PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK YANG MELAKUKAN TINDAKAN CYBER BULLYING DI

MEDIA SOSIAL

Ni Made Galuh Dwi Safitri, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Gde Made Swardhana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penulisan ini memiliki tujuan untuk memberikan pengetahuan lebih lanjut tentang peraturan hukum mengenai tindak cyber bullying oleh anak yang termasuk dalam tindak pidana anak, dan bentuk dari pertanggungjawaban pidana anak yang melangsungkan tindak cyber bullying tersebut sebagai tindak lanjut atas perbuatan yang dilakukan. Metode yang digunakan untuk mendalami tujuan penulisan ini yaitu metode penelitian hukum normatif, yakni metode penelitian ini mengkaji hukum sebagai norma yang dalam hal ini terjadi kekaburan norma terhadap pertanggungjawaban pidana anak atas perbuatan cyber bullying. Hasil mengenai permasalahan dalam penelitian ini yaitu mengenai perbuatan cyber bullying yang dilakukan oleh anak diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sedangkan bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku (anak) lebih spesifik diatur dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa seorang anak harus genap berusia 12 tahun, namun belum berusia 18 tahun untuk dapat bertanggungjawab atas suatu tindak pidana di depan hukum. Apabila anak tersebut belum mencukupi batas usia, maka termasuk belum cakap untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya sehingga nantinya bisa diberikan pembinaan semata.

Kata Kunci : Anak, Cyber Bullying, Media Sosial, Pertanggungjawaban Pidana,

ABSTRACT

This writing has the aim of providing further knowledge about legal regulations regarding cyber bullying by children which are included in child crimes, and the form of criminal responsibility for children who carry out cyber bullying as a follow-up to the actions taken. The method used to explore the purpose of this paper is a normative legal research method, namely this research method examines the law as a norm which in this case is a vagueness of norms against children's criminal responsibility for cyber bullying. The results regarding the problems in this study, namely cyber bullying by children are regulated in Law Number 11 of 2018 concerning Information and Electronic Transactions and the Criminal Code (KUHP). While the form of criminal responsibility against perpetrators (children) is more specifically regulated in Article 1 Point 3 of Law Number 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System, that a child must be even 12 years old, but not yet 18 years old to be responsible for an act. criminal before the law. If the child does not meet the age limit, then it includes not being able to take responsibility for his actions so that later only coaching can be given.

Keywords: Children, Cyber Bullying, Social Media, Criminal Liability

  • 1.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Berkembangnya teknologi dalam bidang informasi dan komunikasi membawa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Melalui perkembangan dalam bidang teknologi yang didukung oleh adanya internet yang mampu menghubungkan seluruh aspek menjadi lebih dekat hanya dengan satu genggaman yang mempengaruhi kegiatan di dalam masyarakat. Kemajuan teknologi tentunya tak luput dari dampak positif maupun negatif yang terus berkembang dan sangatlah berdampingan.

Adapun dampak dengan maraknya aplikasi pada telepon genggam/handphone yang dengan mudahnya bisa diunduh atau dipergunakan dalam seluruh kalangan tanpa mengenal usia. Salah satu pengembangan teknologi tersebut yaitu adanya media sosial. Media sosial berfungsi untuk memudahkan penggunanya untuk berinteraksi sosial secara luas dan bisa dikatakan tanpa adanya batasan yang pasti. Tak menutup kemungkinan, bahwa seorang anak pun dengan mudahnya menggunakan dan memanfaatkan media sosial, dikarenakan situasi yang tentunya sangat mendukung pula untuk berinteraksi melalui dunia maya.

Pandemi Covid-19 membuat pemanfaatan media sosial digemari sebagai sarana bagi anak untuk berinteraksi di lingkungannya. Namun berdampingan dengan hal tersebut, banyaknya fitur yang terdapat dalam media sosial tak lepas dari efek negatif maupun positif. Efek positif dengan adanya media sosial bagi seorang anak di masa pandemi yaitu memudahkan anak tersebut berinteraksi dan melakukan komunikasi dengan teman sebayanya hingga guru, sebagai interaksi sekolahnya yang belum bisa melakukan pertemuan tatap muka akibat pandemi Covid-19 ini. Berdampingan pada efek negatif, dimana orang tua tidak bisa selalu mengawasi anaknya yang bermain media sosial. Kurangnya pengawasan oleh orang tua anak tersebut tentunya berdampak pula terhadap banyak hal, salah satunya anak bisa melakukan kejahatan melalui media sosial yang digunakannya sehingga mampu menimbulkan berbagai macam kerugian.

