ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 12 NO.1,JANUARI, 2023


Diterima: 2022-12-15 Revisi: 2022-12-30 Accepted: 25-01-2023

HUBUNGAN SHIFT MALAM TERHADAP PENYAKIT REFLUKS GASTROESOFAGUS PADA PERAWAT DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH

Putu Novi Handayani1, Cokorde Istri Yuliandari Krisnawardani Kumbara2, I Gde Raka Widiana2, Ketut Tuti Parwati Merati2

  • 1.    Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

  • 2.    Departemen Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar, Indonesia Corresponding author: Putu Novi Handayani e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penyakit Refluks Gastroesofagus atau Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) merupakan salah satu penyakit gastrointestinal yang sering terdiagnosis di dunia dengan prevalensi yang terus meningkat setiap tahun. Terdapat beberapa studi yang menyatakan bahwa shift malam dapat meningkatkan risiko tejadinya GERD. Salah satu kelompok pekerja yang sering menjalani rotasi shift malam adalah perawat yang bertugas di rumah sakit. Sehingga, Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara shift malam terhadap penyakit refluks gastroesofagus pada perawat. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan potong lintang. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan purposive sampling dengan menyebarkan kuesioner pada 161 perawat di RSUP sanglah yang dibagi menjadi 85 perawat yang bertugas di Instalasi Rawat Inap dan bekerja shift malam serta 76 perawat Instalasi Rawat Jalan yang bekerja shift pagi. Hasil penelitian ini ditemukan hubungan yang signifikan antara shift malam terhadap penyakit refluks gastroesofagus (nilai p=0,013; Rasio Prevalensi= 3; 95% Interval Kepercayaan 1,18-7,84) pada uji chi square. Selanjutnya pada analisis regresi logistik diperoleh AOR (Adjusted Odd Ratio) pada shift malam sebesar 3,61 dengan IK95% (1,05-12,52) dan tidak diperoleh hubungan yang signifikan antara variabel lainnya terhadap GERD. Sehingga perawat yang menjalani shift malam berisiko 3,61 kali lebih tinggi untuk mengalami GERD.

Kata kunci : Shift malam, Penyakit Refluks Gastroesofagus, Perawat

ABSTRACT

Gastroesophageal reflux disease is one of the most frequently diagnosed gastrointestinal diseases in the world with a prevalence that continues to increase every year. There are several studies state that night shifts can increase the risk of GERD. One group of workers who often undergo night shift rotation are nurses who work in hospitals. This study aims to determine the correlation between night shift work and gastroesophageal reflux disease among nurses. This study is an analytical study with a cross-sectional design. The data collection technique was carried out by purposive sampling by distributing questionnaires to 161 nurses on duty at Single Hospital which were divided into 85 Inpatient Installation nurses who worked night shifts and 76 Outpatient Nurses who worked morning shifts. This study found a significant correlation between night shift work and gastroesophageal reflux disease (p value = 0,013; Prevalence Ratio = 3; 95% Confidential Interval 1,18-7,84) by the chi square test. Furthermore, by the logistic regression analysis of night shift and GERD, the AOR (Adjusted Odd Ratio) was 3,61 with 95% CI (1,05-12,52) and other variable like age, gender, BMI and fast food consumption habits on GERD did not shown any significant result. There is a significant correlation between night shift work and gastroesophageal reflux disease. Nurses who undergo night shifts have a 3,61 times higher risk of experiencing GERD.

Keywords : Night Shift Work, Gastroesophageal Reflux Disease, Nurse

  • 1.    PENDAHULUAN

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) merupakan salah satu penyakit gastrointestinal yang paling sering terdiagnosis di dunia dengan angka kejadian di Negara berkembang menunjukkan peningkatan setiap tahunnya.(1) GERD didefinisikan sebagai suatu kondisi patologis berupa cairan lambung yang mengalami refluks secara involunter menuju esofagus.(1) Kondisi patologis ini ditimbulkan oleh ketidakseimbangan faktor defensif dan faktor agresif berupa gangguan pada Gastroesofageal Junction (GEJ), mekanisme pembersihan asam esofagus serta resistensi jaringan serta gangguan pada isi lambung.(2) Refluks patologis pada GERD juga mengakibatkan terganggunya fungsi esofagus, laring serta saluran napas yang dapat menimbulkan berbagai gejala berupa gejala tipikal dan atipikal.(2) Salah satu gejala tipikal dari GERD adalah heartburn yang dideskripsikan sebagai sensasi terbakar yang timbul di area retrosternal atau dada bagian bawah lalu menjalar ke arah leher, kerongkongan dan terkadang hingga ke daerah punggung.(3) Selain heartburn, gejala khas lainnya adalah kesulitan menelan (disfagia) dan regurgitasi. Adapun gejala tidak khas atau atipikal pada GERD berupa manifestasi gejala ekstra esofagus yang meliputi nyeri dada non kardiak, suara serak, sendawa, cegukan, mual muntah, batuk, asma, laringitis, bronkiektasis, gangguan tidur dan erosi enamel gigi.(4–6) Diagnosis GERD dapat ditegakkan melalui Gastroesophageal Reflux Disease Questionnaire (GERDQ) melalui pendekatan berbasis gejala dan respon pengobatan pada pasien.(7) GERDQ memiliki sensitivitas sebesar 65% dan spesifisitas 71% serta telah tervalidasi dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.(7,8)

