PERAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DALAM HAL PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP JASA PINJAMAN ONLINE ILEGAL

Anak Agung Wahyu Wedangga, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Gusti Ngurah Dharma Laksana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan studi untuk mengkaji apa saja bentuk regulasi yang berlaku mengenai peer to peer lending atau pinjaman online melalui teknologi informasi di Indonesia serta peranan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam aktivitas fintech peer to peer atau pinjaman online tersebut. Studi ini menggunakan metode penelitian normatif dengan kajian yang berfokus pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan peranan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen pada jasa pinjaman online ilegal. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa hingga saat ini, semakin maraknya pinjaman online illegal yang masih menjadi permasalahan tersendiri karena kosongnya pengaturan yang menjamin perlindungan hak konsumen yang semakin dirugikan. Karena pada dasarnya POJK Nomor 77/POJK.01/2016 belum dapat memberikan perlindungan terhadap hal tersebut sehingga diperlukan peranan OJK dalam membuat regulasi maupun lembaga pengawas yang dapat melindungi hak-hak konsumen, sehingga tidak lagi terjadinya kekosongan norma dalam upaya melindungi kepentingan konsumen.

Kata Kunci: Pinjaman Online, Konsumen, Fintech

ABSTRACT

The purpose of this study is to examine what forms of regulations apply regarding peer to peer lending or online loans through information technology in Indonesia and the role of the Financial Services Authority (OJK) in providing protection to consumers in these peer to peer fintech activities or online loans. This study uses a normative research method with a study that focuses on laws and regulations related to the role of the Financial Services Authority (OJK) in providing protection to consumers on illegal online loan services. The results of this study indicate that until now, the prevalence of illegal online loans is still a problem in itself due to the absence of regulations that guarantee the protection of consumer rights which are increasingly disadvantaged. Because basically POJK Number 77/POJK.01/2016 has not been able to provide protection against this matter, so that the role of OJK is needed in making regulations and supervisory institutions that can protect consumer rights, so that there is no longer a vacuum of norms in an effort to protect the interests of consumers.

Keywords: Online Loan, Consumer, Fintech

  • 1.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Pada era global ini perkembangan teknologi sangatlah pesat. Salah satu bidang yang paling berdampak dalam perkembangan ini yaitu dalam hal teknologi informasi yang semakin berkembang di seluruh penjuru dunia. Tidak terlepas hanya pada negara-negara maju, akan tetapi negara berkembang turut ikut serta mengalami perkembangan dan pertumbuhan teknologi informasi sehingga memiliki kedudukan penting bagi setiap negara.1 Tak hanya itu, kehadiran teknologi informasi ini pun juga berperan penting dalam memberi perkembangan dan perubahan sejarah pada peradaban manusia.

Perkembangan teknologi ini telah membawa dunia masuk ke dalam revolusi industri 4.0 yang tentunya telah berdampak pada seluruh aspek kehidupan manusia terutama pada aspek ekonomi digital.2 Dalam era ekonomi digital saat ini, semakin banyak masyarakat yang terus berupaya dalam mengembangkan suatu inovasi khususnya pada bidang layanan dalam aktivitas pinjam meminjam yang salah satunya yaitu berupa layanan jasa pinjam meminjam uang berbasis teknologi yang dipandang bahwa hal tersebut mampu memberi kontribusi terhadap pembangunan serta pertumbuhan perekonomian nasional.3 Oleh karena itu, hingga kini perkembangan tersebut telah menciptakan jenis pekerjaan dan karir baru dalam pekerjaan manusia. Berawal dari hal tersebut mulai muncul kontrak elektronik atau biasa dikenal dengan e-contract.4