Adapun kejahatan yang terjadi di dunia maya yaitu terjadinya tindak pidana perundungan atau dikenal dengan cyber bullying. Cyber bullying merupakan suatu bentuk lanjutan dari perundungan atau bullying, apabila bullying biasa dilakukan dalam kehidupan nyata, sedangkan cyber bullying terjadi di dunia maya. Penggunaan internet di kalangan anak tanpa adanya pengawasan dari orang tua berpengaruh untuk membuka terjadinya tindak kejahatan seperti cyber bullying. Tindakan cyber bullying ini yaitu suatu perbuatan atau tindakan kejahatan yang menggunakan jaringan internet sebagai media yang digunakan oleh berbagai kalangan. Akan tetapi pelaku dari kejahatan cyber bullying disebabkan oleh tingkah laku anak maupun remaja yang kurang memahami etika dalam bermedia sosial.

Berdasarkan hal di atas, media sosial yang bisa digunakan oleh seluruh kalangan terutama anak mampu melangsungkan tindak cyber bullying dalam penerapannya hukum pidana di Indonesia belum berjalan secara maksimal sehingga perlu adanya kepastian hukum yang mengatur tentang cyber bullying khususnya oleh perbuatan anak secara menyeluruh dan mengandung efek jera terhadap pelaku.

Ancaman cyber bullying merupakan ancaman yang tidak menutup kemungkinan terjadi bagi anak maupun orang dewasa, namun khususnya bagi anak yang menggunakan media sosial yang belum mengerti tentang adanya cyber bullying

ini akan merugikan kesehatan mental anak tersebut. Berdasarkan peraturan dalam hukum pidana di Indonesia, diperlukan adanya pengkajian lebih lanjut mengenai pertanggungjawaban pidana anak dalam tindak cyber bullying sehingga nantinya anak maupun para orangtua yang mengawasi anak dalam bermedia sosial mampu memahami tentang adanya ancaman cyber bullying di media sosial. Mengenai hal itu itu hukum juga seharusnya fleksibel dalam arah perkembangannya yang terdapat di masyarakat dimana hukum tersebut dikenal sebagai hukum siber (cyber law) yang dalam penerapannya di bidang teknologi dan informasi. Dengan demikian penulis memiliki ketertarikan dalam membahas lebih dalam dan tentang pertanggungjawaban pidana anak yang melakukan perbuatan cyber bullying di sosial media.

Penelitian ini dilakukan secara orisinil guna menhindari terjadinya plagiarisme. Adapun sumber yang menjadi referensi penulis dalam penulisan jurnal ini yaitu,

  • a.    Jurnal “Cyber bullying: Pertanggungjawaban Pidana Anak Atas Hilangnya Nyawa Seseorang Ditinjau Berdasarkan Keadilan Restoratif” yang ditulis oleh Ade Borami Ju dan Eko Nurisman

  • b.    Jurnal “Kajian Yuridis Terhadap Tindak Pidana Dalam Aspek Perundungan Dunia Maya (Cyber bullying): Perspektif Hukum Pidana di Indonesia” yang ditulis oleh Yana Oetary, dan Rufinus Hotmaulana Hutauruk

Adapun dalam pembahasan kedua jurnal tersebut memiliki kajian yang berbeda dengan penelitian ini. Penelitian ini lebih berfokus dalam kajian mengenai penegakan hukum terhadap anak yang melakukan cyber bullying di media sosial berdasarkan UU ITE. Dalam penulisan penelitian ini pula membahas tentang bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana anak yang melakukan tindak cyber bullying yang merujuk terhadap perlindungan hukum represif yaitu dengan cara persidangan anak dan/atau diversi berdasarkan UU SPPA. Sehingga penulisan jurnal ini berbeda dengan kedua karya ilmiah terdahulu dan hanya dijadikan referensi dan acuan oleh penulis.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan hukum mengenai cyber bullying yang dilakukan oleh anak berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan?

