KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN KREDIT BAWAH TANGAN APABILA TERJADI WANPRESTASI

Desak Putu Nugraheni, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Putu Devi Yustisia Utami, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Studi ini bertujuan untuk mengetahui terkait kekuatan hukum dalam perjanjian kredit di bawah tangan dalam lembaga perbankan. Metode penulisan dalam artikel ini menggunakan jenis penelitian hukum nornatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil studi menunjukkan bahwa pihak bank selaku kreditur dalam pemberian kredit kepada nasabah selaku debitur dapat dilakukan dengan cara perjanjian kredit dibawah tangan. Namun, perjanjian kredit di bawah tangan terhadap kekuatan hukumnya juga tetap mengikat para pihak antara kreditur dan debitur. Perjanjian di bawah tangan jika dilihat dari kekuatan hukumnya, maka tergantung terhadap pengakuan para pihak bersangkutan “debitur maupun kreditur” terhadap kebenaran isi maupun tanda tangan yang telah disetujui terkait perjanjian tersebut. Namun kelemahannya, para pihak mungkin saja dapat membenarkan maupun memungkiri tanda tangannya. Perjanjian di bawah tangan dapat disebut memiliki pembuktian secara lahir, jika pihak yang menandatanganinya mengakui telah menandatangani perjanjian tersebut, maka terhadap perjanjian itu merupakan bukti sempurna dan berlaku bagi para pihak yang menandatangani. Perjanjian di bawah tangan memiliki kekuatan pembuktian secara formil, jika para pihak yang telah menandatangani perjanjian tersebut mengakui tanda tangannya. Menurut KUHPerdata pada Pasal 1875, menegaskan “perjanjian di bawah tangan yang diakui secara pembuktian materiil oleh para pihak yang menandatangani dan merupakan bukti sempurna sama seperti akta otentik, sedangkan bagi Hakim perjanjian di bawah tangan terhadap pihak ketiga memiliki kekuatan pembuktian yang bebas.”

Kata Kunci: Kekuatan Hukum, Perjanjian Kredit, Perjanjian Bawah Tangan.

ABSTRACT

This study aims to determine the legal power of underhanded credit agreements in banking institutions. The writing method in this article uses normative legal research using statutory and conceptual approach. The results of the study show that the bank as a creditor in offering credit to customers as debtors can be done by means of an underhand credit agreement. However, the credit agreement under the hand against its legal force also binds the parties between the creditor and the debtor. An underhand agreement if viewed from its legal force, it depends on the acknowledgment of the parties related to the “debtor and creditor” of the correctness of the contents and signatures that have been approved by the agreement. However, the weakness in that the parties may be able to confirm or deny the signature. An underhand agreement can have outward proof, if the recognized party has been called the agreement, then the agreement is perfect evidance and applies to the parties involved. An underhand agreement has the power of formal proof, if the parties recognizing the acknowledment receive a sugnature. According to the Civil Code in Article 1875, it is stated that “a private agreement which is recognized as material evidance by the parties which is parfect evidance is the same as an authentic deed, while of judges, a third underhand agreement has free evidentiary power.”

Key Words: Legal Force, Credit Agreement, Underhand Agreement.

  • 1.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Kegiatan ekonomi masyarakat dalam suatu negara, dalam hal keseluruhan selalu terikat dalam dunia perbankan. Perkembangan zaman sekarang ini, memberikan arti penting peran lembaga bank terhadap dunia perekonomian yang bertujuan untuk memajukan dan menompang pembangunan nasional maupun pertumbuhan perekonomian di Indonesia. Perbankan merupakan suatu sistem yang di dalamnya itu termuat perihal bank serta mencakup kelembagaannya serta kegiatan usaha dan juga memuat tentang cara maupun proses dalam menjalankan kegiatan usahanya.1 Perbankan berasal dari kata “bank,” jika dilihat pengertian bank secara yuridis, maka dapat dilihat pada “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan” yang tercantum pada Pasal 1 angka 2 yang menyebutkan “bank merupakan suatu lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun dana melalui simpanan nasabah dan selanjutnya dana tersebut disalurkan lagi ke nasabah lain yang salah satunya disalurkan dalam bentuk pemberian kredit.” Lembaga Perbankan dalam melakukan kegiatan perkreditan adalah dengan menjadikan kegiatan tersebut sebagai salah satu usaha penting bagi bank dalam mendapatkan keuntungan (laba).2 Adapun para pihak yang terlibat dalam perjanjian kredit yaitu pihak bank selaku kreditur dan pihak nasabah selaku debitur.

Pengertian kredit dalam “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,” yang selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Perbankan, tercantum pada Pasal 1 angka 11 menyebutkan “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, yang berdasarkan atas persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara pihak bank sebagai pihak kreditur dan pihak lain sebagai debitur, yang mewajibkan untuk pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu yang ditentukan dengan disertai pemberian bunga untuk pihak peminjam.” Adanya pengertian tersebut yang dapat diartikan bahwa bank sebagai pihak kreditur dalam hal penyediaan dana yang berdasar pada prinsip pinjam meminjam yang dituju pada pihak debitur atau nasabah sebagai pihak yang meminjamnya. Prinsip pinjam meminjam antara kreditur dan debitur yang didasari pada perjanjian yang disepakati serta mengikatkan para pihak yang disertai dengan adanya hak dan kewajiban masing-masing pihak, sebagaimana telah tercantum pada Pasal 1313 KUHPerdata.3 Sehingga adanya perjanjian tersebut maka dapat menimbulkan adanya perikatan bagi para pihak yang bersangkutan. Para pihak yang bersangkutan terhadap perjanjian tersebut, masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajibannya yang harus dipenuhi, sehingga apa yang dituju dari perjanjian tersebut bisa tercapai seperti dapat terlaksananya “keadilan, ketertiban dan kepastian hukum”.4 Pasal 1313 KUHPerdata juga mengartikan dimana ada perjanjian disitulah ada kesepakatan yang terjalin antar para pihak serta tidak diperbolehkan ada salah satu pihak yang rugi akan perjanjian

tersebut.5 Di kalangan masyarakat kata kredit dalam hal perjanjian pinjam meminjam sudah lazim terdengar atau sebagian masyarakat mengetahui tentang kredit dan sebagian besar masyarakat juga sudah pernah meminjam kredit.

