ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 12 NO.5,MEI, 2023


Diterima: 15-12-2022 Revisi: 30-02-2023 Accepted: 25-04-2023

EKSPRESI EPIDERMAL GROWTH FACTOR RECEPTOR (EGFR) TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO RESPON KEMORADIASI NEGATIF PADA KARSINOMA NASOFARING NON-KERATINISASI SUBTIPE TIDAK BERDIFERENSIASI DI RSUP PROF. DR. I.G.N.G.

NGOERAH

Christine Rosalina Butar Butar1, I Gusti Ayu Sri Mahendra Dewi1, Luh Putu Iin Indrayani Maker1, Ni Made Mahastuti1, Putu Erika Paskarani1, I Made Muliarta2

  • 1Program Studi Spesialis Patologi Anatomik, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Prof.dr.I.G.N.G. Ngoerah Denpasar, Bali-Indonesia

  • 2Departemen Fisiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Prof.dr.I.G.N.G. Ngoerah Denpasar, Bali-Indonesia

Email korespondensi :

I Gusti Ayu Sri Mahendra Dewi [email protected]

ABSTRAK

Kasus karsinoma nasofaring (KNF) semakin meningkat, dengan 20-30 persen pasien mengalami gagal terapi/rekurensi dan/atau metastasis. Overekspresi EGFR mencapai 80% pada biopsi KNF primer dan dianggap sebagai faktor risiko kegagalan terapi. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa ekspresi EGFR tinggi sebagai faktor risiko respon kemoradiasi negatif pada karsinoma nasofaring non-keratinisasi subtipe tidak berdiferensiasi di RSUP Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah. Sampel penelitian ini adalah penderita karsinoma nasofaring non-keratinisasi subtipe tidak berdiferensiasi dan telah mendapatkan terapi kemoradiasi lengkap yang bahan biopsinya diperiksa secara histopatologi di Laboratorium Patologi Anatomi RSUP Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah, yang terdiri dari 23 sampel kelompok kasus yaitu dengan respon kemoradiasi negatif dan 23 sampel kelompok kontrol yaitu dengan respon kemoradiasi positif dari tanggal 1 Januari 2017 sampai 31 Desember 2021. Ekspresi EGFR dinilai dengan pewarnaan imunohistokimia. Hasil penelitian ini menunjukkan rerata usia pasien 48,63 tahun, dengan usia termuda 23 tahun dan tertua 71 tahun serta didominasi oleh pria (62,5%). Ekspresi EGFR dan respon kemoradiasi pada KNF dengan analisis chi-square, didapatkan p-value sebesar 0,044 (p<0,05) dan OR=4,286. Simpulan penelitian ini adalah ekspresi EGFR tinggi merupakan faktor risiko respon kemoradiasi negatif pada pasien karsinoma nasofaring non-keratinisasi subtipe tidak berdiferensiasi. Pasien karsinoma nasofaring non-keratinisasi subtipe tidak berdiferensiasi dengan ekspresi EGFR yang tinggi memiliki risiko 4,3 kali lebih tinggi untuk mendapatkan respon kemoradiasi negatif dibandingkan pasien karsinoma nasofaring non-keratinisasi subtipe tidak berdiferensiasi dengan ekspresi EGFR yang rendah.

Kata kunci : EGFR, karsinoma nasofaring, tidak berdiferensiasi, kemoradiasi

ABSTRACT

Cases of nasopharyngeal carcinoma (NPC) are increasing, with 20-30 percent of patients experiencing treatment failure/recurrence and/or metastases. EGFR overexpression reaches 80% in primary NPC biopsies, considered a risk factor for treatment failure. This study aims to prove that high EGFR expression is a risk factor for negative chemoradiation responses in nonkeratinizing nasopharyngeal carcinoma, undifferentiated subtype at Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah Hospital. The sample of this study were patients with nonkeratinizing nasopharyngeal carcinoma, undifferentiated subtype who had received complete chemoradiation therapy and whose biopsy material was examined histopathologically at the Anatomical Pathology Laboratory of Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah, which

consisted of 23 case group samples with a negative chemoradiation response and 23 control group samples with a positive chemoradiation response from 1 January 2017 to 31 December 2021. EGFR expression was assessed by immunohistochemical staining. The results of this study showed the average age of patients was 48.63 years, with the youngest age at 23 years and the oldest at 71 years, and dominated by men (62.5%). EGFR expression and chemoradiation response in KNF with chi-square analysis obtained a p-value of 0.044 (p<0.05) and OR=4.286. The conclusion of this study is that high EGFR expression is a risk factor for negative chemoradiation response in patients with nonkeratinizing nasopharyngeal carcinoma, undifferentiated subtype. Nonkeratinizing nasopharyngeal carcinoma, undifferentiated subtype patients with high EGFR expression had a 4.3 times higher risk of getting a negative chemoradiation response than nonkeratinizing nasopharyngeal carcinoma, undifferentiated subtype patients with low EGFR expression.