  • 2.    Bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap cyber bullying yang dilakukan oleh anak?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Penulisan ini mempunyai tujuan ialah untuk mengetahui lebih dalam tentang Pengaturan Hukum yang berlaku mengenai tindak cyber bullying yang dilakukan oleh anak berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan, serta mengetahui Bentuk Pertanggungjawaban Pidana anak yang telah melakukan tindak cyber bullying di media sosial yang niscaya nantinya bermanfaat untuk pembaca.

  • 2.    Metode Penelitian

Dalam penulisan ini digunakannya metode penilitian hukum normatif. Metode penelitian normatif merupakan suatu penelitian hukum yang menggunakan bahan hukum primer yaitu berbagai peraturan perundang-undangan. Dibantu oleh bahan

hukum sekunder yang berupa buku, maupun jurnal sebagai sumber yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dari penulisan in, dan bahan hukum tersier dalam bentuk kamus hukum dan internet (virtual research). Penelitian ini memiliki maksud untuk mempertimbangkan atas argument hukum sebagai dasar penentu benar atau tidaknya peristiwa tersebut menurut hukum serta solusi terbaik dalam menangulangi hal tersebut.1 Serta memberikan kepastian atas kekaburan norma yang terjadi dalam penerapan pidana tindak cyber bullying yang dilakukan oleh anak. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan terhadap perundang-undangan yaitu menelaah dan menganalisis terhadap peraturan yang memiliki kaitan atas pemecahan permasalahan yang hendak dicapai.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Pengaturan Hukum Cyber Bullying yang Dilakukan Oleh Anak Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan

Tindak pidana Cyber Bullying dapat diartikan sebagai perbuatan perundungan, penghinaan maupun pelecehan yang terjadi di dunia maya, dimana dapat direalisasikan melalui internet serta pendukung teknologi lainnya. Cyber Bullying dapat dieksplanasikan terhadap peraturan dalam hukum pidana di Indonesia, khususnya terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta UU SPPA sebagai peraturan untuk pertanggungjawaban pidana. Berdasarkan KUHP, tindak pidana cyber bullying diatur dalam beberapa pasal. Berikut bunyi dan penjelasan terhadap pasal-pasal yang mengatur tentang cyber bullying dalam KUHP.2

  • a.    Pasal 310 (1) tentang perbuatan penistaan yang berbunyi bahwa “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.”

  • b.    Pasal 310 (2) tentang perbuatan penistaan dengan surat yang berbunyi bahwa, “Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana paling lama satu tahun empat bulan.”

  • c.    Pasal 311 (1) tentang fitnah, bahwa “Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana paling lama empat tahun.”

  • d.    Pasal 315 tentang penghinaan ringan, bahwa “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang

dilakukan terhadap sesorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirim atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara.”

  • e.    Pasal 369 (1) berbunyi “barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran nama baik dengan lisan maupun tulisan, atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa seseorang supaya memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang atau penghapusan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Dalam perkembangannya, tindak cyber bullying diatur pula dalam peraturan luar KUHP, yaitu dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang telah diubah menjadi UU No. 19 Tahun 2016, yang disebut dengan UU ITE. Undang-undang tersebut mengatur tentang kejahatan yang memiliki kaitan bersamaan teknologi dan komunikasi, termasuk cyber bullying yang merupakan bagian dari kejahatan dunia maya atau cyber crime.

