MEDIASI DALAM PENYELESAIAN TINDAK KEKERASAN YANG DILAKUKAN ANAK

DI BAWAH 17 TAHUN DI LINGKUNGAN SEKOLAH

Gusti Ayu Diyan Vanessa Cristina, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Kadek Agus Sudiarawan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik tindakan kekerasan di sekolah yang dilakukan oleh anak dibawah 17 tahun dan untuk mengetahui apakah mediasi dapat digunakan dalam penyelesaian atas tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak dibawah 17 tahun di sekolah. Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik tindakan kekerasan di sekolah yang dilakukan oleh anak dibawah 17 tahun dikelompokkan menjadi tiga jenis utama: hukuman fisik, pelecehan seksual dan intimidasi yang dimanifestasikan dalam berbagai cara, mulai dari kekerasan verbal atau pelecehan secara sporadis hingga kekerasan fisik dalam bentuk pemerkosaan atau pemukulan. Mediasi dapat digunakan dalam penyelesaian atas tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak dibawah 17 tahun di sekolah karena dinilai dapat menyelamatkan masa depan anak yang masih panjang dan sebagai upaya perlindungan hukum bagi anak yang melakukan tindaskan kriminal di sekolah, sehingga anak akan terhindar dari pengaruh buruk yang sangat tidak baik bagi kehidupannya yang masih panjang.

Kata Kunci: Mediasi, Anak, Tindak Kekerasan di Sekolah.

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine the characteristics of acts of violence in schools committed by children under 17 years of age and to determine whether mediation can be used in the resolution of acts of violence committed by children under 17 years in schools. The research method used is normative legal research with a statutory approach and a legal conceptual approach. The results showed that the characteristics of acts of violence in schools committed by children under 17 years of age were grouped into three main types: corporal punishment, sexual harassment and intimidation which manifested in various ways, ranging from verbal violence or sporadic harassment to physical violence in the form of rape or harassment. beating. Mediation can be used in resolving acts of violence committed by children under 17 years old at school because it is considered to be able to save a child's long future and as an effort to protect the law for children who commit criminal acts at school, so that children will be protected from bad influences that are very bad. not good for his long life.

Key Words: Mediation, Children, Violence in Schools.

  • 1.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan masyarakat saat ini telah banyak ditemukan tindakan-tindakan penyimpangan yang dilakukan oleh generasi muda. Semakin hari kian semakin jelas kenakalan yang diperbuat oleh anak-anak dalam kehidupan masyarakat. Kondisi aktual daripada hal tersebut telah memberikan gambaran betapa sudah merosotnya etika dan moral yang membuat perilaku anak telah banyak menyimpang. Tentu hal ini menjadi suatu kekhawatiran bagi seluruh bangsa Indonesia dimana hal ini akan memberikan dampak buruk bagi masa depan bangsa dan akan sangat berbahaya bagi lingkungan masyarakat. Adanya perilaku menyimpang terhadap anak zaman sekarang banyak disebabkan oleh faktor-faktor dari kemajuan era globalisasi yang dirasakan seperti saat ini telah memberikan dampak negatif bagi perilaku anak-anak muda.bagian yang mencakup daripada pengaruh era globalisaasi aadalah perubahan gaya dalam kehidupan masayarakat terutama anak-anak, media komunikasi dan informasi, pengaruh Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang mana semua ini merupakan dasar dalam perubahan di tengah-tengah masyarakat.

Perilaku kenakalan anak-anak zaman sekarang sudah termasuk kedalam kenakalan yang tidak dapat dikatakan kenakalan biasa.1 Bahkan telah dapat dikatakan bahwa kenakalan tersebut suddah merupakan tindakan pidana yang telah melanggar hukum yang ada di Indonesia. tafsiran yang ditujukan kepada permasalah anak sebagai pelaku pidana didasarkan pada pikiran dan fisik sertaa moral dan mental yang belum mampu memiliki akal yang baik dan sehat dikarenakan nilai kodrat sang anak.

