PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI APABILA PARA PIHAK TIDAK MENCANTUMKAN KLAUSUL FORCE MAJEURE DALAM PERJANJIAN
on
PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI
APABILA PARA PIHAK TIDAK MENCANTUMKAN
KLAUSUL FORCE MAJEURE DALAM PERJANJIAN
Ida Ayu Vida Marhaeni, Fakultas Hukum Universitas Udayana, surel: [email protected]
I Made Dedy Priyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, surel: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan dari penulisan jurnal ini membahas mengenai pemahaman bagaimana syarat – syarat teori dalam keadaan memaksa (force majeure) dan membahas tentang bagaimana menentukan adanya keadaan Force Majeure apabila tidak terdapat klausul Force Majeure di dalam perjanjian. Melalui metode penelitian ini mempergunakan metode normatif, yang menggunakan aturan undang - undang yang berlaku serta sejumlah referensi berkaitan dengan permasalahan Force Majeure. Perihal tentang permasalahan ini menunjukan bahwa, pada kontrak mengenal adanya istilah Force Majeure. Bilamana digolongkan sebagai sebuah wanprestasi ataupun Force Majeure, diketahui melalui pengamatan kemampuan yang dimiliki debitur, jika debitur tidak melakukan prestasinya, maka dikatakan sebagai Force Majeure. Keadaan memaksa atau Force Majeure juga wajib memenuhi kriteria yang terdapat dalam pasal 1244 serta 1245 KUHPerdata. Apabila di dalam isi kontrak para pihak tidak ada mengatur Force Majeure maka pihak – pihak yang berkaitan harus turut kepada undang – undang yang diatur pada pasal 1237, 1244 serta 1245 KUHPerdata.
Kata Kunci: Keadaan Memaksa (Force Majeure), Perjanjian Kontrak, Undang – Undang.
ABSTRACT
The purpose of writing this journal is to discuss understanding how the theoretical requirements are in a state of coercion (force majeure) and discuss how to determine the existence of a Force Majeure condition if there is no Force Majeure clause in the agreement. Through this research method using the normative method, using the existing laws and regulations and various literatures related to Force Majeure problems. Regarding this issue, it shows that the contract recognizes the term Force Majeure. If it is classified as a default or Force Majeure, seen by observing the ability of the debtor, if the debtor does not perform its achievements, it is said to be Force Majeure. Force Majeure must also meet the elements contained in Articles 1244 and 1245 of the Civil Code. If in the contents of the contract the parties do not regulate Force Majeure, the parties concerned must comply with the laws regulated in articles 1237, 1244 and 1245 of the Civil Code.
Keyword: Force Majeure, Contract Agreement, Law.
Mengenai pembahasan Force Majeure, sebelum itu sebaiknya mengenal dan memahami terlebih dahulu tentang kontrak. Kontrak adalah sebuah kesepakatan tertulis, artinya kontrak disebut sebagai pandangan yang lebih spesifik pengertiannya daripada perjanjian. Sebuah perjanjian dilakukan akibat adanya kepentingan yang berbeda diantara para pihak melalui upaya melakukan perundingan yang disampaikan ke dalam klausul yang diperoleh di sebuah perjanjian.1 Pada pengertian yang lebih luas mengenai kontrak, kontrak adalah kesepakatan diantara kedua belah pihak yang sedang melakukan kesepakatan di sebuah perjanjian kontrak itu sendiri. Sejatinya, sebuah kontrak memiliki korelasi bagi para pihak, dimana isinya yakni tentang perjanjian yang sudah terbit bagi pihak yang membuat. Kontrak yang sudah dibuat dalam wujud serangkaian kata berisikan kesepakatan serta kemauan.2 Peranan setiap kontrak amat krusial pada kehidupan keseharian.
Dalam pengertian sebuah kontrak, ada pula yang dinamakan Hukum Kontrak. Adapun Hukum Kontrak merupakan istilah Bahasa inggris, disebut contract of law yang artinya merupakan sebuah peraturan hokum di masyarakat ataupun sebuah rangkaian pedoman hukum yang menyusun sejumlah kesepakatan alhasil muncul korelasi hukum diantara kedua belah pihak yang didasarkan pada sebuah kesepakatan alhasil muncul dampak hukum diantara pembuatan kontrak.3
Pada pengertian umum sebuah hukum kontrak juga diartikan sebagai sebuah mekanismen hukum di tengah masyarakat guna menjaga suatu keinginan dan harapan pihak – pihak yang ingin berkontrak. Kemudian di dalam sebuah kontrak terdapat kontrak yang di kenal dengan Hukum Kontrak Nominaat serta Kontrak innominat. Pengertian hukum Kontrak Nominaat ialah aturan tentang hukum yang membahas sejumlah kontrak ataupun disebut perjanjian yang dikenal didalam KUH Perdata. Di sisi lain, yang di kenal dengan hukum Kontrak Innominaat yakni “keseluruhan yang terdapat di dalam kaidah hukum yang membahas kontrak yang timbul, tumbuh dan hidup di dalam masyarakat dan pada kontrak ini belum diketahui pada KUH Perdata saat di undangkan”. Yang intinya, jenis perkembangan hukum Kontrak Innominaat ini tidak di atur pada buku III KUH Perdata, tetapi berlaku pada peraturan yang bersifat khusus di dalam sebuah peraturan perundang – undangan yang mengaturnya.