Pada dasarnya dalam hal penyaluran kredit bisa dilakukan oleh siapa pun yang mempunyai kemampuan dalam membayar kembali kreditnya. Ketika berlangsungnya proses pengajuan kredit antara kedua belah pihak terhadap perjanjian yang telah disepakati, maka lahirlah kewajiban kreditur untuk memberikan uangnya kepada debitur sesuai dengan apa yang diperjanjian sebelumnya dengan kreditur. Sementara itu, juga adanya hak bagi pihak kreditur untuk menunggu sesuai jangka waktu yang disepakati sebelumnya dengan pihak debitur dalam penerimaan uang kembali oleh kreditur dengan bunga yang telah disepakati oleh para pihak. Dalam pemberian kredit tidak akan muncul permasalahan, jika kedua belah pihak saling mengerti serta memenuhi kewajibannya masing-masing dengan tepat waktu sesuai dengan isi perjanjian yang disepakati. Dalam pelaksanaan Pemberian kredit dalam pelaksanaanya selalu diawali dengan melaksanakan suatu perjanjian terlebih dahulu. Perjanjian itu disebut perjanjian pokok yang terdiri dari adanya perjanjian utang piutang yang selanjutnya disertai adanya perjanjian tambahan yaitu berupa perjanjian dalam hal pemberian jaminan yang diberikan oleh debitur. Setiap kredit yang disepakati oleh para pihak wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian kredit. Sehingga perjanjian tersebut dapat dikatakan tidak berdiri sendiri melainkan selalu disertai dengan perjanjian dalam pemberian jaminan. Jaminan inilah yang digunakan untuk mengamankan pelunasan kredit apabila pihak peminjam mengalami cidera janji.6 Pihak kreditur ingin agar kredit yang disalurkan terhadap pihak debitur dapat terhindar dari resiko kredit macet. Sebelum melaksanakan penyaluran kredit, maka tahap awal pihak bank melakukan suatu perjanjian dengan calon debiturnya. Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana adanya saling keterikatan satu sama lain. Dasar hukum adanya perjanjian kredit telah diatur dalam Buku III KUHPerdata.”

Sementara itu, Pasal 1320 KUHPerdata juga terikat suatu hal dalam perjanjian kredit, hal itu berisikan terkait sahnya suatu perjanjian, diantaranya (a) adanya kesepatakan kedua belah pihak, (b) menurut hukum, bagi para pihak yang melakukan perjanjian haruslah cakap, (c) harus ada objek yang diperjanjikan, dan (d) objek yang diperjanjikan harus sesuai menurut hukum. Pasal 1320 KUHPerdata adalah ketentuan yang mengatur terkait asas konsesualisme yaitu berupa suatu perjanjian dapat dikatakan sah apabila ada kata “sepakat” terkait hal-hal pokok dalam perjanjian. Sementara itu, asas kebebasan berkontrak juga berkaitan dalam membuat suatu perjanjian yang sah dan diakui berdasarkan undang-undang. Sehingga perjanjian dapat dikatakan mengikat diantara pihak-pihak yang bersangkutan yang dapat menyebabkan adanya hak dan kewajiban masing-masing para pihak, hal ini yang disimpulkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Asas kebebasan berkontrak juga memiliki pembatasan. Pembatasan tersebut adalah iktikad baik dari para pihak dalam melakukan perjanjian, iktikad baik ini merupakan suatu kepatutan para pihak dalam melaksanakan kewajiban terhadap perjanjian yang telah disetujui bersama. Dengan itu, untuk para pihak tidak boleh sewenang-wenang melaksanakan sesuatu di luar perjanjian yang telah disetujui bersama. Salah satu yang dijadikan acuan yang jelas bagi lembaga bank terhadap

adanya keharusan dalam melaksanakan suatu perjanjian kredit yaitu dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan, yang isinya mengatur terkait “kredit yang diberikan haruslah berdasarkan pada persetujuan maupun kesepakatan pinjam meminjam antara pihak kreditur maupun debitur, yang sebagaimana mewajibkan bagi pihak debitur sebagai peminjam untuk melunasi hutangnya dalam jangka waktu yang telah ditentukan yang disertai dengan adanya pemberian bunga.”

Bank dalam Perjanjian kredit dapat membuat berdasarkan akta otentik dan perjanjian di bawah tangan. Sementara itu, jasa Notaris yang sebagai pejabat berwenang sangat diperlukan dalam kegiatan usaha perbankan yang berwenang dalam hal membuat akta otentik dan melegalisir akta dibawah tangan, khususnya terkait dengan pembuatan perjanjian kredit dalam bank. Maka dengan itu, untuk perjanjian kredit terhadap pembuatan secara dibawah tangan, Notaris berperan untuk melegalisir perjanjian kredit dibawah tangan, yang sebagaimana tercantum pada Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,” yang selanjutnya disingkat “UUJN”, tentang kewenangan Notaris.7 Sehingga berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris pada Pasal 15 ayat (2), maka dapat dinyatakan terhadap Notaris tidak hanya berwenang membuat akta otentik melainkan berwenang dalam melegalisir perjanjian dibawah tangan termasuk melegalisir perjanjian kredit yang dibuat dibawah tangan dalam lembaga perbankan.

