PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PADA PRAKTIK FINTECH DALAM BENTUK PINJAMAN ONLINE ILEGAL

Ni Nyoman Ayu Sri Ratna Sari, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Dewa Ayu Dwi Mayasari, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian dalam tulisan ini tujuannya supaya mengetahui bagaimana keabsahan perjanjian yang dilakukan konsumen ketika melakukan pinjaman online ilegal serta bagaimana kebijakan pemerintah terkait perlindungan hukum pada penyelenggara fintech dalam bentuk pinjaman online ilegal. Pada artikel ini menggunakan penelitian normative dengan pendekatan Statue Approach yang mana dalam pendekatan ini mengutamakan aturan pada undang-undang yang berkaitan dengan isu hukum dan sebagai bahan acuan dasar dalam melakukan penelitian. Hasil dari penelitian ini diketahui bahwa ketentuan hukum yang jadi pengatur perjanjian lewat online ataupun internet, sama dengan ketentuan hukum tentang perjanjian secara langsung ataupun reguler serta untuk menguji keabsahan dari suatu perjanjian maka harus memenuhi persyaratan yang terdapat dalam Pasal 1230KUHPerdata. Landasan hukum pinjaman online sendiri diatur di Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 mengenai Layanan Pinjam Meminjam Uang dengan basis Teknologi Informasi serta Peraturan Bank Indonesia No.19/12/PBI/2017 Tahun 2017 mengenai Penyelenggaraan Teknologi Finansial sebagai dasar hukum berlakunya bisnis perjanjian pinjaman online.

Kata Kunci: Financial Teknologi, Pinjaman Online Ilegal, OJK

ABSTRACT

The research in this paper aims to find out how the validity of agreements made by consumers when making credit online illegally and how government policies related to legal protection for fintech providers in the form of illegal online loans. This article uses normative research with the Statue Approach approach which in this approach prioritizes legal materials in the form of laws and regulations relating to legal issues and as basic materials in conducting research. The results of this study note that the legal provisions governing agreements via the internet or online are the same as legal provisions regarding agreements or conventional ones and to test the validity of an agreement, it must meet the requirements contained in Article 1230 of the Civil Code. The legal basis for online loans is regulated in OJK Number 77/POJK.01/2016 regarding Information Technology-based Lending and Borrowing Services and Bank Indonesia Regulation No.19/12/PBI/2017/2017 concerning the Implementation of Financial Technology as a legal basis the application of the online loan agreement business

Key Words: Financial Technology, Ilegal Online Loans, OJK

  • I . Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Globalisasi berdampak kepada perubahan signifikan dalam kehidupan manusia, juga termasuk berkembang pesatnya kecanggihan teknologi dan internet. Berkembangnya teknologi informasi sekarang, sudah banyak memberi manfaat untuk kehidupan serta banyak perubahan pada bidang sosial, ekonomi dan juga budaya. Dengan perkembangan teknologi yang sangat maju, menjadikan segala aktifitas menjadi lebih efisien dan modern terutama di bidang finansial atau keuangan. Internet telah mengantarkan ekonomi global ke era baru, lebih umum di bawah istilah ekonomi digital. 1Didalam ekonomi digital yang terus berkembang, masyarakat terus mengembangkan inovasi pemberian layanan di aktivitas peminjaman, salah satunya dengan ditandai ada layanan peminjaman uang dengan berbasis teknologi informasi yang bisa dibilang punya peranan pada pembangunan serta pertumbuhan ekonomi negara.

Kemajuan teknologi didalam perekonomian nasional, ditingkatkan agar bisa menggapai kesejahteraan masyarakat supaya kehidupan perekonomian yang baik bisa terwujud. Diikuti perkembangan zaman globalisasi saat ini, berbagai jenis aktivitas masyarakat tak lepas dari teknologi. Hal ini terlihat di sektor keuangan yang semakin terintegrasi karena adanya platform elektronik. Transaksi bisnis yang perkembangannya begitu cepat karena efek dari kombinasi teknologi internet memunculkan sistem perdagangan online dikenal dengan e-commerce. Munculnya ecommerce telah memberi dampak positif dengan menciptakan kemudahan bertransaksi seperti kebebasan konsumen dalam memilih barang, penghematan waktu, ataupun jasa yang mereka inginkan diikuti harga yang begitu kompetitif.