Sebuah perjanjian, apabila satu pihak terdapat tak memenuhi janjinya ataupun tak melakukan prestasinya, maka ia di katakan sudah melaksanakan wanprestasi (ingkar janji). Menurut pasal 1235 KUH Perdata, wanprestasi memiliki sejumlah tipe yakni sama sekali tak melaksanakan kewajibannya, atau melakukan kewajiban namun tak sesuai yang ditentukan, tak melakukan kewajiban secara tepat waktu dan juga melakukan hal yang dilarang.4 Selanjutnya mengenai pasal 1267 KUHPerdata yang membahas tentang prestasi yang tak terpenuhi, oleh sebab itu terdapat 2 opsi bagi pihak yang sudah dirugikan yakni mampu memilih secara paksa jika pihak tak mematuhi kesepakatan yang sudah dibuat guna memenuhi prestasinya (jikalau perjanjiannya masih mampu dijalankan) yang dibarengi dengan biaya pengganti, rugi serta bunga
(ganti rugi) ataupun juga bisa meminta pembatalan perjanjian dengan disertainya ganti rugi yang muncul karena kesepakatan tersebut.
Adanya sebuah kontrak diperlukan pihak – pihak yang sudah terlibat sedang dalam menjalankan sebuah kesepakatan – kesepakatan yang sudah disetujui dan melakukannya dengan itikad baik, meskipun kontrak sudah dilakukan dengan baik, belum pasti terjamin dilaksanakan dengan baik. Meskipun sebuah kontrak dibuat dengan baik, tidak juga menjamin dilaksanakan dengan baik sejalan dengan yang sudah disepakati sebelumnya oleh para pihak atau disebut terjadi wanprestasi. Sebuah wanprestasi bisa terjadinya dengan berbagai hal, dikarenakan kesalahan yang dapat berupa kelalaian atau kesengajaan dan Force Majeure.
Berkaitan dengan pengertian Hukum Kontrak, dengan terdapatnya istilah Force Majeure ataupun overmacht, didefinisikan sebagai kondisi yang memaksa ataupun kondisi yang kahar.5 Force Majeure adalah kondisi melepaskan pihak debitur atau yang tak memenuhi kewajiban atas tanggung jawab memberikan penggantian kerugian sebauh biaya serta bunga ataupun sebuah tanggung jawab memenuhi segala kewajiban yang sudah dibuat. Pandangan ini didasari dengan adanya suatu kemungkinan di dalam melaksanakan perjanjian yang muncul peristiwa yang tidak diduga sebelumnya dan juga diluar kesalahan yang dilakukan debitur dan peristiwa tersebut membuat debitur terhalangi untuk melengkapi prestasi yang sudah sebagaimana diperjanjikan. Force Majeure pada KUHPerdata termuat pada pasal 1244 serta pasal 1245 KUHPerdata. Ketetapan pasal ini menyebutkan, di dalam terjadinya Force Majeure jika terjadi tidak berprestasinya debitur tidak menimbulkan terjadinya akibat hokum yang dapat berupa penggantian biaya, rugi dan bunga dengan kreditur.
Klausul Force Majeure ini hampir ada saja di sebuah perjanjian. Perjanjian merupakan sebuah perbuatan yang mana satu orang ataupun lebih bersama-sama mengikatkan diri kepada satu orang ataupun lebih. Ketika mebangun sebuah usaha, pengusaha harus selalu memperhatikan secara baik terkait semua klausul yang ada di perjanjian yang sudah dibuat. Dari beberapa klausul yang ada, terdapat sebuah klausul yang selalu dicantumkan yakni perihal keadaan kahar ataupun Force Majeure. Adapun klausul ini timbul dikarenakan terdapat keperluan pengaturan mengenai peristiwa yang bisa saja timbul yang mampu mengakibatkan konflik antar pihak. Kondisi ini seringkali dihubungkan dengan kondisi sebagai akibat dari kekuatan alam yang lebih besar seperti banjir, gempa bumi, gunung Meletus, tindakan pemerintah, serta yang lainnya. Akibat dari bencana ini, membuat para pihak terhalangi dalam melakukan prestasi di dalam perjajiannya dan tidak ada keterangan yang tegas dari para ahli hukum sehingga bisa menumbuhkan masalah dikemudian hari.
