . Masyarakat Indonesia sebagian besar lebih memilih untuk mengangkat anak dari kalangan lingkungan keluarga atau masih merupakan kerabat dekat yang dilakukan tanpa melalui prosedur pengadilan. Hal ini dilatarbelakangi oleh beberapa alasan yaitu tentunya terutama adalah tidak bisa memiliki keturunan , agar memperkuat tali kekeluargaan diantara orang tua angkat dengan orang tua bologis dari anak serta adanya rasa simpati terhadap anak itu. Pada masyarakat yang system kekeluargaaannya Patrilineal atau mengikuti garis keturunan dari bapak seperti halnya di Bali, kedudukan seorang anak itu benar-benar memutus ikatan diantara anak dengan orangtua biologis artinya bahwa anak angkat tersebut tidak memiliki kewajiban lagi untuk mengurus orang tua kandungnya .

11Anak yang diangkat itu akan menjadi pelengkap kebahagiaan dalam kehidupan pernikahan orangtua barunya , kedudukannya akan berubah menjadi seperti anak kandung. Selanjutnya bahwa mengangkat anak itu dilakukan melalui upacara yang disebut dengan ‘’pamerasan’’ ( pemutusan ) dengan orang tua kandungnya lalu mengakibatkan anak tersebut akan sepenuhnya menjadi anak dari orangtua yang mengangkat. Jika pelaksanaan pengangkatan anak tersebut di lakukan tanpa upacara pemerasan akan mengakibatkan ketidaksahan menurut hukum adat bali12.

Mengacu pada hukum nasional khusunya PP nomor .54 tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak bahwasanya sudah teramanatkan dengan sangat jelas bahwa untuk usia anak yang boleh diangkat ialah anak yang usianya belum mencapai usia delapan belas tahun . Pengaturan tersebut berbeda dengan hukum adat bali, tidak terdapat aturan yang mengkhususkan mengenai batasan usia anak yang dapat diangkat baik seorang anak yang baru lahir ataupun orang yang umurnya sudah kelih ( dewasa ) , mengangkat anak tidak diijinkan untuk diwakilkan bahkan dijumpai pula bahwa seorang anak terutama laki-laki beristri dan telah memiliki keturunan pun diperbolehkan untuk diangkat yang kemudian pada prosesnya harus dilaksanakan dengan sebuah upacara adat yang disaksikan pemangku dan dihadirkan pula saksi perangkat desa bersangkutan.13

  • 3.2    Legalitas Pengangkatan Anak Terhadap Orang yang Telah Berusia Lebih Dari

    18 Tahun dalam Perspektif Pluralism Hukum Di Indonesia

Indonesia meruapakan negara yang memiliki sebuah semboyan yaitu ‘’Bhinekka Tunggal Ika’’ . Semboyan ini merefleksikan bahwa adanya perbedaan dalam kesatuan yang tunggal. Indonesia dibangun beralaskan dengan fondasi mayarakat yang majemuk. Kemajemukan ini tentunya terdiri atas budaya , bahasa, ras , suku, agama yang berbeda . Adanya perbedaan diantara kemajemukan tersebut dimaknai sebagai realitas pluralismee yang mau saling memahami serta mengormati perbedaan yang ada demi terwujudnya persatuan bangsa dan negara.14 Pluralisme dalam system hukum ini berrarti bahwa tidak hanya satu system hukum saja yang berlaku akan tetapi terdapat system hukum lainnya yang berlaku dalam suatu wilayah. Indonesia merupakan sebuah negara yang menganut sebuah system yaitu pluralistic , yang artinya bahwa pada waktu yang bersamaan diberlakukan beberapa sistim hukum yaitu hukum barat, hukum negara, hukum agama dan tentu saja hukum adat. Sebagai salah satu hukum positif di Indonesia, hukum adat yakni merupakan pencerminan kepribadian bangsa dan juga sebagai peruwujudan jiwa bangsa dari masa ke masa. Tiap tiap daerah memiliki karakteristik adat yang berbeda akan tetapi dasar dan sifatnya tetap satu yaitu keindonesiannya.15 Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 teracantumkan bahwasanya

negara sangat menghormati keeeksistensian kesatuan masyarakat hukum adat dan juga hak tradisionalnya sepanjang bersesuaian dengan pekembangan masyarakat dan prinsip negara Indonesia , yang diatur dalam undang-undang. Substantsi pasal itu , menegaskan bahwa negara menghormati dan mengakui keeksistensian hukum adat sertapula masyarrakat adat. Maka , karena adanya pluralism hukum tersebut pengaturan mengenai pengangkatan anak bukan hanya berpedoman pada peraturan perundangan nasional tetapi diatur pula beradasarkan hukum adaat.