E-commerce adalah satu diantara wujud manfaat teknologi informasi dan juga perdagangan elektronik yang sudah diatur didalam UU No.19 Tahun 2016 (UU ITE) mengenai perubahan UU No.11 Tahun 2008 perihal Informasi serta Transaksi Elektronik. Salah satu tujuannya ialah memajukan perdagangan juga ekonomi nasional serta menaikkan kualitas hidup masyarakat.2 E-commerce mewakili bisnis modern yang bukan representasi fisik dari pelaku bisnis atau tanda (bukan tanda tangan yang sebenarnya).Tentu saja model bisnis ini bisa dibilang lebih mudah. Keadaan tersebut membuat jarak tidak lagi jadi suatu kendala dalam dunia usaha bisnis, dengan begitu pelaku usaha bisa melaksanakan transaksi tanpa perlu beratatap muka.3

Maraknya pembelian barang atau perdagangan online malahirkan suatu inovasi baru berupa aplikasi dengan sistem pembayaran online. Selain itu pemakaian internet sekarang ini bisa mengakses pinjaman ataupun kredit online dengan meminjam uang menggunakan sistem teknologi informasi. Dengan hadirnya pinjaman online menjadi wujud dari financial technology (fintech) yang termasuk dampak perkembangan teknologi serta semakin banyaknya yang memberikan tawaran pinjaman dengan persyaratan serta ketentuan yang egitu mudah juga fleksibel ketimbang lembaga keuangan seperti

bank. Fintech tersebut mempunyai arti yakni sebagai teknologi yang dipergunakan dalam melaksanakan tindakan keuangan berbasis digital.4

Dalam hal pinjaman online, perjanjian atau kontrak tidak dapat dikesampingkan, didalam pelaksanaan suatu kontrak, pastinya semua pihak harus mengandalkan sifat itikad baik, karenterhadap perbuatan dari suatu hubungan hukum atau pelaksanaan suatu perjanjian ialah sikap mental seseorang. Pinjaman online dikatakan cocok untuk pasar Indonesia ditambah lagi dengan presentase kepemilikan dan penggunaan telepon selular sangat tinggi.5 Financial technology (Fintech) adalah sebuah teknologi alternatif yang mempermudah transaksi pinjaman yang apat dilaksanakan dengan online. Bisnis pinjaman online dengan basis peer-to-peer lending (P2PL), yang jadi fasilitas hubungan antara pihak pemberi pinjaman (debitur) untuk peminjam berlangsung online.6 Tentu saja, sebuah perusahaan dalam mengelola usahanya wajib memperkirakkan dampak yang terjadi didalam bisnisnya. Tentu saja dengan adanya kemajuan teknologi dalam dunia Fintech saat ini justru membuat semakin maraknya modus-modus kejahatan yang timbul, hal ini ditandai dengan banyaknya perusahaan fintech dalam bentuk pinjaman online ilegal atau tidak terdaftar di OJK melaksanakan penetapan bunga dengan tidak sesuai. Untuk itu sebagai konsumen sangat diperlukan pemahaman dasar berkaitan dengan perlindungan konsumen sesuai dengan landasan yang berlaku yaitu prinsip dasar perlindungan konsumen oleh BI.7

Aturan undang-undang, melaksanakan penagihan tidak seperti standar prosedur hukum serta dibukanya data pribadi peminjam, mengakibatkan efek negatif kepada masyarakat serta jasa pinjaman online jadi punya citra buruk. Melihat permasalahan ini terjadi kepada masyarakat, berhubungan praktik bisnis pinjaman online (P2P Lending) ilegal pastinya mengakibtkan keprihatinan. Oleh karena itu masyarakat harus lebih pandai dalam menggunakan kecanggihan teknologi seperti sekarang ini dan harus lebih waspada agar tidak terperangkap dan tergiur akan kemudahan untuk memperoleh pinjaman dalam bentuk uang. Mengacu pada penjabaran latar belakang inilah, penulis mengangkat judul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Pada Praktik Fintech Dalam Bentuk Pinjaman Online Ilegal”