Sebelum itu terdapat sebuah 2 penelitian yang berhubungan dengan judul, yakni terkait penelitian pertama oleh Erwin Ericson Cristian dengan judul “Analisis Hukum Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Akibat Keterlambatan Pelaksana Perjanjian Pembangunan Rumah Komplek (Studi Putusan No. 3/Pdt.G.S/2021/PN Mdn)”6 tujuan penelitian ini untuk mengetahui Bagaimana penyelesaian sengketa wanpretasi akibat keterlambatan pelaksanaan perjanjian pembangunan rumah komplek dan Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus wanprestasi dalam putusan penyelesaian sengketa wanprestasi dalam perjanjian. Dan penulis kedua di tulis oleh Muhammad Zhafran, Sunarmi, Hasyim purba, Detania Sukarja dengan judul “Kebakaran Hutan dan
Bencana Asap Sebagai Dasar Force Majeure Dalam Pemenuhan Kewajiban Kontraktual”7 tujuan penelitian ini mengetahui Bagaimana Peristiwa Kebakaran Hutan dan Bencana Asap Dikategorikan Force Majeure dan Bagaimana Penetapan Hukum Dalam Putusan Pengadilan Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan Bencana Asap Sebagai Force Majeure. Dengan kedua penelitian ini memiliki tujuan yang berbeda dengan penelitian yang penulis yang akan bandingkan. Di dalam penelitian penulis menerangkan tujuan untuk bagaimana ketentuan dan cara menentukan adanya force majeure apabila tidak terdapat di dalam perjanjian klausul force majeure.
Rumusan permasalahan yang akan diulas sesuai latar belakang yang ada yakni:
-
1. Apa saja ketentuan - ketentuan Force Majeure?
-
2. Bagaimana cara menentukan adanya keadaan Force Majeure apabila tidak terdapat klausul Force Majeure dalam perjanjian?
Tujuan penyusunan penelitian ini yakni guna memahami bagaimana Force Majeure di dalam sebuah kontrak. Serta memahami dan juga mengetahui bagaimana dampak dari akibat tidak adanya wanprestasi atau Force Majeure dan apa saja syarat – syarat yang terdapat pada adanya Force Majeure.
Penyusunan penelitian ini mempergunakan metode penelitian hokum normative melalui analisis dengan peraturan perundang – undangan serta sejumlah referensi mengenai masalah Force Majeure. Penelitian ini mempergunakan pendekatan aturan undang – undang lewat pengkajian KUHPerdata.
Keberadaan Force Majeure memerlukan sebuah bukt. Maka dcukup sulit untuk menyampaikan bahwasanya sebuah bencana dikatakan sudah memenuhi konsepsi Force Majeure, sebab perlu dilakukan pembuktian bahwa apakah elemen yang terdapat di dalam Force Majeure sudah terpenuhi. Werner melis memaparkan, terdapat tulisan di dalam agri chairunisa yang mengatakan, elemen yang terdapat di Force Majeure yaitu fenomena yang timbul sebab terjadinya peristiwa alam, peristiwa yang tak terprediksi akan timbul dan peristiwa yang memperlihatkan ketidakmampuan memenuhi syarat dalam menjalankan kewajiban pada sebuah kontrak entah dengan cara keseluruhan ataupun sebatas pada waktu yang tertentu.8
Peristiwa yang dapat disebut wanprestasi ataupun Force Majeure wajib diperhatikan melalui pengamatan atas kekuatan debitur. Jika debitur berhasil melakukan prestasinya tetapi debitur tak melakukannya, maka diklasifikasikan sebagai sebuah wanprestasi. Tetapi jika debitur tak melakukan prestasinya dikarenakan mengalami kejadian diluar kemampuannya, maka dapat dikelompokan sebagai sebuah
Force Majeure.9 Ini sesuai tujuan dari sebuah teori kepastian hukum.10 Walaupun dengan kepastian hukum yang sudah berkembang di negara lain dan melalui upaya yang tak sama tetapi mempunyai inti yang sama.11
Apabila sedang terjadi ketidakmungkinan di dalam melakukan perjanjian tak mampu diterima begitu saja, tetapi wajib dilaksanakan penelitian terlebih dahulu. Force Majeure mampu mendorong debitur untuk ke dua kondisi ketidakmungkinan seperti ketidakmungkinan absolut serta relative. Ketidakmungkinan absolut yaitu memberikan akibat kepada debitur yang betul-betul tak memenuhi prestasinya.12 Ketidakmungkinan absolut yaitu Force Majeure yang sudah timbul namun masih memberi peluang untuk debiturnya menjalankan prestasinya.13
Menurut peraturan perundang – undangan pada pasal 1244 serta pasal 1245 KUHPerdata, mengenai kondisi Force Majeure harus memenuhi 4 kriteria yang wajib dilakukan pembuktian, yakni :
-
1) Pihak yang tak dapat melaksanakan kewajibannya karena terjadi sesuatu yang tak terprediksi
-
2) Hal itu tak mampu dipersalahkan kepada pihak yang bersangkutan.