Di Amerika Serikat, jumlah kasus dengan diagnosis GERD pada kunjungan klinik rawat jalan hampir mencapai 9 juta kunjungan pada tahun 2009.(8) Di Asia, prevalensi GERD bervariasi antara 3-5% dengan terus mengalami peningkatan dalam beberapa waktu belakangan khususnya di Indonesia.(2) Berdasarkan penelitian di Indonesia, prevalensi kasus GERD di daerah Jakarta cukup tinggi yaitu 13,3% pada tahun 2017.(9) Sedangkan pada pasien dengan keluhan dispepsia yang datang ke rumah sakit umum menunjukkan angka kejadian penyakit refluks gastroesofagus yang tinggi sebesar 44%.(10) Adapun faktor risiko dari penyakit refluks gastroesofagus sangat beragam. Berdasarkan data dari banyak penelitian didapatkan bahwa usia, merokok, alkohol, teh, dan Indeks Massa Tubuh (IMT) di atas normal membawa pengaruh penting terhadap terjadinya GERD.(2,10)

Salah satu profesi yang rentan mengalami GERD adalah perawat. Di korea, angka kejadian GERD pada perawat mencapai 15,3%.(11) Profesi perawat umumnya memiliki jam kerja cukup panjang dan tidak jarang menjalani rotasi shift selama bekerja khususnya shift malam. Shift malam merupakan salah satu faktor risiko dari munculnya gejala GERD pada profesi yang bekerja dengan rotasi shift

khususnya tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit.(12) Berdasarkan penelitian, profesi yang bekerja menjalani shift malam 1,38 kali berpotensi mengalami GERD.(13) Pada penelitian di Korea, profesi perawat yang menjalani shift malam cenderung mengalami penurunan kualitas tidur, dan mengalami gangguan kebiasaan makan.(11) Kondisi penurunan kualitas tidur dapat mengganggu irama sirkadian dan produksi hormon melatonin yang memiliki efek protektif pada mukosa saluran cerna dan otot esofagus bawah, sehingga hal ini dapat mengakibatkan peningkatan risiko terjadinya GERD.(14,15) Hingga saat ini, belum terdapat penelitian mengenai GERD pada profesi perawat di Indonesia, khusunya hubungan antara shift malam terhadap GERD pada perawat yang bertugas di rumah sakit. Mengingat hal ini cukup penting untuk dilakukan sebagai upaya dalam menjaga kualitas pelayanan perawat di rumah sakit, sehingga penelitian ini didesain untuk mengetahui hubungan shift malam terhadap penyakit refluks gastroesofagus pada perawat di RSUP Sanglah.

  • 2.    METODE

Penelitian analitik cross sectional ini bertujuan untuk mengetahui hubungan shift malam terhadap penyakit refluks gastroesofagus pada perawat di RSUP Sanglah. Penelitian ini telah memperoleh keterangan laik etik dari Komisi Etik Penelitian FK Unud/RSUP Sanglah dan telah memperoleh izin penelitian dari Bagian Pendidikan dan Penelitian RSUP Sanglah. Penelitian dilaksanakan selama 5 bulan dari bulan mei-september dengan mengumpulkan data primer berupa kuesioner yang disebarkan melalui google form dengan teknik pengumpulan data secara purposive sampling. Kuesioner yang disebarkan terbagi menjadi 3 bagian yaitu: 1. Bagian biodata responden yang meliputi nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, tinggi badan dan berat badan

  • 2.    Bagian analisis faktor risiko berupa kebiasaan merokok aktif, kebiasaan mengkonsumsi alkohol yang didefinisikan sebagai mengkonsumsi alkohol >5 kali dalam satu minggu, kebiasaan mengkonsumsi makanan cepat saji yang didefinisikan sebagai mengkonsumsi makanan cepat saji ≥3 kali dalam seminggu, kebiasaan mengkonsumsi teh dan minuman berkarbonasi yang didefinisikan sebagai mengkonsumsi >1 kali dalam seminggu, Indeks Massa Tubuh (IMT) dan shift malam yang didefinisikan dengan menjalani shift malam minimal 3 kali dalam 1 bulan.

  • 3.    Bagian kuesioner GERDQ yang telah tervalidasi di Indonesia, terdiri dari 6 pertanyaan berbasis gejala dan respon terhadap pengobatan dengan diagnosis GERD ditegakkan saat skor GERDQ pada responden sebesar ≥8.

Kuesioner disebarkan pada perawat yang bertugas shift malam di Instalasi Rawat Inap dan shift pagi di Instalasi Rawat Jalan RSUP Sanglah. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah Perawat yang bekerja di Instalasi Rawat Jalan dan Instalasi Rawat Inap RSUP Sanglah selama periode penelitian serta bersedia mengisi kuesioner secara lengkap setelah menyetujui inform consent. Sedangkan, perawat yang sedang hamil selama periode penelitian dan perawat dengan

diagnosis gangguan organik pada lambung yang telah ditegakkan dengan endoskopi dieksklusi. Data yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis melalui analisis univariat untuk mengetahui karakteristik setiap variabel pada subjek yang menjalani shift malam dan shift pagi. Selanjutnya, data dianalisis secara bivariat dengan uji chi square untuk mengetahui hubungan antara variabel terikat dengan seluruh variabel bebas, lalu dilanjutkan pada analisis multiple regresi logistik biner untuk menyingkirkan efek dari variabel yang berpotensi sebagai perancu. Variabel yang berhubungan secara statistik dinyatakan dengan nilai p<0,05.