Namun di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,” yang selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Perbankan tidak jelas mengatur terkait bentuk perjanjian kredit pada bank, apakah diharuskan dibuat secara tertulis maupun tidak tertulis, apakah melalui perjanjian dibawah tangan atau apakah harus melalui perjanjian yang dibuat oleh Notaris atau Akta Otentik (norma kabur). Namun hanya ditegaskan tentang “kredit diberikan berdasarkan atas persetujuan serta kesepakatan pinjam meminjam antara para pihak, hal ini berdasarkan Pada Pasal 1 angka 11 dan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Perbankan.” Dalam ketentuan ini, tidak megatur terkait pemberian kredit bank yang harus diberikan berdasarkan pada perjanjian tertulis. Sehingga dapat dikatakan bahwa belum ada ketentuan yang mengatur dalam Undang-Undang Perbankan terkait bentuk perjanjian kredit, sehingga masalahya tiap-tiap bank terbebas untuk memilih bentuk perjanjian sewenang-wenangnya yang berdasarkan pada ketentuan yang ditetapkan pada setiap bank. Misalnya masing-masing bank ada yang megharuskan dengan akta notaris dan juga ada perjanjiannya yang hanya dilakukan dibawah tangan. Namun jika pihak kreditur melakukan perjanjian dibawah tangan terhadap calon debiturnya, kemungkinan apabila suatu nanti pihak debitur yang bersangkutan memungkiri tanda tangannya, maka hal tersebut akan mengakibatkan hilangnya kekuatan hukum pada perjanjian kredit yang disepakati dari awal yang dibuat secara di bawah tangan. Begitupun sebaliknya, hal yang ingin dicapai oleh pihak bank dalam perjanjian kredit di bawah tangan ini adalah kekuasaaan atas jaminan apabila pihak debitur melakukan wanprestasi. Sehingga melalui perjanjian di bawah tangan pada dasarnya dapat memenuhi keinginan pihak kreditur. Sehingga

dengan hal ini perlu untuk diketahui terkait kekuatan hukum dari adanya perjanjin kredit di bawah tangan.

Berdasarkan pada latar belakang yang telah penulis buat, maka penulis tertarik untuk membahas tentang judul “Kekuatan Hukum Perjanjian Bawah Tangan Apabila Terjadi Wanprestasi.” Dengan adanya judul yang telah penulis angkat, maka untuk dapat menjadi pembanding dan bukti keasliaan artikel ini, penulis telah melakukan perbandingan pada sejumlah penelitian terkait topik yang diangkat pada artikel ini yaitu; pertama, artikel ilmiah yang berjudul “Akibat Hukum Akta Di Bawah Tangan Yang Dilegalisasi Oleh Notaris8 yang dibuat oleh Dimas Agung Prastomo dan Akhmad Khisni pada tahun 2017 yang meneliti mengenai akibat hukum adanya akta di bawah tangan, dalam hal ini telah di legalisasi oleh Notaris serta berhubungan terhadap wewenang Notaris dalam melegalisasi akta dibawah tangan. Kedua, Artikel ilmiah yang berjudul “Kepastian Hukum Pendaftaran Surat Di Bawah Tangan Yang Dibuat Notaris Sebagai Alat Bukti Dalam Perkara Perdata (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 635/Pdt.G/2013/PN.MDN9 yang dibuat oleh Andrew Santiago Budiman pada tahun 2014 yang meneliti terkait proses pendaftaran surat perjanjian di bawah tangan yang melibatkan Notaris.

Adapun unsur pembeda penelitian tersebut, yakni (a) Pembahasan ini menitikberatkan pada tanggugjawab atas kebenaran dalam akta dibawah tangan yang telah dilegaliasi melalui Notaris serta berkaitan terhadap ketetapan pada saat menandatangani perjanjian yang dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan. Artinya, ada unsur akibat hukumnya bahwa memang benar yang bersangkutan menandatangani perjanjian di bawah tangan serta mengakui tanda tangannya. Sementara (b) menitikberatkan terhadap proses pendaftaran dalam perjanjian di bawah tangan yang diawali terhadap pembuatan surat perjanjian terlebih dahulu. Setelah itu, para pihak yang bersangkutan menandatangani. Lalu, surat perjanjian itu didaftarkan pada Notaris dan untuk Notaris surat perjanjian itu diberikan nomor, lalu dimasukan dalam “buku reportarium waarmerking,” selanjutnya diberikan materai dan ditandatangani oleh notaris dan tahap akhir diserahkan untuk para pihak bersangkutan. Surat perjanjian di bawah tangan yang telah didaftarkan ke Notaris memberikan adanya kepastian dalam perjanjian tersebut, kepastian dalam perjanjian ini menyangkut terkait tanggal, identitas para pihak bersangkutan serta tandatangan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Penulis bermaksud untuk membahas rumusan masalah berdasarkan pada latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya. Sehingga rumusan masalah yang penulis bahas dalam artikel ini, yaitu sebagai berikut :

  • 1.    Bagaimana Pengaturan hukum mengenai perjanjian kredit pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ?

  • 2.    Bagaimana kekuatan hukum suatu perjanjian kredit yang dibuat dibawah tangan apabila terjadi wanprestasi ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan dari artikel ini adalah untuk mengetahui mengenai pengaturan hukum dalam perjanjian kredit dalam perbankan serta untuk mengetahui dan memahami terkait kekuatan hukum dalam suatu perjanjian kredit yang dibuat secara dibawah tangan apabila dikemudian hari terjadi suatu wanprestasi.

