PENYELESAIAN KASUS PERTANAHAN OLEH BADAN PERTANAHAN NASIONAL
on
PENYELESAIAN KASUS PERTANAHAN OLEH BADAN PERTANAHAN NASIONAL
Michael Roderich Hutajulu, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Cokorda Dalem Dahana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Melihat dari perkembangan serta populasi manusia di Indonesia yang sangat pesat menyebabkan kebutuhan akan tanah semakin meningkat. Dikarenakan minat masyarakat akan tanah yang semakin meningkat menyebabkan marak terjadinya persoalan akan kasus-kasus pertanahan. Dalam penulisan artikel ini memuat tujuan agar memberikan pemahaman guna menyelesaikan kasus pertanahan yang marak terjadi di tanah air, oleh karena itu penting adanya sebuah wadah serta peraturan untuk menengahi dan menangani adanya persoalan pertanahan tersebut agar dapat mengurangi serta menyelesaikan persoalan kasus-kasus tanah di tanah air ini agar tidak semakin marak terjadi, disamping itu dalam penulisan karya ilmiah ini menggunakan metode penelitian normatif. Maka dari itu dalam karya tulis ilmiah ini mendapatkan hasil penelitian berupa bahan hukum yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional berupa sertifikat agar tanah yang dimiliki seseorang memiliki kekuatan hukum dan tidak dapat digugat oleh orang lain, serta menghindarkan setiap orang dari permasalahan-permasalahan tanah.
Kata Kunci : Perkembangan Populasi Manusia, Kebutuhan Tanah Yang Meningkat, Produk Hukum
ABSTRACK
Judging from the very rapid development and human population in Indonesia, the need for land is increasing. Due to the increasing public interest in land, it has led to widespread problems with land cases. In writing this article, the aim is to provide understanding in order to resolve land cases that are rife in the country; therefore, it is important to have a forum and regulations to mediate and deal with these land issues in order to reduce and resolve the problems of land cases in the country. This is so that it doesn't become more widespread, besides the fact that in writing this scientific paper, I used normative research methods. Therefore, in this scientific writing, the research results are obtained in the form of legal material issued by the National Land Agency in the form of a certificate so that the land owned by a person has the force of law and cannot be contested by other people and prevents everyone from having land problems.
Keywords: Development of Human Population, Increasing Land Needs, Legal Products
-
I. Pendahuluan
-
1.1 Latar Belakang
-
Perkembangan manusia di Indonesia sangat cepat, sehingga keperluan atas tanah merayap tinggi, hal itu menyebabkan banyaknya tanah yang perlu didaftarkan, selain itu tingginya angka kebutuhan akan tanah menyebabkan sering kali terjadinya sengketa yang disengaja ataupun yang tidak di sengaja, disamping itu faktor-faktor yang melatarbelakangi adanya konflik dan permasalahan pertanahan adalah peristiwa-peristiwa pendukung yang dapat mempengaruhi dan menimbulkan konflik serta permasalahan pertanahan1. Tanah merupakan suatu kebutuhan bagi kelangsungan hidup manusia yang bersifat tetap, namun bersifat kontradiktif dikarenakan kebutuhan manusia yang semakin meningkat. Dengan kata lain, tanah mengalami penurunan kualitas seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang sangat pesat di negara ini. Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya pengelolaan pertanahan yang lebih efektif dan terintegrasi, serta efisien dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah atau lahan. Pengelolaan pertanahan tersebut diatur secara tegas dalam konstitusi Indonesia. Pengelolaan pertanahan ini perlu ditempatkan dalam satu kesatuan sistem dalam kerangka hukum pertanahan yang merupakan peraturan yang mengatur hak-hak atas kepemilikan dan penggunaan lahan.
Tanah merupakan sebuah objek yang merupakan kebutuhan dasar dalam kehidupan serta sangat penting dan berarti oleh seseorang2, sehingga menurut norma hukum yang berlaku semua hak milik pribadi dan tidak bergerak (tanah) harus disertai dengan bukti hak milik. Dimana alat bukti kepemilikan ini berbentuk sertipikat. Sertifikasi tanah memang perlu dilakukan untuk mengesahkan dan menguatkan hak kepemilikan serta mengetahui pemilik tanah tersebut, untuk menghindari sebab yang tidak perlu. Sebelum mendapatkan sertifikat, pemilik tanah diwajibkan untuk mendaftarkan tanahnya ke BPN, lalu dari pihak BPN akan mengeluarkan sertifikat tanah yang akan diserahkan kepada pemiliknya.