Penelitian terdahulu mengenai penyelenggara Fintech telah banyak dilakukan seperti yang ditulis oleh Ni Made Eka Pradnyawati, I Nyoman Sukandia, Desak Gde Dwi Arini, dalam Jurnal Kontruksi Hukum: yang berjudul Perjanjian Pinjaman Online Dengan Basis Financial Technology (Fintech), dimana dalam jurnal tersebut mengenai kedudukan hukum perjanjian pinjaman online berbasis fintech sah secara hukum karena memiliki landasan dalam KUHPerdata Pasal 1320 serta berkaitan dengan perlindungan

hukum terhadap debitur yang melakukan perjanjian pinjaman online berbasis fintech.8 Kedua oleh Hari Sutra Disemadi dalam Jurnal Pandecta: yang berjudul Fenomena Predatory Lending: Sebuah Kajian Diselenggarakannya Bisnis Fintech P2P Lending dimasa Covid-19 di Indonesia, yang membahas mengenai Hari Sutra Disemadi dalam Jurnal Pandecta: yang berjudul Fenomena Predatory Lending: Sebuah Kajian Diselenggarakannya Bisnis Fintech P2P Lending dimasa Covid-19 di Indonesia serta Hari Sutra Disemadi dalam Jurnal Pandecta: yang berjudul Fenomena Predatory Lending: Sebuah Kajian Diselenggarakannya Bisnis Fintech P2P Lending dimasa Covid-19 di Indonesia.9 Ketiga yaitu tulisan dari Wardah Yuspin, Ridwan, Didik Irawansah, Nasrullah yang berjudul Urgensi Dibentuknya UU Fintech Di Indonesia: Harapan Dan Realita Di Era Pademic Covid-19, membahas terkait dengan Peraturan Hukum Yang di Keluarkan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan tentang fintech di Indonesia serta Urgensi Pembentukan UU fintech terhadap Perlindungan Konsumen fintech.10 Dari tiga tulisan tersebut punya inti pembahasan berbeda dengan penelitian ini, yang dimana penulis dalam tulisan ini berfokus kepada keabsahan dari suatu perjanjian dalam pinjaman online yang ilegal serta bagaimana kebijakan pemerintah terkait perlindungan terhadap konsumen pada penyelengara fintech dalam bentuk pinjaman online ilegal. Pengkajian yang dilakukan penulis dimaksud bisa berkontribusi menjadi literature serta literasi untuk masyarakat terutama dalam hal perkembangan Fitech Ilegal dalam bentuk pinjaman online.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana keabsahan perjanjian pinjaman online ilegal yang tidak mendaftar di OJK?

  • 2.    Bagaimana kebijakan pemerintah terkait perlindungan terhadap konsumen pada penyelenggara fintech dalam bentuk pinjaman online ilegal?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini agar tahu bagaimana keabsahan dari perjanjian pinjaman online ilegal yang tidak mendaftar di OJK serta supaya tahu bagaimana kebijakan pemerintah terkait perlindungan terhadap konsumen pada penyelenggara fintech dalam bentuk perjanjian online ilegal.

  • 2 .Metode Penelitian

Dengan memakai jenis penelitian hukum normative dimana hukum diletakan sebagai suatu system norma. ialah menegenai asas, kaidah dari aturan undang-undang, perjanjian dan doktrin.11 Dimana penelitian hukum normatif