Berdasarkan UU ITE dalam pengaturannya mengenai cyber bullying telah tertuang dan diperjelas dalam pasal, sebagai berikut.3

  • a.    Pasal 27 (3) dengan unsur tindak pidana bahwa, “mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Serta Pasal 27 (4) dengan unsur tindak pidana bahwa, “mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronok dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.” Berdasarkan pasal 45 ayat (1) UU ITE, setiap orang yang memenuhi unsur dalam pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), atau (4) dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

  • b.    Pasal 28 (2) dengan unsur tindak pidana bahwa, “menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).” Berdasarkan pasal 45 ayat (2) UU ITE, setiap orang yang memenuhi unsur dalam pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

  • c.    Pasal 29 dengan unsur tindak pidana bahwa, “mengirimkan informasi elektronok dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.” Berdasarkan pasal 45 ayat (3) UU ITE, setiap orang yang memenuhi unsur dalam pasal 29 dipidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)

  • d.    Pasal 30 (1) dengan unsur tindak pidana bahwa, “mengakses computer

dan/atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apapun.” Berdasarkan pasal 46 ayat (1) UU ITE, setiap orang yang memenuhi unsur dalam 30 ayat (1) dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)

  • e.    Pasal 32 (2) dengan unsur tindak pidana bahwa, “memindahkan atau

mentransfer informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada sistem elektronik orang lain yang tidak berhak.” Berdasarkan pasal 48 ayat (2) UU ITE, setiap orang yang memenuhi unsur dalam pasal 32 ayat (2) dipidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)

  • 3.2 Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anak yang Melakukan Cyber Bullying

Asas “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” yang mempunyai kata lain “keine strafe ohne schuld”, “geen straf zonder schuld” dan “nulla poena sine culpa.” Berdasarkan asas di atas, dijelaskan yaitu unsur yang melandasi adanya pertanggungjawaban pidana yaitu harus adanya seseorang sebagai subjek hukum yang memiliki suatu kesalahan sebagai landasan adanya pertanggung jawaban agar dapat diberikan pidana. Kesalahan yang dimaksud yaitu bahwa keadaan jiwa pelaku dan hubungan batin antara pelaku dan perbuatannya. Apabila seseorang telah melangsungkan suatu perbuatan, maka seseorang tersebut mampu dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya. Sedangkan dari perbuatannya tersebut terdapat 2 (dua) unsur yang harus terpenuhi oleh seseorang sebagai subjek hukum yang melakukan tindak pidana, yaitu:4

  • 1)    Unsur subjektif, yaitu seorang subjek hukum harus memenuhi persyaratan:

  • a.    Bertanggung jawab dalam arti mampu

Bertanggung jawab dari aspek usia dan adanya subjek hukum yang dapat “bertanggungjawab sebagian” karena adanya penyakit yang diderita oleh pelaku. Contohnya seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana pencurian, dimana ia adalah orang yang mengidap penyakit kliptomani yaitu penyakit yang menyebabkan seseorang memiliki kepribadian mencuri benda milik orang lain dan tidak memiliki kesadaran bahwa tindakannya yang dilakukannya bertolakbelakang dengan undang-undang. Namun apabila ia melakukan perbuatan pidana selain pencurian, pelaku wajib bertanggung jawab secara pidana terkait perbuatan yang dilakukannya.

  • b.    Perbuatan yang merupakan kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).

Kesengajaan (dolus) yakni Tindakan seseorang yang memiliki kehendaknya sendiri atau keinginan dengan sengaja untuk melakukan suatu tindak pidana dan harus bertanggungjawab atas perbuatannya. Kealpaan (culpa) merupakan suatu tindak seseorang melakukan sesuatu tanpa keinginan merugikan orang

lain, namun akibat kelalaiannya bisa menghasilkan perbuatan yang nantinya merugikan orang lain serta diri sendiri karena nantinya tentu ada ancaman pidana yang dijatuhkan kepada pelaku.

  • c.    Tidak adanya alasan pemaaf.

Apabila seorang yang mengalami gangguan kejiwaan khususnya gila (tidak waras), masih di bawah umur, dan dibawah pengampunan maka orang tersebut dapat dimaafkan atas tindak/perbuatan yang ia lakukan. Namun hal tersebut tidak menghilangkan atas hukuman yang telah diperbuat. Adapun Tindakan tata tertib yang bisa dilakukan sebagai pertanggungjawaban atas perbuatan pidana oleh para pelaku tindak pidana, sebagai berikut.