Data yang diperoleh dari SIPP Pengadilan Negeri Purwokerto menyatakan selama 3 (tiga) tahun dari 2014 hingga 2017 telah ditemukan perkara yang dilakukan oleh anak sebanyak 39 yang mana 25 dari perkara tersebut diputuskan oleh hakim mendapatkan sanksi pidana penjara. Kenyataan tersebut membuat bahwa adanya ketidaksesuaian pada filosofi tindak pidana hukum pada anak yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri tersebut. pemidanaan anak yang tidak tepat akan membuat aturan perlindungan yang lain akan menjadi terabaikan. Padahal seharusnya dalam proses pemidanaan tersebut merupakan suatu cara terakhir dan waktu pemidaan tersebut dilakukan dalam waktu singkat. Bentuk daripada pemidaan tersebut dilakukan sebagai perlindungan atas hak anak yang masih memiliki masa depan yang panjang.

Anak yang telah melakukan tindakan kekerasan di sekolah perlu peran daripada negara yang harus memberikan jaminan dan perlindungan bagi hak asasi anak agar dapat hidup dan bertumbuh serta berkembang selayaknya anak-anak yang lain. Anak diharapkan dapat berubah dan berpartisipasi dengan baik dalam kehidupannya karena peran negara tersebut untuk mewujudkan harkat martabat anak dari intimidasi orang lain apabila dilakukan pemenjaraan. Negara indonesia memiliki aturan dan kebijakan perundang-undangan mengenai jaminan

perlindungan anak yakni Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 mengenai pertimbangan yang harus dilakukan dengan mengedepankan kepentingan anak. Pada permasalahan perkara yang dilakukan oleh anak sebagai pelaku seperti tindakan kekerasan yang dilakukan di sekolah kepada temannya akan menjalani peradilan anak terdapat pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dimana Undang-Undang tersebut diharapkan mampu menjadi sistem yang baik untuk mengadili perkara yang dilakukan oleh anak -anak Indonesia dengan cara yang lebih tepat dan ramah.

Perkara tindakan pidana yang dilakukan oleh anak sebagai pelaku masih belum dapat mengimplementasikan sistem peradilan pidana yang baik di Indonesia. Banyak terdapat kendala dan hambatan ketika akan menerapkannya. Permasalahan ini menjadi ketidakpastian bagi anak yang menjalani kasus tindakan kekerasan di sekolah karena tidak berjalan lancarnya penerapan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) sehingga tidak ada kemaksimalan yang dapat memberikan kerugian bagi anak. Penyusunan jurnal ini bertujuan untuk mengetahui penyelesaian tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak di bawah umur yang terjadi di lingkungan sekolah dengan mediasi. Terdapat penelitian terdahulu dengan topik bahasan yang serupa diantaranya yang ditulis oleh Yusnanik Bakhtiar dengan judul “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penyelesaian Kekerasan Bullying di Sekolah”2 dan ditulis pada tahun 2017. Pada jurnal tersebut disimpulkan bahwa upaya penanggulangan terhadap tindak bullying di sekolah dapat dilakukan dengan dua upaya yakni secara penal dan non penal. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Siti Iba dan Rochmani pada tahun 2020 yang berjudul “Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Perundungan (Bullying) Anak Dibawah Umur”. Dari tulisan tersebut disimpulkan bahwa penyelesaian hukum pidana pelaku perundungan terhadap siswa korban kekerasan di sekolah belum berjalan dengan baik karen belum diatur dalam undang-undang secara khusus, serta terhadap beberapa faktor penghambat penyelesaian hukum tersebut. Maka berdasarkan penjelasan di atas, ditarik judul pada penelitian ini adalah “Mediasi Dalam Penyelesaian Tindak Kekerasan Yang Dilakukan Anak Di Bawah 17 Tahun Di Lingkungan Sekolah”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Adapun latarbelakang yang telah dipaparkan diatas menjadi dasar dalam perumusan masalah penelitian yang terbagi dalam pertanyaan berikut:

  • 1.    Bagaimanakah karakteristik tindakan kekerasan di sekolah yang dilakukan oleh anak dibawah 17 tahun?