Keywords: EGFR, nasopharyngeal carcinoma, undifferentiated, chemoradiation

  • 1.    PENDAHULUAN

Kanker merupakan penyebab utama kematian di seluruh dunia. Insiden kanker meningkat pada beberapa dekade terakhir, termasuk insiden kanker pada kepala dan leher, khususnya kanker pada nasofaring. Kanker pada nasofaring dapat berasal dari epitel, mesenkim, limfoid, maupun neuroektodermal. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan neoplasma yang berasal dari sel epitel mukosa nasofaring yang menunjukkan diferensiasi skuamosa, mencakup karsinoma sel skuamousa tipe non-keratinisasi, keratinisasi, dan basaloid. Karsinoma sel skuamousa non-keratinisasi selanjutnya dikategorikan menjadi karsinoma berdiferensiasi dan karsinoma tidak berdiferensiasi.1,2

Karsinoma nasofaring merupakan tumor endemik di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, serta Afrika tetapi dapat ditemukan di seluruh dunia. Keganasan ini menunjukkan tingkat kejadian yang bervariasi mulai dari insiden tinggi di bagian Cina Selatan (25-50 kasus per 100.000) dan insiden yang lebih rendah pada populasi Eropa (1 kasus per 100.000). Karsinoma ini lebih sering terjadi pada pria daripada wanita.3 Di seluruh dunia, sekitar 133.000 orang didiagnosis dengan karsinoma nasofaring dan 80.000 orang meninggal pada tahun 2020.4 Kasus KNF di Indonesia cukup tinggi, mencapai 13.084 kasus, dengan jumlah kematian mencapai 7.391 pada tahun 2012 dan merupakan kasus terbanyak di Asia Tenggara.2 Insiden keseluruhan diperkirakan 6,2/100.000 atau sekitar 12.000 kasus baru per tahun.5 Berdasarkan data statistik Indonesia, karsinoma nasofaring merupakan karsinoma terbanyak ke empat pada pria di Indonesia dengan persentase mencapai 8,7%. Sedangkan berdasarkan data akumulasi kanker 2017-2019 di Bali, kasus karsinoma nasofaring menempati urutan terbanyak keempat berdasarkan topografi, yaitu mencapai 306 kasus (4,9%) dan merupakan kasus terbanyak pada pria di Bali.6

Tumor ini dihasilkan dari kombinasi predisposisi genetik, faktor lingkungan, dan infeksi EBV. Karsinogen penyebab dari karsinoma ini belum diidentifikasi secara definitif, tetapi merokok tembakau dan alkohol serta konsumsi makanan yang diasinkan dengan nitrosamine tinggi atau difermentasi merupakan faktor risiko untuk karsinoma nasofaring non-keratinisasi. Faktor lingkungan seperti

pekerjaan yang terpapar debu kayu, formaldehida, panas, asap, debu, dan bahan kimia juga merupakan faktor risiko. KNF non-keratinisasi dikatakan sangat berkaitan dengan EBV, khususnya pada daerah endemik, sedangkan KNF keratinisasi tidak terkait dengan EBV.1

Terapi utama karsinoma ini adalah radioterapi.3 Radioterapi dikombinasi dengan kemoterapi merupakan pengobatan standar untuk penyakit stadium awal atau stadium lanjut. Modalitas pengobatan multidisiplin menggabungkan radioterapi, kemoterapi, dan terapi target telah menjadi pola pengobatan utama karsinoma nasofaring di negara maju. Namun, terdapat 20-30% pasien yang telah menjalani perawatan dengan modalitas pengobatan secara sistematis, mengalami gagal terapi dan rekurensi lokoregional dan/atau metastasis jauh. Pasien dengan rekurensi atau metastasis, prognosisnya sangat buruk, dengan kelangsungan hidup rata-rata berkisar antara 15-29 bulan.7 Sekitar 7-15% pasien mengalami rekurensi setelah radioterapi radikal, dan 10- 40% dari pasien mengalami kekambuhan dalam 1-2 tahun setelah awal terapi.8 Kegagalan terapi ini dibagi menjadi dua yaitu residual dan rekurensi. Kondisi residual didefinisikan sebagai kegagalan regresi penyakit dalam 6 bulan setelah terapi, sedangkan rekurensi didefinisikan sebagai adanya penyakit yang dikonfirmasi setelah jangka waktu 6 bulan setelah terapi dengan adanya pencapaian remisi lengkap sebelumnya.9 Rekurensi lokal mencapai 70%, rekurensi regional mencapai 25%, dan 8%– 28% pasien mengalami rekurensi lokoregional dari semua kasus rekurensi KNF. Sebagian besar rekurensi terjadi dalam lima tahun pertama.10

Dengan perkembangan bioteknologi, banyak target gen tumor telah diteliti, salah satunya adalah epithelial growth factor receptor (EGFR), juga disebut HER1 atau ErbB1 yang merupakan reseptor transmembran 170 kDa. EGFR terdiri dari tiga domain penting, seperti wilayah ekstraseluler, wilayah transmembran, dan wilayah intraseluler.11 Domain ekstraseluler berikatan dengan reseptor ligan spesifik, yang menyebabkan fosforilasi reseptor-tirosin kinase di domain sitoplasma dan mengaktifkan jalur hilir, termasuk jalur RAS/RAF/MEK/ERK, JAK/STAT dan PI3K/AKT.11

Pensinyalan ini terlibat dalam proliferasi sel tumor, kelangsungan hidup, diferensiasi, invasi, migrasi. 7,11,12 Pada epitel normal, EGFR diekspresikan oleh sel epitel dan sel mesenkim, dimana terdapat keseimbangan diferensiasi seluler dan proliferasi sel yang terkontrol dengan baik. Overekspresi EGFR pada KNF cukup sering dan telah dilaporkan setinggi 80% dalam biopsi KNF primer.11,14,15 Overekspresi EGFR dapat menyebabkan proses invasi tumor sebesar 60%, prognosis dan toleransi obat yang buruk, metastasis tumor, dan tingkat kelangsungan hidup yang rendah. Analisis TCGA mengungkapkan bahwa pasien dengan ekspresi mRNA EGFR yang tinggi memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan ekspresi yang rendah. 13, 16