-
3) Tak memiliki intensi kesengajaan.
-
4) Memiliki niat baik oleh para pihak yang kewajibannya terhalang sepenuhnya.
Klausul Force Majeure hampir selalu dimunculkan pada perjanjian yang sudah di buat. Perjanjian merupakan tindakan yang mana satu orang ataupun lebih yang mengikatkan dirinya kepada satu orang ataupun lebih. Sesuai peraturan perundang -undangan pada pasal 1320 KUHPerdata, sebuah perjanjian wajib memenuhi empat kriteria supaya mempunyai kekuatan hokum serta mengikat para pihak yang membuat, yakni :
-
1) Sepakat kepada mereka yang mengikatkan dirinya.
-
2) Kemampuan dalam merumuskan sebuah perikatan.
-
3) Perihal sesuatu hal.
-
4) Adanya penyebab yang sifatnya halal.
Salim HS menjelaskan Force Majeure ialah kondisi ketika debitur takk mampu melaksanakan prestasinya ke kreditor, karena keadaan yang sudah diluar kuasanya, contoh : gempa bumi, gunung Meletus, tsunami. Pada pengertian menurut R. Setiawan juga menjelaskan mengenai Force Majeure, bahwa terjadinya sebuah keadaan yang memaksa setelah dibuatkannya sebuah perjanjian, dan debitor terhalang dalam melaksanakan prestasinya yang dimana di dalam keadaan memaksa, maka debitor tidak bisa disalahkan karna tidak dapat memperkirakan keadaan tersebut datang.
Subekti mengatakan bahwa harus mempunyai keadaan yang terpenuhi maka keadaan tersebut bisa dikatakan memaksa, seperti suatu keadaan diluar kuasa yakni satu pihak yang harus melaksanakan prestasinya dan pada waktu dibuatkannya perjanjian tersebut tidak dapat diperkirakan keadaan memaksa tersebut akan terjadi.14 Melihat sejumlah pendapat di atas, dilihat umumnya sebuah fenomena mampu
dinyatakan Force Majeure yaitu saat ada fenomena yang menghalagi debitur dalam melengkapi prestasinya seperti yang ditetapkan pada perjanjian. Disyaratkan fenomena tersebut harus tak mampu diguga dengan para pihak ketika menutup sebuah perjanjian. Fenomena tersebut harus diluar kesalahan debitur dan tidak disengajakan oleh debitur.
Force Majeure bisa dibedakan jika dilihat dari jangka waktu terjadinya keadaan memaksa yakni :
-
1) Force Majeure permanen
Keadaan ini bisa dikelompokkan menjadi permanen apabila debitur tak mampu memenuhi prestasinya oleh sebab kondisi yang menimbulkan musnahnya sesuatu yang menjadi objek perjanjian dan bukan atas kesalahan yang diperbuat oleh debitor.
-
2) Force Majeure temporer
Keadaan ini bisa dikelompokkan menjadi temporer saat peristiwa yang terjadi dalam keadaan sementara waktu, menjadikan debitor tidakmelakukan prestasinya, saat keadaan memaksa sudah berakhir, debiur bisa melakukan prestasinya.
Dalam peraturan kitab undang – undang hokum perdata tepatnya pasal 1244 serta 1245 terkait Force Majeure, pada pasal 1244 memaparkan bahwa debitur harus mampu membuktikan ketika memang benar tidak dapat melaksanakan prestasi dikarenakan memiliki suatu keadaan memaksa dan tidak memiliki itikad buruk. Apabila tidak dapat membuktikan keadaan diatas dan dapat dikatakan sebuah Force Majeure, maka debitor wajib membayar biaya kerugian.
Terkait penggantian kerugian, Force Majeure adalah sebuah alasan membebaskan dari kewajiban untuk melakukan pembayaran ganti rugi. Menurut pasal 1244 KUHPerdata “jika memiliki alasan untuk si berutang wajib mengganti biaya ganti rugi dan bunga, apabila tidak dapat membuktikan, tidak dilaksanakan pada tepat waktu di dalam perjanjian itu, dikarenakan hal yang tidak terduga dan tidak bisa dipertanggungjawabkan olehnya, maka semuanya itu jika memiliki itikad buruk tidak ada pada pihaknya”. Sedangkan menurut pasal 1245 KUHPerdata lebih menjelaskan mengenai seorang debitur tidak dapat diminta biaya kerugian jika memang benar terjadinya suatu keadaan memaksa sehingga tidak terlaksana dalam menjalankan sebuah prestasinya. Pada pasal 1245 KUHPerdata diuraikan “tidaklah biaya, rugi dan bunga yang harus digantikannya, jika karena keadaan yang memaksa atau suatu keadaan yang tidak disengaja dan si berutang tidak dapat memberikan atau melakukan sesuatu yang diwajibkan atau karena memiliki hal – hal yang sama yang melarang sebuah perbuatan yang terlarang”.