ialah penelitian hukum yang dilaksanakan dengan cara meneliti bahan pustaka ataupun suatu data sekunder. Pendekatan yang dipaka didalam penulisan artikel ini ialah pendekatan Statue Approach. Dimana dalam pendekatan ini mengutamakan bahan hukum yang berupa aturan UU yang bekaitan dengan isu hukum serta menjadi bahan acuan didalam pelaksanaan penelitian. Sumber data hukum yang dipakai pada penulisan ini ialah sumber hukum primer diperoleh dari KUHPerdata, UU Perihal Informasi serta Transaksi Elektronik (ITE) No.19 Tahun 2016, UU Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999, POJK No. 77 Tahun 2016 Perihal Layanan Peminjaman Uang dengn Basis Teknologi Informasi, PBI No. 19 tahun 2017 perihal Penyelenggara Fintech. Sumber hukum sekunder diperoleh dari sumber kepustakaan seperti buku-buku, jurnal hukum, artikel hukum, karya ilmiah serta jenis penelitian lainnya yang berkaitan dengan penulisan ini. Sumber hukum tersier diperoleh dari kamus hukum, kamus bahasa inggris maupun website yang berkaitan. Teknik pengumpulan data yang dipakai didalam penulisan ini adalah teknik library rearch (kepustakaan). Setelah semua data terkumpul dan diolah atau dikaji dalam penulisan ini menggunakan metode pengolahan data deskriptif analisis.

  • 3 .Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Keabsahan dari perjanjian pinjaman online ilegal yang tidak terdaftar di OJK Pada era ekonomi digital saat ini, masyarakat terus mengedepankan inovasi pemberian layanan didalam aktivitas pinjam meminjam, salah satunya karena hadirnya layanan peminjaman uang dengan basis teknologi informasi dinilai punya berkontribusi kepada perkembangan pembangunan serta ekonomi nasional. penyediaan layanan keuangan ini supaya bisa menghubungkan pemberi pinjaman dan peminjam. Ini dilaksanakan agar membuat perjanjian peminjaman uang dengan langsung, lewat sistem elektronik memakai internet. Saat ini, transaksi bisnis tidak mengharuskan atau mewajibkan penjual serta pembeli bertemu secara langsung, lalu membayar serta menerima giro sesuai dengan transaksi komersial. Sekarang, transaksi bisnis bisa dilaksanakan dengan dunia maya atau fasilitas internet.12

Di aktivitas kredit lewat media online, semua perjanjian yang sudah dibuat debitur serta keditur akan dituangkan kedalam kontrak elektronik. Peraturan yang berkaitan dengan kontrak elektronik telah terrcantum didalam Pasal 1 angka 17 UU ITE yang mengatakan jika: “Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik”. Kekuatan hukum kontrak elektronik bisa dicek di Pasal 18 ayat (1) UU ITE yang mengatakan jika, “Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak.” Yang berarti bisa ditarik kesimpulan jika sebuah transaksi yang kemudian menjadi perjanjian lalu tertuang kedalam kontrak elektronik punya sifat yang mengikat pihak, yang bisa disandingkan dengan perjanjian ataupun kontrak secara umum.

Layanan Peminjaman Uang dengan Basis Teknologi biasa dinamai Pinjaman Online atau Pinjol. Bentuk perjanjian dari Pinjaman Online ini yaitu

dalam bentuk perjanjian tertulis. Dimana dalam aplikasi diperlihatkan serta dinyatakan jika perjanjian tersebut adalah bentuk perjanjian tertulis serta tidak lisan atau terucap, meskipun aplikasi tersebut tidak terdaftar didalam OJK. Kontrak pinjaman properti terdiri dari perjanjian tertulis, yang dalam kontrak dan penandatanganan perjanjian tidak dilakukan di hadapan pejabat publik ataupun didepan notaris.13

Perjanjian lewat pemiinjaman online yang belum mendaftar didalam OJK merupakan perjanjian tertulis, cara membuktikan perjanjiannya hanya ada dua hak pembuktian. Daya pembuktian sebagai alat bukti formal tidak mutlak, dikarenakan perjanjian tidak disetujui di depan pejabat publik. Kemudian muncul kekuatan bukti fisik, jika dalam bukti formal terfokus kepada mekanisme persetujuan, sekarang didalam kekuatan bukti fisik, analisis fokus pada kebenaran konten perjanjian. Validitas perjanjian bisa diperiksa dalam empat langkah sesuai Pasal 1320 KUHPerdata yang memberikan penjelasan mengenai syarat sah sebuah perjanjian yakni:

  • a.    Kesepakatan

Maksud dari kesepakatan disini ialah sepakat antara para pihak untuk mengikat diri berarti kedua pihak didalam perjanjian wajib punya kemauan bebas tanpa paksaan, penipuan atau kekhilafan.

