PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP LAKI-LAKI YANG MENJADI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL

Komang Putri Natalia Widjaya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Dewa Gede Dana Sugama, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan studi ini untuk mengkaji tentang pengaturan tindak pidana kekerasan seksual dalam hukum positif di Indonesia serta bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadap laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual. Studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, dengan didukung dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Hasil studi menunjukkan bahwa tindak pidana kekerasan seksual telah diakomodir dalam beberapa ketentuan hukum yang ada di Indonesia. Namun tidak semua ketentuan tersebut memberikan perlindungan hukum terhadap laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual. Dari perspektif Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sama-sama mengakomodir tentang tindak pidana kekerasan seksual, namun pada RKUHP sendiri cakupan perlindungan hukum masih sebatas pada korban perempuan saja. UU TPKS sendiri mengakomodir secara keseluruhan mengenai perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual tanpa melihat apakah korban tersebut laki-laki atau perempuan.

Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Laki-Laki, Kekerasan Seksual

ABSTRACT

The purpose of this study is to examine about the regulation of criminal acts of sexual violence in positive law in Indonesia and how the forms of legal protection are provided to men who are victims of sexual violence. This study uses a normative legal research method, supported by a statutory approach. The results of the study show that the crime of sexual violence has been accommodated in several legal provisions in Indonesia. However, not all of these provisions provide legal protection for men who are victims of sexual violence. From the perspective of the Draft Criminal Code (RKUHP) and the Sexual Violence Act both accommodate sexual violence crimes, but in the RKUHP itself the scope of legal protection is still limited to female victims. The Sexual Violence Act itself accommodates in its entirety the legal protection of victims of criminal acts of sexual violence regardless of whether the victim is a man or a woman.

Keywords: Legal Protection, Men, Sexual Violence

  • 1.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Norma yang berlaku di masyarakat serta hukum tempat seorang tersebut tinggal hendaknya patut untuk dipatuhi. Begitu pula di negara Indonesia, yang dalam melakukan suatu perbuatan tidak boleh berlawanan dengan aturan yang berlaku (beracuan pada konstitusi Pasal 1 ayat (3) UUD 1945). Produk hukum yang dilahirkan juga tidak boleh bertentangan dengan konstitusi negara kita dan diharapkan mampu mengakomodir perbuatan maupun tindakan yang terjadi di masyarakat nantinya. Meskipun sudah jelas dipaparkan bahwa negara kita adalah negara hukum, tidak menutup kemungkinan masih ada saja oknum orang maupun masyarakat yang berperilaku tidak sesuai dengan kaidah dan norma yang dijunjung di masyarakat. Sudah banyak produk hukum yang secara singkat dapat mengakomodir perbuatan masyarakat, namun masih saja ditemukan beberapa perbuatan yang menyimpang dari ketentuan tersebut.

Perbuatan yang menyimpang tersebut berkembang seiring dengan perkembangan zaman saat ini. Perkembangan tersebut juga mau tidak mau menuntut agar produk hukum yang berlaku di Indonesia juga dapat mengakomodir perbuatan menyimpang tersebut. Perbuatan yang masih sering terjadi di lingkungan masyarakat adalah kekerasan seksual. Pada saat ini, mungkin kekerasan seksual atau sexual harrasement menjadi suatu topik yang masih banyak diperbincangkan oleh banyak kalangan masyarakat. Macam-macam dari tindakan ini dapat berupa perilaku secara verbal atau non-verbal, komentar sensual, maupun pendekatan secara fisik dengan berorientasi pada seksual dan sensual dan masih banyak lagi.1 Tidak tanggung-tanggung pelaku dari tindak pidana ini juga tidak memandang umur, gender, status dan lain sebagainya.

Berbicara mengenai kekerasan seksual jika dari sudut pandang korban, seringkali yang biasa menjadi korban dari tindak kekerasan seksual ini adalah perempuan. Perempuan dalam konteks tindak pidana ini sering diibaratkan sebagai seorang yang lemah dan seakan-akan menyebabkann perempuan sebagai kaum lemah dan tidak memiliki perlindugan atas dirinya sehingga “bisa” dilecehkan. Hal inilah yang membuat kasus kekerasan seksual patut diatensi karena merupakan tindakan yang serius yang bisa menyebabkan ketidaktentraman dalam masyarakat kedepan.