  • 3.    HASIL

Sebanyak 161 perawat di RSUP Sanglah berpartisipasi dalam penelitian ini dengan rincian 85 perawat bertugas shift malam dari Instalasi Rawat Inap dan 76 perawat bertugas shift pagi dari Instalasi Rawat Jalan. Karakteristik peserta penelitian sesuai pada Tabel 1 ditemukan bahwa Peserta penelitian didominasi oleh jenis kelamin perempuan sebanyak 78,8% pada kelompok shift malam dan 78,9% pada kelompok shift pagi. Rerata umur dan standar deviasi (SD) pada kelompok shift malam adalah 32,8 ± 5,9 tahun. Sedangkan pada kelompok shift pagi adalah 47,9 ± 7,7 tahun.

Tabel 1. Karakteristik Responden Penelitian Berdasarkan Shift Pagi dan Shift Malam

Variabel

Kelompok

Shift Malam

Shift Pagi

Jenis Kelamin Laki-laki

Perempuan

18 (21,2%)

67 (78,8%)

16 (21,1%)

60 (78,9%)

Umur (th) rerata ± SD

32,8 ± 5,9

47,9 ± 7,7

IMT (kg/m2)

23,5 ± 3,2

25,4 ± 3,3

Merokok

Ya Tidak

1 (1,2%)

84 (98,8%)

3 (3,9%)

73 (96,1%)

Alkohol

> 5 kali seminggu

≤ 5 kali seminggu Tidak

0 (0%)

2 (2,4%)

83 (97,6%)

0 (0%)

1 (1,3%)

75 (98,7%)

Teh

Ya

Tidak

10 (11,8%)

75 (88,2%)

12 (15,8%)

64 (84,2%)

Makanan cepat saji

Ya Tidak

9 (10,6%)

76 (89,4%)

6 (7,9%)

70 (92,1%)

Minuman berkarbonasi

Ya

Tidak

5 (5,9%)

80 (94,1%)

3 (3,9%)

73 (96,1%)

Pada kelompok shift malam, rerata dan standar deviasi IMT adalah sebesar 23,5 ± 3,2 kg/m2 dan kelompok shift pagi sebesar 25,4 ± 3,3 kg/m2. Selanjutnya, kebiasaan merokok dari kedua kelompok peserta penelitian cenderung sedikit yaitu 1,2% dari kelompok shift malam dan 3,9% dari shift pagi. Sama halnya dengan kebiasaan merokok, kebiasaan mengkonsumsi alkohol pada kedua kelompok peserta penelitian juga cenderung kecil yaitu 2,4% kelompok shift malam terbiasa mengkonsumsi alkohol ≤5 kali dalam 1 minggu sedangkan pada kelompok shift pagi sebesar 1,3%, serta tidak ada peserta penelitian yang mengkonsumsi alkohol >5 kali dalam 1 minggu. Kebiasaan mengkonsumsi teh lebih sering pada kelompok shift pagi, sedangkan kebiasaan mengkonsumsi makanan cepat saji dan minuman berkarbonasi cenderung lebih sering dilakukan oleh kelompok shift malam.

Tabel 2. Perbandingan Kelompok GERD terhadap Shift Malam dan Shift Pagi

Variabel

GERD                       IK95% (Batas             Nilai P

Rasio Prevalensi

Ya    Tidak          (PR)       bawah-batas

atas)

Shift Malam

Shift Pagi

17 (20%)  68 (80%)

*

5 (6,6%)   71 (95,4%)          3,0            1,18-7,84                       0,013


*Nilai P <0,05 signifikan secara statistik

Berdasarkan hasil uji chi square pada Tabel 2, bertugas shift malam dibandingkan shift pagi adalah sebesar terdapat 20% dari 85 perawat yang menjalani shift malam    3,0 (IK95% 1,18-7,84) dengan nilai p=0,013 sehingga dapat

terdiagnosis GERD sedangkan pada shift pagi terdapat 6,6%   ditarik kesimpulan bahwa shift malam berhubungan

dari total 76 perawat shift pagi yang terdiagnosis GERD. terhadap terjadinya GERD.