Adanya infeksi EBV merangsang endositosis EGFR dan translokasi ke dalam nukleus. Sementara EGFR pada sitoplasma mengikat siklin D1 dan E untuk menginduksi perkembangan fase G1/S, EGFR pada intranuklear bertindak sebagai faktor transkripsi untuk mempromosikan ekspresi komponen proliferasi seluler.14 Protein membran laten 1 (LMP1) yang dikodekan EBV secara langsung juga mengaktifkan PI3K, yang mengarah ke fosforilasi Akt dan aktivasi beberapa pensinyalan hilir, meliputi degradasi cyclin-dependent kinase inhibitor p27, mengakibatkan perkembangan siklus sel.14 EGFR dianggap sebagai biomarker prognostik potensial untuk pasien KNF stadium lanjut.16 Ekspresi tinggi EGFR dikaitkan dengan overall survival dan disease-free survival yang lebih pendek, sehingga EGFR dapat berfungsi sebagai faktor prognostik potensial untuk pasien dengan KNF.15 Pada kaitannya dengan resistensi terhadap kemoradiasi, EGFR secara mekanis mengaktifkan STAT3 yang akan terfosforilasi dan memasuki nukleus untuk meningkatkan ekspresi c-Myc, yang menghambat p27. p27 bergantung pada siklinkinase (CDK) inhibitor yang membatasi perkembangan siklus sel dengan menahan sel pada fase G1. Ekspresi p27 yang rendah dapat mengubah siklus sel menjadikan sel kanker lebih resisten terhadap radiasi.17 Secara mekanis, autofagi yang diinduksi hipoksia juga berkontribusi pada radioresistensi. Pada KNF, LAPTM4B berinteraksi dengan EGFR dan Beclin1 untuk meningkatkan autofagi, sehingga meningkatkan radioresistensi sel tumor. Resistensi terhadap cisplatin yang merupakan agen kemoterapi paling sering berkaitan dengan EGFR. Pada studi klinis, ditunjukkan bahwa di antara pasien yang diterapi dengan neoadjuvant cisplatin, pasien nonreaktif lebih sering memiliki tumor dengan overekspresi EGFR, sehingga EGFR dapat menjadi faktor kunci dalam kemoresistensi terhadap cisplatin.17

  • 2.    BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan suatu penelitian retrospektif dengan rancangan penelitian kasus-kontrol yang membandingkan dua kelompok tidak berpasangan berdasarkan kategori variabel dependen. Sampel penelitian ini adalah penderita karsinoma nasofaring non-keratinisasi subtipe tidak berdiferensiasi yang telah mendapatkan terapi kemoradiasi

lengkap yang bahan biopsinya diperiksa secara histopatologi di Laboratorium Patologi Anatomi RSUP Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah Denpasar yang terdiri dari kelompok kasus yaitu dengan respon kemoradiasi negatif dan kelompok kontrol yaitu dengan respon kemoradiasi positif dari tanggal 1 Januari 2017 sampai 31 Desember 2021 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang ditetapkan peneliti. Besar sampel 46 terdiri dari 23 kelompok kasus dan 23 kelompok kontrol. Pada masing-masing kelompok selanjutnya dilakukan pemeriksaan untuk menilai ekspresi EGFR dari blok parafin yang disimpan di Laboratorium Patologi Anatomi RSUP Prof.dr.I.G.N.G Ngoerah saat diagnosis ditegakkan.

Kriteria inklusi meliputi sediaan blok parafin dari bahan biopsi nasofaring dengan diagnosis karsinoma nasofaring non-keratinisasi subtipe tidak berdiferensiasi telah tegak secara histopatologi sebelum mendapatkan terapi kemoradiasi, data respon klinis dan histopatologi post kemoradiasi yang lengkap, blok parafin dalam kondisi baik dan masih mengandung jaringan epitel permukaan dan jaringan tumor yang cukup untuk dilakukan pemotongan ulang dan pemeriksaan imunohistokimia, dan pasien telah mendapatkan kemoradiasi komplit. Kriteria eksklusi meliputi blok parafin yang tidak cukup mengandung massa tumor, rusak atau berjamur.

Karsinoma nasofaring yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keganasan yang berasal dari mukosa nasofaring yang menunjukkan bukti diferensiasi skuamosa dengan mikroskop cahaya, imunohistokimia, atau mikroskop elektron1 yang terdiri dari tipe keratinisasi, non-keratinisasi (berdiferensiasi dan tidak berdiferensiasi), tipe basaloid. Pada penelitian ini yang dipakai sebagai sampel penelitian adalah karsinoma nasofaring, non-keratinisasi subtipe tidak berdiferensiasi (yang dinilai dari pulasan HE) yaitu keganasan dengan morfologi sel berbentuk spindle dengan inti bulat, nukleolus yang menonjol, kromatin inti yang tersebar, dan sitoplasma sedikit eosinofilik hingga amfofilik, membentuk pola pertumbuhan Regaud dan pola pertumbuhan Schmincke 18,19 yang diambil dari sistem SIMARS.