Namun yang perlu diketahui walaupun tindak pidana kekerasan seksual ini cenderung lebih sering dialami oleh perempuan jika ditarik dari sudut pandang korban, tidak menutup kemungkinan korban dari perbuatan yang dilarang ini adalah seorang laki-laki. Kekerasan seksual dengan laki-laki sebagai korbannya bukan sebuah fenomena baru yang terjadi di masyarakat, hanya publikasi ke masyarakat saja yang lebih sedikit ketimbang perempuan sebagai korban. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya kasus kekerasan seksual yang

dialami anggota laki-laki dari instansi Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI oleh rekan kerjanya belum lama ini. Kemudian kasus seorang artis yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak laki-laki, yang pada saat yang bersangkutan sudah bebas dari masa hukuman disambut meriah oleh sejumlah orang. Kedua kasus tersebut hangat diperbincangkan pada saat itu, dan memberikan bukti bahwa laki-laki juga kerap mendapatkan perlakuan tindak pidana kekerasan seksual.2

Berdasarkan uraian tersebut, tentunya korban kekerasan seksual yang dalam hal ini dialami oleh laki-laki patut mendapatkan perlindungan hukum. Kita dapat beracuan pada beberapa ketentuan yang berlaku di Indonesia, seperti KUHP, kemudian Undang-UU/35/2014 tentang Perlindungan Anak yang selanjutnya disebut dengan UUPA jika korban yang bersangkutan masih tergolong anak, serta beberapa ketentuan lainnya. Khusus pengaturan dalam KUHP tidak mengenal kata “kekerasan seksual” dalam perumusannya, yang berdampak pada sempitnya penafsiran terhadap laki-laki korban kekerasan seksual. Selain itu pasal yang terkait masih memusatkan perbuatan tersebu terhadap korban perempuan yang mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Sehingga praktiknya seringkali pelaku dari tindak pidana kekerasan seksual terhadap laki-laki didakwakan dengan pasal “perbuatan cabul” yang akhirnya menjadi tidak relevan.

Alhasil untuk mengantisipasi adanya penafsiran yang berbeda kembali terkait payung hukum terhadap laki-laki korban kekerasan seksual serta untuk memperbarui sistem hukum pidana di Indonesia, maka pemerintah mulai menyusun Rancangan KUHP yang baru. Rancangan KUHP saat ini masih dalam tahap pembahasan oleh pemerintah, dimana harapannya nanti setelah disahkan dapat memperbarui sistem hukum pidana di Indonesia, khususnya dapat mengakomodir payung hukum terhadap laki-laki korban kekerasan seksual. Selain itu, baru-baru ini Indonesia sudah mengesahkan secara resmi Undang-Uundang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang akan disebut dengan UU TPKS. Ketentuan tersebut lebih jelas mengakomodir tentang tindak pidana kekerasan seksual dan menjadi pertanyaan apakah ketentuan tersebut mengakomodir perlindungan hukum terhadap laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual. Hal tersebutlah yang menjadi dasar pertimbangan penulis mengangkat penelitian ini.

Sebagai dasar perbandingan serta untuk mendukung karya penulis, penulis menelusuri beberapa tulisan dengan konteks pembahasan yang tidak jauh berbeda, yaitu tulisan dari Rena Vania Putri yang mengangkat judul “Pertanggungjawaban Pidana Perempuan Yang Melakukan Persetubuhan Secara Paksa Terhadap Laki-Laki”. 3Tulisan tersebut pada intinya lebih berfokus