Sehingga rasio prevalensi GERD antara perawat yang


Tabel 3. Perbandingan kelompok GERD terhadap variabel lainnya

Variabel

GERD            Rasio

IK 95% (Batas Prevalensi                                 Nilai P

a              a                   bawah-batas atas)

(RP)

Jenis kelamin Laki-laki Perempuan

2 (5,9%)      32 (94,1%)        0,37          0,09-1,52                   0,137**

20 (15,7%)    107 (84,3%)

Usia


≥35 Tahun

< 35 Tahun

11 (10,8%)

11 (18,6%)

91 (89,2%)

48 (81,4%)

0,58

0,27-1,25

0,162**

IMT

Overweight Normal

5 (7,8%) 17 (17,5%)

59 (92,2%)

80 (82,5%)

0,45

0,17-1,15

0,079**

Merokok

Ya Tidak

0 (0%) 22 (14%)

4 (100%)

135 (86%)

1,16

1,09-1,24

0,420

Alkohol

>5x seminggu ≤5x seminggu Tidak

0 (0%)

0 (0%)

22 (13,9%)

0 (0%)

3 (100%) 136 (86,1%)

1,16

1,09-1,24

0,487

Teh

Ya Tidak

4 (18,2%)

18 (12,9%)

18 (81,8%)

121 (87,1%)

1,40

0,52-3,76

0,507

Makanan cepat saji

Ya Tidak

4 (26,7%)

18 (12,3%)

11 (73,3%)

128 (87,7%)

2,16

0,84-5,56

0,128**

Minuman berkarbonasi

Ya

Tidak

1 (12,5%)

21 (13,7%)

7 (87,5%) 132 (86,3%)

0,91

0,14-5,94

0,922

*Nilai P <0,05 signifikan secara statistik, **Dilanjutkan pada analisis multiple regresi logistik biner


Hasil uji chi square pada Tabel 3, diperoleh bahwa jenis kelamin, usia, IMT, kebiasaan merokok, alkohol, mengkonsumsi teh, makanan cepat saji dan minuman berkarbonasi tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap GERD (nilai p>0,05). Namun, variabel jenis kelamin, usia, IMT dan kebiasaan mengkonsumsi makanan cepat saji berpotensi sebagai variabel perancu (nilai p<0,25) sehingga selanjutnya akan dilakukan analisis multiple regresi logistik biner.

Tabel 4. Hasil Analisis Multiple Regresi Logistik Hubungan Shift Malam terhadap GERD setelah Menyingkirkan Variabel Perancu

Variabel

AOR (Adjusted Odd Ratio)

IK95% (Batas bawah-batas atas)

Nilai P

Shift malam

3,61

1,05-12,52

0,043*

Usia (< 35 tahun)

1,31

0,41-4,15

0,647

Jenis kelamin (Perempuan)

0,35

0,07-1,66

0,186

Normal (IMT < 25.0 kg/m2)

0,48

0,16-1,46

0,196

Fast food

3,04

0,76-12,18

0,117

*Nilai P <0,05 signifikan secara statistik

Berdasarkan hasil analisis multiple regresi logistik biner pada Tabel 4 antara shift malam terhadap variabel yang berpotensi sebagai perancu seperti jenis kelamin, usia, IMT dan kebiasaan mengkonsumsi makanan cepat saji terhadap GERD, diperoleh hasil bahwa shift malam memiliki hubungan yang signifikan terhadap terjadinya GERD

dengan nilai p=0,043 (AOR 3,61; IK95% 1,04-12,52) serta tidak terdapat hubungan yang signifikan antara variabel yang berpotensi menjadi perancu terhadap terjadinya GERD.

  • 4.    PEMBAHASAN

Salah satu profesi yang cukup berisiko mengalami GERD adalah tenaga kesehatan. Pada tahun 2016, proporsi GERD pada profesi dokter di Indonesia mencapai angka 27,4%.(12) Sedangkan di Korea Selatan, 15,3% perawat berisiko tinggi untuk mengalami GERD.(11) Pada penelitian ini, ditemukan sebanyak 13,6% perawat mengalami GERD dengan perawat yang menjalani shift malam memiliki hubungan yang signifikan dan berisiko 3,61 kali lebih tinggi untuk mengalami GERD.

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa shift malam merupakan salah satu faktor risiko independen dalam menyebabkan GERD pada pasien rawat jalan di China.(13) Pada pekerja pabrik mobil di Iran, pekerja dengan shift malam berpotensi lebih tinggi mengalami GERD.(16) Pekerja yang menjalani rotasi shift malam 3,66 kali lebih berisiko mengalami gejala GERD dibandingkan pekerja dengan shift pagi.(15) Penelitian di Korea Selatan menemukan bahwa GERD yang didiagnosis melalui esophagogastroduodenoscopy pada pekerja shift malam lebih cenderung pada klasifikasi GERD dengan kriteria tanpa cedera mukosa esofagus dan GERD dengan axis cedera <5 mm yang terbatas pada lipatan mukosa.(17)

Bertugas shift malam di suatu rumah sakit memiliki durasi terpanjang dibandingkan shift lainnya. Shift malam dapat mengakibatkan terganggunya irama sirkadian pada tubuh yang bertugas dalam mengontrol motilitas usus, sekresi asam lambung, mengatur dan memelihara barrier mukosa esofagus, mensekresi enzim pencernaan, serta menjaga kekebalan sistem imun saluran cerna.(15) Ketika irama sirkadian terganggu, seluruh faktor protektif tersebut juga akan turut terganggu, hal inilah yang akan meningkatkan risiko terjadinya refluks gastroesofagus pada

pekerja shift malam. Selain itu, gangguan irama sirkadian juga dapat mengganggu produksi hormon melatonin. Hormon melatonin diketahui memiliki efek protektif seperti antiinflammatory pada mukosa saluran cerna, mengurangi sekresi asam lambung serta meningkatkan motilitas dari Lower Esophageal Sphincter (LES) yang lemah.(18) Ketika sekresi hormon melatonin terganggu, motilitas LES akan mengalami penurunan diikuti dengan peningkatan sekresi asam lambung serta terganggunya efek proteksi dari mukosa saluran cerna sehingga rentan mengakibatkan terjadinya penyakit refluks gastroesofagus.(14)