  • 2.     Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan penulis yaitu metode penelitian hukum normatif yang dijadikan sebagai landasan sebagai penyusun artikel ini. Sebuah metode penelitian hukum yang melakukan penelitian terhadap permasalahan hukum yang ada dengan menggunakan kaidah-kaidah maupun norma-norma hukum serta asas-asas hukum yang berlaku, hal ini disebut dengan metode penelitian hukum normatif. Suatu penelitian normatif akan berusaha menemukan “aturan hukum, prinsip hukum, ataupun doktrin hukum” dengan tujuan untuk menjawab isu hukum yang tengah dihadapi. Selain dari hal itu, dalam artikel ini juga mengunakan pendekatan conseptual atau “Conceptual Approach,” dan pendekatan perundang-undangan atau “Statute Approach.” Sedangkan dalam mengumpulkan bahan hukum untuk penelitian normatif yang diperlukan, maka dilakukan dengan studi kepustakaan atau library research dan juga dengan penelusuran media internet atau online research. Sedangkan yang berkaitan dengan penggunaan bahan hukum sekunder yang digunakan, penulis menggunakan beberapa jurnal hukum atau karya ilmiah, buku-buku atau literatur serta menggunakan beberapa sumber materi yang berasal dari internet.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Pengaturan Hukum Mengenai Perjanjian Kredit pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

Dasar utama bagi bank terkait keharusannya dalam perjanjian pemberian kredit untuk calon debitur, pengaturannya dapat diperoleh pada Pasal 1 ayat 11 UU Perbankan, yang menyebutkan “kredit adalah penyedian uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, yang berdasarkan dengan adanya persetujuan atau kesepakatan antara kedua belah pihak yaitu antara pihak kreditur sebagai pemberi pinjaman dan pihak debitur sebagai penerima pinjaman, yang sebagaimana bagi pihak peminjam wajib untuk membayarkan kembali pinjamannya terhadap pihak kreditur dengan jangka waktu yang telah ditentukan sesuai dengan persetujuan serta membayar jumlah bunga yang dikenakan.” Dasar yang dimaksud terhadap Pasal 1 ayat 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,” yang selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Perbankan adalah terkait persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam, yang dalam hal tersebut memiliki arti bahwa “pembentuk undang-undang bermaksud untuk mengharuskan hubungan kredit bank dibuat secara perjanjian tertulis.” Sedangkan Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan “perjanjian adalah adanya perbuatan dalam suatu keterikatan antara dirinya atau lebih terhadap satu orang atau lebih.” Sehingga dalam pasal ini diartikan bahwa lahirnya kewajiban atau prestasi dari pihak lain disebut sebagai pihak debitur dan yang berhak atas prestasi tersebut adalah pihak kreditur sebagai yang memberi pinjamannya.

Adapun peraturan hukum perjanjian kredit yang diharuskan dibuat secara tertulis, sebagai berikut :10

  • a.    Adanya “Instruksi Presidium Kabinet Nomor 115/EK/IN/10/1996, tertanggal 10 Oktober 1996,” menyebutkan “bank dilarang melakukan pemberian kredit dalam bentuk apapun itu tanpa ada perjanjian kredit yang jelas terhadap calon debiturnya, dalam hal ini wajib dibuatkan perjanjian atau akad kreditnya.”

  • b.    Berdasarkan pada “Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor

27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/17/UPB, tertanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank,” menegaskan bahwa “setiap kredit yang telah disetujui oleh pihak pemohon kredit, maka perjanjian kreditnya dapat dituangkan secara tertulis.”

  • c.    Adanya “Surat Bank Indonesia Nomor 03/1093/UPK/PKD, tertanggal 29 Desember 1970,” yang berdasarkan pada angka (4), menyebutkan “dalam hal pemberian kredit harus dibuat dengan surat perjanjian kredit.”

Sehingga adanya beberapa keputusan di atas, ketika dalam pemberian kredit bank terhadap calon debitur dapat terlaksana secara pasti. Maksud dari kata pasti “perjanjian diberi nama dengan perjanjian kredit serta perjanjian kredit dibuat secara tertulis.” Setiap orang berhak menuntut sesuatu dari orang lain, sehingga kredit dijadikan dasar adanya suatu perikatan.

Sementara itu, arti dari kredit juga dimaksudkan sebagai jaminan, yang mana seseorang menyerahkan sesuatu terhadap orang lain, guna memperoleh kembali apa yang diserahkan tersebut. Adanya beberapa unsur kredit, yaitu :

  • 1.    Adanya kesepakatan yang dilakukan kedua pihak, dengan itu disebut dengan perjanjian kredit.

  • 2.    Dalam perjanjian kredit adanya kedua pihak yang terlibat, yaitu antara kreditur disebut sebagai pihak pemberi pinjaman dan debitur sebagai pihak penerima dan pengembali pinjaman.

  • 3.    Adanya unsur kepercayaan dari pihak kreditur untuk pihak debitur bahwa pihak debitur mampu dan mau untuk membayarkan kembali pinjamannya kepada pihak kreditur.

  • 4.    Adanya kesanggupan maupun iktikad baik serta janji untuk membayarkan hutangnya oleh debitur terhadap kreditur.

  • 5.    Adanya penyerahan ataupun pembayaran kembali total pinjaman yang dipinjamnya maupun bunga yang dikenakannya dengan tepat waktu atau berupa barang oleh pihak debitur terhadap pihak kreditur.

  • 6.    Adanya perbedaan waktu antara pemberian kredit dengan pengembalian kredit oleh debitur.

  • 7.    Terhadap perbedaan waktu tersebut dapat mengakibatkan adanya resiko, dalam artian semakin jauh tenggat waktu pengembalian oleh pihak debitur, maka semakin besar resiko terkait tidak terlaksananya pembayaran kembali.