  • a)    Menjalani hukuman sesuai dengan tindaj pidana yang dilakukannya dengan batas maks. 1/3 dari pidana pokok yang telah dijatuhkan kepada pelaku

  • b)    Diuruskan dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak, panti sosial, maupun panti rehabilitasi anak

  • c)  Diberikan kembali kepada wali maupun pihak orang tua yang

bersangkutan untuk dibina secara mandiri.

Maka, dengan adanya ketiga unsur diatas, tiap unsurnya memiliki ketergantungan satu sama lain sehingga tidak dapat untuk dipisahkan antar unsur yang satu dengan yang lainnya.

  • 2)    Unsur Objektif, berupa perbuatan yang persyaratan dari perbuatan pelaku harus terpenuhi, sebagai berikut.

  • a)    Telah terpenuhinya unsur yang terdapat dalam undang-undang yang terbukti atas perbuatannya melanggar aturan dalam undang-undang tersebut.

  • b)    Perbuatan yang dilakukan yakni perbuatan melawan hukum sehingga menjadi suatu kesalahan pantas untuk dipidana

  • c)    Tidak ada alasan pembenar, yaitu apabila perbuatan pelaku telah sesuai dengan unsur yang tertuang dalam UU dan terbukti bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan melawan hukum, apabila adanya “alasan pembenar” Oleh karena itu, perbuatan tersebut bukanlah perbuatan pidana. Alasan pembenar yang dimaksud, yakni perintah undang-undang/jabatan, Overmacht, daya paksa/keadaan darurat suatu perbuatan pidana atau tindak pidana hanya menunjuk pada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana.

Teorekenbaardheid atau criminal liability yang dikenal sebagai Pertanggungjawaban pidana yakni suatu mekanisme dalam penentuan apakah seseorang yang sebagai tersangka mampu mempertanggungjawabkan atas perbuatannya atau tidak. Pertanggungjawaban pidana pula dikatakan berupa kewajiban yang harus diltuntaskan atau dijalani oleh pelaku tindak pidana untuk menerima atau menanggung resiko dan konsekuensi atas perbuatan yang telah dilakukannya karena atas perbuatan atau kejahatan yang ia lakukan telah menimbulkan kerugian terhadap umum atau individu lainnya. Terdapat perbedaan yang signifikan antara pertanggungjawaban pidana anak dengan orang dewasa yang tertuang dalam sistem

pemidanaannya. Perbuatan yang termasuk suatu tindak pidana anak yaitu setiap perbuatan yang berupa pelanggaran maupun kejahatan yang diatur dalam perundang-undangan hukum pidana, sedangkan apabila dilihat dari segi pemidanaannya, diatur dalam Pasal 71 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa apabila seorang anak melakukan pelanggaran peraturan atau norma hukum dapat dimintai pertanggungjawabannya dengan pemberian pidana pokok yang merupakan peran Lembaga pembinaan anak untuk memberikan peringatan. Adapun penjatuhan pidana bersyarat dalam bentuk pemberian pembinaan terhadap anak yang melakukan perbuatan pidana supaya mempunyai sifat yang tidak melanggar norma hukum, serta adanya penerapan memberi layanan kepada masyarakat dan pengawasan oleh pihak yang berwenang.

Berdasarkan SPPA dan KUHAP seorang anak yang melakukan suatu tindak pidana, dalam pertanggungjawabannya berbeda dengan orang dewasa, yaitu dalam penahannannya harus menyesuaikan dengan kepentingan anak tersebut dan penjatuhan hukuman terhadap anak yaitu separuh dari maksimum pidana yang dituntutkan kepada orang dewasa. Selain itu, anak yang melakukan tindak pidana tidak dapat dijatuhi hukuman mati dan hukuman pidana penjara seumur hidup. Mengenai penyelesaian permasalahannya, pihak yang menindak tentang tindak pidana anak sama dengan penyelesaian pidana dewasa, yang mana dimulai dengan penyidik, penuntut umum , dan berakhir pada hakim yang bertugas untuk mengadili atas perbuatan yang telah dilakukannya.