Karena begitu banyaknya minat masyarakat terhadap tanah, sering menimbulkan adanya suatu sengketa yang tidak dapat dihindari, sehingga negara membuat produk hukum sebagai payung hukum menjamin kepastian hukum bagi pemilik tanah 3tersebut. Lalu dari produk hukum ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) bisa menggunakannya sebagai pedoman dalam penyelesaian sengketa yang berada di tengah masyarakat.
Dalam penulisan karya ilmiah ini mengambil beberapa referensi pada penelitian sebelumnya yakni dari Mudjiono “JURNAL HUKUM NO. 3 VOL.14” Tahun 2007 yang membahas tentang “Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertanahan Di Indonesia Melalui Revitalisasi Fungsi Badan Peradilan”. Referensi lain yang digunakan penulis dalam penelitian ini dari Marsella pada “JURNAL ILMIAH/PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2” Tahun 2015 yang membahas tentang ”PERSPEKTIF PENANGANAN
SENGKETA PERTANAHAN DI BADAN PERTANAHAN NASIONAL”. Kedua topik penelitian tersebut memiliki bahasan yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan penulis dalam penelitian karya ilmiah ini karen dalam penelitian ini mengkaji terkait langkah strategis BPN dalam menyelesaikan kasus tanah dan apa saja bentuk-bentuk yang dapat disebutkan sebagai kasus tanah. Dimana dalam penelitian ini penulis menemukan langkah strategis yang tepat yang dilakukan BPN dalam menangani kasus tanah dan yang bentuk-bentuk kasus tanah. Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan, maka penulis berminat untuk mengkaji suatu analisa berjudul “PENYELESAIAN KASUS PERTANAHAN OLEH BADAN PERTANAHAN NASIONAL”.
Adapun pokok permasalahan dapat diajukan penulis dalam penelitiannya pada artikel:
-
1. Apa saja bentuk-bentuk yang dapat disebutkan sebagai kasus tanah?
-
2. Bagaimana langkah strategis BPN dalam menyelesaikan kasus pertanahan ?
Adapun riset ini dibuat dengan tujuan dan maksud untuk mengklasifikasikan apa saja permasalahan yang dapat disebut sebagai bagian dari sengketa tanah, kemudian untuk mengetahui peran dan langkah strategis apa yang dilakukan BPN untuk menyelesaikan sengketa tanah ini.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan jurnal ini adalah metode penelitian normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara mengkaji data sekunder dan proses untuk mendapatkan kaidah hukum serta doktrin hukum untuk mendapatkan jawaban terkait rumusan masalah yang ada. Penulisan jurnal ini juga menggunakan beberapa jenis pendekatan, yaitu pendekatan kasus (case approach) serta pendekatan hukum berdasarkan undang-undang (statute approach), yang konteksnya dilakukan dengan menelaah hukum yang berkaitan dengan hukum. masalah yang dibahas dalam jurnal ini.
Dalam kasus pertanahan, dibedakan pengertian sengketa, konflik, dan kasus pertanahan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (1) sampai dengan (4) Peraturan ATR/Kepala BPN Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Perkara Pertanahan dengan memberikan batasan mengenai pengertian sengketa, konflik, dan sengketa tanah. Di mana definisi menyatakan:
-
1) komplikasi Pertanahan adalah perkara sengketa dan konflik pertanahan yang harus ditangani dan diselesaikan Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau politik pertanahan.
-
2) Sengketa tanah adalah pertikaian tanah terjadi antar individu, badan hukum, atau organisasi dan tidak berdampak luas.
-
3) Sengketa pertanahan yang disebut Konflik merupakan sengketa tanah antara individu, kelompok, organisasi, badan hukum atau organisasi yang memiliki kecenderungan atau pengaruh yang sama.
-
4) Perkara pertanahan yang disebut Perkara adalah sengketa tanah, diterima dan diselesaikan oleh badan peradilan.