  • 2.    Apakah mediasi dapat digunakan dalam penyelesaian atas tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak dibawah 17 tahun di sekolah?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penyusunan jurnal ini adalah untuk mengetahui karakteristik tindakan kekerasan di sekolah yang dilakukan oleh anak dibawah 17 tahun. Serta, dengan disusunnya jurnal ini untuk mengetahui penggunaan mediasi sebagai penyelesaian atas tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak dibawah 17 tahun di lingkungan sekolah.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian menggunakan penelitian hukum normatif atau yuridis normatif yang merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Metode pemikiran dalam penyusunan jurnal ini dilakukan secarea deduktif dimana melakukan penarikan kesimpulan dari umum ke khusus yang telah dibuktikan kebenarannya. Metode yuridis normatif dilakukan dalam menganalisa norma peraturan kebijakan undang-undang terhadap nilai kesejahteraan dan keadilan dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual hukum. Pada penelitian ini terdapat adanya norma kabur mengenai penerapan mediasi sebagai penyelesaian dalam tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak dibawah 17 tahun di lingkungan sekolah, karena pada UU SPPA terdapat batasan penerapan diversi pada kasus anak. Pada penyusunan jurnal ini digunakan teknik analisis yang bersifat kualitatif dan tidak difokuskan pada kuantitas namun kualitas dari data. Penyusunan jurnal ini menggunakan sumber data seperti dokumen undang-undang, jurnal hukum, buku-buku, dan opini daripada pakar-pakar hukum.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Karakteristik Tindakan di Sekolah yang Dilakukan oleh Anak Dibawah 17 Tahun

Kekerasan yang dilakukan anak di sekolah dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis utama: hukuman fisik, pelecehan seksual dan intimidasi. Dalam klasifikasi ini, tingkat kekerasan di sekolah dimanifestasikan dalam berbagai cara: mulai dari kekerasan verbal atau pelecehan secara sporadis hingga kekerasan fisik dalam bentuk pemerkosaan atau pemukulan. Itu konsekuensi, dan oleh karena itu dampaknya, termasuk dampak ekonomi, dimediasi oleh berbagai faktor. Ini termasuk, misalnya, jenis kekerasan, ketahanan anak, frekuensi, konteks di mana korban tinggal dan jenis perhatian atau perlakuan yang diterima siswa (darikonseling untuk perawatan terkait kehamilan). Korban pelecahan yang sering terjadi biasanya dilakuakn oleh pelaku yang lebih dewasa karena dipercaya penuh untuk melindungi korban. Pelaku merupakan seseorang yang dihormati dan disayangi oleh anak yang menjadi korban. Motif yang sering terjadi ialah dengan bentuk sogokan, rayuan dan ancaman.3

Meningkatnya kekerasan yang terjadi di sekolah saat ini telah menjadi fokus yang baru atas tindakan dan perkara mengenai kekerasan yang mana pelakunya adalah anak. Seperti halnya kekerasan seksual, orangtua perlu menjalin komunikasi yang baik dengan anak untuk mengedukasi mengenai seks karena kenyataannya

anak sebagai korban pelecahan sukar untuk melaporkan kepada orangtua karena sifat yang rahasia sudah didoktrin sejak kecil dan tabu di masyarakat untuk diceritakan.4 Anggapanorang tua mengenai hal itu ialah karena anak masih kecil sehingga belum layak, padahal justru sejak dini anak dapat mulaimenerima pengetahuan termasuk etntang seks. Apalagi keingintahuan anak zaman sekarang sangat tinggi akibat adanya kemajuan teknologi. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anak perlu mendapat peranan negara untuk memberikan jaminan dan perlidungan terhadap anak si pelaku kekerasan di sekolah.5