  • b.    Kecakapan

Tindakan yang kompeten merupakan tindakan yang punya kapasitas untuk melaksanakan tindakan hukum, dengan sendirinya mengetahui terlebih dahulu akibat hukum dari tindakan tersebut yang akan terjadi. Perjanjian tersebut harus ditandatangani oleh orang yang berwenang, dewasa dan mempunyai akal untuk melakukan perbuatan hukum. Sesuai dengan Pasal 330 KUHPerdata, orang yang cakap yaitu sudah dewasa dengan berusia 21 tahun atau dibawah 21 tahun namun telah menikah, dan merupakan seorang warga negara, tidak tahanan.14 Terdapat ketentuan yang berbeda-beda terkait usia yang cakap untuk melakukan perjanjian contohnya, UU Perlindungan Anak Pasal 1, orang yang dianggap cakap ialah telah berusia 18 tahun. Ketika perjanjian dilakukan oleh orang dibawah umur maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan karena tidak memenuhi unsur kecakapan dalam syarat sahnya perjanjian. Keabsahan perjanjian dalam berbasis online dapat dikatakan sah apabila tidak menimbulkan permasalahan hukum dikemudian hari.

  • c.    Suatu Hal Tertentu

Maksud dari sebuah hal khsusus yang diperjanjikan didalam perjanjian adalah harus suatu barang yang jelas ataupun yang khusus yakni paling sedikit ditentukan jenisnya (Pasal 1333 KUH P erdata); Hanya barang yang bisa di dagangkan saja yang bisa jadi pokok sebuah perjanjian (Pasal 1332 KUHPerdata) d. Kausa Yang Halal

Maksudnya addalah suatu perjanjian tidak dibolehkan bertolak belakang dengan UU, ketentuan umum, moral serta kesusilaan (Pasal 1335 KUHPerdata jo Pasal 1337 KUHPerdata).

Supaya sebuah perjanjian bisa dikatakan sah maka Pasal 1320 KUH Perdata mengatur tentang 4 persyaratan diatas yakni ada kesepakatan antara para pihak, kecakapan dalam membuat ikatan, satu hal tertentu dan sebuah penyebab halal. 4 syarat itu dapat dikategorikan jadi 2 syarat yakni syarat subjektif serta objektif. 15

  • 1.    Syarat Subjektif

Syarat subjektif berhubungan dengan subjek hukum perjanjian, dan syarat ini harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Syarat tersebut meliputi sepakat bagi mereka untuk mengikatkan dirinya; kecakapan bagi para pihak yang membuat perjanjian. Dalam hal tidak terpenuhinya syarat subjektif, akan menimbulkan suatu akibat hukum yaitu dapat dibatalkan.

  • 2.    Syarat Objektif

Syarat objektif berkaitan dengan objek yang akan diperjanjikan. Sehingga objek perjanjian harus memenuhi syarat yang meliputi; sesuatu hal khusus; sebuah sebab yang halal. Bila syarat objektif tersebut belum terpenuhi, akan timbul akibat hukum yang mana perjanjian akan batal karena hukum, yang berarti perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada.