Dimana Pada dasarnya perselisihan, pertentangan, dan perkara merupakan tiga istilah yang sering digunakan secara bersama-sama untuk menjelaskan perbedaan pendapat, pertentangan, perselisihan, perselisihan, dan ketidakharmonisan antara satu pihak dengan pihak lainnya. Perselisihan dan konflik merupakan peristiwa yang sudah menjadi fitrah manusia karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan bantuan orang lain untuk menjalani kehidupannya. Tidak mungkin seseorang bisa hidup sendiri tanpa berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Dalam berinteraksi dengan orang lain, pasti ada perselisihan atau benturan kepentingan antara satu orang dengan orang lain. Oleh karena itu, perlu adanya aturan yang mengatur dan berguna untuk mencegah terjadinya perselisihan atau konflik yang dapat menimbulkan hal yang lebih berbahaya lagi; aturan ini disebut sebagai hukum.
Sebuah studi tahun 2017 sebelumnya menurut Aulia R., tanggung jawab BPN di Kementerian Pertanahan dan Tata Ruang membuka peluang bagi badan tersebut untuk mengintegrasikan pengelolaan lahan secara penuh. Dampak negatifnya adalah perlunya harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait untuk memudahkan implementasi di bidang ini.4. Pemahaman adalah kunci utama dalam menegakkan aturan yang benar sehingga diterapkan dengan benar 5. Mengingat banyaknya kasus sengketa tanah yang muncul di lapangan saat ini, menyebabkan banyak perkara yang disidangkan di Pengadilan Negeri baik dalam bentuk perdata maupun pidana, selain itu ada juga kasus sengketa tanah yang diadili di PTUN mengenai pembatalan sertipikat, dimana sertipikat tersebut merupakan produk hukum yang dimiliki dan dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional6, Kemudian ada juga kasus pertanahan atau sengketa tanah yang dibawa ke pengadilan agama, dimana sengketa tersebut menyangkut kedudukan kepemilikan bersama atas tanah didalam pernikahan, pewarisan dan persoalan tanah. Oleh sebab itu, mengingat tingginya perkara/persoalan tanah yang dihadirkan di Peradilan Biasa, Peradilan Agama, dan PTUN yang mempunyai wilayah hukum tetap, maka tidak dapat diadili atau diselesaikan karena adanya putusan-putusan Pengadilan yang bersifat penetapan konflik (bertentangan).
Selain itu, terdapat hambatan alternatif penyelesaian sengketa tanah, seperti mediasi di depan pengadilan atau di lingkungan Kementerian ATR/BPN, dimana untuk memfasilitasi mediasi seringkali tidak berjalan dengan baik dalam praktiknya karena mediator tidak dapat bertindak sebagai perantara dan tidak memiliki alternatif formula dalam menyelesaikan sengketa. Mediator menyerahkan lebih banyak proses kepada kedua belah pihak. Sementara dalam praktiknya, banyak peserta dalam proses mediasi adalah pengacara atau penasehat hukum. Inilah salah satu kelemahan dari proses mediasi. Mediasi hanya efektif ketika pihak yang berkepentingan hadir langsung di ruang mediasi karena mereka tahu apa yang akan mereka terima dan apa yang tidak akan mereka terima.
Banyak peraturan yang telah direvisi atau diubah untuk menangani sengketa, konflik, dan masalah pertanahan tetapi belum membuahkan hasil, begitu pula konsep atau gagasan para ahli dan cendekiawan yang gagal membuahkan hasil; perselisihan telah diminimalkan. Gagasan terakhir pembentukan pengadilan tanah, yang sebenarnya sudah masuk dalam RUU Pertanahan, belum juga terlaksana. Oleh karena
itu diperlukan peraturan yang lebih ketat serta justifikasi kelembagaan untuk menangani sengketa, konflik, dan masalah tanah. Kemauan dan komitmen politik pemerintah dan pejabat pemegang hak, serta masyarakat Indonesia seluruhnya untuk menyatakan bahwa pembentukan pengadilan pertanahan khusus dapat diwujudkan untuk penyelesaian sengketa atau konflik pertanahan secara cepat atas dasar hukum yang adil.