Respon kemoradiasi didefinisikan sebagai respon sel-sel ganas nasofaring terhadap kemoradiasi yang terdiri dari respon negatif dan respon positif. Respon kemoradiasi negatif yaitu kegagalan regresi tumor setelah kemoradiasi radikal yang dibuktikan dengan masih adanya sel-sel ganas viable dengan morfologi yang sesuai untuk karsinoma nasofaring non-keratinisasi subtipe tidak berdiferensiasi, sedangkan respon kemoradiasi positif yaitu adanya regresi tumor setelah kemoradiasi radikal yang dibuktikan dengan tidak adanya sel-sel ganas viable dengan morfologi yang sesuai untuk karsinoma nasofaring non-keratinisasi subtipe tidak berdiferensiasi, keduanya dinilai dengan pemeriksaan histopatologi dari bahan biopsi dalam jangka waktu lebih dari sama dengan 6 bulan hingga 12 bulan setelah kemoradiasi lengkap9,20 oleh dokter spesialis Patologi Anatomik dan diambil dari sistem SIMARS. Kemoradiasi lengkap sesuai

panduan praktik klinis KSM Ilmu Kesehatan THT-KL karsinoma nasofaring di RSUP Prof.dr.I.G.N.G. Ngoerah yaitu kemoterapi yang dilakukan 6 seri (dengan kombinasi Karboplatin 300mg/m2 dan Docetaxel 75 mg/m2) dan 35 kali radioterapi (dosis 70 Gy).

Ekspresi epidermal growth factor receptor (EGFR) adalah ekspresi reseptor dari faktor pertumbuhan epidermal yang diperiksa dengan penilaian pulasan imunohistokimia menggunakan sigma Aldrich cell marque rabbit monoclonal antibody EGFR (SP 84) Vantagebio. Prosedur penilaian pulasan imunohistokimia EGFR meliputi penilaian hasil pulasan EGFR yang didasarkan pada intensitas pewarnaan, kontinuitas dan cakupan luas pulasan EGFR. Ekspresi EGFR diperiksa dengan penilaian menggunakan skor pemeriksaan imunohistokimia dimana skor 0: tidak ada pewarnaan membran sel atau pewarnaan membran sel pada ≤10% dari sel tumor; skor 1+: pewarnaan lemah dan sebagian membran sel pada lebih dari 10% sel tumor; skor 2+: pewarnaan sedang dan lengkap membran sel pada lebih dari 10% sel tumor; skor 3+: pewarnaan yang kuat dan lengkap membran sel pada lebih dari 10% sel tumor. Penilaian dilakukan dengan mengamati pulasan pada mikroskop dengan pembesaran 100x dan 400x; Skor 2+ dan 3+ didefinisikan sebagai ekspresi tinggi sedangkan skor 0 dan +1 sebagai ekspresi rendah.

Data diolah menggunakan Program SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) 25.0 for Windows. Analisis deskriptif yang meliputi karakteristik sampel penelitian, yaitu umur, jenis kelamin dan stadium klinis. Analisis bivariat pada penelitian kasus kontrol dihitung odds ratio ekspresi EGFR terhadap respon kemoradiasi menggunakan uji statistik Chi Square berdasarkan tabel 2x2. Uji ini bertujuan membandingkan proporsi ekspresi EGFR berdasarkan kelompok kasus dan kelompok kontrol serta menilai ekspresi EGFR sebagai faktor risiko respon kemoradiasi. Proses penarikan kesimpulan berdasarkan nilai interval kepercayaan (IK) 95% dan nilai probabilitas (p) < 0,05.

  • 3.    HASIL PENELITIAN

Pada penelitian ini dipilih 46 kasus secara konsekutif yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebagai sampel penelitian, dimana 23 sampel merupakan kelompok kasus dan 23 sampel merupakan kelompok kontrol. Karakteristik sampel penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Terdapat beberapa karakteristik yang dinilai, antara lain usia, jenis kelamin dan stadium klinis TNM. Dari 46 sampel tersebut, mayoritas berusia lebih dari sama dengan 40 tahun yaitu mencapai 42 sampel (91,3%) dan 4 sampel (8,7%) berusia kurang dari 40 tahun. Rerata usia sampel penelitian adalah 48,63 ± 8,28 tahun, dengan rentang usia 23 sampai 71 tahun. Sebanyak 30 sampel (65,2%) berjenis kelamin laki-laki, dan 16 sampel (34,8%) berjenis kelamin perempuan. Mayoritas sampel berada pada stadium tinggi (stadium III-IV), yaitu 44 sampel (95,7%) dan stadium rendah (stadium I-II) sebanyak 2 sampel (4,3%).

Keterkaitan ekspresi EGFR dengan respon kemoradiasi pada karsinoma nasofaring dapat dilihat pada Tabel 2. Analisis bivariat dengan uji statistik chi-square digunakan untuk membuktikan apakah ekspresi EGFR tinggi sebagai faktor risiko respon kemoradiasi negatif pada karsinoma nasofaring non-keratinisasi subtipe tidak berdiferensiasi. Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa dari 46 sampel, terdiri dari 23 sampel kelompok kontrol yaitu dengan respon kemoradiasi positif dan 23 sampel kelompok kasus yaitu dengan respon kemoradiasi negatif. Ekspresi EGFR yang tinggi ditunjukkan pada 34 sampel, diantaranya menunjukkan respon kemoradiasi negatif sebanyak 20 sampel (58,8%) dan respon kemoradiasi positif sebanyak 14 (41,2%). Ekspresi EGFR yang rendah ditunjukkan pada 12 sampel, diantaranya menunjukkan respon kemoradiasi negatif sebanyak 3 sampel (25%) dan respon kemoradiasi positif sebanyak 9 sampel (75%).