Kredit yang disalurkan oleh Bank untuk calon debitur, perlu untuk memperhatikan prinsip kehati-hatian guna mengurangi adanya permasalah kredit dikemudian hari, prinsip tersebut memang sengaja diisyaratkan dan telah termuat dalam Pasal 8 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,” yang selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Perbankan.

Sementara itu, bank harus tetap memperhatikan serta menerapkan prinsip-prinsip kredit, prinsip kredit ini yang disebut dengan prinsip 5 C (The Five C’s Principle Of Credit Analysis), yang diantaranya Character (watak), Capacity (kapasitas), Capital

(Modal), Collateral (Jaminan), dan Condition Of Economics (kondisi ekonomi).”11 Doktrin ilmu hukum mengenal ada tiga (3) unsur ketika hendak membuat suatu perjanjian. hakekatnya tiga unsur perjanjian diatas menjadikan suatu wujud adanya azas kebebasan berkontrak, hal tersebut sesuai pada KUHPerdata Pasal 1320 dan Pasal 1339. Adapun unsur-unsur perjanjian tersebut yaitu :12

  • a.    Unsur Essensialia, adalah tahap pendahuluan yang wajib ada dalam suatu perjanjian antar para pihak dan tanpa ada unsur essensialia maka perjanjian tidak pernah ada.

  • b.    Unsur Naturalia, merupakan unsur kedua yang dianggap harus ada dalam perjanjian setelah usur essensialia, dimana perjanjian yang diatur oleh undang-undang namun dapat diganti. Biasanya unsur ini berisikan ketentuan umum yang dicantumkan dalam perjanjian.

  • c.    Unsur Accidentalia, merupakan unsur yang dijadikan sebagai pelengkap dari suatu perjanjian yang dijadikan tambahan oleh kedua pihak yang berisi hal khusus sesuai kesepakatan kedua belah pihak.

Setiap terjadinya perjanjian dalam bank selalu terikat pada Pasal 1320 KUHPerdata yang menegaskan terkait sahnya suatu perjanjian yang menyangkut antar kedua belah pihak yang bersangkutan.

Para pihak dalam melakukan perjanjian kredit terlebih dahulu harus memperhatikan syarat sahnya suatu perjanjian yang termuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menyebutkan, sebagai berikut:13

  • 1.    Adanya perihal sepakat kedua belah pihak yang melibatkan dirinya, terkait itu dapat dikatakan para pihak melaksanakan perjanjian dan bersepakat mengenai hal apa saja yang diperjanjikan. Para pihak menghendaki sesuai secara timbal balik. Kreditur dalam melaksanakan perjanjian haruslah memiliki kemauan yang bebas. Kemauan yang bebas merupakan syarat awal terjadinya perjanjian yang sah, perjanjian tersebut dianggap tidak ada, jika hal tersebut terjadi karena adanya paksaan.

  • 2.    Kedua pihak haruslah cakap dalam membuat perikatan. Dalam melaksanakan perjanjian kedua pihak haruslah cakap hukum. Maksudnya, para pihak yang melakukan perjanjian maka kewajiban akan terikat serta dipikulnya sehingga para pihak harus cukup mampu dalam menyadari hal tersebut.

  • 3.    Mengenai pokok persoalan tertentu. Artinya, jika misal timbul suatu permasalahan maka para pihak dapat menyesuaikannya terhadap hak dan kewajiban yang mengikatnya.

  • 4.    Mengenai causa yang halal. Maksud dari kata “sebab” merupakan tujuan adanya perjanjian yang telah dibuat. Jika pembuatan perjanjian tidak ada sebab maka akan menimbulkan perjanjian tersebut palsu dan dinyatakan batal demi hukum yang telah termuat pada Pasal 1335 KUHPerdata yang menyebutkan perjanjian tersebut tidak ada keterikatan para pihak. Sementara jika salah satu pihak melakukan suatu gugatan dalam maksud untuk menutut pemenuhan

dalam perjanjian maka terkait dengan gugatan tersebut akan ditolak dan perjanjian itu disebut “batal demi hukum.”

Syarat nomor (1) dan (2) disebut dengan subyektif, karena isi dari perjanjian tersebut melibatkan para pihak yang disebut subjek yang mengadakan perjanjian. Sementara itu, syarat nomor (3) dan (4) disebut objektif, karena dalam perjanjian tersebut melibatkan objek adanya perbuatan hukum yang dilakukan. Adanya persyaratan di atas merupakan tahap pembuka bagi calon debitur yang hendak meminjam kredit di bank. Masyarakat dapat membuat suatu perjanjian apa saja, asalkan dengan memenuhi persyaratan yang telah tertuang dalam 1320 KUHPerdata.

Jika dilihat secara yuridis perjanjian kredit dapat berbentuk perjanjian kredit di bawah tangan dan perjanjiian kredit dengan akta otentik. Hal ini telah tercantum pada KUHPerdata Pasal 1867 menyebutkan, “dalam hal pembuktian dilakukan dengan tulisan yang berupa tulisan-tulisan otentik atau tulisan-tulisan di bawah tangan.” Selanjutnya, perjanjian kredit di bawah tangan merupakan perjanjian yang menggunakan kertas formulir yang disiapkan pihak bank sedangkan nasabah diperintahkan untuk mengisi formulir tersebut. Perjanjian inilah disebut sebagai perjanjian standar. Jika pihak debitur telah mengisi formulir sekaligus telah menandatangani perjanjian tersebut, maka dapat disebut pihak debitur telah setuju dan mengerti isi dari perjanjian tersebut, tanpa adanya pembicaraan terkait kesepakatan isi dari perjanjian itu. Namun, perjanjian standar memiliki kelemahan, bahwa terhadap debitur jika telah menerima serta menyepakati isi perjanjian dalam keadaan terpaksa, yang disebabkan muatan dari perjanjian tersebut telah dibuat oleh bank yang bersangkutan. Perjanjian di bawah tangan ini berdasarkan pada Pasal 1874 KUHPerdata.14 Sedangkan perjanjian kredit terhadap akta otentik merupakan perjanjian pemberian kredit yang diberikan pihak kreditur terhadap nasabah serta membuatnya dihadapan Notaris.15 Berdasarkan KUHPerdata Pasal 1868, Perjanjian kredit yang dilakukan dengan akta otentik, yang mana akta tersebut terbentuk yang berdasarkan oleh undang-undang serta di dibentuk di hadapan Notaris atau pejabat yang berwenang.