Pekerja yang menjalani shift malam juga cenderung untuk memiliki pola makan yang terganggu. Berdasarkan penelitian sebelumnya, pekerja dengan rotasi shift malam cenderung untuk mengkonsumsi snack lebih sering dibandingkan yang tidak menjalani shift malam.(19) Hal ini dapat terjadi akibat meningkatnya hormon ghrelin dan penurunan hormon leptin pada pekerja shift malam sehingga meningkatkan food craving dan berakibat pada pola makan yang irregular.(20) Pola makan yang irregular merupakan faktor predisposisi dalam menyebabkan obesitas abdominal. Selain itu, interval makan ke tidur (meal-to-sleep intervals) yang pendek pada pekerja shift malam juga dapat menyebabkan relaksasi transien pada LES.(17)

Pada penelitian ini, tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara variabel lain seperti jenis kelamin, usia, IMT, merokok, alkohol, teh, makanan cepat saji dan minuman berkarbonasi terhadap GERD. Penelitian yang dilaksanakan di Indonesia dan Arab Saudi yang menemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin terhadap GERD.(5,21) Jenis kelamin laki-laki ataupun perempuan tidak memiliki pengaruh yang berbeda terhadap gejala GERD seperti heartburn, regurgitasi ataupun nyeri dada non kardiak.(2) Namun, studi meta-analisis tahun 2020 menemukan bahwa perempuan sedikit lebih berisiko mengalami GERD.(22) Hingga saat ini, terdapat variasi yang cukup banyak pada literatur mengenai pengaruh jenis kelamin terhadap GERD dan belum ditemukan mekanisme yang benar-benar jelas mengenai pengaruh jenis kelamin terhadap GERD. Terdapat kemungkinan bahwa faktor hormonal berpengaruh terhadap GERD.(23)

Perbedaan literatur juga ditemukan pada hubungan antara usia terhadap GERD. Beberapa penelitian menyatakan bahwa usia di atas 50 tahun berisiko mengalami GERD.(9,24) Namun studi cohort yang dilaksanakan di Amerika serikat pada tahun 20062016 menemukan bahwa proporsi GERD cenderung menurun pada usia tua dan meningkat pada usia muda, khususnya dewasa muda.(25) Hasil pada penelitian ini selaras dengan penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa usia tidak berhubungan terhadap terjadinya GERD.(11,26) Perbedaan hasil penelitian antara usia terhadap GERD dapat terjadi akibat perbedaan paparan faktor risiko GERD terhadap variasi usia pada subjek, selain itu persepsi yang berbeda dalam merasakan sensasi lambung pada usia tertentu juga dapat memberikan peran yang signifikan terhadap gejala refluks esofagus yang dirasakan oleh subjek.(24,25)

Pada penelitian ini, IMT normal lebih banyak mengalami GERD dibandingkan overweight, namun IMT secara statistik tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap GERD (p=0,079). Berbeda dari studi meta-analisis dan penelitian lainnya yang menemukan bahwa overweight dapat meningkatkan risiko GERD.(22,27) Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian pada

pekerja yang bertugas shift malam di Iran dan penelitian di Arab Saudi yang menemukan bahwa tidak ada hubungan antara IMT terhadap GERD.(16,28) Selain itu, hasil penelitian di Korea selatan menemukan bahwa subjek yang mengalami obesitas sentral dan tidak mengalami obesitas general (yang diukur melalui IMT) memiliki hubungan yang lebih signifikan terhadap GERD.(24) Obesitas sentral merupakan prediktor independen terhadap GERD.(29) Hal ini diperkuat dengan penelitian pada pasien dengan gejala gastrointestinal bawah yang menjalani esophagogastroduodenoscopy, bahwa obesitas sentral memiliki bukti yang lebih signifikan terhadap faktor risiko GERD dibandingkan obesitas general yang diukur melalui IMT.(27) Kondisi ini dapat disebabkan oleh peningkatan jaringan adiposa di rongga abdomen mengakibatkan peningkatan tekanan intraabdominal sehingga otot sfingter esofagus bawah mengalami relaksasi dan menginduksi terjadinya refluks gastroesofagus pada pasien dengan obesitas sentral.(24,30) Penelitian ini terbatas melakukan pengukuran IMT dan tidak melakukan pengukuran antara obesitas sentral terhadap GERD, sehingga pada penelitian selanjutnya, perlu dilakukan penelusuran lebih lanjut mengenai pengaruh antara obesitas sentral terhadap risiko GERD.