Tabel 1. Karakteristik Sampel Penelitian

Variabel

Jumlah (n)

Persentase (%)

Rerata±SD

Usia

48,63±8,28

<40th

4

8,7

Min=23

≥40th

42

91,3

Max=71

Jenis Kelamin

Laki-laki

30

65,2

Perempuan

16

34,8

Stadium TNM

Rendah

2

4,3

(I-II)

Tinggi

44

95,7

(III-IV)


Tabel 2. Ekspresi EGFR dan respon kemoradiasi pada KNF

EGFR

Respon kemoradiasi

OR (95%CI)

p-value

Negatif

Positif

Tinggi

20 (58,8%)

14 (41,2%)

4,286

(95% CI

0,044

Rendah

3 (25,0%)

9 (75,0%)

0,981~18,72

1)

Total

23 (50,0%)

23 (50,0%)

*Secara statistik bermakna jika p < 0,05


4. DISKUSI


Pada penelitian ini didapatkan bahwa mayoritas sampel berusia lebih dari sama dengan 40 tahun yaitu 42 sampel (91,3%), dengan usia rerata sampel adalah 48,63 ± 8,28 tahun, dan didominasi pasien laki-laki sebanyak 30 sampel (65,2%). Hal ini serupa dengan studi epidemiologi serta tinjauan pustaka dimana karsinoma nasofaring merupakan kanker terbanyak keempat pada pria di Indonesia dan terbanyak pertama pada pria di Bali.6 Karsinoma nasofaring merupakan karsinoma dengan insiden yang meningkat setelah usia 30 tahun, puncaknya 40-60 tahun, dan kemudian kasusnya menurun pada dekade usia berikutnya.1,6 Laki-laki lebih sering mengalami karsinoma nasofaring daripada perempuan, biasanya terjadi dua hingga tiga kali lipat daripada wanita, dan kurang dari 20% dapat terjadi pada usia anak-anak.1,6,18 Studi sebelumnya menunjukkan bahwa KNF lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada wanita dengan rasio jenis kelamin 2,36. 21 Hasil serupa ditemukan dalam penelitian lain di Bali2 dimana proporsi laki-laki lebih besar daripada perempuan dengan rasio jenis kelamin 1,66. Perbedaan antara pria dan wanita mungkin terjadi karena kebiasaan gaya hidup yang berbeda, misalnya, konsumsi tembakau/merokok, konsumsi alkohol, yang diterima secara umum sebagai faktor risiko KNF, banyak dilakukan oleh laki-laki.2,21

Pada sebagian besar kelompok berisiko rendah, kejadian karsinoma nasofaring konsisten dengan bertambahnya usia. Sebaliknya, pada kelompok berisiko tinggi, insidennya meningkat pada kelompok umur 50 sampai 59 tahun, kemudian menurun.21 Ini disebabkan oleh fakta bahwa kelompok-kelompok ini terpapar agen karsinogenik pada tahap awal kehidupan. Karsinoma nasofaring mungkin memakan waktu beberapa dekade untuk berkembang menjadi sel ganas. Oleh karena itu, paparan karsinogen pada awal kehidupan mungkin memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kejadian karsinoma ini.

Didapatkan pula bahwa mayoritas sampel berada pada stadium tinggi (stadium III-IV), yaitu 44 sampel (95,7%). Hal ini dapat dikarenakan letak anatomi nasofaring yang tersembunyi sehingga pasien baru merasakan gejala pada saat tumor sudah meluas, hal ini menyebabkan karsinoma nasofaring sering berada pada stadium lanjut saat didiagnosis.22,23 Gejala lanjutan mungkin timbul ketika tumor meluas keluar dari nasofaring, baik dalam bentuk tumor yang menginfiltrasi ke jaringan sekitarnya atau metastasis. Tumor bisa berkembang secara ekstensif untuk mengisi nasofaring sehingga choana tertutup dan menyebabkan sumbatan nasal unilateral atau bilateral dan juga perdarahan. Jika tumbuh ke atas, tumor akan masuk ke intrakranial dan mengenai dura, menyebabkan sakit kepala berat, dan sering menyebabkan gangguan pada saraf kranial. Penyebaran tumor ke kelenjar getah bening regional, yang biasanya terlihat seperti benjolan leher, atau bahkan penyebaran intrakranial. Kurangnya pengetahuan pasien tentang tanda dini dan gejala KNF dapat mengakibatkan keterlambatan diagnosis. Keterbatasan ekonomi dapat menurunkan keinginan pencarian perawatan kesehatan dan dapat menunda perawatan medis. Sebagian

pasien cenderung mengabaikan tanda-tanda ini karena sebagian besar bisa menghilangkan tanda-tanda ini dengan istirahat atau obat yang mereka beli sendiri.2

Analisis bivariat dengan uji chi-square digunakan untuk membuktikan apakah ekspresi EGFR tinggi sebagai faktor risiko respon kemoradiasi negatif pada karsinoma nasofaring non- keratinisasi subtipe tidak berdiferensiasi. Berdasarkan Tabel 2. diketahui bahwa dari 46 sampel, yang terdiri dari masing-masing 23 sampel kelompok kontrol yaitu dengan respon kemoradiasi positif dan 23 sampel kelompok kasus yaitu dengan respon kemoradiasi negatif. Ekspresi EGFR yang tinggi dapat terlihat pada 34 sampel, diantaranya yang menunjukkan respon kemoradiasi negatif sebanyak 20 sampel (58,8%) dan respon kemoradiasi positif sebanyak 14 (41,2%). Ekspresi EGFR yang rendah dapat terlihat pada 12 sampel, diantaranya yang menunjukkan respon kemoradiasi negatif sebanyak 3 sampel (25%) dan respon kemoradiasi positif sebanyak 9 sampel (75%).