Dari sisi hukum, negara telah membuat aturan perundangan yakni UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak. Aturan yang telah dibuat diatas untuk melakukan peningkatan atas jaminan bagi anak dan diikuti dengan sistem peradilan anak yang diatus pada UU Nomor 11 Tahun 2012 yang mengatur dan memberikan keadilan bagi anak atas perbuatan yang telah dilakukannya dan juga mengatur sistem acara dalam pengadilan.6

Aparat hukum negara tidak dapat menerapkan penanganan kasus anak sama seperti kasus dewasa dan perlu melihat syarat-syarat yang lebih mementingkan kepentingan anak. Hal tersebut dapat dilihat dari kepribadian seorang anak yang labil dan masih memiliki masa depan serta merupakan generasi bangsa. Dengan pandangan yang ada di tengah masyarakat bahwa anak harus mendapatkan perlidungan sehingga diperlukan solusi agar sang anak sebagai pelaku tindak pidana tidak menjalani proses sistem peradilan layaknya orang telah dewasa hingga di memasuki penjara dan stigma yang muncul terhadap anak sebagai narapidana. Dasar pemikiran tersebut ialah terdapat pada sifat anak dan kondisi psikologis yang masih membutuhkan perlindungan khusus bagi anak agar mental sang anak masih terjada dengan baik.7

Kenyataan daripada penerapan hukum pada anak saat ini masih ditemukan tidak adanya perlindungan terhadap hak anak saat melakukan penegakan hukum yang tidak memberikan perlindungan bagi anak hingga selesainya pencapaian keadilan.8 Berdasarkan Undang-Undang No 11 Tahun 2012 mengamanatkan bahwa adanya keadilan yang disebut restorative justice untuk menegakkan keadilan dan perlindungan bagi anak yang menjadi pelaku tindakan kekerasan dalam hal ini. Dari pasal 22 yang menyatakan bahwa sang anak hanya akan dijatuhkan pemidanaan berdasarkan aturan perundang-undangan. Pidana terhadap anak

sebagai pelaku yang masih berusia 8-18 tahun dengan memperhatikan batasan-batasan eksklusif yang berhubungan dengan UU No. 11 Tahun 2012 sehingga anak yang masih berusia di bawah 17 tahun harus melewati proses mediasi agar dapat mewujudkan keadilan restorative terhadap anak sebagai pelaku tindakan kekerasan di sekolah. Mediasi perlu dilakukan agar dapat mencapai keefektifan penyelesaian perkara dengan memperhatikan hak asasi anak dan anak dapat berkembang dengan pembinaan yang lebih baik lagi dari pihak keluarga.

  • 3.2    Bentuk Perlindungan Hukum Anak

Bentuk perlindungan hukum oleh negara terhadap anak sebagai pelaku kekerasan di sekolah yang mana umurnya masih belum mencapai 17 tahun lebih dengan memperhatikan hak anak serta kebebasannya. Adanya bentuk perlidungan tersebut bertujuan memberikan perlindungan kepada kesejahteraan sang anak yang mana berkaitan dengan hak-hak asasi anak selama mengikuti proses sistem peraadilan pidana anak yang telah melakukan tindakan kekerasan di sekolah. Negara Indonesi terus berupaya memberikan jaminan dan perlindungan maksimal bagi anak bangsa dengan menerbitkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Tahun 2016 dilakukan penerbitan Perppu agar dapat meningkatkan perlindungan anak karena terjadinya peningkatan masalah kekerasan kepada anak seperti kekerasan seksual. Perubahan yang terus dilakuakn untuk mencapai hasil maksimal dalam menjamin dan melindungi hak anak maka dapat disimpulkan bahwa negara sangat memberikan perhatian khusus pada anak karena anak adalah generasi bangsa yang harus dijamin kepentingan kebebasan dalam kehidupannya.

Sistem peradilan pidana anak merupakan semua yanhg berkaitan dengan sistem peradilan pidana yang penangannya dilakukan kepada anak-anak. Pertama, kepolisian menjadi lembaga yang pertama dalam menegakkan sistem peradilan. Kedua, kejaksaan dan forum pembebasan bersyarakat akan menentukan kebebasan anak atau justru akan membawa ke pengadilan anak. Ketiga, pengadilan anak dimana disaat anak akan dihadapkan pada bnerbagai pilihan mulai dari pembebasan atau pemidaan penjara. Keempat, sebagai institusi penghukuman.