Undang-undang yang menjadi pengaturperjanjian online, sama dengan hukum yang menjadi penggatur perjanjian tatap muka atau konvensional. Yang berarti perjanjian online tunduk kepada ketentuan perjanjian tatap muka atau perjanjiankonvensional. Dikarenakan isi serta mekanisme perjanjian pada dasarnya sama, namun yang jadi pembeda keduanya hanyalah media yang dipakai, maka perjanjian online dan perjanjian tatap muka atau perjanjian konvensional keduanya mempunyai akibat hukum yang sama.16

Berkaitan dengan apakah perjanjian lewat peminjaman online yang tidak terdaftar di OJK dapat dikatakan sah atau tidaknya, hal tersebut harus mengacu kembali pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang mencantumkan empat sayart sahnya perjanjian. Tidak terpenuhinya salah satu syarat ini dapat mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan. Apabila syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian batal demi hukum dan dianggap tidak pernah ada. Pelanggaran seperti tiadanya izin ataupun pemberian informasi fiktif dapat menyebabkan tidak terpenuhinya baik syarat subjektif ataupun objektif dalam perjanjian pinjol, sehingga perjanjian menjadi tidak sah.

Tidak sah dan batalnya perjanjian akan mempengaruhi kelanjutan pemenuhan hak dan kewajiban para pihak, termasuk kewajiban pembayaran debitur. Pasal 1266 KUHPerdata mengatur mengenai batalnya perjanjian dalam hal terjadi salah satu pihak yang tidak memenuhi kewajibannya. Antara lain dinyatakan bahwa syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan. Sementara mengenai akibat pembatalan itu sendiri Pasal 1267 KUHPerdata mengatur bahwa Pihak yang terhadapnya

perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.

  • 3.2 Kebijakan pemerintah terkait perlindungan terhhadap konsumen pada penyelenggara fintech dalam bentuk pinjaman online ilegal

Peraturan serta kebijakan dari pemerintah punya peran penting dalam usaha mencapai tujuan dari negara, untuk kemakmuran serta pembangunan rakyat Indonesia.17 Regulasi terkait pinjaman online adalah wujud usaha dilindungnya konsumen, yakni peminjam. Pengertian perlindungan kepada konsumen telah teratur di dalam UU Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999. Didalamnya disebutkan jika perlindungan konsumen ialah serangkaian usaha dalam menjamin kepastian hukum guna menjamin perlindungan pada konsumen.

Dasar hukum peminjaman online telah teratur didalam Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016 perihal Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi serta Peraturan Bank Indonesia No.19/12/PBI/2017 Tahun 2017 perihal Penyelenggaraan Teknologi Finansial menjadi dasar hukum berlakunya bisnis dari pinjaman online. Dalam pasal 1 No.3, POJK 77/POJK.01/2016, mengatur jika layanan peminjaman uang dengan basis teknologi informasi mencakup penyediaan layanan keuangan dalam menghubungkan pemberi pinjaman serta peminjam mendapatkan pinjaman untuk mengadakan perjanjian pinjaman dan meminjam secara langsung. Hal ini juga menjelaskan jika P2P lending adalah teknologi yang bisa memenuhi keperluan finansial saat ini. Dengan adanya aturan itu, jadi dasar penerapan fintech serta harapannya akan mengurangi permasalahan yang berhubungan dengan fintech di Indonesia.

Berhubungan dengan perkembangan fintech ilegal di Indonesia, didalam POJK No.77/ POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi telah tercantum lagkah melaksanakan pengajuan pendaftaran sebuah perusahaan fintech, yang diharuskan memnuhi syarat yang ada didalam POJK. Sebuah perusahaan bisa melakukan pendaftaran ke OJK dengan membuat permohonan dengan syarat seperti yang tercantum didalam POJK. Dengan pertumbuhan fintech P2P Lending ilegal setiap tahun semakin bertambah, maka dari itu peran OJK untuk menangani hal tersebut yaitu dengan lebih diketatkan lagi pendaftaran fintech dengan melaksanakan pencatatan serta juga pengawasan

Sebenarnya, OJK tidak punya wewenang khusus didalam menangani fintech P2P lending ilegal. Dikarenakan keterbatasan itu, dibuatlah Satgas Waspada Investasi (SWI). SWI dibentuk melalui Surat Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor Kep-208/BL/2007 tanggal 20 Juni 2007 untuk masa kerja tahun 2007 yang diperbaharui setiap tahunnya. Setelah beralihnya tugas dan fungsi Bapepam-LK kepada OJK, Surat Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor Kep-208/BL/2007 tanggal 20 Juni 2007 diperbaharui melalui Keputusan Dewan Komisioner OJK Nomor 01/KDK.04/2013 tanggal 26 Juni 2013. Dasar pembentukan terakhir melalui Keputusan Dewan Komisioner OJK Nomor 2/KDK.02/2020 tanggal 3 Maret 2020 tentang Pembentukan Satuan Tugas Penanganan Dugaan Tindakan