Mengenai penjelasan yang sudah dikemukakan sebelumnya, Force Majeure pada KUHPerdata diuraikan pada pasal 1244, 1245, serta 1444 KUHPerdata. Akan tetapi pasal itu tak membahas spesifik terkait fenomena yang bagaimanakah diklasifikasikan sebagai Force Majeure. Kecuali di pasal 1244 KUHPerdata dijelaskan “terkait pada keadaan hilangnya benda pada objek perjanjian di luar dari kesalahan debitur, maka dari itu untuk menetapkan sebuah keadaan yang mampu dikatakan termasuk Force Majeure ataukah tidak, bisa mengacu ke kriteria Force Majeure.
KUHPerdata tidak menjelaskan secara jelas terkait keadaan yang termasuk syarat – syarat fundamental sebuah Force Majeure. Pada doktrin dijelaskan ada dua keadaan yang bisa menjadi landasan terdapatnya Force Majeure yaitu Act Of God ataupun Bencana Alam serta lenyapnya sebuah objek perjanjian. Menurut doktrin, jika pada implementasi perjanjian terjadi satu dari sejumlah keadaan di atas serta berimbas ke debitur dalam melakukan prestasinya, artinya terjadinya Force Majeure. Seorang debitur tak bisa disalahkan serta tak mampu memberikan pertanggungjawaban.
Keadaan yang sudah dianggap mampu membentuk landasan terdapatnya Force Majeure.
Berdasarkan penjelasan dari ketentuan – ketentuan kedua pasal di KUHPerdata tersebut, maka dapat dikatakan apabila suatu terjadinya kondisi Force Majeure yang telah memenuhi kriteria yang terdiri dari :
-
1) Tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajibannya tidak disebabkan bagi unsur kelalaian atau kesengajaan.
-
2) Peristiwa yang terjadi merupakan peristiwa yang tidak dapat terduga, sehingga mengakibatkan pihak di dalam kontrak yang bisa memenuhi kewajiban – kewajibannya seperti yang telah termuat di dalam kontrak.
-
3) Terjadinya peristiwa yang tidak terduga tersebut tidak bisa untuk diminta pertanggungjawabannya kepada pihak yang tidak dapat melakukan kewajiban atau prestasinya.
-
4) Di dalam pemenuhan setiap kewajiban atau prestasinya, pihak yang tak mampu melaksanakan kewajiban, masih mempunyai niat baik pada dirinya.
Mengenai penjelasan ini, maka pada hukum perjanjian sejatinya memberi sebuah keleluasaan bagi masyarakat guna melakukan perjanjian apapun, selagi tak bertentangan dengan kesusilaan, kepatutan, serta ketertiban umum. Ketika merumuskan perjanjian, terdapat beragam tipe serta upaya yang dibutuhkan, ini sudah dijelaskan pada undang-undang dan juga kebiasaan yang dilaksanakan di keseharian. Dengan ini tujuan perjanjian yaitu memberi sebuah perlindungan hukum teruntuk pihak yang melaksanakan perjanjian alhasil hal-hal yang sudah ditetapkan di dalam perjanjian mampu dilaksanakan secara baik serta memiliki batas-batas kewajiban serta hak para pihak.
-
3.2. Cara menentukan adanya keadaan Force Majeure apabila tidak terdapat klausul Force Majeure dalam perjanjian
Force Majeure adalah satu dari sekian elemen sebuah hukum kontrak. Sedangkan hukum kontrak merupakan elemen dari hukum perdata. Adapun hukum ini mengarahkan fokus ke keharusan memenuhi kewajibannya. Maka disebutkan sebagai elemen hukum perdata dikarenakan pelanggaran mengenai kewajiban yang sudah ditetapkan pada perjanjian sejatinya merupakan urusan pihak yang mengikatkan diri.15
Dalam suatu kontrak, kedudukan Force Majeure terdapat di dalam pokok sebuah kontrak. Adanya sebuah klausul Force Majeure di dalam isi kontrak sangat penting untuk menghindari sebuah konflik dan perselisihan yang muncil dari non-kinerja akibat peristiwa dari Force Majeure. Keadaan memaksa bisa dikategorisasikan dalam kondisi memaksa absolut serta relative.
Adanya kondisi yang ditemukan terhadap satu pihak yaitu debitur tidak bisa memenuhi tanggungjawabannya yang berupa kewajiban atau prestasinya kepada debitur karena adanya suatu peristiwa atau bencana yang dialami debitur diinginkannya atau diluar kendali debitur, yang dimaksudkan sebagai keadaan memaksa yang berisifat absolut. Sedangkan peristiwa yang dimana salah satu pihak debitur diperbolehkan untuk melaksanakan kewajiban atau prestasinya kepada kreditur hanya sedikit menjadi berubah, dimaksudkan sebagai keadaan memaksa relative.