Adapun 4 (empat) tahapan proses peradilan pidana anak, sebagai berikut.5

  • 1.    Tahap Penyidikan, yaitu tahapan yang berisi rangkaian penindakan oleh pejabat penyidik dengan dasar yang telah tertuang dalam undang-undang sebagai tahap awal untuk pengumpulan adanya bukti dari suatu tindak pidana tersebut, sebagai langkah awal untuk penemuan tersangka.6 Penyidik dalam perkara anak ini berkewajiban untuk memohon dan memperoleh saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah suatu perbuatan pidana diadukan atau dilaporkan.

  • 2.    Tahap Penangkapan dan Penahanan, yaitu tahapan yang diatur dalam Pasal 30 SPPA, bahwa penyidikan dilakukan paling lama 24 jam terhadap pelaku anak dan ruang pelayanan khusus anak wajib digunakan dalam menempatkan anak tersebut. yang apabila di suatu lokasi atau daerah belum ada ruang pelayanan khusus anak, pihak berwenang dapat menitipkan anak bisa dalam LPKS. Dalam tindak penangkapan anak telah menjadi suatu kewajiban bahwa anak harus diproses secara manusiawi sesuai usia anak tersebut. Kementerian memiliki kewajiban dalam mengatur anggaran dalam hal penyelenggaraan di bidang sosial yang nantinya berfungsi sebagai biaya terpidana anak yang nantinya ditempatkan di LPKS. Dalam memenuhi tanggung jawabnya atas suatu perbuatan yang

termasuk dalam suatu tindak pidana adapun jangka waktu ditetapkan dan diatur untuk penahanan pelaku anak dalam SPPA sebagai berikut.

  • a)    Berdasarkan pasal 33 bahwa ditetapkan selama 7 (tujuh) hari untuk dilakukannya penahanan dalam kepentingan penyidikan, dimana penyidik dapat mengajukan permintaan perpanjangan penahanan yang diperpanjang oleh penuntut umum maksimal 8 hari. Jika batas hari perpanjangan telah mencapai maksimal, maka anak wajib dikeluarkan demi hukum.

  • b)    Berdasarkan pasal 34 bahwa telah ditetapkan selama 5 (lima) hari untuk melakukan penahanan dalam kepentingan penuntutan, dimana penuntut umum dapat mengajukan permintaan perpanjangan penahanan atas persetujuan hakim pengadilan negeri maksimal 5 (lima) hari. Apabila batas hari perpanjangan telah mencapai maksimal, maka anak wajib dikeluarkan demi hukum.

  • c)    Berdasarkan pasal 35 bahwa ditetapkan selama 10 hari untuk melakukan penahanan dalam kepentingan pemeriksaaan  oleh Hakim. Diberikan

perpanjangan waktu paling lama selama 15 hari oleh Ketua Pengadilan Negeri. Apabila batas hari perpanjangan telah mencapai maksimal, maka anak wajib dikeluarkan demi hukum.

  • d)    Berdasarkan pasal 37 bahwa ditetapkan selama 10 hari yang mampu diperpanjang menjadi 15 hari dalam melakukan penahanan dalam kepentingan banding. Disebutkan pula dalam pasal 38 bahwa Hakim Kasasi bisa mengajukan permintaan penahanan paling lama 15 hari dan dapat diperpanjang sampai dengan 20 hari atas keputusan Ketua Mahkamah Agung. Apabila batas hari perpanjangan telah mencapai maksimal, maka anak wajib dikeluarkan demi hukum yang tertuang dalam pasal 39

  • 3.    Tahap Penuntutan, yakni tahap penuntut umum memiliki kewajiban untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang memiliki wewenang dalam hal dan cara yang sesuai dan diatur dalam persidangan. Dalam hal ini, perkara anak akan dilimpahkan ke pengadilan anak agar diproses dan diadili oleh hakim dalam persidangan anak.

  • 4.    Tahap Pemeriksaan di Sidang Pengadilan, yakni hakim anak mempunyai kendali penuh dalam memberikan putusan dan mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Hakim anak memiliki kewajiban dalam berupaya untuk melakukan Diversi yang tertulis pada pasal 52 ayat (2) SPPA.