Dalam proses sistem peradilan. Anak akan melewati berbagai kegaiatan inspeksi dan pemutusan pengdilan dimana semua kegiatan tersebut dilakukan dengan memikirkan kepentingan terbaik bagi anak. Perangkat negara yang akan menegakkan keadilan dalam sistem peradilan tersebut dilakukan oleh berbagai pihak yang terdiri dari pihakan kepolisian, kejaksaaan, hakim dan pejabat lain yang berkaitan dengan kasus permasalahan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anak di sekolah dengan umur yang masih di bawah 17 tahun. Sangat diharapkan oleh negara semua aparatur negara tersebut dapt menegakkan keadilan dengan baik dan maksimal tidak ada tersendat dengan pandangan dan pemikiran yang tertuju pada tingkat kesejahteraan anak dan hak asasi anak atas masa depannya yang masih panjang dalam hidupnya.

Oleh karena itu, proses sistem peradilan anak akan terdiri dari semua kegiatan yang dilakukan oleh aparatur negara yang memeriksa dan memutuskan perkara

yang telah dilakukan oleh anak, dan melakukannya dengan proses penyidikan oleh pihak dari kepolisian, selanjutnya dilakukan penuntutan oleh kejaksaan, acara sidan yang dilakukan oleh para hakim dan proses penghukuman yang dialkukan oleh lapas atau lembaga permasyarakatan dimana semua hal diatas dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan yang memperhatikan hak asasi anak.9

  • 3.3    Dampak Buruk Bagi Anak Jika Melewati Proses Peradilan Formal

Saat menjalani proses peradilan formal psikologis dan mental anak yang menjadi pelaku tindakan kekerasan di sekolah belum stabil sehingga akan memberikan pengaruh yang tidak baik bagi anak. Dampak buruk yang menjadi paling utama ialah adanya tindakan kekerasan seperti fisiik, psikis dan juga seksual.

Kekerasan fisik akan dpat terjadi seperti dipukul, disiksa, dilakukan penggundulan rambut, penamparan, penyulutan rokok, penempatan pada tahanan yang pelakunya adalah orang dewasa dan banyak lagi tindakan yang berpotensi sangat tidak baik bagi anak yang sangat kejam dan tidak ada rasa kemanusiawian yang akan menggangu kejiwaan anak yang menjadi pelaku pidana.

Kekerasan psikis akan dirasakan anak karena terdapat cacian, kata kotor, penghinaan contohnya. Hal tersebut akan mengganggu pemikiran waras anak karena psikologis serta mental yang belum siap menerima perlakuan-perlakuan tersebut jika dilakukan proses peradilan pidana. Selain itu juga potensi yang mungkin akan dirasakan oleh anak sebagai pidana adalah kekerasan seksual seprti diperkosa, dicabuli, disiksa dan dilecehkan secara seksual.

Pengaruh lain yang tidak baik jika dilakukan proses peradilan pidana pada anak akan melekat pada ingatannya. Proses-proses selama menjalani peradilan yang panjang dan melelahkan akan terus ada dalam ingatan anak. Hal yang dapat dilihat nantinha ialah rasa takut, gelisah, insomnia, tidak nafsu makan bahkan mengalami gangguan kejiwaan. Akibat yang ditimbulkan adalah anak sering merasa gelisa, selalu tegang, tidak dapat mengontrol emosinya, mudah menangis, sering gemetaran, membuat malu dan lain-lain. Pengaruh tersebut juga akan berlanngsung bahkan hingga selesai dijatuhi hukum pidana terhadap dirinya karena stigma orang lain terhadap dirinya pelaku pidana.