Melawan Hukum di Bidang Penghimpunan Dana Masyarakat dan Pengelolaan Investasi (Satgas Waspada Investasi).18

SWI ada dibawah naungan OJK yang dapat dikatakan menjadi instrument hukum untuk mengatur pinjaman online.19 SWI merupakan bentuk kerjasama beragma instansi pemerintahan seperti Kementerian Komunikasi serta Informatika, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Kepolisian RI, Kejaksaan, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). SWI dibentuk dengan tujuan menanggulangi serta penanganan dugaan adanya tindakan perlawanan terhadap hukum pada bidang penghimpunan dana serta juga pengelolaan investasi, termasuk juga untuk menangani pinjol ilegal, melalui platform fintech. Dalam aktivitas penangan umum dilaksanakan dengan inventarisasi, analisa, menangani perilaku melanggar hukum pada sektor penghimpungan dana masyarakat serta tata kelola investasi, melaksanakan pemeriksaan adanya sebuah pelanggaran, menginvestigasi situs yang punya potensi membuat rugi serta membuat rekomendasi tindakan lanjut penanganan.

Dengan adanya Satgas Waspada Investasi, sebenarnya telah memperlihatkan usaha perlindungan hukum terhadap fintech khususnya yang bersifat ilegal yang terbukti dari ada pinjol ilegal yang sempat diblokir oleh Satgas Waspada Investasi. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa selain dibentuknya SWI, karena itu perlu ada pembaharuan syarat pendirian serta izin dari fintech khususnya P2P lending ini, dan juga sosialisasi terhadap masyarakat agar waspada kepada adanya P2P lending ini. Maka bisa melaksankan amanat dari POJK No.77/POJK.01/2016 pada BAB VII tentang Edukasi Dan Perlindungan Pengguna Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, dalam Pasal 29 yang jadi pengatur prinsip pokok perlindungan konsumen, yang diantaranya:

  • 1.    Ketransparansian

  • 2.    Diperlakukan adil;

  • 3.    Keandalan;

  • 4.    Tingkat kerahasiaan serta keamanan data;

  • 5.    Diselesaikannya permasalahana konsumen dengan, cepat, serta biayanya yang murah.

Selain dengan adannya substansi hukum yang komprehensif serta struktur hukum yang tegas, perlu juga ditingkatkannya kesadaran dari masyarakat itu sendiri.

  • 4. Kesimpulan

Keabsahan suatu perjanjian dapat diuji melalui empat tahapan sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata. Berkaitan dengan apakah perjanjian lewat peminjaman online yang tidak terdaftar di OJK dapat dikatakan sah atau tidaknya, hal tersebut harus mengacu kembali pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dan jika tidak terpenuhinya salah satu syarat ini dapat mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Seperti halnya jika P2PL yang tidak mendaftar di OJK maka akan menjadi illegal serta syarat keempat dari perjanjian yaitu sebeb yang halal tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dikatakan tidak sah. Pengaturan tentang pinjaman online, adalah wujud dari usaha perlindungan konsumen yakni didalam hal ini ialah penerima

pinjaman. Untuk meminimalisir keberadaan pinjaman online ilegal pemerintah melalui OJK telah membentuk Satgas Waspada Investasi (SWI) yang menjadi instrument hukum untuk mengatur pinjaman online yang terbukti dengan ada pinjol ilegal yang diblokir SWI. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa selain dibuatnya Satgas Waspada Investasi, maka perlu ada pembaharuan yang berkaitan dengan syarat pendirian serta izin dari fintech khususnya P2P lending ini menjadi sosialisasi bagi masyarakat agar terus waspada kepada adanya P2P lending ini. Maka bisa merealisasikan POJK No.77/POJK.01/2016 yang jadi pengatur utama perlindungan konsumen.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Richardus Eko Indrajit, “E-Commerce: Kiat dan Strategi Bisnis di Dunia Maya” (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2015)