Kontrak elektronik adalah suatu jenis kontrak atau perjanjian yang ketentuannya telah diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008 (selanjutnya disebut Undang-Undang ITE), yang secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Angka 17, yang kemudian juga dijelaskan kembali dalam aturan turunannya. yaitu Pasal 1 Nomor 15 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut PP PSTE). Perkembangan kontrak elektronik di era globalisasi ini tentunya memiliki peran penting sebagai salah satu faktor kemajuan perekonomian saat ini, yaitu adanya financial technology atau yang sering disebut dengan fintech. Fintech yang berkembang di masyarakat saat ini dinilai berpotensi meningkatkan peran ekonomi digital, termasuk memudahkan konsumen dalam menggunakan layanan keuangan digital. Selain itu, layanan fintech ini juga dapat mempermudah, mempercepat dan menghadirkan kemudahan dengan berbagai manfaat yang diberikan oleh berbagai jenis layanan yang tersedia, salah satunya sedang dalam pengembangan yaitu peer to peer fintech lending atau dikenal dengan istilah pinjaman. online.5

Di sisi lain, di antara banyak manfaat yang ditawarkan, tentu ada dampak negatif yang terjadi, terutama di masa pandemi saat ini. Di masa pandemi ini, aktivitas ilegal fintech peer-to-peer lending atau layanan pinjaman online bermunculan. Pinjaman online ilegal

memanfaatkan kondisi ini sebagai peluang untuk memanfaatkan situasi ekonomi masyarakat yang cenderung sulit akibat wabah Virus Corona. Kemudian, dengan meninjau data dari Satgas Waspada Investasi (selanjutnya disebut SWI), ditemukan 508 layanan pinjaman online yang beredar masih belum terdaftar (ilegal). Jika dihitung sejak 2018, maka hingga 2020, total ditemukan 2406 pinjaman online ilegal. Apalagi, pada Agustus 2021, Presiden YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), Bapak Tulus Abadi menilai masalah utama layanan pinjaman online yang paling sering terjadi adalah terkait cara penagihan pinjaman dengan persentase mencapai 39,5%. (tiga puluh sembilan koma lima). persen). Kemudian transfer kontak 14,5% (empat belas koma lima persen), ada permintaan penjadwalan ulang 14,5% (empat belas koma lima persen), dan tingkat bunga 13,5% (tiga belas koma lima persen). Di sisi lain, ada juga masalah pinjaman online setelah menagih pinjaman dengan teror, yaitu transfer kontak. Pemberi pinjaman dapat membaca semua transkrip dan foto ponsel. Hal ini dikarenakan Indonesia belum memiliki peraturan perlindungan data pribadi konsumen, sehingga peraturan perlindungan data pribadi masih relatif lemah sehingga mendorong pelaku usaha untuk bertindak sewenang-wenang. Begitu juga yang legal juga bermain dengan dua kaki,” kata Tulus (19/8/2021). Selain itu, dilansir CNN Indonesia (01/09/2021), bahwa SWI Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut OJK) telah mengakui bahwa proses penegakan hukum dalam menangani masalah pinjaman online ilegal belum menjadi pelaku utama praktik ilegal ini. Oleh karena itu tentu saja membuat konsumen resah, sehingga perlu adanya perlindungan yang menjamin hak-hak konsumen.6

Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (selanjutnya disebut POJK 77/2016), tidak diatur secara jelas mengenai hak pengamanan yang dimiliki pengguna layanan pinjaman online harus menghindari akting. tindakan ilegal pinjaman online. Namun mengenai pasal-pasal yang mengatur tentang kewajiban dan larangan pemberi pinjaman online, terlihat bahwa konsumen memiliki hak yang diatur. sebagai berikut:7

  • 1    Pasal 30 ayat (1), yang mengatur tentang hak yang dimiliki konsumen berupa hak untuk memperoleh informasi terkini mengenai layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi dalam hal penggunaan layanan tersebut;

  • 2    Pasal 31 Ayat (1) dan ayat (2), yang mengatur tentang hak untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan keterlambatan, penerimaan atau penolakan penggunaan jasa pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi, serta alasannya.;

  • 3    Pasal 32 ayat (2) dan ayat (3), yang mengatur tentang hak memperoleh informasi dari dokumen elektronik yang menggunakan bahasa Indonesia serta mudah dibaca dan dipahami oleh konsumen. Penggunaan bahasa Indonesia bila perlu dapat disejajarkan dengan bahasa lain;