Kebiasaan merokok kedua kelompok peserta pada penelitian ini cenderung rendah. Hal ini dapat terjadi akibat peserta penelitian merupakan tenaga kesehatan profesional (perawat) yang memiliki kesadaran tinggi terhadap bahaya merokok sehingga tingkat kebiasaan merokok pada perawat di RSUP Sanglah Denpasar cenderung rendah dan hal ini berdampak pada hasil analisis bahwa, merokok tidak memiliki hubungan terhadap terjadinya GERD (p>0,05). Hasil ini didukung oleh penelitian meta-analisis dan penelitian pada perawat di Korea selatan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara kebiasaan merokok aktif dengan prevalensi GERD.(11,22)

Berdasarkan penelitian terdahulu, kadar alkohol di dalam tubuh manusia memberikan efek yang linear terhadap GERD. Subjek yang mengkonsumsi alkohol >5x/minggu memiliki hubungan yang kuat terhadap GERD, sedangkan efek yang lebih rendah diperoleh jika frekuensi mengkonsumsi alkohol juga rendah.(31) Dalam penelitian ini, alkohol tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap GERD (nilai p>0,05). Hasil ini memiliki kesamaan pada perawat di korea selatan bahwa konsumsi alkohol tidak berpengaruh terhadap GERD.(11) Sama halnya dengan kebiasaan merokok, kebiasaan mengkonsumsi alkohol yang rendah ini dapat terjadi akibat perawat memiliki pemahaman yang tinggi terkait risiko mengkonsumsi alkohol yang berlebihan terhadap kesehatan, sehingga rendahnya jumlah perawat yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi alkohol mengakibatkan kebiasaan mengkonsumsi alkohol tidak berpengaruh signifikan terhadap angka kejadian GERD.

Kebiasaan mengkonsumsi teh tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap terjadinya GERD pada perawat di RSUP Sanglah. Hal ini selaras dengan penelitian meta-analysis dan penelitian lain yang menyatakan bahwa tidak terdapat korelasi antara mengkonsumsi teh terhadap GERD.(29,32) Namun, pada survey multicenter nasional di China menemukan bahwa kebiasaan mengkonsumsi strong tea memiliki hubungan yang signifikan terhadap gejala GERD.(33) Kandungan theofilin dalam teh diduga menjadi komponen yang penting sebagai penyebab terjadinya kelemahan pada otot sphincter esofagus yang meningkatkan risiko terjadinya refluks.(32) Sehingga perbedaan

hasil pada penelitian ini dengan beberapa penelitian sebelumnya dapat diakibatkan dari perbedaan kadar theofilin pada jenis teh yang digunakan, perbedaan proses produksi, serta perbedaan budaya dalam mengkonsumsi teh yang berpengaruh terhadap hasil penelitian.(33) Penelitian ini terbatas mencari hubungan antara kebiasaan mengkonsumsi teh tanpa mengukur kadar theofilin dalam teh yang dikonsumsi, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait jenis teh yang dikonsumsi serta kadar kandungan theofilin yang berpengaruh signifikan terhadap GERD.

Pada penelitian yang dilaksanakan di Arab Saudi, kebiasaan mengkonsumsi fast food secara teratur memiliki hubungan yang signifikan terhadap GERD.(34) Namun, kebiasaan mengkonsumsi makanan cepat saji (fast food) pada penelitian ini tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap GERD (p>0,05). Hasil ini didukung oleh penelitian sebelumnya bahwa konsumsi fast food tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap GERD.(29) Namun, belum ditemukan mekanisme yang jelas antara makanan cepat saji terhadap etiologi terjadinya GERD. Hal ini dapat terjadi akibat belum banyak terdapat penelitian yang membahas mengenai fast food dan mekanismenya dalam menginduksi risiko terjadinya GERD.(22,35)

Pada penelitian ini, minuman berkarbonasi tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap GERD. Penelitian meta-analisis sebelumnya menemukan bahwa pasien dengan frekuensi kebiasaan mengkonsumsi minuman berkarbonasi yang sering, lebih berisiko dalam mengalami GERD dibandingkan yang tidak pernah mengkonsumsi minuman berkarbonasi.(22) Namun, beberapa penelitian dan systematic review lainnya menemukan bahwa minuman berkarbonasi tidak berpengaruh secara signifikan dengan terjadinya GERD ataupun eksaserbasi pada GERD dengan komplikasi.(29,36) Penurunan pH esofagus hanya berlangsung kurang lebih 90 detik. Ini merupakan periode penurunan pH terpendek dibandingkan minuman lain seperti jus lemon dan jus strawberry, sehingga minuman berkarbonasi tidak memiliki bukti langsung terhadap terjadinya GERD.(36)

Penulis tentunya menyadari keterbatasan dalam penelitian ini. Pengambilan data primer dalam penelitian ini terbatas pada kuesioner dan tidak melakukan observasi secara langsung. Studi ini telah menunjukkan korelasi antara GERD dan shift malam. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mencari hubungan antara GERD, shift malam, produktivitas kerja dan obesitas abdominal.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil pada penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa shift malam merupakan faktor risiko independen terhadap GERD. Dengan demikian, perawat yang menjalani shift malam memiliki risiko lebih dari tiga setengah kali mengalami GERD.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada dr. I Wayan Sudana, M.Kes selaku direktur RSUP Sanglah Bali, dan Dr. dr. Komang Januartha Putra Pinatih, M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana serta seluruh peserta penelitian yang turut berkontribusi dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Choi JM, Yang JI, Kang SJ, Han YM, Lee J, Lee C, et al. Association between anxiety and depression and gastroesophageal reflux disease: Results from a large crosssectional study. J Neurogastroenterol  Motil;  2018;