kepada bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana pelaku perempuan yang melakukan kekerasan seksual, khususnya persetubuhan secara paksa terhadap laki-laki dewasa. Berdasarkan uraian singkat tersebut, topik tersebut kemudian penulis jadikan acuan serta perbandingan dengan tulisan dari penulis, yang akan lebih berfokus kepada bagaimana pengaturan terkait dengan laki-laki korban kekerasan seksual di Indonesia. Karena diawal penulis menyinggung tentang Rancangan KUHP yang baru serta UU TPKS, penulis juga mengerucutkan pembahasan yang berkaitan dengan perlindungan hukum dari kedua undang-undang tersebut terhadap laki-laki korban kekerasan seksual.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang yang penulis sampaikan diatas, lahirlah setidaknya 2 (dua) rumusan masalah yang terkait dengan pembahasan tersebut, yakni sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimana pengaturan hukum terhadap tindak pidana kekerasan seksual

dalam hukum positif di Indonesia?

  • 2.    Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap laki-laki korban kekerasan seksual ditinjau dari perspektif Rancangan KUHP serta UU TPKS?

  • 1.3.    Tujuan

Tujuan penulisan ini untuk mengkaji bentuk payung perlindungan hukum yang diberikan bagi korban kekerasan seksual terutama korban laki-laki di Indonesia serta jika dilihat dari perspektif RKUHP dan UU TPKS. Kemudian akan membahasa bentuk perlindungannya jika ditinjau pula dari perspektif RKUHP dan UU TPKS. Sehingga dapat memberikan pemahaman kepada para pembaca nantinya mengenai tindak kekerasan seksual tidak hanya dialami oleh perempuan saja, tetapi juga laki-laki sebagai korban.

  • 2.    Metode Penelitian

Pada tulisan ini metode penelitian hukum normatif yang penulis gunakan, karena kekaburan norma terhadap perlindungan hukum bagi laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual. Metode yang juga disebut metode doktrinal ini yaitu meletakkan hukum sebagaimana sebuah bangunan sistem norma. 4 Kemudian pendekatan yang penulis gunakan adalah peraturan perundang-undangan atau statue approach, dimana pendekatan ini befokus pada bagaimana menelaah aturan yang berkaitan dengan perlindungan laki-laki korban kekerasan seksual. Untuk memperkaya dan memperkuat isi dari tulisan ini penulis juga menggunakan cara studi pustaka sebagai teknik pengumpulan bahan hukum terhadap permasalahan penulis, dengan didukung buku-buku, jurnal ilmiah yang penulis unduh melalui internet dan beberapa tulisan lain yang berkaitan dengan topik dari penulis. Bahan-bahan hukum yang telah terkumpul kemudian dianalisis sedemikan rupa secara deskriptif dan sistematis sehingga

memperoleh suatu kesimpulan dan gambaran yang jelas dalam pembahasan masalah.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Pengaturan Hukum Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dalam Hukum Positif Di Indonesia

Kasus-kasus tindak pidana, khususnya yang berkaitan dengan kekerasan seksual masih sering terjadi. Tindak pidana kekerasan seksual ini jika kita teliti, sebenarnya tidak memandang siapa korban maupun siapa pelakunya. Namun yang sering kita lihat disini adalah korban kekerasan seksual yang sering terlihat lebih banyak wanita atau perempuan, disamping karena pandangan masyarakat yang menganggap bahwa perempuan cenderung lebih lemah dan lebih rentan kasus kekerasan seksual. Kembali ke awal, kekerasan seksual ini tidak memandang baik korban maupun pelaku, jadi tidak menutup kemungkinan bahwa kaum adam bisa menjadi korbannya.