Perselisihan, konflik dan kasus terjadi dalam berbagai bentuk dan jenis dengan penyelesaian yang berbeda. Di bidang pertanahan, jumlah sengketa pertanahan semakin meningkat setiap tahunnya karena permintaan tanah yang semakin meningkat oleh masyarakat setiap tahunnya7. Sengketa tanah seringkali dipandang sebagai masalah yang berlarut-larut dan berujung pada sengketa sosial berskala besar dengan berbagai akar permasalahan. Metode penyelesaiannya juga bermacam-macam, baik melalui prosedur penanganan persoalan melalui otoritas kehakiman, maupun melalui penyelesaian sengketa melalui sistem peradilan. sebagai negosiasi, konsiliasi, konsiliasi, arbitrase.8
Klasifikasi kasus tanah merupakan motif persoalan tanah, masalah yang dilaporkan dan ditangani oleh BPN, umumnya diklasifikasikan ke dalam kelompok:
-
(1) Kepemilikan tanah tanpa hak, yaitu ketidaksepakatan, keperluan yang terkait dengan negara kontrol lahan tertentu (tanah nasional) yang tidak terkait atau tidak terkait dengan atau kepada pihak tertentu; Negara Hak Milik. formulir bukti.
-
(2) Sengketa batas, yaitu ketidaksepakatan, kepentingan harkat yang berkaitan dengan lokasi, batasan dan luas tanah yang diakui oleh para pihak, yang ditetapkan oleh BPN dan masih tahap proses.
-
(3) Sengketa waris, yaitu ketidaksepakatan kebutuhan yang berkaitan dengan kedudukan penguasaan atas suatu warisan tertentu.
-
(4) Perbedaan pandangan serta kebutuhan terkait dengan kedudukan kepemilikan tanah ganda yang diperoleh melalui penjualan ganda, yaitu penjualan kepada beberapa orang.
-
(5) Sertifikasi ganda, yaitu ketidaksepakatan, keperluan yang terkait dengan properti tertentu dengan sertifikasi ganda.
-
(6) Sertifikat pengganti, yaitu ketidaksepakatan, keperluan atas properti tertentu yang telah diberikan sertifikat hak guna tanah pengganti.
-
(7) Praktik penjualan gadungan, yakni pengakuan, harkat atau ketidaksepakatan, kebutuhan atas properti tertentu berdasarkan kepemilikan, dan praktik penjualan yang curang.
-
(8) Kesalahan penetapan batasan, yakni ketidaksepakatan, harkat keperluan mengenai letak, batas dan luas tanah yang diakui oleh salah satu pihak, telah diidentifikasi oleh BPN. Gambar perbatasan salah.
-
(9) Tumpang tindih, yakni harkat bunga yang berkaitan dengan luas tanah yang diakui oleh pihak tertentu karena perbedaan pendapat, letak, batas, tumpang tindih kepemilikan.
keputusan pengadilan, yaitu pendapat, nilai atau pendapat dalam keputusan yang dibuat oleh otoritas kehakiman tentang subjek atau pemilik hak atas tanah atau tentang prosedur pemberian hak atas tanah tertentu; dan perbedaan keuntungan.
Mengenai sengketa, konflik, dan perkara pertanahan, BPN memiliki dasar hukum normatif dalam penyelesaian konflik/sengketa tanah, dimana dasar hukum normative terkandung didalam Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021, berkenaan Penyelesaian Kasus Pertanahan9.
Dalam sistem hukum nasional Indonesia dikenal dua cara penanganan masalah yang digunakan untuk menegakkan dan menyelesaikan masalah hukum, khususnya di bidang perdata melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Atau lebih dikenal dengan penanganan sengketa alternatif. Alternatif Penanganan Sengketa adalah penanganan masalah berdasarkan kesepakatan (konsensus) yang dicapai oleh para pihak yang bersengketa tanpa atau dengan bantuan pihak netral lainnya. Penyelesaian non litigasi adalah mekanisme penyelesaian sengketa yang didasarkan pada prinsip penyelesaian masalah dengan cara bekerja sama, disertai itikad baik kedua belah pihak, untuk mencari solusi yang saling menguntungkan. Proses penyelesaian masalah dilakukan secara tertutup, kerahasiaan para pihak terjamin, dan proses lebih cepat dan efisien. Penyelesaian litigasi cenderung menimbulkan masalah baru karena bersifat menang-kalah, tidak tanggap, relatif lamban, dan seringkali terbuka untuk umum.10
Penyelesaian melalui jalur litigasi atau lembaga peradilan tidak lebih baik dari penyelesaian yang dilakukan di luar ruang sidang, baik secara kuantitas maupun kualitas, baik dalam sengketa bisnis maupun sengketa yang disebabkan oleh masalah sehari-hari. Jika dilihat dari kuantitas dan kualitasnya, penyelesaian yang dilakukan melalui jalur litigasi atau lembaga peradilan tidak lebih baik dari penyelesaian yang dilakukan secara non litigasi atau di luar ruang sidang, baik yang menyangkut sengketa bisnis maupun sengketa yang disebabkan oleh masalah sehari-hari.
Dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan, para pihak yang bersengketa tidak melalui proses hukum formal; mereka hanya menyerahkan kasus mereka kepada pihak ketiga untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Karena penyelesaian sengketa di luar pengadilan mensyaratkan adanya kemauan sukarela dari pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan sengketanya di luar pengadilan.11
Jika mencermati Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 Angka 10 menyatakan bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat dilakukan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau expert judgment.
Konsultasi adalah pemberian pendapat hukum yang diminta oleh klien atau para pihak yang bersengketa, kemudian keputusan penyelesaian perselisihan diambil oleh para pihak sendiri berdasarkan pendapat yang diberikan. Konsultasi juga merupakan pertemuan dua pihak atau lebih untuk membahas masalah yang dianggap penting dan mencari solusi bersama.
Pertemuan ini biasanya dilakukan oleh para pihak dengan orang atau badan yang dianggap memiliki kewenangan dan kewenangan untuk memberikan pertimbangan, saran, atau usulan yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah. Namun terkadang para pihak yang memberikan pendapat hukum diberikan kesempatan oleh para pihak yang bersengketa untuk merumuskan bentuk penyelesaian yang diinginkan oleh para pihak.
Menurut Suyut Margono, perundingan adalah sarana para pihak yang bersengketa untuk membicarakan penyelesaiannya tanpa melibatkan pihak ketiga, baik yang berwenang mengambil keputusan (mediasi) maupun yang berwenang (arbitrase dan litigasi). Negosiasi adalah suatu proses yang dilakukan oleh para pihak secara sukarela bertemu muka untuk mendapatkan kesepakatan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak mengenai suatu masalah tertentu yang sedang dibicarakan.
Menurut Bambang Sutiyoso dalam bukunya yang berjudul “Penyelesaian Sengketa Bisnis: Solusi Antisipatif bagi Pegiat Bisnis dalam Menghadapi Sengketa Saat Ini dan Kedepan”, sebagaimana dikutip oleh Jimmy Joses Sembiring, secara umum terdapat lima teknik negosiasi, yaitu:
-
1. Teknik negosiasi kompetitif.
Teknik ini diterapkan pada negosiasi yang alot, dimana ada pihak yang mengajukan tuntutan tinggi di awal negosiasi, pihak yang mempertahankan tuntutan tinggi sepanjang proses, konsesi sangat jarang atau terbatas, lawan negosiasi dianggap musuh, pihak yang menggunakan secara berlebihan. tekanan pada pihak lain, dan negosiator tidak memiliki data yang baik dan akurat.
-
2. Teknik negosiasi kooperatif.
Mempertimbangkan negosiator pihak lawan sebagai mitra, bukan musuh, para pihak mengeksplorasi kepentingan bersama, nilai bersama, kemauan untuk bekerja sama, dan tujuan negosiator untuk menyelesaikan perselisihan secara adil berdasarkan analisis objektif dan fakta hukum yang jelas.
-
3. Teknik Negosiasi Lunak.
Hal ini dilakukan dengan menekankan pentingnya hubungan timbal balik antar pihak; tujuannya adalah untuk mencapai kesepakatan dengan membuat konsesi untuk menjaga hubungan timbal balik, mempercayai negosiasi, mudah mengubah posisi, mengalah untuk mencapai kesepakatan, dan mengambil risiko ketika negosiasi lunak menghadapi negosiator keras karena yang terjadi adalah pola “menang-kalah” dan melahirkan perjanjian palsu.
-
4. Teknik Negosiasi Keras.
Dalam teknik ini, negosiator lawan dipandang sebagai musuh, tujuannya adalah kemenangan, negosiator menuntut konsesi sebagai prasyarat untuk hubungan baik, bersikap keras terhadap orang dan masalah, tidak mempercayai negosiasi lawan,
menuntut keuntungan unilateral sebagai harga menang-kalah. , memperkuat posisi, dan menerapkan tekanan.
-
5. Teknik Negosiasi Berbasis Kepentingan.
Hal ini bertujuan untuk menjadi jalan tengah konflik antara teknik keras dan lunak karena teknik keras berpotensi mengalami kebuntuan dan teknik lunak berpotensi menjadi citra pecundang bagi pihak-pihak kecil. Teknik negosiasi berbasis kepentingan ini memiliki empat komponen dasar: komponen orang, komponen kepentingan, komponen pilihan, dan komponen kriteria.