24(4):593–602. Available from: /pmc/articles/PMC6175551/

  • 2.    Tarigan R, Pratomo B. Analisis Faktor Risiko Gastroesofageal Refluks di RSUD Saiful Anwar Malang. J Penyakit Dalam Indones; 2019; 6(2):78. Available from: http://jurnalpenyakitdalam.ui.ac.id/index.php/jpdi/article/vie w/306

  • 3.    Richter JE, Rubenstein JH. Presentation and Epidemiology of Gastroesophageal Reflux Disease. Gastroenterology; 2018;       154(2):267–76.       Available       from:

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28780072/

https://adoc.pub/obesity-as-risk-factor-of-gastroesophageal-reflux-disease.html

  • 6.    Patrick L. Gastroesophageal reflux disease (GERD): A review of conventional and alternative treatments; Vol. 16, Alternative Medicine Review. 2011; p. 116–33. Available from:

https://www.researchgate.net/publication/51198815_Gastroe sophageal_Reflux_Disease_GERD_A_Review_of_Convent ional_and_Alternative_Treatments

  • 7.    Puspita FC, Putri LA, Rahardja C, Utari AP, Syam AF. Prevalence of Gastroesophageal Reflux Disease and Its Risk Factors In Rural Area. Indones J Gastroenterol Hepatol Dig Endosc; 2017; 18(1):9. Available from: http://www.ina-

jghe.com/index.php/jghe/article/view/608

  • 8.   Ciriza-de-los-Ríos C. Questionnaires for the diagnosis of

gastroesophageal reflux disease: Are they really useful for a diagnostic goal? Rev Esp Enfermedades Dig; 2016;

108(4):171–3.               Available               from:

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26938193/

  • 9.    Puspita FC, Putri LA, Rahardja C, Utari AP, Syam AF. Prevalence of Gastroesophageal Reflux Disease and Its Risk Factors In Rural Area. Indones J Gastroenterol Hepatol Dig Endosc; 2017; 18(1):9. Available from: http://www.ina-

jghe.com/index.php/jghe/article/view/608

  • 10.    Darnindro N, Manurung A, Mulyana E, Harahap A. Prevalence of Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) in Dyspepsia Patients in Primary Referral Hospital. Indones J Gastroenterol  Hepatol Dig  Endosc; 2018;  19(2):91.

Available              from:              http://www.ina-

jghe.com/index.php/jghe/article/view/666

  • 11.    Kim O, Jang HJ, Kim S, Lee HY, Cho E, Lee JE, et al. Gastroesophageal reflux disease and its related factors among women of reproductive age: Korea Nurses’ Health

Study. BMC Public Health; 2018; 18(1). Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30241473/

  • 12.    Syam AF, Hapsari PF, Makmun D. The Prevalence and Risk Factors of GERD among Indonesian Medical Doctors. Makara J Heal Res;   2016; 20(2):35. Available from:

https://scholarhub.ui.ac.id/mjhr

  • 13.    Li YM, Du J, Zhang H, Yu CH. Epidemiological investigation in outpatients with symptomatic gastroesophageal reflux from the Department of Medicine in Zhejiang Province, east China. J Gastroenterol Hepatol. 2008;23(2):283–9.

  • 14.    Bang CS, Yang YJ, Baik GH. Melatonin for the treatment of gastroesophageal reflux disease; protocol for a systematic review and meta-analysis. Medicine (Baltimore); 2019; 98(4):e14241.               Available               from:

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30681611/

  • 15.    Xue J, Zhao Y, Wang Z, Ren N, Zhou C, Qin S. Rotating night shift work is associated with an increased risk of gastroesophageal reflux disease (GERD) symptoms among workers in China: A cross-sectional study. Int J Clin Pract; 202;           75(4).           Available           from:

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33220144/

  • 16.    Najafimehr H, Ashtari S, Shalmani HM, Fazeli Z, Yadegari H, Taherinejad H, et al. Influence of working in auto factory on gastroesophageal reflux disease. Gastroenterol Hepatol from Bed to Bench; 2018;11:S1–7. Available from: https://www.researchgate.net/publication/331192639_Influe nce_of_working_in_auto_factory_on_gastroesophageal_refl ux_disease

  • 17.    Mun E, Kim D, Lee Y, Lee W, Park S. Association between shift work and reflux esophagitis: The kangbuk samsung health study. Int J Environ Res Public Health; 2021; 18(12). Available from: /pmc/articles/PMC8227586/

  • 18.    Chung TH, Lee J, Kim MC. Impact of night-shift work on the prevalence of erosive esophagitis in shipyard male workers. Int Arch Occup Environ Health; 2016; 89(6):961. Available from: /pmc/articles/PMC4927591/

  • 19.    Chen C, Aslani TV, Rosen GL, Jungquist CR, Anderson LM. Healthcare Shift Workers’ Temporal Habits for Eating, Sleeping, and Light Exposure: A Multi-Instrument Pilot Study. J Circadian Rhythms; 2020; 18(1):1–13. Available from: /pmc/articles/PMC7583716/

  • 20.    Shibli F, Skeans J, Yamasaki T, Fass R. Nocturnal gastroesophageal reflux disease (GERD) and sleep: An important relationship that is commonly overlooked. J Clin Gastroenterol. 2020;54(8):663–74.