Suatu kontrak, yang sudah disepakati dengan cara bersama terkait kewajiban untuk para pihak memenuhi isi kontrak adalah multak. Dengan adanya sebuah kontrak yang sudah disepakati bersama membuat adanya perikatan. Di dalam perikatan
memutuskan ada atau tidaknya sebuah wanprestasi, yang sangat penting yaitu terkait penerapan perikatan pada waktunya. Ditentukannya si debitur yang sudah melakukan tindakan wanprestasi dilihat didalam bentuk ketidaklaksanaan suatu perikatan sesuai pada waktunya.
Sebuah kontrak, sangat penting memperhatikan Force Majeure yang sudah ditentukan di dalam isi kontrak. Apabila di dalam isi kontrak para pihak tidak ada mengatur Force Majeure maka pihak – pihak yang berkaitan harus turut kepada undang – undang. Menurut ahli Mariam Darus, dengan adanya Force Majeure untuk memiliki sebuah alasan pembenar yaitu memiliki tujuan membebaskan debitur dari pertanggungjawabaan untuk ganti rugi yang merupakan kehendak dari pembentuk undang – undang. Dengan adanya keberadaan Force Majeure, tidak langsung dipergunakan sebagai alasan agar bisa membatalkan sebuah kontrak, hanya bisa digunakan untuk mengemukakan pihak – pihak yang ini melakukan negosiasi untuk membatalkan atau merubah isi dari kontrak.
Kedudukan Force Majeure di suatu perjanjian, Force Majeure adalah sebuah klausula yang biasanya berada di dalam sebuah perjanjian, dikarenakan posisi Force Majeure di sebuah kontrak maupun perjanjian ada pada perjanjian pokok, melekat menjadi perjanjian tambahan serta dihubungkan dengan sebuah perjanjian pokok yang sepatutnya perjanjian accesoir ataupun Force Majeure tertera pada bagian pasal yang penting di dalam isi kontrak atau perjanjian. Eksistensi Klausul Force Majeure tidak akan ada jika para pihak – pihak tidak menyetujui suatu perjanjian. Menurut ahli V. Brakel menerangkan, dengan terdapatnya Force Majeure berdampak ke kewajibannya prestasi dari pihak debitur yang mampu dihapus serta akibatnya pihak debitur tak harus menggantikan kerugian pihak kreditur yang sebabkan karena peristiwa memaksa.
Sebagai halnya dijelaskan bahwasanya dampak penting dari sebuah Force Majeure ialah “siapa yang harus menanggung sebuah resiko dari peristiwa – peristiwa yang merupakan adanya Force Majeure tersebut”. Sesuai pasal 1237 KUHPerdata dijelaskan, “di dalam adanya suatu perikatan untuk menyerahkan suatu kebendaan tertentu, bahwa mulai dari perikatan – perikatan dibentuk, benda – benda tersebut manjadi tanggungan pihak kreditur”. Sesuai ketetapan di pasal 1237 KUHPerdata di atas, disebutkan apabila timbul Force Majeure atas sebuah kontrak yang sepihak, atas risikonya menjadi tanggungan kreditur, terkecuali apabila debitur lalai memberi prestasinya dan awal dari kelalaian tersebut menajdi resiko dari pihak debitur. Force Majeure begitu melekat kaitannya dengan permasalahan ganti rugi sebuah kontrak dikarenakan Force Majeure memberikan dampak hukum, tak hanya tidak telaksananya kewajiban dalam melakukan prestasi dalam sebuah perjanjian tetapi juga Force Majeure mampu membebaskan para pihak agar menyerahkan penggantian atas kerugian sebagai dampak dari tak telaksanakannya perjanjian yang sudah berkaitan.
Pada asas kebebasan yang berkontrak memiliki sifat umum yang melihat terdapatnya keinginan bebas dari tiap pihak yang merumuskan suatu perjanjian ataupun tak dalam merumuskan perjanjian, tetapi dibatasi demi kepentingan umum serta pada setiap perjanjian wajib terdapat keseimbangan. Dalam membuat perjanjian, pihak – pihak akan meninjau resiko – resiko apa yang timbul yang terkait penerapan perjanjian. Ini mengakibatkan pasal yang perihal wanprestasi serta Force Majeure amat krusial, pasal ini tak saja perihal terhambatnya melakukan prestasi, namun mampu membebaskan pihak – pihak dari ganti rugi sebagai dampak dari tak terlaksanakannya suatu perjanjian.16
Suatu perjanjian kadang kala terjadi suatu masalah yang dimana para pihak tak mampu melakukan pemenuhan kewajiban sesuai kesepakatan dan disepakati atau yang disebut wanprestasi. Wanprestasi dapat berupa tidak melakukan prestasinya, melaksanakan yang ada di dalam suatu perjanjian yang dilarang untuk dilakukannya. Namun, tak seluruh tindakan wanprestasi mampu diminta penggantian kerugian, dikarenakan bilamana pihak – pihak tidak dapat melakukan kewajiban oleh sebab yang tak disengaja ataupun karena itikad buruk, maka pihak terkait mampu dibebaskan dari biaya ganti rugi.