Muthmainnah menjelaskan bahwa untuk dapat meningkatkan pengembangan kemampuan anak bersosial dan memperkuat mental serta ketahanan anak, perlu adanya pembekalan dari orang tua sehingga anak memiliki keterampilan sosial supaya anak dapat menyikapi dan menghadapi permasalahan sosialnya. Utamanya ialah hak yang dimiliki anak adalah adanya rasa kedamaian, keamanan, dan kebahagiaan.10 Untuk itu, orangtua perlu berperan banyak dalam menuntun anak ketika menjalani proses pengadilan.

Dampak buruk dari peradilan pidana secara formal juga akan menimbulkan trauma, stigma bahkan anak dapat berpotensi dikeluarkan dari sekolah. Kekerasan yang diterima oleh anak ketika menjalani proses peradilan formal adalah trauma yang akan mengganggu mental hidupnya. Anak akan berstigma bahwa orang lain akan memandannya sebagai anak pelaku pidana tindakan kekerasan yang dibuatnysa di sekolah, sehingga hl tersebut memiliki potensi terulang kembali secara kejiwaan.

Anak yang menjadi pelaku tindak kekerasan di bawah umur 17 tahun akan menjalani proses hukum yang berbelit-belit dan panjang sehingga anak akan terganggu dengna sekolahnya krena harus berurusan ke kantor polisi dan pengadilan sehingga pihak sekolah akan mengeluarkan sang anak untuk menyelamatkan citra sekolah tidak menjadi buruk akibat ada siswa yang berurusan dengan pihak kepolisian sebgai pelaku pidana.

Apong Herlina memberikan gambaran terhadap dampak tersebut. pertama pada tahap pra persidangan seperti rasa takut, gelisah, gangguan tidur, tidak nafsu makan, bahkan menimbulkan kegilaan. Selain itu, pada saat memeriksa medis akan dilontarkan pertanyaan yang kurang baik dan simpatik, dilakukan berulang dan secara kasar, yang tidak ada perasaan dari pemeriksa yang bertugas karena akan melakukan cerita ulang mengenai kejadian yang menimpanya, melakukan rekontruksi, mengikuti wawancara oleh pers, menunggu persidangan, proses persidangan yang tertunda dan akan mengalami jauh dari orangtua dan saudara.

Kedua, pada tahap persidangan anak akan menerima dampak buruk seperti merasakan kegelisahan, sering menangis, malu, stress, tidak mampu berpikir nomal dan sebagainya ketika anak antri diruang pengadilan, tidak mengettahui apasaja prosedur yang akan dijalni, tata ruang sidang dan akan dipertemukan dengan korban dan saksi yang ada pada saat kejadian kekerasan di sekolah yang telah dilakukannya, berinteraksi dengan petugas pengadilan di ruangan, dan juga proses pemeriksaan dalam persidangan. Kemudian yang terakhir adalah tahap setelah persidangan, anak akan memeria pengaruh buruk dalam dirinya seperti hasil putusan hakim, tidak adanya tindak kelanjutan, stigmasisasi, rasa bersalah dirinya, dan kemarahan dari pihak-pihak keluarga yang mengintimidasinya. Semua pengaruh tersebut akan dijalani anak jika mengikuti proses peradilan secara formal. Hal ini akan menggambarkan bahwa untuk kasus tindak kekerasan di sekolah yang masih berumur 17 tahun akan lebih efektif jika dilakukan dengan proses mediasi dalam penyelesaian maslaah meningat pertimbangan-pertimbangan yang telah disebutkan di atas.

  • 3.4    Mediasi Dapat Digunakan Dalam Penyelesaian atas Tindakan Kekerasan yang Dilakukan oleh Anak Dibawah 17 Tahun di Sekolah

Tindakan pidana oleh anak disebabkan akibat ketidakstabilan emosi dan keagresifannya dalam berperilaku yang membuat ketertiban umum menjadi terganggu. Perbuatan tersebut belum dapat dikatan suatu tindak kejahatan,

melainkan keadaan psikologis yang belum seimbang dalam perkembannya. Hal ini perlu diperhatikan dengan bijak untuk menyelesaikan perkaranya.11

Polisi sebagai aparat penegakan hukum, sebaiknya tidak langsung mengajukan kepengadilan akan tetapi dapat menyelesaikan permasalahan dengan pertimbangan yang ada sebagai berikut:

  • a.    Masyarakat lebih ingin nilai ketentraman dan kedamaian

  • b.    Biasanya masalah melalui jalur hukum justru memperumit perkara antara keluarga korban dan pelaku.