  • 4    Pasal 36 ayat (1), yang mengatur tentang hak atas perlindungan pengguna atau konsumen terhadap segala upaya pengalihan tanggung jawab atau kewajiban Penyelenggara yang tentunya dapat merugikan konsumen;

  • 5    Pasal 36 ayat (2), yang mengatur tentang hak atas perlindungan berupa kewajiban pengguna atau konsumen untuk mematuhi peraturan baru, tambahan atau lanjutan dan/atau perubahan yang dilakukan secara sepihak oleh penyedia layanan selama periode konsumen menggunakan layanan.;

  • 6    Pasal 39, yaitu hak untuk melindungi pemberian data dan/atau informasi mengenai Pengguna kepada pihak ketiga tanpa izin Pengguna.

Berdasarkan uraian di atas, hak-hak tersebut merupakan hal yang seharusnya dimiliki oleh pengguna jasa pinjaman online karena hal ini sesuai dengan perlindungan yang telah dijamin dalam ketentuan pasal 4 undang-undang nomor 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen tahun 1999 (selanjutnya disebut sebagaimana UU PK) yang mengatur tentang hak yang dimiliki konsumen atas barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku niaga, yaitu: sebagai berikut :8

  • 1    Hak konsumen yaitu dalam pemberian kenyamanan, keselamatan, keamanan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

  • 2    Hak dalam memilih barang dan/atau jasa maupun dalam memperoleh barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar maupun kondisi serta jaminan terhadap apa yang telah diperjanjikan;

  • 3    Hak dalam memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi maupun jaminan barang dan/atau jasa;

  • 4    Hak dalam menyampaikan pendpat maupun keluhan atas barang dan/atau jasa yang telah diperjanjikan;

  • 5    Hak dalam memperoleh advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

  • 6    Hak dalam mendapatkan pengarahan serta pembinaan;

  • 7    Hak dalam mendapat perlakuan yang baik, jujur, dan benar serta tidak bersikap atau mendapat prilaku diskriminatif;

  • 8    Hak untuk memperoleh kompensasi atau pemberian ganti rugi dalam hal barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha yang diberikan terhadap konsumen tidak sesuai sebagaimana yang disepakati;

  • 9    Hak-hak lain yang diatur dalam ketentuan-ketentuan lainnya.9

Oleh karena itu, dengan mengacu pada ketentuan tersebut, konsumen memiliki hak yang harus diperhatikan oleh penyedia layanan pinjaman online. Namun yang terjadi justru sebaliknya yaitu dalam kondisi tertentu pemberi pinjaman online melanggar hak-hak konsumen, dimulai dari penyalahgunaan data pribadi konsumen, dari tindakan melawan hukum hingga tindakan intimidasi, salah satunya perlakuan tidak menyenangkan terhadap nasabah. pemberi pinjaman kepada konsumen, yaitu berupa ancaman dan ancaman. teror penagih pajak atau debt collector jika proses bisnis tidak sesuai dengan keinginannya. Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan suatu permasalahan berkaitan adanya kekosongan norma berkaitan perlindungan terhadap konsumen dalam hal semakin maraknya praktik-praktik jasa pinjaman online illegal. Hal tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap hak-hak yang dimiliki konsumen yang telah dijamin dalam UU PK namun belum terealisasikan dalam hal terjadinya praktik-praktik illegal tersebut.