Menurut hal yang dijelaskan di pasal 1244 KUHPerdata serta pada pasal 1245 KUHPerdata mengenai Force Majeure, jika tak ada klausul Force Majeure mengakibatkan mampu timbul ketidakjelasan mengenai prosedur pelaporan jika mengalami Force Majeure ke kreditur. Lain daripada itu, mampu timbul ambiguitas terkait berlangsungnya sebuah perjanjian, entah perlu dihentikan atau dilanjutkan dengan keringanan tertentu.
Hukum perjajian memberikan ruang terhadap para pihak guna merumuskan isi perjanjian. Isi suatu perjanjian supaya bisa memberi rasa adil yang tak bisa dilepas dari kriteria sebuah perjanjian, yakni tawar-menawar oleh pihak-pihak ataupun adanya status yang dipunyai para pihak yang ingin melaksanakan perjanjian. Terdapatnya penawaran pada suatu perjanjian ialah sesuatu yang penting ketika pembuatan kontrak, kemudian para pihak pihak – pihak mengerti dan mempelajari setiap masing – masing klausa yang diperjanjikan.17 Seperti itu juga di dalam suatu perjanjian, susunan klausul Force Majeure wajib dicantumkan di dalam suatu perjanjian, agar menjauhi sesuatu yang buruk yang bisa terjadi pada saat melakukan pekerjaan yang sedang dilakukan.
Apabila tidak menuangkan klausul Force Majeure ataupun kondisi memaksa pada sebuah perjanjian, tak berarti secara sendirinya perlindungan yang sudah diberi oleh undang-undang menjadi terbatas, lenyap, ataupun dikesampingkan. Namun dengan tak mencantumkan klausul Force Majeure dianggap sebuah kekeliruan pada perumusan perjanjian, pada akhirnya menimbulkan sengketa. Dua belah pihak tentu akan merasakan kerugian bahkan akhirnya berpotensi saling melakukan penuntutan.
Dengan terdapatnya kejadian Force Majeure, tak dapat dibuatkan alasan pembatalan sebuah perjanjian18 yang merupakan pembatalan sebuah perjanjian dengan alasan terdapat suatu keadaan Force Majeure tergantung kepada isi dari klausul pada perjanjian dan harus diamati apakah pada klausul ada suatu kesepakatan apabila timbul Force Majeure, isi suatu kontrak dapat disampingi ataukah tidak.
Suatu keadaan pada syarat – syarat Force Majeure perlu sebuah bukti bahwa tak mudah sebuah bencana dikatakan sebagai konsep Force Majeure. Peristiwa keadaan memaksa atau Force Majeure terjadi apabila terjadinya suatu alam dan peristiwa yang tidak dapat diperkirakan akan terjadi. Dengan demikian, harus memiliki keadaan yang
meyakinkan sehingga dapat dikatakan keadaan memaksa. Bilamana digolongkan sebagai sebuah wanprestasi ataupun Force Majeure, diketahui dengan mengamati kapabilitas yang dimiliki debitur, jika debitur tidak melakukan prestasinya, maka dikatakan sebagai Force Majeure. Keadaan memaksa atau Force Majeure juga wajib memenuhi kriteria yang terdapat dalam pasal 1244 serta 1245 KUHPerdata. Di dalam ketentuan pasal, tidak menjelaskan secara jelas peristiwa yang terjadi dapat dikatakan Force Majeure kecuali pada pasal 1444 KUHPerdata. Maka dari itu suatu peristiwa – peristiwa dikatakan termasuk Force Majeure ataukah tidak, mampu dilihat juga dari kriteria pada doktrin. Mengenai penjelasan ini, maka pada hukum perjanjian sejatinya memberi keleluasaan bagi masyarakat guna melakukan perjanjian apapun, selagi tak bertentangan dengan kesusilaan, kepatutan, serta ketertiban umum. Dalam kontrak sangat penting memperhatikan Force Majeure yang sudah ditentukan di dalam isi kontrak. Dikarenakan untuk menghindari sebuah konflik dan perselisihan yang muncil dari non-kinerja akibat peristiwa dari Force Majeure. Di dalam sebuah kontrak, yang sudah disepakati dengan cara bersama terkait kewajiban untuk para pihak memenuhi isi kontrak adalah multak. Dengan adanya sebuah kontrak yang sudah disepakati bersama membuat adanya perikatan. Dalam perikatan memutuskan ada atau tidaknya sebuah wanprestasi, yang sangat