Mediasi adalah proses damai dimana para pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator untuk mencapai hasil akhir yang adil tanpa membuang-buang uang terlalu banyak. Tetap efektif dan diterima sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa secara sukarela12.
Menurut Rachmadi Usman13, mediasi adalah suatu cara penyelesaian sengketa di luar sistem pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak-pihak yang netral (tidak mengintervensi) dan tidak memihak para pihak yang bersengketa serta yang kehadirannya diterima oleh para pihak yang bersengketa.
Merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Tata Cara Mediasi di Pengadilan, Pasal 1 Angka 7, mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk mendapatkan kesepakatan antara para pihak dengan dibantu oleh seorang mediator.
Dalam proses mediasi ini terdapat kesepakatan antara para pihak yang bersengketa, yang merupakan kesepakatan bersama (consensus) yang diterima oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian mediasi dilakukan oleh para pihak dengan bantuan mediator. Mediator disini harus berperan aktif dalam upaya mencari berbagai pilihan solusi penyelesaian sengketa yang akan diputuskan oleh para pihak.14
Mediator harus mengetahui teknik-teknik yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa. Taktik-taktik yang harus digunakan mediator dalam memimpin penyelesaian meliputi hal-hal berikut:
-
1. Taktik Penyusunan Kerangka Keputusan (decision framing)
Taktik ini perlu digunakan untuk menghindari proses penyelesaian yang berlarut-larut. Seorang mediator dapat mengembangkan kerangka keputusan dalam bentuk agenda rencana aksi, menangani isu-isu untuk menghasilkan momentum penyelesaian, menjaga tujuan negosiasi, dan berusaha untuk memenuhi harapan para pihak.
-
2. Taktik untuk mendapatkan kewibawaan dan kerjasama
Taktik ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan kewibawaan dan kerjasama yang baik. Seorang mediator harus netral, berbicara dalam bahasa yang dimengerti oleh para pihak, membangun hubungan, mendengarkan
secara aktif, menekankan potensi keuntungan, meminimalkan perbedaan, dan fokus pada kebersamaan.
-
3. Taktik mengendalikan emosi dan menciptakan suasana yang tepat.
Dalam taktik ini, seorang mediator menetapkan aturan-aturan dasar, mengendalikan perasaan permusuhan dan menggunakan humor, memberikan contoh perilaku yang pantas, dan membuang isu-isu yang diperdebatkan.
-
4. Taktik Informatif
Taktik ini dilakukan dengan mengadakan pertemuan, mendesak para pihak untuk berbicara, dan mengajarkan proses tawar-menawar.
-
5. Taktik Pemecahan Masalah
Taktik ini dilakukan oleh seorang mediator dengan cara menyederhanakan perselisihan, mengembangkan kepentingan bersama, membuat saran-saran konkrit untuk membuat kesepakatan, dan mengambil tanggung jawab untuk konsesi.
-
6. Taktik menghindari rasa malu (face-saving)
Dalam taktik ini, mediator harus mampu mengendalikan suasana penyelesaian yang baik dan menjaga nama baik sengketa antara para pihak.
-
7. Taktik pemaksaan (pressuring)
Taktik ini perlu dilakukan oleh mediator dengan tujuan menghindari penyelesaian yang berkepanjangan dengan menetapkan batas waktu. Memberi tahu para pihak bahwa posisinya tidak realistis karena menimbulkan keraguan para pihak tentang solusi dan menekan biaya di luar penyelesaian.
Selain taktik, seorang mediator juga harus menguasai teknik penyelesaian sengketa. Berikut adalah beberapa teknik penyelesaian perselisihan yang dapat digunakan: membangun kepercayaan, menganalisis konflik, mengumpulkan informasi, berbicara dengan jelas, mendengarkan dengan penuh perhatian, meringkas atau merumuskan kembali diskusi para pihak, mengembangkan aturan negosiasi, mengatur pertemuan negosiasi, menangani emosi para pihak, memanfaatkan “kaukus” atau “ruang kecil”, mengungkapkan kepentingan yang tersembunyi, mengungkapkan para pihak atau salah satu pihak “batna”, dan menyusun kesepakatan.