Berdasarkan tinjauan penulis terhadap tulisan ilmiah yang telah diterbitkan sebelumnya, telah dilakukan penelitian karya ilmiah serupa dengan judul “Pengawasan Otoritas Jasa Keuagan Terhadap Simpan Pinjam Online (Fintech)” oleh Natal Situmorang, dkk, dalam Ejournal UHN Patik Vol. 9 No. 3, 147 - 159, dengan pembahasan yang bertujuan untuk menguraikan bagaimana pengawasan serta Hambatan yang ditemui oleh OJK mengenai peer to peer lending, Namun melalui gagasan ini, penulis akan memberikan sudut

pandang yang berbeda dengan demikian, mengajukan penelitian yang sebagaimana telah diuraikan diatas, yang berjudul “PERAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DALAM MELINDUNGI KONSUMEN DARI LAYANAN PINJAMAN ONLINE ILEGAL”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan penulis angkat dari uraian latar belakang diatas adalah sebagai berikut:

  • 1.    Apa saja bentuk regulasi yang berlaku mengenai peer to peer lending atau pinjaman online melalui teknologi informasi di Indonesia?

  • 2.    Bagaimana peranan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam aktivitas fintech peer to peer atau pinjaman online melalui teknologi informasi di Indonesia?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Artikel ini bertujuan untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk regulasi yang berlaku bagi fintech peer to peer atau online lending melalui teknologi informasi di Indonesia dan menganalisis peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam melindungi konsumen dalam peer-to-peer lending atau pinjaman online. berkat teknologi. informasi di Indonesia.

  • 2.    Metode Penelitian

Penulisan jurnal yang menggunakan metode hukum normatif ini dilaksanakan dengan cara meneliti bahan-bahan hukum mulai dari bahan primer seperti peraturan atau norma-norma perundang-undangan yang masih berlaku sampai saat ini. Problematika pada penelitian ini yaitu menguraikan bentuk regulasi yang berlaku mengenai peer to peer lending atau pinjaman online melalui teknologi informasi di Indonesia dan menguraikan peranan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam aktivitas fintech peer to peer atau pinjaman online melalui teknologi informasi di Indonesia. Mengenai pembahasan rumusan masalah dalam penulisan jurnal ini juga digunakan bahan hukum sekunder serta tersier. Cara yang digunakan dalam mengulas serta melakukan analisis dalam jurnal ini digunakanlah teknik deskriptif, komparatif, argumentatif dan evaluatif yang dikombinasikan agar mendapat simpulan yang bersifat runtut dan aktual

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    Bentuk Regulasi Pinjaman Online melalui Teknologi Informasi

Peer-to-peer lending atau pinjaman online adalah pasar yang menghubungkan pihak-pihak, yaitu antara seseorang yang ingin meminjam uang dengan orang lain yang ingin memberikan pinjaman. Sebagian besar portal peer-to-peer lending memiliki keunggulan dalam hal proses pinjam meminjam yang disederhanakan melalui prosedur sederhana, hingga proses penyelesaian dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari seminggu dan harga yang cenderung terjangkau. Selain itu, dalam proses peer-to-peer activity ini, peminjam mendapatkan pinjaman berbunga kompetitif sedangkan pemberi pinjaman mendapat imbalan, yaitu pengembalian berupa pokok pinjaman dan bunga dari dana yang dipinjamkan.10

Kemudian, Bank Indonesia juga telah mengklasifikasikan fintech ke dalam beberapa bagian, diantaranya payment, settlement, dan clearing. Dalam kegiatan transaksi online ketiga klasifikasi tersebut merupakan yang paling sering digunakan masyarakat hingga saat ini.11 Melihat hal tersebut, maka Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam melakukan pengawasan lembaga jasa keuangan untuk mengawasi kegiatan-kegiatan tersebut OJK memiliki peranan yang penting, tergolong ke dalam ranah pinjaman online. Hal ini bekesesuaian dengan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut UU OJK), yang mengemukakan, bahwa OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan, diantaranya pada kegiatan :

  • 1)    Sektor perbankan pada bidang keuangan;

  • 2)    Sektor Pasar Modal pada bidang jasa keuangan; dan

  • 3)    Sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan pada jasa keuangan.