penting yaitu terkait penerapan perikatan pada waktunya. Ditentukannya si debitur yang sudah melakukan tindakan wanprestasi dilihat didalam bentuk ketidaklaksanaan suatu perikatan sesuai pada waktunya. Apabila di dalam isi kontrak para pihak tidak ada mengatur Force Majeure maka pihak – pihak yang berkaitan harus turut kepada undang – undang yang diatur pada pasal 1237, 1244 dan 1245 KUHPerdata. Setelah mengetahui ketentuan dan kedudukan tentang Force Majeure yang ada di Indonesia, dengan dijelaskan secara rinci tentang bagaimana bentuk tanggungjawab kerugian pada perjanjian, maka tidak terdapat celah hukum yang dapat menimbulkan kerugian terhadap kedua belah pihak. Penulis berharap hendaknya peraturan dan undang – undang terkait dalam menjelaskan lebih jelas dan rinci, karena masih belum adil atau belum terdapat peraturan yang jelas dan menyeluruh tentang Force Majeure, khususnya bab pada kerugian, bagaimanapun perjanjian yang sudah dilaksanakan secara bersama – sama dan kerugianpun harus dilakukan secara bersama dan adil di dalam melaksanakan perjanjian yang sudah dibuat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Putra, Darwin Effendi. Efektifitas Memorandom Of Understanding (MoU) Dalam
Pembuatan suatu Perjanjian di Bidang Pendidikan (Yogyakarta, 2016), 1
Putra, R. Subekti. Hukum Perjanjian (Jakarta 2016), 1.
Meriana Utama dan Arfiana Novera. Hukum Kontrak dan Arbitrase (Malang, 2014), 5.
Putra, Hero Pandi. Penyelesaian Ganti Rugi Karena Force Mejeure Dalam Kasus Jasa Pengangkutan, (Malang, 2019), 7.
Jurnal
T, pangaribuan. “Permasalahan penerapan klausula pembatasan pertanggungjawaban dalam perjanjian terkait hak menuntut ganti kerugian akibat wanprestasi.” Jurnal Hukum & Pembangunan 49, No.2 (2019): 443-454.
Sufiarina dan Sri Wahyuni, ”Force Majeure dan Notoir Feiten Atas Kebijakan PSBB Covid-19.” Jurnal Hukum Sasana 6, No. 1 (2020): 1-15, hlm. 6.
Zhafran, Muhammad, et al. "Kebakaran Hutan Dan Bencana Asap Sebagai Dasar Force Majeure Dalam Pemenuhan Kewajiban Kontraktual." Locus Journal of Academic Literature Review (2022): 289-297.
A.C Isradjuningtias. “Force majeure (overmacht) dalam hukum kontrak (perjanjian) indonesia” Veritas et Justitia 1, No.1 (2015): 136-158.
Ayhan Tahan, “The Principle of Legal Certainty in EU Case Law”, Toddae’s Review of Public Administration 4, No.3 (2014): 149-183.
Bronislav Totskyi. “Legal Certainty As A Basic Principle off the Land Law of Ukraine” Jurisprudence 21, No.1 (2014): 2006.
Lathifah Hanim, MS.Noorman. “Penyelesaian Perjanjian Kredit Bank Sebagai Akibat force Majeure Karena Gempa Di Yogyakarta.” Jurnal Pembaharuan Hukum Volume III, No. 2 (2016): 168.
Umdah Aulia Rohmah. “Konsep Force Majeure Dalam Akad Murabahah Dan Implementasinya Pada Lembaga Keuangan Syariah” Lex Renaissance No. 1 Vol. 4 (2019): 104 – 125, 113.
Romlah, Siti. "Covid-19 Dan Dampaknya Terhadap Buruh di Indonesia."' ADALAH 4, no. 1 (2020).
M. Mutartom. “Asas-Asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan Dalam Pembuatan Kontrak” Jurnal Suhuf. 26, No.1 (2014): 50.
Yulia Ika Putranti. “Tinjauan Mengenai Force Majeure (Overmacht) Pada Formulir Jaminan Pelaksanaan Surety Bond Serta Batas Kewenangan Suatu Perusahaan Surety Untuk Memeriksa Security Principal Di Pt Asuransi Jasa Raharja Putera Caba Yogyakarta.” Jurnal Fakultas Ilmu Hukumhukum Ekonomi Bisnis universitas Atma Jaya, (2014): 9.
Muhammad Hasan Muaziz dan Achmad Busro. “Pengaturan Klasula Baku Dalam Hukum Perjanjian Untuk Mencapai Keadilan Berkontrak” Jurnal Law Reform 11, No. 1 (2015).
Suhandi Cahaya. “Pandangan Hakim Terhadap Keadaan Memaksa.” Jurnal Universitas Indonesia, (2012): 521.
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 2 Tahun 2023 hlm 127-137
137
Discussion and feedback