  • c.    Pengajuan kasus terkadang tidak memiliki dasar dalam penyelesaian hukum.12

Penegakan hukum terhadap kejahatan yang dilakukan anak berbeda perlakuan daripada orang yang telah dewasa sebagai bentuk tindakan pidana. Proses ini berlandaskan kepada asas yang mengutamakan kepenting yang terbaik bagi anak. Sebagai realisasi dari asas kepentingan terbaik anak, maka ketika melakukan proses penyidikan, penangkapan dan sebagainya lebih mengutamakan hak-hak anak terlebih dahulu. Dalam UU SPPA sepatutnya menerapkan keadilan restorative, yang mana perbuatan kekerasan atau pidana tidak murni dilakukan dari dorongan dalam dirinya.13

UU SPPA melakukan upaya meminimalisi terjadinya dampak buruk yang dpat merugikan anak tersebut maka melakukan akomodir program yang disebut dengan mediasi. Mediasi dilakukan dengan mengalihkan cara menyelesaikan kasus anak sebagai pelaku tindaka kekerasan di sekolah yang masih berumur dibawah 17 tahun. Pengalihan tersebut dilakukan agar anak tersebut tidak menjalani sistem peradilan secara formal. Hal tersebut di atasu pada Pasal 1 ayat (7) UU SPPA).

Jack E. Bynum mengatakan diversion is an attempt to divert or channel out, youthful offenders from the juvenile justice system.14 Suatu perbuatan untuk mengalihkan anak sebagai pelaku tindakan pidana yaitu kekerasaan di sekolah tidak akan menjalnai sistem peradilan anak.

Mediasi penal dijadikan instrument dari restorative justice yang sering diketahui dengan banyak nya istilah-istilah. Terminologi yang diketahui pertamakali ialah Victim-Offender Reconciliation Program. Namun banyak para ahli hukum yang tidak lagi menggunakannya karena dinilai sebagai istilahrekonsiliasi dan tidak

ada kecocokan karena lebih keagamaan dan tidak tergambar adanya proses perdamaian. Istilah yang sering digunkan ialah Victim-Offender Mediation. Upaya melakukan mediasi dapat dengan mendamaikan pihak pelaku dan korban dengan membayar atau tidak ganti rugi, menyerahkan kepada orantua, memberikan pendidikan dan pembinaan kepada anak serta pelayanan masyarkat seperti yang terdsapat pada pasal 11 UU SPPA. Tujuan penerapan mediasi penal ini ialah menyelesaikan masalah dengan pembinaan dan sanksi alternative atas pelaku.15

Anak yang menjadi pelaku tindakan kekeerasan di sekolah, akan mendapatkan banyak dan beragamnya pengaruh buruk apabila menjalani sistem peradilan pidana secara formal sehingga ini akan bertentangan dengan harkat dan martabat sang anak. Oleh karena itu perlu dilakukan proses mediasi, untuk melindungi anak pelaku tindak kekerasan di sekolah. Hak anak akan dilindungin melalui Mediasi. Mediasi menjadi langkah tepat menyelesaikan perkara yang melakukan tindaskan kriminal di sekolah, sehingga anak akan terhindar dari pengaruh buruk yang sangat tidak baik bagi kehidupannya yang masih panjang. Dari hal tersebut maka pemerintah membuat dan mengaturnya pada UU SPPA.

Bentuk mediasi terhadap anak sebagai pelaku tindak kekerasan di sekolah dapat dilakukan berbagai hal seperti yang telah dijelaskan diatas. Cara ini akan menjadi efektif untuk mendukung sistem peradilan anak dengan melakukan pembinaan juga agar anak mendapatkan pelajaran berarti dan tidak akan melakukan tindakan kriminal yang dilakukan di sekolah ataupun di kehidupannnya dlam bermasayarakat kelak.