Menurut Oppenheim sebagaimana dikutip oleh Huala Adolf dalam Joni Emirzon, konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa dengan cara menyerahkannya kepada suatu komisi, dimana orang-orang yang bertugas menguraikan atau menjelaskan fakta-fakta (biasanya setelah mendengar para pihak dan berusaha mendapatkan mereka untuk mencapai kesepakatan) membuat proposal untuk penyelesaian, tetapi keputusan itu tidak mengikat. Sedangkan menurut Huala Adolf, konsiliasi adalah penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga, yaitu konsiliator yang tidak memihak atau netral dan keterlibatannya atas permintaan para pihak.
Penyelesaian sengketa secara konsiliasi mengacu pada pola penyelesaian sengketa secara musyawarah para pihak, dimana pihak netral dapat berperan aktif (netral act) atau tidak. Dan para pihak yang bersengketa harus menyepakati usul pihak ketiga tersebut, yang pada akhirnya akan menjadi kesepakatan penyelesaian sengketa. Untuk menunjukkan eksistensinya dalam menyelesaikan berbagai masalah atau perselisihan, konsiliasi memiliki fungsi tertentu, yaitu: menganalisis perselisihan, mengumpulkan informasi tentang pokok persoalan, berusaha mendamaikan para pihak, membuat
laporan hasil upayanya dalam mendamaikan para pihak, dan menetapkan atau membatasi waktu pelaksanaan tugas.
Pendapat ahli adalah untuk suatu hal yang bersifat teknis dan sesuai dengan bidang keahliannya. Pendapat ahli juga dikenal sebagai penilaian ahli independen. Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang dimaksud dengan “penilaian ahli” adalah pendapat hukum dari lembaga arbitrase. Pasal 1 angka 8 menyatakan bahwa Lembaga Arbitrase adalah suatu badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai suatu sengketa tertentu; lembaga juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa. Menurut Pasal 1 Angka 8 dapat dilihat bahwa kewenangan lembaga arbitrase ada dua, yaitu memberikan keputusan dan memberikan pendapat. Jadi lembaga arbitrase selain memberikan putusan juga dapat memberikan pendapat hukum kepada para pihak yang bersengketa atas permintaan sendiri.
Penilaian ahli ini bertujuan untuk menilai pokok sengketa dan dilakukan oleh seorang atau beberapa orang yang ahli dalam bidang yang berkaitan dengan pokok sengketa. Kemudian penilaian atau pendapat tersebut ditulis dengan kajian ilmiah sehingga dapat memperjelas pokok permasalahan yang sedang dipersengketakan. Apabila sengketa yang ditangani adalah sengketa tanah, maka orang atau tim yang benar-benar ahli dalam bidang pertanahan diminta pendapatnya atau menjadi ahli taksir.
Dalam proses ini, penilai independen bertindak sebagai pihak ketiga yang tidak memihak dan bekerja untuk memberikan pendapat atas fakta-fakta yang diperkarakan. Para pihak yang bersengketa sepakat bahwa pendapat penilai independen akan menjadi keputusan akhir yang mengikat semua pihak. Akibatnya, penilai independen ini adalah penyelidik sekaligus pembuat keputusan. Para pihak yang bersengketa juga dimungkinkan untuk menggunakan saran atau pendapat dari penilai independen sebagai bahan pertimbangan dalam perundingan selanjutnya. Pendapat penilai independen dihasilkan berdasarkan penilaian profesional oleh seseorang dalam suatu profesi terkait dengan permasalahan yang diperkarakan.