  • 3.2 Kekuatan Hukum Suatu Perjanjian Kredit Yang Dibuat Di Bawah Tangan Apabila Terjadi Wanprestasi

Perjanjian kredit di bawah tangan merupakan perjanjian dalam hal pembuatan dengan sengaja oleh kedua pihak serta tidak melibatkan bantuan dari pejabat yang berwenang, kata lain dari itu bahwa perjanjian yang dimasukan oleh kedua pihak dijadikan sebagai alat bukti. Akan tetapi, tidak dibuat dihadapan pejabat umum yang berwenang. Pembuatan perjanjian dihadapan pejabat umum dapat dijadikan sebagai perjanjian di bawah tangan, bila pejabat tersebut tidak berwenang atau tidak cakapnya terkait hal tersebut serta dikarenakan cacat dalam bentuk akta tersebut, hal ini telah tercantum pada KUHPerdata Pasal 1869. Terdapat tiga (3) Perjanjian di bawah tangan, sebagai berikut :16

  • 1.    Perjanjian bawah tangan yang hanya melibatkan para belah pihak dengan tanda bukti di atas materai dan tidak melibatkan pejabat yang berwenang.

  • 2.    Perjanjian bawah tangan didaftarkan pada notaris.

  • 3.    Perjanjian bawah tangan dilegalisasi oleh Notaris.

Adanya ketidaksamaan yang terdapat pada perjanjian bawah tangan yang telah dilegalisasi oleh Notaris dengan perjanjian bawah tangan yang hanya didaftarkan Notaris, bahwa “perjanjian di bawah tangan yang hanya dilegalisasi oleh Notaris/waarmerking merupakan perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang bersangkutan, pada perjanjian ini yang berisikan tanggal yang pasti saat pembuatan serta berisikan tanda tangan para pihak yang bersangkutan.” Hal itu, memang benar bahwa kedua pihak telah menandatangani perjanjian tersebut dan tidak dapat lagi berkata tidak ada menandatangani ataupun belum tahu isi dari surat perjanjian yang telah disetujui.

Begitupun dengan Notaris sebelum surat persetujuan tersebut ditandatangani maupun di baca isinya oleh para pihak, notaris juga telah membaca serta ikut menandatangani perjanjian tersebut yang sifatnya hanya melakukan legalisasi. Pada Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang selanjutnya disingkat UUJN, adapun kewenangan Notaris, sebagai berikut:

  • a.    Meresmikan tanda tangan dan menetapkan tanggal kepastian surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.

  • b.    Membukukan surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.

  • c.    Membuat copy dari keaslian surat dibawah tangan yaitu berupa Salinan yang termuat tentang iuran sebagaimana yang dituliskan maupun digambarkan dalam surat yang bersangkutan.

  • d.    Melakukan pengesahan terkait kecocokkan fotocopy dengan surat aslinya. Berdasarkan pada Pasal 2 ayat (1) butir (a) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai menyebutkan, “perjanjian dilakukan secara di bawah tangan yang melibatkan para pihak yang bersangkutan yang ditandatangani di atas materai, dengan hal tersebut pasal ini mengartikan bahwa terhadap surat perjanjian maupun surat lainnya yang dibuat di atas materai dengan tujuan guna sebagai alat pembuktian dikemudian hari, mengenai perbuatan maupun isi pernyataan dalam surat tersebut beserta keadaan yang sifatnya perdata.”

Umumnya pihak bank dalam menyalurkan kredit menggunakan perjanjian di bawah tangan dalam memberikan kredit kepada nasabahnya, yang mana dalam perjanjian tersebut hanya ditandatangani oleh pimpinan bank, staf yang menangani masalah kredit dan pihak debitur, tanpa ada saksi-saksi yang mendampingi maupun ikut menandatangani, karena perjanjian ini tanpa melibatkan pihak yang berwenang atau notaris.17 Sebagaimana yang diketahui, bahwa saksi dalam perkara perdata dijadikan salah satu alat pembuktian. Alasan dari perjanjian di bawah tangan lebih umum digunakan karena disebabkan dari adanya faktor biaya notaris, jikalau seumpamanya melibatkan notaris maupun pihak yang berwenang maka biaya pun akan otomatis keluar. Namun, dalam hal pembuatan format isi maupun materi perjanjian kredit secara standar atau di bawah tangan, maka hal ini kemungkinan akan memudahkan bagi pihak bank untuk menganalisis maupun menutupi kelemahan yang mungkin saja timbul dikemudian hari. Penyebab dari hal ini karena adanya perkembangan dunia hukum.