Selain pemaparan kasus pada bagian latar belakang sebelumnya, data yang dihimpun dari Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang diluncurkan oleh Indonesia Judicial Research Society yang juga disebut dengan IJRS tahun 2020, ada sekitar 33% laki-laki pernah mengalami kekerasan seksual. 5 Selain itu data yang dihimpun dari Komnas Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI menunjukkan pada tahun 2018 kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak laki-laki lebih banyak jika dibandingkan dengan anak perempuan. 6 Dari kedua data tersebut kita dapat mengambil suatu paham bahwa kekerasan seksual tidak memandang gender laki-laki maupun perempuan. Oleh karenanya perlu ada perlindungan hukum terhadap laki-laki korban kekerasan seksual, karena kebijakan mengenai perlindungan merupakan salah satu bentuk kebijakan yang bisa dilakukan untuk melindungi korban.7 Beracuan pada hukum positif di Indonesia, ada beberapa peraturan atau payung hukum yang mengatur mengenai hak perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Payung hukum ini harapannya dapat mengakomodir hak korban yang seharusnya dilindungi. Pertama kita dapat melihat pengaturan tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau yang lebih dikenal dengan istilah KUHP, namun sejatinya dalam KUHP tidak dikenal istilah “kekerasan seksual”, hanya sebatas istilah pemerkosaan dan perbuatan cabul. Salah satunya adalah rumusan Pasal 285 KUHP yang secara tegas merumuskan sebagai berikut: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.

Rumusan diatas mencantumkan secara jelas pengaturan terhadap tindak pidana kekerasan seksual. Kembali lagi perlu diingat, bahwa didalam KUHP tidak mengenal istilah “kekerasan seksual” sebagai suatu delik tindak pidana. Perbuatan yang masih bersinggungan langsung dengan kekerasan seksual di dalam KUHP tergolong kedalam kejahatan terhadap kesusilaan dalam KUHP. Jika dirangkum secara keseluruhan klasifikasi kekerasan seksual berdasarkan KUHP ini terdiri dari perzinahan, persetubuhan, pencabulan, pornografi. 8 Adapun rangkuman pasal dalam KUHP lainnya yang terkait dengan kekerasan seksual yakni sebagai berikut:

  • a.    “Melanggar kesusilaan didepan umum (Pasal 281);

  • b.    Pornografi (Pasal 282);

  • c.    Pornografi terhadap orang yang belum dewasa (Pasal 283);

  • d.    Perzinhan (Pasal 284);

  • e.    Bersetubuh dengan perempuan diluar kawin yang tidak berdaya, umurnya belum 15 (lima belas) tahun, menimbulkan luka-luka, dan menyerang kehormatan kesusilaan (Pasal 286, 287, 288 dan Pasal 289);

  • f.    Perbuatan cabul sesama kelamin, pada orang yang belum dewasa (Pasal 292);

  • g.    Menggerakkan orang untuk berbuat cabul dengan orang yang belum dewasa (Pasal 293);” 9

Selain pengaturan hukum positif yang ada di KUHP, kita juga dapat melihat pengaturan hukum terkait dengan kekerasan seksual di Indonesia berdasarkan UU No. 23/2014 tentang Penghapusaan Kekerassan Dalam Rumah Tanggga yang selanjutnya disebut dengan UU PKDRT. KDRT dapat dimaknai sebagai perbuatan menekan orang-orang yang berada dalam rumah tangga dengan ancaman maupun kekerasan.10 Lahirnya undang-undang tersebut atas dasar banyaknya kasus mengenai kekerasan di lingkungan rumah tangga, termasuk kekerasan seksual. KDRT ini juga biasa disebut dengan istilah martial rape yang termasuk dalam salah satu bentuk kekerasan melalui pemaksaaan hubungan seksual.11 Ditinjau dari undang-undang tersebut (UU No. 23/2014), maka KDRT ini masuk sebagai kategori perkosaan dalam perkawinan tersebut. Salah satu pasal dari undang-undang tersebut yang berkaitan dengan kekerasan seksual adalah Pasal 8 UU PKDRT yang merumuskan sebagai berikut: “Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:

  • a.    Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;

  • b.    Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.”

Jika ditinjau berdasarkan uraian pasal diatas, tidak dirumuskan secara jelas mengenai subjek pelaku apakah dia suami atau istri dari keluarga tersebut. Namun jika dilihat secara keseluruhan isi dari Undang-Undang PKDRT ini dirumuskan demi melindungi hak perempuan yang dalam konteks ini adalah istri dalam suatu rumah tangga. Peraturan ini juga dapat dijadikan sebagai acuan bagi penegak hukum yang bersifat lex specialis bagi penegakan hukum tindak pidana KDRT di Indonesia.