IV. Kesimpulan
Pada dasarnya, perselisihan, konflik, dan kasus adalah tiga istilah yang sering digunakan bersama untuk menjelaskan perbedaan pendapat, kontradiksi, perselisihan, perselisihan, dan ketidakharmonisan antara satu pihak dengan pihak lainnya. Berbagai peraturan telah diubah atau diganti untuk menyelesaikan sengketa, konflik, dan kasus pertanahan namun belum menuai hasil, dan konsep atau gagasan yang dikemukakan oleh para ahli dan akademisi belum mampu meredam perselisihan. Gagasan terakhir adalah membentuk pengadilan tanah, yang sebenarnya sudah masuk dalam RUU Pertanahan namun belum terealisasi. Untuk itu perlu penguatan regulasi dan kelembagaan yang menangani penyelesaian sengketa, konflik, dan kasus pertanahan. Tipologi kasus pertanahan adalah jenis sengketa, konflik, atau kasus pertanahan yang diajukan atau diadukan dan ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional, yang secara garis besar dikelompokkan menjadi: a) Penguasaan tanah tanpa hak. b) Sengketa batas c) Sengketa warisan d) Menjual beberapa kali.e) Dua sertifikat.f) Sertifikat pengganti g) Dokumen jual beli palsu.h) Kesalahan batas i) Tumpang tindih. j) Putusan Pengadilan
Dalam sistem hukum nasional di Indonesia, terdapat dua cara penyelesaian sengketa yang diterapkan untuk menangani dan menyelesaikan sengketa hukum khususnya di bidang perdata yaitu melalui pengadilan (litigasi) dan di luar pengadilan (non litigasi), juga dikenal sebagai penyelesaian sengketa alternatif. Alternatif penyelesaian sengketa (ADR) adalah penyelesaian sengketa berdasarkan kesepakatan (konsensus) yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa, baik tanpa atau dengan bantuan pihak ketiga yang netral. Jika mencermati Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 Angka 10 menyatakan bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat dilakukan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau expert judgment.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Frans Hendra Winarta, “ukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional (Jakarta : Sinar Grafika, 2012)
Priyo Katon Prasetyo et.all., (2020). Praktik Kebijakan Program Strategis Nasional, Kendala Dan Peluang (STPN Press, Yogyakarta,2020)
Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan dalam Teori dan Praktik (Jakarta : Sinar Grafika, 2012)
Jurnal:
Asmawati. (2014). “Mediasi Salah Satu Cara Dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan,” Jurnal Ilmu Hukum Jambi 5, no. 1 .
Aulia, R. (2017). Kewenangan Badan Pertanahan Nasional Di bawah Kementerian Agraria Dan Tata Ruang/Bpn.Jurnal HIMA HAM. 4(2).
Christianto, H. (2011). Penafsiran hukum progresif dalam perkara pidana. Mimbar Hukum, 23(3), 479-500.
Dewi, Maria Seraphine Kartika. (2018). “Pengaturan Kewenangan Kementerian Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Dalam Mekanisme Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah”. Jurnal Hukum Kenotariatan 3, No. 2.
Kemalasari, A. (2013). Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Tanah. Diponegoro Law Journal, 2(3), 1-11.
Matuankotta, Jenny Kristiana and Mahrita Aprilya Lakburlawal. (2022). “Penyuluhan Hukum Tentang Upaya Penyelesaian Sengketa Hak Milik Atas Tanah,” AIWADTHU: Jurnal Pengabdian Hukum 2, no. 1 .
Rosmiatasari, R., Martini, R., & Astuti, P. (2013). Peran Pemerintah Daerah dalam Penyelesaian Sengketa Tanah di Lahan Pasific Mall Kota Tegal. Journal of Politic and Government Studies, 2(4), 16-30.
Sahnan, M. arba. (2019). “Kewenangan Badan Pertanahan nasional dalam Penyelesaian sengketa Pertanahan”Jurnal IUS 7, No. 3 .
Septiani , Dinda Ayu Putri, Edith Ratna M.S. (2022). “Perkembangan Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Luar Pengadilan Melalui Proses Mediasi”Jurnal Notarius 15, No. 1 .
Sitorus, O. (2016). Penataan Hubungan Hukum Dalam Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, Dan Pemanfaatan Sumber Daya Agraria (Studi Awal terhadap Konsep Hak Atas Tanah dan Ijin Usaha Pertambangan). BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan, 2(1).
Uktolseja, Novyta, Jenny Kristiana Matuankotta, and Pieter Radjawane. (2021). “Penyuluhan Hukum Problematika Tanah Dan Penyelesaiannya Di Negeri Wotay Maluku Tengah,” AIWADTHU: Jurnal Pengabdian Hukum 1, no. 1 .
Wismaya, Made Yudha and I Wayan Novy Purwanto. (2014). “Peran Badan Pertanahan Nasional Dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Mekanisme Mediasi,” Kertha Semaya: Jurnal Ilmu Hukum 2, no. 5.
Undang-Undang:
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Tata Cara Mediasi di Pengadilan.
Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 Tentamng Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, Dan Penerbitan Persetujuan Substansi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten, Kota, Dan Rencana Detail Tata Ruang.
Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 3 Tahun 2023 hlm 237-248
248
Discussion and feedback