Begitu sebaliknya yang dilakukan oleh pihak debitur, apabila dikemudian hari terjadi cidera janji yang disebabkan pihak debitur yang dalam hal ini terhadap debitur yang bersangkutan memungkiri tandatangannya, maka berdasarkan ketentuan Pasal 1887 KUHPerdata menyebutkan “jika seseorang telah memungkiri tulisan maupun tandatangannya, maka untuk Hakim harus memerintahkan agar kebenaran dari tulisan maupun tandatangan itu di periksa di muka Pengadilan setempat.” Maka dengan ini, yang pada akhirnya merugikan pihak bank, jika suatu nanti berperkara terhadap debiturnya, sementara debitur tidak mengakui tandatangan yang telah dibuat. Sehingga prosedur dalam pembuatan suatu perjanjian kredit khususnya perjanjian kredit di bawah tangan ini, sangatlah berpengaruh terhadap sah atau tidaknya suatu perjanjian kredit itu. Maka bank dalam hal ini haruslah cermat dalam hal perjanjian terkait penyaluran kredit kepada calon debiturnya. Sementara apabila kedua belah pihak melakukan perjanjian secara akta otentik maka segala isi maupun materi di dalam perjanjian telah berdasarkan pada peraturan perundang-undangan dan disertai dengan Notaris maupun pejabat yang berwenang. Pejabat lainnya yang dimaksudkan dalam pembuatan akta otentik seperti seorang panitera dalam sidang Pengadilan.

Berdasarkan KUHPerdata pada Pasal 1338 angka (1) menyebutkan, “setiap perjanjian yang telah disetujui secara sah berlaku sebagai undang-undang antara para pihak yang membuatnya.” Maka dapat dinyatakan bahwa dalam kesepakatan yang dibuat para pihak maka sifatnya mengikat kedua belah pihak dan dari kata “setiap” dari pasal 1338 angka (1) menyatakan adanya asas kebebasan berkontrak dalam setiap perjanjian. Setiap pejanjian yang dibuat oleh kedua pihak, tentunya tidak luput dari adanya suatu permasalahan. Seperti misalnya yang sering didengar pada kalangan masyarakat ialah terkait kredit macet dan kredit bermasalah. Dari adanya permasalahan ini yang dapat menyebabkan dalam perjanjian kredit mendapatkan kendala atau tidak berjalan lancar. Dapat diketahui bahwa kredit macet tidak dapat dipersamakan dengan kredit bermasalah. Untuk itu perlu diketahui bahwa kredit bermasalah adalah kredit yang kolektibilitasnya diragukan sehingga kemungkinan kredit ini dapat berakibat macat. Sementara kredit yang macet diartikan sebagai keadaan pihak debitur yang tidak sanggup untuk memenuhi suatu kewajibannya dalam hal membayar setengah maupun semua pinjamannya terhadap pihak bank. Sebagaimana yang sudah diperjanjikan sebelumnya. Sehingga, adanya permasalahan tersebut maka pihak kreditur melakukan pengikatan jaminan kepada pihak debitur, guna untuk memperkecil resiko dalam menyalurkan kredit. Sehingga objek yang diperjanjikan harus jelas ditentukan, seumpama tidak maka perjanjian batal demi hukum.

Ada lima (5) macam alat bukti yang telah tercantum pada pasal 1866 KUHPerdata diantaranya; alat bukti tertulis, alat bukti saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Akta dalam kekuatan pembuktiannya dapat dibagi menjadi tiga (3) macam, sebagai berikut:

  • 1.    Kekuatan pembuktian yang didasari pada keaadan lahir, dalam arti surat yang tampak lahir seperti akta, maka diartikan memiliki kekuatan seperti akta, hal ini disebut kekuatan pembuktian lahir.

  • 2.    Kekuatan pembuktian formal, merupakan pernyataan yag telah dibuat para pihak yang bersangkutan yang didasarkan atas benar atau tidaknya pernyataan yang telah dibuat. Dengan adanya itu, maka dapat dipastikan terkait peristiwa para pihak yang telah menyatakan maupun melaksanakan sebagaimana termuat di dalam akta tersebut.

  • 3.    Kekuatan pembuktian material, yaitu adanya kepastian dalam memberikan materi suatu akta bahwa para pihak yang bersangkutan memang benar telah membuat dan melaksanakan seperti apa yang termuat dalam akta itu.

Perjanjian di bawah tangan terhadap kekuatan hukumnya mempunyai kekuatan pembuktian lahir, formal dan materiil.18 Pertama, suatu perjanjian di bawah tangan terhadap kekuatan pembuktian lahirnya adalah bila tandatangan yang dibuat oleh para pihak mengakui bahwa memang benar si pembuat yang menandatangani, jadi perjanjian tersebut disebut bukti sempurna yang berlaku bagi yang membuatnya, otomatis isi yang termuat dalam perjanjian tersebut dapat dibenarkan oleh kedua belah pihak yang bersangkutan bahwa memang benar kedua belah pihak sudah mengetahui dan menyetujui isi dari perjanjian tersebut. Kedua, Perjanjian bawah tangan memiliki kekuatan pembuktian secara formil apabila yang bersangkutan mengakui tandatangannya yang telah dibuat yang berisikan adanya pernyataan serta kesepakatan antara kedua belah pihak yang menandatanganinya. Ketiga, Menurut pasal 1875 KUHPerdata menyebutkan, “kekuatan pembuktian secara meteriil dari adanya perjanjian di bawah tangan yang telah diakui oleh orang yang membuatnya yang disebut sebagai bukti sempurna seperti akta otentik, sedangkan untuk pihak ketiga perjanjian di bawah tangan memiliki kekuatan pembuktian yang bebas.”