Mengacu pada hal tersebut, melihat pesatnya pertumbuhan pasar peer to peer lending memberikan peluang positif pada kegiatan perekonomian nasional, namun pada faktanya juga terdapat peluang munculnya dampak negatif dikarenakan di salah satu sisi yang menaikkan optimisme menjadikan semakin meningkatnya akses layanan keuangan bagi masyarakat yang dapat meningkatkan perkembangan ekonomi digital, baik di daerah serta di tingkat nasional, namun disisi lain, dengan kurang matangnya payung hukum serta peranan lembaga dalam melakukan penegakan dalam hal tersebut dapat menimbulkan polemic tersendiri bagi konsumen atau masyarakat, juga berakibat menunrunnya tingkat kepercayaan kepada industri keuangan. Ditinjaun dari catatan Direktorat Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK, per 10 Januari 2021, perusahaan berbasis fintech yang sudah terdaftar serta mendapatkan izin operasi sejumlah 149 perusahaan. Namun kenyataannya di lapangan belum semua perusahaan yang berbasis fintech sudah menjalankan kegiatan memenuhi perizinan secara legal dan sah, yang pada ujungnya hal tersebut berakibat pada kepentingan konsumen yang kembali dirugikan.12

Dalam upaya merespon perkembangan yang terjadi, OJK menerbitkan POJK 77/2016. Penerbitan regulasi ini bertujuan agar dapat menumbuhkan dan berkembangnya industri keuangan yang diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan alternatif atau solusi lain dalam pembiayaan bagi konsumen atau masyarakat yang berbasi pada sistem teknologi informasi. Ketentuan dalam peraturan OJK tersebut memuat 52 pasal yang mengatur hal-hal inti berkaitan dengan penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi pada layanan pinjam meminjam uang.13

Berfokus pada hubungan para pihak yang diatur pada Pasal 1 butir 3 POJK 77/2016, menjelaskan terdapat tiga komponen yang terkait pada sistem atau proses dari pinjaman online, yaitu, pihak pemberi pinjaman, pihak penerima pinjaman; dan pihak penyelenggara sistem elektronik, dengan tujuan mengadakan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung. Terkait dengan status Badan hukum penyelenggara kegiatan pinjaman online terbatas pada badan hukum dengan bentuk Perseroan Terbatas (PT) dan

Koperasi. Dalam rangka memastikan terlaksanannya sistem elektronik keamanannya terjamin, pemerintah telah menerbitkan regulasi melalui PP PSTE, yang menjadi peraturan pelaksana terhadap ketentuan Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (2) UU ITE. Regulasi ini begitu penting dikarenakan bahwa dalam melakukan transaksi elektronik para pihak yang terlibat pada sistem ini tidak bertemu secara langsung atau secara nyata dalam bertransaksi.

Dalam hal lain, perjanjian yang mengikat antar subjek hukum berbasis sistem elektronik wajib mengakomodir beberapa ketentuan pokok, yakni: hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian, tanggung jawab, mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa, jangka waktu, biaya, cakupan layanan, dan domisili hukum. Dalam melakukan kegiatan peer to peer lending, perjanjian yang dimaksud dapat meliputi perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen, perjanjian antar pelaku usaha, serta perjanjian antara pelaku usaha dengan instansi terkait. Setiap perjanjian yang telah dibuat dan disepakati para pihak akan dikatakan sah apabila memenuhi Pasal 1320 KUHPer dan Pasal 47 ayat (2) PP PSE. Ketetnuan pada kedua regulasi tersebut bersifat saling melengkapi satu sama lain.

  • 3.2 Peran OJK dalam Memberikan Perlindungan terhadap konsumen dalam aktivitas pinjaman online melalui teknologi informasi

Sejak terbitnya POJK 77/2016 perusahaan pinjaman online sebagai penyelenggara wajib mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada OJK. Perusahaan penyedia jasa pinjaman online wajib terdaftar terlebih dahulu di OJK dan diwajibkan mengajukan permohonan izin pada kurun waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal Perusahaan tersebut telah terdaftar di OJK. Dalam hal ini, berdasarkan pengaturan tersebut terdapat klausul-klausul yang menyebabkan perusahaan peer to peer lending atau pinjaman online wajib diawasi secara berkala oleh OJK yakni:

  • 1.    Perusahaan pinjaman online wajib menyediakan track record atau rekam jejak audit terhadap keseluruhan kegiatan di pada Sistem Elektronik Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi guna kepentingan dalam penegakan hukum, penyelesaian sengketa, verifikasi, pengujian, serta pemeriksaan lainnya.