Minderjarig dalam KUHP memiliki arti bahwa suatu pemberian tuntutan kepada pelaku pidana yang belum menginjak 16 tahun atau belum dapat dikatakan sudah dewasa. Dijelaskan pula dalam SPPA bahwa, apabila seseorang yang belum cukup usianya ketika berhadapan di peradilan, maka hakim memiliki hak untuk mengembalikkan pihak yang bersalah kepada orangtua/wali tanpa ada pemidanaan apapun, dan anak tersebut dapat diserahkan kepada pemerintah apabila kejahatan yang diperbuat belum lewat 2 tahun semenjak adanya pernyataan bersalah.

Pemberlakuan sistem hukum pidana saat ini, yaitu bahwa pada umumnya pemberlakuan hukum pidana hanya dalam wilayah negaranya sesuai dengan asas territorial dan kepada warga negaranya sendiri yaitu asas personal atau nasional aktif. Oleh karena adanya ketentuan tersebut, maka dalam hal penegakan hukum tindak cyber bullying di Indonesia dilakukan mulai dari penyidikan hingga peradilan di

persidangan yang diakhiri dengan putusan oleh hakim. Berdasarkan SPPA, batas usia anak yang dapat diajukan ke persidangan anak yaitu minimal telah berusia 12 tahun sesuai dengan pertimbangan paedagosis, sosiologis, psikologis anak tersebut. apabila ada anak yang melakukan tindak pidana namun belum genap berusia 12 tahun, maka anak tersebut belum mampu untuk bertanggungjawab atas perbuatannya. Penyidik dalam proses pemeriksaannya menjadi dasar dalam pengambilan keputusan oleh Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional. Anak yang bertanggungjawab atas tindak pidana berhak dibantu dan didampingi oleh pengacara atau pemberi bantuan hukum dalam tiap tingkat pemeriksaan sesuai dengan yang telah diatur dalam UU. Orangtua atau wali wajib pula mendampingi anak yang bertanggungjawab atas perbuatan pidana.

Pasal 16 SPPA menyebutkan, “Ketentuan beracara dalam Hukum Acara Pidana berlaku juga dalam acara peradilan pidana anak, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”. Dapat diartikan bahwa segala prosedur pemeriksaan berdasarkan yang tertuang dalam SPPA memiliki tahapan yang sama dengan KUHAP, yang terkecuali apabila dalam masing-masing UU menentukan hal lainnya. Adanya perlakuan khusus dalam undang-undang ini bertujuan untuk memberikan pertimbangan yang adil dan yang terbaik bagi anak. Setiap adanya pengambilan suatu keputusan perlu adanya pertimbangan yang matang mengenai tumbuh kembang dan keberlangsungan hidup anak yang berdampak pula pada suasana kekeluargaan yang nantinya tetap terjaga. Alternatif terakhir dalam penjatuhan pidana anak yaitu dimasukkan ke dalam penjara anak.7

Mengacu pada UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA, ketentuan usia anak bisa bertanggungjawab atas tindak pidana menyebutkan bahwa anak yang melakukan perbuatan yang perlu adanya pertanggungjawaban pidana ialah anak yang genap berusia 12 tahun dan belum menginjak 18 tahun. Maka apabila seorang anak yang berusia sebelum 12 tahun dianggap suatu usia yang belum dapat dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukannya. Sedangkan apabila anak yang berusia diantara 12 hingga 18 tahun, maka anak tersebut akan tetap diadili melalui persidangan anak. Dijelaskan pula dalam pasal 20 bahwa, “Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan anak setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, anak tetap diajukan ke sidang anak.”8

Berdasarkan UU SPPA, termasuk dalam tindak pidana cyber bullying, apabila seorang anak tidak melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana lebih dari 7 tahun, bukan termasuk pengulangan tindak pidana, dan adanya kesepakatan diversi antara korban dan anak, maka diversi bisa dilakukan. Sedangkan apabila ancaman pidana lebih dari 7 tahun maka anak bisa diadili di persidangan anak Dalam kesepakatan diversi, suara dan pendapat Anak yang menjadi tersangka dapat diperhitungkan dalam pembuatan kesepakatan diversi. Diversi dalam hal ini bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan

kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

4. Kesimpulan

Pengaturan hukum tindak pidana Cyber Bullying diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 310 ayat (1) dan (2), Pasal 311 ayat (1), Pasal 315, dan Pasal 369 ayat (1). Cyber bullying termasuk dalam kejahatan-kejahatan yang berbasis teknologi (cyber crime) diatur ketentuannya dalam Undang- Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam Pasal 27 ayat (3) Pasal 27 ayat (4), pasal 28 ayat (2), pasal 29, pasal 30 ayat (1), dan pasal 32 ayat (2). Dari segi pertanggungjawaban pidana bagi anak, berdasarkan Pasal 71 ayat (1) SPPA, bagi anak yang akan dikenakan pidana atau hukuman atas perbuatannya adapun beberapa pidana pokok yang bisa dijatuhi, berupa peringatan dari Lembaga pembinaan anak, memberi pidana bersyarat dimana bertujuan agar anak yang melakukan tindak pidana bisa memiliki sikap berbudi pekerti, adanya pengawasan dan pelayanan dari pihak berwenang, memberi pelatihan pekerjaan, dan dengan dimasukkan ke dalam penjara anak. Dalam berjalannya peradilan anak, tetap ditangani oleh pihak berwajib yaitu penyidik, penuntut umum, dan hakim yang mengadili perkara oleh anak. Selain itu, penyelesaian dalam tindak Diversi dapat diupayakan dalam penyelesaian tindak pidana cyber bullying yang dilakukan oleh anak apabila memenuhi unsur-unsur diversi yang terdapat dalam pasal 7 ayat (2) UU SPPA.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Fajar, Mukti, dan Yulianto Achmad. "Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris, Cetakan IV." (2017).

Sakban, Abdul dan Sahrul. “Pencegahan Cyber Bullying di Indonesia” (2019) Tunggal, Hadi Setia. "UU RI Nomor 11 Tahun 2012." (2013).

Jurnal:

Ade Borami dan Eko Nurisman, “Cyber Bullying: Pertanggungjawaban Pidana Anak Atas Hilangnya Nyawa Seseorang Ditinjau Berdasarkan Keadilan Restoratif” Jurnal Hukum Sasana Vol. 8 No. 1: 175-186. 2022.

Afriyeni, Nelia, dan Sartana "Perundungan maya (Cyber Bullying) pada remaja awal." Jurnal Psikologi Insight 1, no. 1. 2017.

Fitria Aulia Imani, Ati Kusmawati dan H. Moh Amin Tohari. “Pencegahan Kasus Cyberbullying Bagi Remaja Pengguna Sosial Media.” KHIDMAT SOSIAL: Journal of Social Work and Social Services Vol. 2 No. 1. April 2021.

Harahap, M. Yahya. "Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP penyidikan dan penuntutan Edisi kedua." 2002.

Kumaat, Feren Ester D. “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Anak Dibawah Umur Terhadap Pencemaran Nama Baik di Media Sosial.” Lex Crimen Vol. X No.1. 2021.

Kusuma, Jauhari Dewi. "Penegakan Hukum Tindak Pidana Cyber Bullying Oleh Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik." Jurnal Unizar Law Review 1, No. 1. 2018.

Prasada, Dewa Krisna. "Pengaturan Delik Pidana Terkait Tindakan Bullying Bagi Anak di Bawah Umur." Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan 4, no. 2. 2019.

Subaidah Ratna Juita, Amri Panahatan Sihotang, dan Ariyono.”Cyber Bullying Pada Anak dalam Perspektif Politik Hukum Pidana: Kajian Teoritis Tentang Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 19 Tahun 2016. 2019

Nur Maya, “Fenomena Cyberbullying di Kalangan Pelajar.” JISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. 4 No. 3. 2015

Yana Oetary dan Rufinus Hotmaulana Hutauruk. “Kajian Yuridis Terhadap Tindak Pidana Dalam Aspek Perundungan Dunia Maya (Cyberbullying): Perspektif Hukum Pidana di Indonesia” e-Journal Komunitas Yustitia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Vol. 4 No. 3. 2021

Perundang-undangan:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

548

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 5 Tahun 2022 hlm 537-548