Bagi Hakim, akta di bawah tangan disebut “bukti bebas” (VRU Bewijks), karena akta di bawah tangan setelah dibuktikan kekuatan formilnya, maka dianggap memiliki kekuatan bukti secara materiil, ketika kedua pihak mengetahui tentang kebenaran isi maupun tata cara pembuatan akta itu, maka kekuatan formilnya disebut baru terjadi.19 Sedangkan, menurut Pasal 1870 KUHPerdata tentang akta otentik menyebutkan, “alat bukti yang sempurna, bagi Hakim disebut sebagai “bukti wajib” (Verplicht Bewijs).” Karena telah melekatnya akta itu sendiri, maka akta tersebut dianggap memiliki kekuatan pembuktian sedemikian rupa, jadi tidak lagi perlu untuk dibuktikan. Misal, “barang siapa yang mengatakan akta otentik itu palsu maka untuk pemegang akta tidak perlu untuk membuktikan melainkan yang mengatakan seperti itu perlu untuk membuktikan bahwa memang benar akta tersebut palsu.” Jadi dapat dikatakan akta otentik terhadap kekuatannya mempunyai pembuktian secara lahir, formil dan materiil. 4.    Kesimpulan

Terhadap pembahasan di atas, penulis dapat simpulkan bahwa ketentuan pengaturan hukum perbankan, baik itu terkait undang-undang perbankan, instruksi presidium kabinet, surat keputusan direksi BI dan surat bank indonesia, mengharuskan perjanjian kredit dibawah tangan dibuat secara tertulis. Sementara itu, pada Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) dalam hal perjanjian di bawah tangan, kewenangan notaris hanya megesahkan tandatangan serta menetapkan kepastian tanggal pembuatan yang telah disetujui oleh para pihak bersangkutan sedangkan notaris sifatnya hanya melegalisasi perjanjian tersebut. Terhadap kekuatan hukumnya bahwa tergantung pada pengakuan para pihak yang bersangkutan terhadap kebenaran isi maupun tanda tangan yang tercantum pada perjanjian tersebut, namun kelemahan dari adanya perjanjian di bawah tangan adalah untuk kedua pihak mungkin saja bisa memungkiri tanda tangannya, karena dalam perjanjian tidak melibatkan Notaris atau pejabat yang berwenang. Sehingga dari adanya hal tesebut, jika hendak meminjam kredit usahakan dapat melalui perjanjian kredit dengan akta Notaris. Karena dengan adanya peran

Notaris yang dinyatakan sebagai pihak yang menjamin dalam hal memberikan kepastian hukum untuk kedua pihak yang bersangkutan, dimana dalam akta itu memiliki kekuatan yang eksekutorial apabila di kemudian hari ada salah satu pihak yang melakukan cidera janji.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Sembiring, Santosa. Hukum Perbankan (Bandung, CV Bandar Maju, 2012).

Suryono, Leli Joko. Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Indonesia (Yogyakarta, LP3M, 2014).

Jurnal :

Diab, Ashadi L. “Perjanjian Kredit Pada Bank Perkreditan Rakyat.” Jurnal Al-Adl 10, No. 1 (2017).

Noor, Muhhamad. “Penerapan Prinsip-Prinsip Hukum Perikatan Dalam Pembuatan Kontrak.” Jurnal Pemikiran Hukum Islam 14, No. 1 (2015).

Palit, Richard Cisanto. “Kekuatan Akta Di Bawah Tangan Sebagai Alat Bukti Di Pengadilan.” Jurnal Lex Privatum 3, No. 2 (2015).

Putra, Willy dan Haryati Widjaja. “Penerapan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Penyaluran Kredit (Studi Kasus Di Bank Cabang Semarang).” Jurnal Ilmu Hukum 3, No. 1 (2018).

Prasetyo, Hananto. “Pembaharuan Hukum Perjanjian Sportentertainment Berbasis Nilai Keadilan.” Jurnal Pembaharuan Hukum 4, No. 1 (2017).

Prastomo, Dimas Agung, and Akhmad Khisni. "Akibat Hukum Akta Di Bawah Tangan Yang Dilegalisasi Oleh Notaris." Jurnal Akta 4, no. 4 (2017): 727-738.

Rahmadhani, Febri. “Kekuatan Pembuktian Akta Di Bawah Tangan Waarmerking Dalam Persfektif Paraturan Perundang-Undangan Di Indonesia.” Jurnal Recital Review 2, No. 2 (2020).

Simatupang, H Bachtir. “Peranan Perbankan Dalam Meningkatkan Perekonomian Indonesia.” Jurnal Riset Akuntasi Multiparadigma (JRAM) 6, No. 2 (2019).

Sinaga, Niru Anita. “Implementasi Asas Kebebasan Berkontrak Pada Perjanjian Baku Dalam Mewujudkan Keadilan Para Pihak.” Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara 9, No. 1 (2018).

Sambe, Newfriend N. “Fungsi Jaminan Terhadap Pemberian Kredit Oleh Pihak Bank Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.” Jurnal Lex Crimen 5, No. 4 (2016).

Sari, Novi Ratna. “Komparasi Syarat Sahnya Perjanjian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Hukum Islam.” Jurnal Repertorium 4, No. 2 (2017).

Tuwaidan, Rossel Ezra Johannes. “Kewenangan Notaris Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.” Jurnal Lex Privatum 6, No. 6 (2018).

Torey, Michael Justinus. “Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kredit Bank Sebagai Perjanjian Baku.” Jurnal Lex Privatum 7, No. 3 (2019).

Tjukup, I Ketut. “Kekuatan Hukum Pembuktian Waarmerken Akta Di Bawah Tangan Yang Didaftarkan Di Notaris.” Jurnal Hukum Kenotariatan 1, No. 2 (2016).

Disertasi

Budiman, Andrew Santiago. "Kepastian Hukum Pendaftaran Surat Di Bawah Tangan Yang Dibuat Notaris Sebagai Alat Bukti Dalamperkara Perdata (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Medan NO. 635/PDT. G/2013/PN. MDN.)." PhD diss., 2018.

Peraturan Perundang-Undangan :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, selanjutnya yang disebut sebagai Undang-Undang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang selanjutnya disebut Undang-Undang Jabatan Notaris disingkat (UUJN).

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 9 Tahun 2022 hlm 971-984

984