  • 2.    Perusahaan pinjaman online wajib memberikan laporan bulanan serta tahunan yang berisikan mengenai hasil kinerja keuangan maupun pengaduan pengguna.

Selain itu, POJK 77/2016 turut mengatur mengenai prinsip dasar dari perlindungan pengguna yakni diantaranya sebagai berikut:

  • 1.    Bersifat transparan;

  • 2.    Adanya perlakuan yang adil;

  • 3.    Keandalan;

  • 4.    Data yang aman dan terjamin kerahasiaannya; dan

  • 5.    Sengketa pengguna atau konsumen yang diselesaikan secara sederhana, cepat dan biaya yang ringan.

Namun, disisi lain keberadaan POJK tersebut belum sepenuhnya menjamin konsumen dari keberadaan pinjaman online tersebut. Karena hingga saat ini, pada layanan aplikasi Pinjaman Online, terdapat banyak orang mengeluhkan terkait permasalahan yang sering terjadi pada layanan tersebut, antaralain terkait dengan penyebarluasana atau pentransmisian      data      pribadi      yang      dilakukan      oleh      pihak

penyelenggara Pinjaman Online tanpa memberikan pemberitahuan dan tanpa izin dari

pemiliknya hingga adanya perlakuan tidak menyenangkan dari pihak pemberi pinjaman kepada konsumen, yaitu berupa ancaman dan teror dari pihak penagih atau debt collector apabila pada proses bisnisnya tidak sesuai dengan apa yang menjadi keinginannya.14 Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perlindungan hukum serta sanksi terhadap adanya pelanggaran data pribadi telah diatur pada Pasal 32 jo Pasal 48 UU ITE, meski demikian secara khusus terkait perlindungan hukum dan sanksi pelanggaran data pribadi dalam layanan pinjaman online telah termaktub pada POJK 77/2016, yang telah ditegaskan dalam Pasal 26 bahwa pihak memiliki tanggung jawab dalam menjaga rahasia, ketersediaan hingga keutuhan data pribadi pengguna atau konsumen serta pada pemanfaatannya wajib mendapatkan kesepakatan dari pengguna atau pemilik data pribadi kecuali dinyatakan lain dari ketentuan peraturan perundang-undangan.15 Sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran data pribadi mengacu pada Pasal 47 ayat (1), yaitu sanksi administratif berupa peringatan tertulis, denda, kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu, pembatasan kegiatan usaha dan pencabutan izin.16

Masyarakat yang awam terhadap hukum pastinya akan merasakan khawatir dalam menghadapi permasalahan hukum yang terjadi tersebut. Pada lain sisi, perlindungan hukum terhadap nasabah Pinjaman Online adalah aspek serius untuk ditangani oleh pihak yang berwenang. Perlindungan Pengguna Layanan berdasarkan Pasal 29 POJK 77/2016, penyedia jasa pinjaman wajib melaksanakan prinsip-prinsip dasar dari perlindungan terhadap Pengguna yaitu, transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data, serta penyelesaian sengketa Pengguna secara sederhana, cepat dan biaya yang terjangkau.

Kemudian ditinjau berdasarkan UU Perlindungan Konsumen, bahwa mengacu pada Pasal 4 konsumen memiliki beberapa hak diantaranya:17

  • 1.    Memperoleh kenyamanan, keselamatan, keamanan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

  • 2.    Dapat memilih barang dan/atau jasa maupun dalam mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar maupun kondisi serta jaminan yang telah diperjanjikan;

  • 3.    Dapat memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi maupun jaminan barang dan/atau jasa;

  • 4.    Dapat menyampaikan pendapat maupun keluhan atas barang dan/atau jasa yang diperjanjikan;

  • 5.    Memperoleh advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

  • 6.    Mendapatkan pengarahan serta pembinaan;

  • 7.    Mendapat perlakuan yang baik, jujur, dan benar serta tidak bersikap atau mendapat prilaku diskriminatif;

  • 8.    Memperoleh kompensasi atau pemberian ganti rugi dalam hal barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha yang diberikan terhadap konsumen tidak sesuai sebagaimana yang disepakati;

  • 9.    Hak-hak lain yang diatur dalam ketentuan-ketentuan lainnya.