Pada hasil analisis tersebut, terdapat sedikit perbedaam antara kelompok sampel dengan ekspresi EGFR tinggi yang menunjukkan respon kemoradiasi negatif yaitu 20 sampel (58,8%) dan yang menunjukkan respon kemoradiasi positif yaitu 14 sampel (41,2%). Respon kemoradiasi yang berbeda pada ekspresi EGFR tinggi ini diperkirakan karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhi radiosensitivitas. Pada penelitian Dai dkk, yang dilakukan pada kersinoma nasofaring berbagai tipe dan derajat diferensiasi, didapatkan bahwa perbedaan derajat diferensiasi mempengaruhi resistensi maupun sensitifitas terhadap kemoradiasi, dimana diferensiasi yang lebih rendah memiliki sensitifitas dan radioaktivitas yang lebih tinggi. Namun, pada penelitian ini hanya melibatkan karsinoma nasofaring non-keratinisasi subtipe tidak berdiferensiasi, maka perbedaan derajat diferensiasi ini tidak berpengaruh. Selain itu,faktor lainnya yang mempengaruhi sensitifitas terhadap kemoradiasi adalah adanya EBV positif dan level EBV-DNA yang lebih tinggi pada KNF lebih menyebabkan radioresistensi. Pada penelitian Dai dkk, ditemukan bahwa konsentrasi EBV dalam darah pada kelompok KNF yang resisten terhadap kemoradiasi mencapai 142.400 copies/ml, sedangkan pada kelompok KNF yang sensitif terhadap kemoradiasi hanya 20.800 copies/ml.24 Hal lain yang dapat mempengaruhi perbedaan respon terhadap kemoradiasi adalah lingkungan mikro tumor (TME) yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan terapi KNF. Lingkungan mikro tumor ini meliputi immune microenvironment, reseptor sel T, Toll like receptor, reduksi pH intraseluler.24 Ditemukan pula adanya keterkaitan dengan ekspresi p16 yang merupakan penanda infeksi HPV. Tingkat infeksi ganda antara HPV dan EBV pada orang Asia mencapai 0,6%–10%. KNF dengan p16-positif memiliki kecenderungan PFS (Progression Free Survival) yang lebih baik daripada KNF dengan p16-negatif. Prognosis yang lebih baik ini mungkin karena radiosensitivitas yang baik dari sel p16-positif. 25

Ekspresi EGFR pada KNF cukup sering dan telah dilaporkan setinggi 80% dalam pemeriksaan

imunohistokimia biopsi KNF primer.11,14,15 Pada penelitian ini dari 46 sampel yang dipulas dengan imunohistokimia EGFR, didapatkan ekspresi tinggi pada 34 sampel (73,91%), nilai ini mendekati angka 80% sesuai yang dipaparkan literatur. Ekspresi EGFR memainkan peran penting dalam karsinoma nasofaring, sehingga sering disebut sebagai faktor independen dalam perkembangan karsinoma nasofaring.

Pada epitel normal, terdapat keseimbangan diferensiasi seluler dan proliferasi sel yang terkontrol dengan baik, sedangkan pada keganasan epitel seperti pada karsinoma nasofaring, pertumbuhan yang tidak terkendali dimediasi oleh EGFR. Pada kondisi normal, ekspresi EGFR berkisar antara 40.000 hingga 100.000 reseptor/sel. Peningkatan ini ditemukan pada fase awal karsinogenesis dan akan meningkat secara bertahap saat ukuran tumor yang semakin besar, hal ini dapat menjadi penanda untuk mengamati kelainan histologi mulai dari displasia hingga karsinoma in situ.23 Untuk mengetahui suatu overekspresi EGFR dan amplifikasi gen pada suatu karsinoma dapat dilakukan pulasan imunohistokimia. Pada penelitian tentang ekspresi EGFR pada karsinoma sel skuamous esofagus oleh Hanawa dkk, dikatakan bahwa hasil imunohistokimia dari suatu overekspresi EGFR yaitu jika hasil pulasan dengan skor 2+ dan 3+ dan secara eksklusif mencapai 10-90% dari total sel, menunjukkan sel kanker.26 Jika hasil pulasan fokal pada area sel basal dan parabasal dengan skor pulasan maksimal 1+, hal ini bukanlah suatu overekspresi EGFR.26 Hal ini sejalan dengan penelitian Li dkk yaitu tentang ekspresi protein EGFR pada lesi skuamous intraepithelial dan karsinoma sel skuamous pada serviks, dimana EGFR hanya menunjukkan ekspresi yang rendah pada sel epitel skuamosa servikal non maligna (servisitis kronis). Semua sel ini ada di lapisan basal dan sejumlah kecil sel lapisan basal yang menunjukkan pewarnaan positif dianggap negatif. Pada CIN level I, ekspresi dari EGFR dalam sel di lapisan spinosus mulai muncul, dan pewarnaan sel pada setengah ketebalan lapisan permukaan secara bertahap dimanifestasikan dalam CIN II/III. Dalam perkembangan lesi di semua tingkatan dari

servisitis kronis, CIN derajat rendah dan CIN derajat tinggi, serta karsinoma skuamosa, tingkat ekspresi meningkat secara bertahap, dan intensitas juga meningkat secara bertahap.26,27 Dengan adanya perbedaan ekspresi EGFR baik pada sel normal, displasia, karsinoma in situ maupun suatu karsinoma, menegaskan bahwa overekspresi EGFR adalah faktor intrinsik jaringan displastik dan neoplastik, yang berfungsi sebagai penanda biologis awal dari kondisi patologi ini. Dengan demikian maka pemeriksaan EGFR ini dapat menjadi acuan untuk ditambahkan pada pemeriksaan suatu karsinoma termasuk karsinoma nasofaring untuk membantu diagnosis awal.