Pengangkatan anak dilakukan bukan hanya memperhatikan kepentingan calon orang tua angkat , namun juga mengutamakan kepentingan calon anak. Pelaksanaan pengangkatan anak ini tidak hanya semata-mata untuk memenuhi keinginan calon orang tua angkat untuk memperoleh keturunan namun pengangkatan tentunya harus memperhatikan hak anak tersebut di kemudian hari serta kepentingan-kepentingan anak yang bersangkutan. Dilakukannya pengangkatan anak ini harus memberikan suatu jaminan kepastian, keamanan, perlindungan, pemeliharaan serta pertumbuhan anak sehingga pengangkatan anak yang dilakukan akan memberikan peluang kepada calon anak angkat untuk hidup lebih baik dan sejahtera. Untuk memberikan jaminan kepastian hukum terhadap calon anak yang akan diangkat dibutuhkan beberapa aspek seperti kelengkapan terkait dengan dokumen-dokumen, syarat- syarat calon orang tua angkat serta hal-hal lainnya yang telah diatur dalam perundang-undangan yang menyangkut tentang pengangkatan anak. 16

Menurut hukum positif di Indonesia bahwa pengangkatan anak dilakukan sebagai upaya untuk melaksanakan perlindungan bagi anak. Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan mencantumkan definisi tentang anak, ‘’anak adalah anak yang belum mencapai 18 ( delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasannya’’. Kemudian menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ‘’ anak adalah seseorang yang belum berusia 18 ( delapan belas ) tahun dan termasuk pula anak yang masih ada dalam kandungan’’ Bunyi pasal dari dua peraturan tersebut ditemui bahwa menunjukkan suatu frasa yang sama terhadap apa yang dimaksud dengan anak yaitu ‘’ anak adalah anak yang belum mencapai usia 18 ( delapan belas ) tahun.’’ Sehingga, dapat disimpulkan bahwa jika seorang anak usianya sudah lebih dari 18 tahun maka ia bukan termasuk ke dalam kategori ‘’anak’’lagi. Jika dikaitkan dengan batas usia anak yang dapat diangkat menurut hukum nasional ialah anak yang usianya belum mencapai 18 tahun. Hal ini sesuai dengan syarat-syarat yang teramanatkan dalam Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak serta pada Peraturan Menteri Sosial tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.

Melakukan suatu perbuatan hukum haruslah sesuai dengan ketentuan yang telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan sama halnya dengan pelaksanaan pengangkatan anak ini , apabila dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan syarat-syarat yang sudah diatur secara tegas di dalam peraturan perundang-undangan khususnya dalam hal ini terkait dengan batasan usia yang digunakan maka jika terdapat sebuah keluarga atau calon orang tua angkat yang akan mengangkat anak namun usia anak tersebut didapati melampaui batas usia yang sudah diatur dalam hukum nasional yaitu anak yang dapat diangkat ialah belum mencapai usia 18 tahun akan

mengakibatkan pelaksanaan pengangkatan anak tersebut menjadi tidak sah di mata hukum. Dikatakan menjadi tidak sah karena syarat-syarat yang diamanatkan pada pasal 12 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No.54 tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak tersebut sudah diabaikan padahal syarat-syarat itulah yang akan menentukan bagaimana kriteria dari anak yang diangkat apakah ia layak untuk diangkat menjadi anak atau tidak serta anak yang diangkat diutamakan dibawah 18 tahun karena pada usia tersebut seorang masih memerlukan wali atau orang tua untuk melakukan segala perbuatan hukum dan dianggap belum dewasa sehingga memerlukan perlindungan hal ini dilakukan demi tercapainya hak-hak anak yang telah diatur pada UU tentang anak .

Pada hukum adat bali tidak terdapat aturan yang mengkhususkan terhadap hal batasan usia anak yang dapat diangkat , asalkan usia anak tersebut tidak melebihi usia orang tua yang mengangkatnya. Anak tersebut umumnya berusia dibawah 6 tahun. 17 Ditemukan pula pada masyarakat hukum adat Bali bahwa terdapat pengangkatan terhadap seseorang yang sudah berkeluarga dan memiliki anak yang terjadi di beberapa wilayah di Bali. Hal seperti ini diketahui dengan nama ‘’abut keladi’’. Pengangkatan anak ‘’abut keladi’’ ini terjadi di Desa Angantaka, Kecamatan Abiansmal, Kab. Badung. 18 Menurut hukum adat Bali bahwa hal yang paling menentukan sahnya suatu pelaksanaan pengangkatan anak ialah dengan upacara adat yang bernama ‘’pemerasan’’. Upacara adat tersebut kemudian akan disaksikan oleh pengurus desa adat yakni jero bendesa disertai dengan unsur-unsur perangkat pemerintahan desa lainnya tentunya juga para pihak keluaga.