  • 21.    Matar Alsulobi A, Mohamed Abo el-Fetoh N, Ghazi Eid Alenezi S, Ahmed Alanazi R, Hamdan Salem Alenazy R, Aied Lafi Alenzy F, et al. Gastroesophageal reflux disease among population of Arar City, Northern Saudi Arabia. Electron Physician; 2017;9(10):5499–505. Available from: /pmc/articles/PMC5718854/

  • 22.    Nirwan JS, Hasan SS, Babar ZUD, Conway BR, Ghori MU. Global Prevalence and Risk Factors of Gastro-oesophageal Reflux Disease (GORD): Systematic Review with Meta-

analysis. Sci Rep; 2020; 10(1). Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32242117/

  • 23.    Yaseri HF. Gender is a risk factor in patients with gastroesophageal reflux disease. Med J Islam Repub Iran; 2017;        31(1):336–8.        Available        from:

/pmc/articles/PMC5804446/

  • 24.    Kim KJ, Lee BS. Central obesity as a risk factor for non-erosive reflux disease. Yonsei Med J; 2017; 58(4):743–8. Available                                         from:

https://www.researchgate.net/publication/317146129_Centra l_Obesity_as_a_Risk_Factor_for_Non-

Erosive_Reflux_Disease

  • 25.    Yamasaki T, Hemond C, Eisa M, Ganocy S, Fass R. The changing epidemiology of gastroesophageal reflux disease: Are patients getting younger? J Neurogastroenterol Motil; 2018;       24(4):559–69.       Available       from:

/pmc/articles/PMC6175565/

  • 26.    Alrashed A, Aljammaz K, Pathan A, Mandili A, Almatrafi S, Almotire M, et al. Prevalence and risk factors of gastroesophageal reflux disease among Shaqra University students, Saudi Arabia. J Fam Med Prim Care; 2019; 8(2):462.                 Available                 from:

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30984655/

  • 27.    Quach DT, Pham QTT, Tran TLT, Vu NTH, Le QD, Nguyen DTN, et al. Clinical characteristics and risk factors of gastroesophageal reflux disease in Vietnamese patients with upper gastrointestinal symptoms undergoing esophagogastroduodenoscopy. JGH Open; 2021; 5(5):580– 4.                     Available                     from:

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34013058/

  • 28.    Kariri AM, Darraj MA, Wassly A, Arishi HA, Lughbi M, Kariri A, et al. Prevalence and Risk Factors of Gastroesophageal Reflux Disease in Southwestern Saudi Arabia. Cureus; 2020;   12(1). Available from:

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/31966942/

  • 29.    Eslami O, Shahraki M, Bahari A, Shahraki T. Dietary habits and obesity indices in patients with gastro-esophageal reflux disease:  A comparative cross-sectional study. BMC

Gastroenterol; 2017;     17(1). Available from:

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29179692/

  • 30.    Boeckxstaens G, El-Serag HB, Smout AJPM, Kahrilas PJ. Symptomatic reflux disease: The present, the past and the future. Gut; 2014;  63(7):1185–93. Available from:

/pmc/articles/PMC4078752/

  • 31.    Pan J, Cen L, Chen W, Yu C, Li Y, Shen Z. Alcohol Consumption and the Risk of Gastroesophageal Reflux Disease: A Systematic Review and Meta-analysis. Alcohol Alcohol; 2019;    54(1):62–9. Available from:

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30184159/

  • 32.    Cao H, Huang X, Zhi X, Han C, Li L, Li Y. Association between tea consumption and gastroesophageal reflux disease A meta-analysis. Med (United States); 2019; 98(4). Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30681584/

  • 33.    Yuan LZ, Yi P, Wang GS, Tan SY, Huang GM, Qi LZ, et al. Lifestyle intervention for gastroesophageal reflux disease: a national multicenter survey of lifestyle factor effects on

gastroesophageal reflux disease in China. Therap Adv Gastroenterol;     2019;     12.     Available     from:

/pmc/articles/PMC6764031/

  • 34.    Alkhathami AM, Alzahrani AA, Alzhrani MA, Alsuwat OB, Mahfouz MEM. Risk Factors for Gastroesophageal Reflux Disease in Saudi Arabia. Gastroenterol Res; 2017; 10(5):294–300. Available from: /pmc/articles/PMC5667695/

  • 35.    Surdea-Blaga T, Negrutiu DE, Palage M, Dumitrascu DL. Food and Gastroesophageal Reflux Disease. Curr Med Chem; 2019;   26(19):3497–511. Available from:

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28521699/

  • 36.    Johnson T, Gerson L, Hershcovici T, Stave C, Fass R. Systematic review: The effects of carbonated beverages on gastro-oesophageal reflux disease. Aliment Pharmacol Ther; 2010;       31(6):607–14.       Available       from:

https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/j.1365-2036.2010.04232.x

http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2023.V12.i1.P14

86