Dalam peranannya sebagai onkogen, EGFR menyebabkan sel normal menjadi kanker. Secara mekanis, EGFR mengaktifkan Stat3, dan Stat3 terfosforilasi memasuki nukleus untuk meningkatkan ekspresi c-Myc, yang menghambat p27. p27 bergantung pada penghambat siklinkinase (CDK) yang membatasi perkembangan siklus sel dengan menahan sel pada fase G1. Ekspresi p27 yang rendah dapat mengubah siklus sel menjadikan sel kanker lebih resisten terhadap radiasi.17 Pada penelitian ini didapatkan bahwa dari 34 sampel dengan ekspresi tinggi EGFR, 20 (58,8%) sampel diantaranya mengalami respon kemoradiasi negatif yang artinya lebih resisten terhadap kemoradiasi.

Analisis bivariat dengan uji chi-square menunjukkan bahwa ekspresi EGFR yang tinggi merupakan faktor risiko respon kemoradiasi negatif pada karsinoma nasofaring non-keratinisasi subtipe tudak berdiferensiasi dengan didapatkan p-value sebesar 0,044 (p<0,05). Angka odd ratio yang didapatkan sebesar 4,286, yang berarti pasien karsinoma nasofaring non-keratinisasi subtipe tidak berdiferensiasi dengan ekspresi EGFR yang tinggi memiliki risiko 4,3 kali lebih tinggi untuk mendapatkan respon kemoradiasi negatif dibandingkan pasien karsinoma nasofaring non-keratinisasi subtipe tidak berdiferensiasi dengan ekspresi EGFR yang rendah.



Gambar 1. Pulasan imunohistokimia EGFR tidak terpulas (skor 0) A. Pembesaran 100x, B. Pembesaran 400x.



Gambar 2. Pulasan imunohistokimia EGFR dengan intensitas lemah (skor 1+) A. Pembesaran 100x, B. Pembesaran 400x

Gambar 3. Pulasan imunohistokimia EGFR dengan intensitas sedang (skor 2+) A. Pembesaran 100x, B. Pembesaran 400x.


Gambar 4. Pulasan imunohistokimia EGFR dengan intensitas kuat (skor 3+) A. Pembesaran 100x, B. Pembesaran 400x.


  • 5. SIMPULAN DAN SARAN

Ekspresi EGFR tinggi merupakan faktor risiko respon kemoradiasi negatif pada pasien karsinoma nasofaring non-keratinisasi subtipe tidak berdiferensiasi. Pasien karsinoma nasofaring non- keratinisasi subtipe tidak berdiferensiasi dengan ekspresi EGFR yang tinggi memiliki risiko 4,3 kali lebih tinggi untuk mendapatkan respon kemoradiasi negatif dibandingkan pasien karsinoma nasofaring non-keratinisasi subtipe tidak berdiferensiasi dengan ekspresi EGFR yang rendah.

Dari hasil penelitian di atas, dapat disarankan beberapa hal yaitu diperlukan penelitian yang lebih lanjut dengan metode penelitian prospektif maupun multicenter

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Petersson, B.F., Bell, D., El-Mofty, S.K, Gillison, M., Lewis, J.S., Nadal, A.(2017). Nasopharyngeal carcinoma. In: El-Naggar AK, Chan JKC, Grandis JR, Takata     T, Slootweg PJ, editors. WHO

Classification of Head and Neck Tumours. 4th ed. Lyon: IARC. 2017: 65 -9.

  • 2.    Nurada, I G.K., Widiantari, I G.A.P.W. (2020). Characteristic of Nasopharyngeal Carcinoma Patients in Mangusada General Hospital in January-December 2019.      International Journal of Nasopharyngeal

Carcinoma (IJNPC) Vol. 02, No. 04, December. p.112114

  • 3.    Shah, A.B., Nagalli, S. (2022). Nasopharyngeal Carcinoma. [Updated 2022 Oct 1].    In:   StatPearls

[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan

  • 4.    Hong, X., Wang, G., Xu, G., Shi, W., Wang, T., Rong, Z., Mo, C. (2022). Prognostic value of EGFR and p-EGFR in nasopharyngeal carcinoma: a systematic review      and      meta-analysis.      Medicine

2022;101:3(e28507).

DOI:10.1097/MD.0000000000028507

  • 5.    Adham, M., Kurniawan, A. N., Muhtadi, A.I., Roezin.A. (2012). Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia:   epidemiology, incidence, sign, and

symptoms at presentation. Chinnese Journal of Cancer; 2012; Vol. 31 Issue 4. DOI: 10.5732/cjc.011.10328

  • 6.    Paskarani, P.E., Sriwidyani, N.P., Kurniasari, N.M.D., Tanaka., Butar, C.R.(2022). The Burden of cancer in Bali:   An Epidemiology Report 2017-2019.

International Journal of Medical Reviews and Case Reports.                            (2022)6(3):58-62.

DOI:10.5455/IJMRCR.172-1630315741

  • 7.    Chen, C., Yixin, Z., Xuanye, Z. (2019). Anti-epidermal growth factor receptor monoclonal antibody plus palliative chemotherapy as a first-line treatment for recurrent or metastatic nasopharyngeal carcinoma. Cancer Medicine. 2019;9:1721–1732. DOI: 10.1002/cam4.2838

  • 8.    Feng, Y., Dai, Z., Yan, R., Li, F., Zhong, X., Ye, H., Chen, C., Fan, S., Qing, C., Pan, Y., Sun, H. (2021)

dengan jumlah sampel yang lebih besar, yang meliputi karsinoma nasofaring keratinisasi dan non-keratinisasi subtipe berdiferensiasi, serta power penelitian yang lebih baik untuk memperkuat hasil penelitian ini. Adanya ekspresi EGFR tinggi sebagai faktor risiko respon kemoradiasi negatif pada karsinoma nasofaring ini memungkinkan untuk dipakai sebagai acuan pemberian anti-EGFR (terapi target) bagi pasien-pasien KNF.