IV.Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan , maka ada 2 sistem hukum yang diberlakukan untuk mengatur prihal pengangkatan anak di Indonesia, yakni hukum negara dan hukum adat. Bahwa diantara 2 sistem hukum tersebut, memiliki perbadaan pandangan mengenai hakikat pengangkatan anak. Namun perbedaan tersebut bukan merupakan suatu konflik norma, mengingat hukum negara mengakui keabsahan pengaturan hukum adat terkait pengangkatan anak. Jika bertolak dari konstitusi, maka pengangkatan anak terhadap orang yang sudah dewasa adalah hal yang legal menurut hukum, sepanjang sesuai dengan persyaratan dan ketentuann yang sudah ditentukan oleh hukum adat (khususnya ialah hukum adat Bali). Arguementasi ini juga berpedoman pada teori pluralisme hukum yang berlaku di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Colchester, Marcus dan Chaoi, Sophie. Beragam Jalur Menuju Keadilan:Pluralisme Hukum dan Hak-Hak Masyarakat Adat di Asia Tenggara ( Jakarta, Epistema Institute ,2012)

Korn,V.E. Hukum Adat Bali ( Denpasar,Udayana University Press ,2017 )

Soetojo, Prawirohamidjojo. Pluralisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia ( Surabaya, Airlangga University Press, 2019)

Zainal Asikin, Amiruddin dan H., Pengantar Metode Penelitian Hukum ( Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 2012 )

Jurnal

Bakri, Nada Farhana dan Sukirno , Sri Sudaryatmi. ’’Pelaksanaan Pengangkatan Anak Dan Dampaknya Dalam Harta Warisan Pada Masyarakat Adat Bali Perantauan Di DKI Jakarta.’’ Diponegoro Law Journal 6, No.2 (2017) : 1-12.

Bawananta, I Ngurah Primayuda. ’’Pengangkatan Anak dan Akibat Hukumnya Menurut Hukum Perdata dan Hukum Adat Bali ( Studi Kasus di Banjar Gempinis Desa Dalang Kecamatan Selemadeg Timur Kabupaten Tabanan).’’ Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha 5, No.3 (2017) : 1-11.

Fatih, Moh Khoirul. ’’Membumikan Pluralisme di Indonesia:Manajemen Konflik Dalam Masyarakat Multikultural.’’ Madinah:Jurnal Studi Islam 6, No. 1(2019): 29-38.

Heriawan, Muhammad. ’’Pengangkatan Anak Secara Langsung Dalam Perspektif Perlindungan Anak.’’ Jurnal Katalogis 5, No. 10 (2017): 175-179.

Junaidi.’’Motif dan akibat Hukum Pengangkatan Anak Dalam Perspektif Hukum --Adat dan Hukum Positif.’’ Jurnal Hukum dan Masyarakat Madani 10, No.2 (2020):192-201.

Matuankotta, K.Jenny. ’’Perlindungan Hukum Terhadap Anak Angkat Dalam Memperoleh Kejelasan Status Hukum Melalui Pencatatan Pengangkatan Anak ( Suatu Tinjauan Dari Perspektif Hak Asasi Manusia ).’’ Jurnal Sasi 17, No.3 (2011) : 70-79.

Murdan. ’’Pluralisme Hukum ( Adat dan Islam ) Di Indonesia.’’ Jurnal Kajian Hukum Islam 1, No.1 (2016) : 48-59.

Mahajony, Ketut Rai. ’’ Ko-Eksistensi Hukum Negara dan Hukum Adat Bali dalam Pengangkatan Anak ( Studi di Desa Adat Lantangidung, Kecamatan Sukawati,Kabupaten Gianyar ).’’ Jurnal Analogi Hukum 3, No. 2(2021) : 245-250.

Nurhayati, Yati dan Said, M.Yasir. ’’Metodologi Normatif dan Empiris Dalam Perspektif Ilmu Hukum.’’ Jurnal Penegakan Hukum Indonesia ( JPHI ) 2, No.1 (2021) : 1-20.

Pramana,I Gede Pasek. ’’Tinjauan Hukum Tentang Pengangkatan Anak Terlantar di Bali.’’ Jurnal Advokasi 7, No. 1 (2017) : 12-23.

Pramana, I Gede Pasek dan Giri, Ni Putu Niti Suari. ’’Pengangkatan Anak Beda Kasta Dalam Perspektif Hukum dan Hak Asasi Manusia.’’ Jurnal Hukum Saraswati 2, No.1 (2020): 80-97.

Sanjiwani, I Gusti Agung Ayu Sukma. ’’Pluralisme Hukum Dalam Perbuatan Hukum Pengangkatan Anak di Bali.’’ Jurnal Magister Hukum Udayana 4, No.4 (2015) : 661668.

Susylawati, Eka. ’’Eksistensi Hukum Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia.’’Jurnal Al-Ihkam IV, No.1 ( 2012 ) : 125-140

Tobing,R.Sondang,’’ Pengangkatan Anak Dalam Kajian Perspektif Hukum Islam.’’Jurnal Solusi 19, No.3 (2021) : 425-432.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3143 )

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886 )

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235 ) Sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606 )

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332 )

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4768 )

Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 110 / HUK / 2009 Tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 7 Tahun 2022 hlm 676-688

688