  • 4.    Kesimpulan

Adapun karakteristik tindakan kekerasan di sekolah yang dilakukan oleh anak dibawah 17 tahun dikelompokkan menjadi tiga jenis utama, yaitu: hukuman fisik; pelecehan seksual; dan intimidasi yang dimanifestasikan dalam berbagai cara, mulai dari kekerasan verbal atau pelecehan secara sporadis hingga kekerasan fisik dalam bentuk pemerkosaan atau pemukulan. Penyelesaian dengan mediasi dapat digunakan dalam kasus kekerasan yang dilakukan oleh anak di bawah 17 tahun yang terjadi di lingkungan sekolah. Hal tersebut dikarenakan mediasi dinilai dapat menyelamatkan masa depan anak yang masih panjang serta merupakan upaya perlindungan hukum bagi anak yang melakukan tindaskan kriminal di sekolah, sehingga anak akan terhindar dari pengaruh buruk yang tidak baik bagi kehidupannya yang masih panjang.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Kristian. Sistem Peradilan Pidana Terpadu Dan Sistem Penegakan Hukum di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group, 2017.

Jurnal

Bakhtiar, Yusnanik. "Kebijakan Hukum Pidana dalam Penyelesaian Kekerasan Bullying di Sekolah." Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum 6, no. 1 (2017): 114-127.

Baroroh, H. B., & HI, S. “Mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)”. IN RIGHT: Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia Volume 2, No, 1 (2017).

Danujaya, I. D. P. G. A. “Formulasi Model Sistem Pemidanaan Anak Di Indonesia”. Jurnal Daulat Hukum Volume 1, No. 1 (2018).

Haling, dkk. “Perlindungan Hak Asasi Anak Jalanan Dalam Bidang Pendidikan Menurut Hukum Nasional Dan Konvensi Internasonal”. Jurnal Hukum & Pembangunan Volume 48, No. 2 (2018).

Handayani, M. “Pencegahan kasus kekerasan seksual pada anak melalui komunikasi antarpribadi orang tua dan anak”. Jurnal Ilmiah Visi Volume 12, No. 1 (2017).

Hutahaean. “Penerapan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Anak”. Jurnal Yudisial Volume 6, No. 1 (2013).

Iqbal, A. R. “Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Pembunuhan Yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah Umur Menurut Hukum Pidana Anak Di Indonesia (Studi Kasus Putusan Nomor 12/Pid. Sus Anak/2016/PN. Mtr)”. Doctoral dissertation, Universitas_Muhammadiyah_Mataram, (2020).

Karlina. “Fenomena Terjadinya Kenakalan Remaja”. Jurnal Edukasi Nonformal Volume 1, No. 1 (2020).

Ligina, dkk. “Peran orang tua dalam pencegahan kekerasan seksual pada anak sekolah dasar di Kota Bandung”. Ejournal UMM Volume 9, No. 2 (2018).

Maskur. “Perlindungan hukum terhadap anak nakal (Juvenile delinquency) dalam proses acara pidana Indonesia”. Pandecta: Research Law Journal Volume 7, No. 2 (2012).

Muthmainnah. “Membekali anak dengan keterampilan melindungi diri”. Jurnal Pendidikan Anak Volume 3, No, 1 (2014).

Nisa, C. U., & Jaya, N. S. P. “Penerapan Bentuk Mediasi Penal Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak”. Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) Volume 6, No. 1 (2020).

Nofitasari. “Sistem Pemidanaan Dalam Memberikan Perlindungan Bagi Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana”. Fairness and Justice: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum Volume 14, No. 2 (2016).

Pangaribuan, P. “Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak Melalui Mediasi Penal Oleh Penyidik Pada Satuan Reserse Kriminal Polres Balikpapan”. Jurnal Projudice, Volume 1, No. 1 (2019)

Peraturan Perundang Undangan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak.

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 8 Tahun 2022 hlm 858-869

869