Outcomes of Recurrent Nasopharyngeal Carcinoma Patients Treated With Salvage Surgery: A MetaAnalysis.       Front. Oncol. 11:720418. doi:

10.3389/fonc.2021.720418

  • 9.    Stoker, S.D. (2013). Current Treatment Options for Local Residual Nasopharyngeal Carcinoma. Current Treatment Options in Oncology 14:475–491 DOI 10.1007/s11864-013-0261-5

  • 10.    Hayati, R.,  (2020). Recurrent Nasopharyngeal

Carcinoma: Problem And Management. International Journal Of Nasopharyngeal Carcinoma (IJNPC) Vol. 02, No. 02, 2020. P. 47-49

Volume131.https://doi.org/10.1016/j.biopha.2020.1106 49

  • 12.    Zhao, C., Miao, J., Shen, G. (2017). Anti-epidermal growth factor receptor (EGFR) monoclonal antibody combined with cisplatin and 5-fluorouracil in patients with metastatic nasopharyngeal carcinoma after radical radiotherapy: a       multicentre, open-label,

phase II clinical trial. Annals of Oncology 30: 637-643, 2019 doi:10.1093/annonc/mdz020

  • 13.    Prabowo, I., Zuliyanto, A., Setiamika, M. (2019). The Relation of EBNA-1 and EGFR Expression Screening from     Advanced     Stage     Undifferentiated

Nasopharyngeal Cancer. International Journal of Nasopharyngeal Carcinoma (IJNPC) Vol. 01, No. 02.p.55-60

  • 14.    Tulalamba, W., Janvilisri, T. (2012). Nasopharyngeal Carcinoma Signaling Pathway: An Update on Molecular Biomarkers. Hindawi Publishing Corporation International Journal of Cell Biology Volume 2012, Article ID 594681,  10 pages.

doi:10.1155/2012/594681

  • 15.    Chen, X., Liang, R., Lai, L., Chen, K., and Zhu, X. (2021). Prognostic Role of EGFR/p-EGFR in Patients with Nasopharyngeal Carcinoma: A Meta-Analysis. Front.        Oncol.        11:697369.        DOI:

10.3389/fonc.2021.697369

  • 16.    Peng, X., Zhou, Y., Tao, Y., Liu, S. (2021). Nasopharyngeal Carcinoma: The Role of the EGFR in

Epstein–Barr Virus Infection. Pathogens 2021, 10,

1113. https://doi.org/10.3390/ pathogens10091113

  • 17.    Liu, Y.P., Zheng, C.C., Huang, Y.N., (2020). Molecular mechanisms of chemo-      and       radiotherapy

resistance and the potential implications for cancer treatment.      MedComm.2021;2:315–340.DOI:

10.1002/mco2.55

  • 18.    Wenig, B.D. (2016). Embryology, Anatomy, and Histology of the Pharynx in Atlas Head and Neck Pathology. 3th edition. Elsevier, Philadelphia. p.399406; 453-468

  • 19.    Goldblum, J.R., McKenney, J.K., Lamps, L.W., Myers, J.L. (2018). Rosai and Ackerman Surgical Pathology. 8th edition. Elsevier, Philadelphia. p.171-17

  • 20. Panduan Praktik Klinis KSM Ilmu Kesehatan THT-KL

Karsinoma     Nasofaring,     No.     Dokumen

YR.01.01/PDN.XIV.6.1/2021

  • 21.  Salehiniya, H., Mohammadian, M., Mohammadian-

Hafshejani, A., Mahdavifar, N. (2018). Nasopharyngeal Cancer In The World: Epidemiology, Incidence, Mortality And Risk Factors. WCRJ 2018; 5 (1): e1046

  • 22.    Naomi, M.S., Dewi, Y.A., Agustina, H. (2018). Association between Histopathological Grading and Clinical Staging in Nasopharyngeal. Journal of Medicine and Health. Vol.2 No.2 August 2018

  • 23.    Gustarini, I.A., Utomo, A.W., Sutikno, B., Romdhoni, A.C. (2019). The association between expression of

epidermal growth factor receptor with primary tumor volume of nasopharyngeal carcinoma patients. International journal of nasopharyngeal carcinoma (ijnpc) vol. 01, no. 01, 2019 | 36-40

  • 24.    Dai, W., Zheng, H., Kwok, A., Cheung, L., Lung, M.L. (2015). Genetic and epigenetic landscape of nasopharyngeal carcinoma. Chin Clin Oncol 2016;5(2):16.

http://dx.doi.org/10.21037/cco.2016.03.06

  • 25.    Shimizu, Y., Mori, T., Murakami, N., Kubo, Y., Takahashi, K., dkk. (2022). Clinical impact of p16 positivity in nasopharyngeal carcinoma. Laryngoscope Investigative Otolaryngology. 2022;7:994–1001. DOI: 10.1002/lio2.832

  • 26.    Ardekani, AB., Dar, NA., Mir, MM., Zaggar, SA., dkk. (2012). Epidermal growth factor receptor (EGFR) mutations and expression in squamous cell carcinoma of the esophagus in central Asia. BMC Cancer                2012,                12:602.

http://www.biomedcentral.com/1471-2407/12/602

  • 27.    Li, H.P.; Huang, C.Y., Lui, K.W., Chao, Y.K., Yeh, C.N., Lee, L.Y. (2021). Combination of Epithelial Growth Factor Receptor Blockers and CDK4/6 Inhibitor for Nasopharyngeal Carcinoma Treatment.

Cancers                 2021,                  13,

2954.https://doi.org/10.3390/cancers13122954

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2023.V12.i5.P15

109