Berdasarkan uraian tersebut terlihat jelas bahwa beberapa hak konsumen telah dilanggar oleh perusahaan-perusahaan peer to peer atau pinjaman online dari banyaknya kasus yang terjadi mengenai hal tersebut, sehingga hak-hak tersebut seharusnya wajib dilindungi dan dapat dimiliki oleh pengguna layanan pinjaman online sebagaimana hal tersebut sejalan dengan perlindungan yang telah dijamin dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan konsumen) yang mengatur mengenai hak-hak yang dimiliki konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Oleh karena itu, dengan mengacu pada pengaturan tersebut konsumen memiliki hak yang memang harus diperhatikan oleh perusahaan atau pemberi jasa pinjaman online. Oleh karena itu diperlukan adanya regulasi maupun peranan lain dari OJK agar terjamin dan terciptanya perlindungan terhadap konsumen dalam hal menghindari praktik-praktik tidak bertanggung jawab dari adanya perusahaan-perusahaan pinjaman online illegal tersebut.

3. Kesimpulan

Bentuk regulasi peer to peer lending atau pinjaman online melalui teknologi informasi di Indonesia diatur dalam POJK 77/2016. Ketentuan dalam peraturan OJK tersebut memuat 52 pasal yang mengatur hal-hal inti berkaitan dengan penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi pada layanan pinjam meminjam uang. Hubungan para pihak yang diatur pada Pasal 1 butir 3 POJK 77/2016, menjelaskan terdapat tiga komponen yang terkait pada sistem atau proses dari pinjaman online, terkait dengan status Badan hukum penyelenggara kegiatan pinjaman online terbatas pada badan hukum dengan bentuk Perseroan Terbatas (PT) dan Koperasi. Dalam rangka memastikan terlaksanannya sistem elektronik keamanannya terjamin, pemerintah telah menerbitkan regulasi melalui PP PSTE, yang menjadi peraturan pelaksana terhadap ketentuan Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (2) UU ITE. Regulasi ini begitu penting dikarenakan bahwa dalam melakukan transaksi elektronik para pihak yang terlibat pada sistem ini tidak bertemu secara langsung atau secara nyata dalam bertransaksi. Dalam hal lain, perjanjian yang mengikat antar subjek hukum berbasis sistem elektronik wajib mengakomodir beberapa ketentuan pokok, yakni: hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian, tanggung jawab, mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa, jangka waktu, biaya, cakupan layanan, dan domisili hukum. Dalam melakukan kegiatan peer to peer lending, perjanjian yang dimaksud dapat meliputi perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen, perjanjian antar pelaku usaha, serta perjanjian antara pelaku usaha dengan instansi terkait. Setiap perjanjian yang telah dibuat dan disepakati para pihak akan dikatakan sah apabila memenuhi Pasal 1320 KUHPer dan Pasal 47 ayat (2) PP PSE. Ketetnuan pada kedua regulasi tersebut bersifat saling melengkapi satu sama lain.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2012, “Pengantar Metode Penelitian Hukum”, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Efendi, Jonaedi dan Johnny Ibrahim, 2018, “Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris”, Prenada Media.

Hamis, Abd Haris, 2017, “Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia” Vol. 1, Sah Media.

Keuangan, Badan Pemeriksa, Republik Indonesia, dan Laporan Hasil Pemeriksaan. "buku i." Edisi Kedelapan (2013).

Rosmawati, 2018, Pokok-Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana, Yogyakarta.

Zulham, 2017, Hukum perlindungan konsumen. Prenada Media.