Selain melalui KUHP dan Undang-Undang PKDRT, pengaturan mengenai kasus kekerasan seksual juga diatur melalui Undang-Undang Perlindungna Anak yang kemudian disebut UU PA (UU No. 35/2014). Undang-undang tersebut secara lebih spesifik mengatur mengenai perlindungan terhadap anak yang mengalami kekerasan seksual, dimana secara komperehensif belum diatur didalam ketentuan KUHP. 12 Tidak hanya itu, dalam undang-undang ini juga mengatur perlindungan beserta sanksi yang akan diterima oleh pelaku jika melakukan perbuatan tersebut. Adapun beberapa uraian pasal yang secara tegas merumuskan perlindungan terhadap tindak pidana kekerasan seksual yakni sebagai berikut:

  • a.    Pasal 76D yang merumuskan pada intinya sebagai berikut “Setiap orang dilarang melakukan tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap anak untuk melakukan persetubuhan dengan orang lain”.

  • b.    Pasal 76E yang merumuskan pada intinya sebagai berikut “Tiap orang dilarang melakukan tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan, melakukan serangkaian tipu muslihat atau kebohongan, atau bahkan membiarkan/membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan ia melakukan perbuatan cabul”.

Kedua pasal tersebut merumuskan 2 (dua) poin yang berbeda. Pertama berkaitan dengan pemaksanaan untuk memaksa anak melakukan persetubuhan kemudian yang kedua berkaitan dengan perbuatan cabul yang dilakukan oleh anak baik dengan cara dibiarkan atau membujuk anak yang bersangkutan. Masing-masing pasal tersebut berdasarkan ketentuan dari UUPA juga memiliki sanksi pidana yang berbeda. Adapun rumusan sanksi dari kedua rumusan pasal tersebut sebagai berikut:

Pasal 81 serta pasal 82 yang sama-sama merumuskan sanksi pidana dari ketentuan sebelumnya, dimana inti dari rumusan tersebut yakni “Siapapun yang melanggar aturan yang dirumuskan pada pasal 76D maupun 76E dapat dipidana penjara 5 (lima) tahun paling singkat dan 15 (lima belas) tahun paling lama serta dapat dikenakan pidana sebanyak 5 (lima) miliar rupiah maksimal. Pidana akan ditambah 1/3 (sepertiga) jika yang bersangkutan merupakan orang terdekat dari korban.

Ketiga ketentuan hukum tersebut jika dilihat secara keseluruhan, sudah mengatur secara jelas perlindungan maupun sanksi hukum terhadap tindak pidana kekerasan seksual. Orang terdekat disini bisa orang tua, wali, pengasuh anak dan lain sebagainya. Namun jika ditinjau kembali perlindungan hukum tersebut hanya terlihat secara eksplisit pada UU Perlindugan Anak, karena memang khusus dalam ketentuan ini dalam perumusan frasa dalam ketentuannya tidak menyebutkan apakah laki-laki maupun perempuan. Ketentuan tersebut juga merumuskan pengertian dari anak secara ringkas yang merupakan seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk yang masih berada dalam kandungan. 13 Pengertian tersebut sudah mencakup baik anak tersebut laki-laki atau perempuan. Jadi perlindungan hukum terhadap laki-laki korban kekerasan seksual, khususnya anak laki-laki sudah diakomodir jelas dalam ketentuan ini. Lalu bagaimana dengan korban laki-laki yang sudah dewasa berdasarkan kedua undang-undang sebelumnya?

Mengacu pada ketentuan KUHP khususnya rumusan pasal yang sudah dijabarkan diatas, ketentuan tersebut hanya berlaku jika korban tersebut merupakan seorang wanita, yang sudah terlihat jelas pada rumusan pasalnya. Selain itu pula, dalam KUHP sendiri tidak ada istilah “kekerasan seksual, sehingga penafsiran yang diberikan menjadi sempit bagi laki-laki yang menerima kekerasan seksual. Jika korban tersebut merupakan seorang laki-laki berdasarkan analisis penulis, dari aparat penegak hukum yang selanjutnya disebut dengan APH hanya dapat menggunakan rumusan dari pasal 289 sampai dengan pasal 296 KUHP yang berkaitan dengan istilah “perbuatan cabul”, sehingga dari sanksinya pun akan berbeda dengan rumusan dari pasal 285 KUHP, walaupun pada kenyataannya rumusan pasal mengenai “perbuatan cabul” tersebut lebih responsif gender.