Mukti Fajar and Yulianto Achmad, “Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris Cetakan IV” (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2017)

Thomas Arifin, “Berani Jadi Pengusaha: Sukses Usaha Dan Raih Pinjaman” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2018)

Imam Sjahputra, Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Elektronik. Alumni, (Bandung: Alumni, 2010)

Jurnal

Anita, Imelda Paskah, And Made Gde Subha Karma Resen. “Legalitas Perusahaan Berbasis Financial Technology (Fintech) Dan Kaitannya Dengan Prinsip Perlindungan Konsumen Bank Indonesia.” Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum 8, No. 7 (2020) 59-68

Baihaqi, J. Financial Technology Peer-To-Peer Lending Berbasis Syariah di Indonesia. Journal of Sharia Economic Law, 1 No. 2 (2018) :116-132.

Ekka Sakti Koeswanto dan Muhammad Taufik, Perlindungan Hukum Terhadap Investor Yang Melakukan Investasi Virtual Currency (Centcoin & Bitcoin). Jurnal Akuntansi Unesa 9 No 1, (2017). Hal. 202

Edi Supriyanto, Nur Ismawati, “Sistem Informasi Fintech Pinjaman Online Berbasis Web” jurnal umj, Volume 9, No. 2 (2019) p-ISSN 2089-0265 e-ISSN 2598- 3016. hlm 101

Desak Ayu Lila Astuti, A.A Ngurah Wirasila, 2018, Perlindungan Hukum Terhadap Konnsumen Transaksi e-commerce Dalam Hal Terjadinya Kerugian, Kertha Semaya, Journal Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h.6.

Dz, Abdus Salam. "Inklusi Keuangan Perbankan Syariah Berbasis Digital-Banking: Optimalisasi dan Tantangan" Al-Amwal: Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syari'ah 10, no. 1 (2018): 63-80.

Ni Made Eka Pradnyawati, I Nyoman Sukandia, Desak Gde Dwi Arini. “Perjanjian Pinjaman Online Berbasis Financial Technology (Fintech).” Jurnal Kontruksi Hukum 2, No. 2 (2021): 320-325

Hari Sutra Disemadi, “Fenomena Predatory Lending: Suatu Kajian Penyelenggaraan Bisnis Fintech P2P Lending Selama Pandemi Covid-19 di Indonesia.” Pandecta: Journal unnes 16, No. 1(2021): 55-56

Didik Irawansah, Wardah Yuspin, Ridwan, Nasrullah. “Urgensi Pembentukan Undang-Undang Fintech Di Indonesia: Harapan Dan Realita Di Era Pandemic Covid-19.” SASI: Jurnal Terakreditasi Nasional 27, No. (2021): h. 532 – 548

Adiyanta, F.C.S. “Sinkronisasi Kewenangan Regulasi Pemerintah kabupaten/Kota sebagai Model Implementasi Kebijakan Ekonomi Nasional yang Mendukung Iklim Investasi di Daerah”. Administrative Law and Governance Journal 2, No. 2 (1019): 282-300

Website:

Admin, Syarat Sahnya Perjanjian dan Akibatnya Jika Tidak Dipenuhi, Accessed February 20, 2023 https://www.hukumonline.com/klinik/a/4-syarat-sah-perjanjian-dan-akibatnya-jika-tak-dipenuhi-cl4141

Profil Satgas Waspada Invvestasi, Accessed February 20,   2023

https://ojk.go.id/waspada-investasi/id/tentang/Pages/Profil-Satgas.aspx

Peraturan Perundang-Undangan:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang No. 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3821)

Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253)

Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara RI Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5952)

PBI No. 19 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan Fintech

POJK No. 77 Tahun 2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 8 Tahun 2022 hlm 847-857

857