Jurnal:

Benuf, Kornelius. "Urgensi kebijakan perlindungan hukum terhadap konsumen fintech peer to peer lending akibat penyebaran COVID-19." Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 9, no. 2 (2020):.

Ishaq, Muhammad. "Analisis Yuridis Perlindungan Terhadap Data Pribadi Debitur Dalam Layanan Teknologi Finansial." Journal of Islamic Business Law 4, no. 4 (2020).

Maharani, Anggoro Kasih. "Penyalahgunaan data pribadi peminjam dalam layanan aplikasi pinjaman online dihubungkan dengan Pasal 26 POJK No. 77 Tahun 2016 tentang Kerahasiaan Data: Studi kasus PT. Kredit Utama Fintech Indonesia (KUFI)." PhD diss., UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2021.

Manap, Marina Abdul. "Kontrak Elektronik: Isu Dan Penyelesaian Undang-Undang." Journal of Law and Governance 1, no. 1 (2018):.

Nugroho, Hendro. "Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Transaksi Pinjaman Online." JUSTITIA: Jurnal Ilmu Hukum Dan Humaniora 7, no. 2 (2020):.

Priliasari, Erna. "Pentingnya Perlindungan Data Pribadi Dalam Transaksi Pinjaman Online." Majalah Hukum Nasional 49, no. 2 (2019):.

Putri, Wahyu Suwena, and Nyoman Budiana. "Keabsahan Kontrak Elektronik Dalam Transaksi E-Commerce Ditinjau Dari Hukum Perikatan." Jurnal Analisis Hukum 1, no. 2 (2018):.

Pardosi, Rodes Ober Adi Guna, and Yuliana Primawardani. "Perlindungan Hak Pengguna Layanan Pinjaman Online Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia (Protection of the Rights of Online Loan Customers from a Human Rights Perspective)..

Saragih, Trinitaty. "Analisis Yuridis atas Praktek Pinjam Meminjam Uang Tanpa Jaminan di Kalangan Masyarakat Pasar Tradisional Horas Kota Pematang Siantar." (2020).

Sugangga, Rayyan, and Erwin Hari Sentoso. "Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Pinjaman Online (Pinjol) Ilegal." Pakuan Justice Journal Of Law 1, no. 1 (2020):.

Sugeng, Sugeng. "Aspek Hukum Digital Lending Di Indonesia." Jurnal Legislasi Indonesia 17, No. 4 (2020):.

Triasih, D., Muryati, D. T., & Nuswanto, A. H. (2021, August). Perlindungan Hukum Bagi Konsumen dalam Perjanjian Pinjaman Online. In Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang (Vol. 7, No. 2, pp. 591-608).

Wardani, Dewi Kusuma, Simon Pulung Nugroho, and Adia Adi Prabowo. "Pengaruh Persepsi Etis Dan Religiusitas Terhadap Niat Umkm Melakukan Pinjaman Online Pada Masa Covid-19." Kajian Bisnis Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Widya Wiwaha 29, no. 2 (2021):.

Internet:

Berita satu. 2020. “Perlindungan Data Pribadi di Tengah Maraknya Pinjaman Online”. Beritasatu.com. URL:www.beritasatu.com/opini/7901/perlindungan-data-pribadi-di-tengah-maraknyapinjaman-online, diakses pada Minggu, 29 Oktober 2021.

OJK. 2021. “Penyelenggara Fintech Lending Terdaftar dan Berizin di OJK Per 10 Januari 2021. Ojk.go.id. https: // www. ojk. go. id/ id/kanal/iknb/financial-technology /Pages /Penyelenggara-Fintech-Lending-Terdaftar-dan-Berizin-di-OJK-per-10-Januari-2021 . aspx. Diakses pada tanggal 31 Oktober 2021.

Peraturan Perundang-Undangan:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Rrepublik Indonesia Nomor 3821).

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253)

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Republik Indonesia, 2016 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843).

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/ POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 324)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 189, Tambahan Lembaran Negara Rrepublik Indonesia Nomor 5348).

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 8 Tahun 2022 hlm 836-846

846