Kemudian dari sudut pandang UUPKDRT, jika dilihat dari rumusan pasal sebelumnya memang tidak disebutkan secara jelas baik dari subyek korban maupun pelaku dari tindak pidana KDRT. Keseluruhan isi dari UU PKDRT ini dirumuskan demi melindungi hak perempuan dalam suatu rumah tangga. Disamping itu, jika antara subyek korban dan pelaku tidak memiliki hubungan suami istri, maka ketentuan dari UUPKDRT ini tidak bisa diterapkan. Perlu ada ketentuan yang lebih responsif kedepannya berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap laki-laki yang juga bisa menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual. Singkatnya berdasarkan analisis penulis, secara keseluruhan ketiga peraturan tersebut mengakomodir tentang perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Namun khususnya korban laki-laki hanya diakomodir dalam UU Perlindungan Anak saja (anak laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual).

  • 3.2.    Perlindungan Hukum Terhadap Laki-Laki Korban Kekerasan Seksual Ditinjau Dari Perspektif Rancangan KUHP dan UU TPKS

Pada penjelasan sebelumnya sudah diterangkan mengenai pengaturan hukum terkait tindak pidana kekerasan seksual seperti KUHP, UU PKDRT serta UU PA atau Perlindungan Anak. Tidak hanya mengatur tentang pengaturan hukumnya saja, perlindungan terhadap korban juga patut menjadi atensi dan tidak boleh dilewatkan. 14 Namun tidak semua ketentuan tersebut mengakomodir perlindungan hukum bagi korban, khususnya dini adalah korban laki-laki dewasa. Atas dasar penjelasan tersebut, maka penting dibuat suatu aturan yang dapat mengakomodir tidak hanya perlindungan hukum terhadap laki-laki korban kekerasan seksual, tetapi juga memuat sanksi pidana yang setara atas perbuatannya. Bukan tanpa alasan, pemberian sanksi sanksi pidana ini dimaksudkan untuk memberi efek jera terhadap pelaku. Aturan atau hukum ini ada sebagai pedoman bagi masyarakat untuk berbuat baik dan benar.15

Sebagai tindak lanjut dari permasalahan tersebut, sejatinya Indonesia tengah gencar untuk membahas dan mengesahkan RKUHP. RKUHP ini hadir sebagai pembaharuan, khususnya di bidang hukum pidana atas KUHP sebelumnya yang merupakan peninggalan kolonial. Selain itu pula rumusan ketentuan dalam KUHP saat ini hampir sebagian besar sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat sekarang dan memang perlu dilakukan pembaharuan.

Melihat rumusan dalam RKUHP yang berkaitan dengan perlindungan hukum korban kekerasan seksual ada sedikit perbedaan dengan rumusann KUHP yang berlaku saat ini. Mengacu pada rumusan pasal 419 RKUHP yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan seksual penulis rumuskan secara singkat sebagai berikut:

“Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang lain yang merupakan anggota keluarga sedarah garis lurus atau kesamping sampai derajat ketiga dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun”

Ketentuan diatas mencantumkan secara jelas perbuatan persetubuhan yang berhubungan dengan kekerasan seksual. Namun jika dilihat masih ada sedikit batasan perlindungan terhadap laki-laki korban kekerasan seksual (hanya dalam batas pelaku dengan korban masih berhubungan darah). Itu artinya jika konteks perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku yang notabane tidak memiliki hubungan sedarah dengan korban khususnya laki-laki, maka pasal ini tidak dapat diberlakukan sama sekali. Jika ada kasus mengenai laki-laki dewasa yang menjadi korban kekerasan seksual tanpa memiliki hubungan darah dengan pelaku, maka ia hanya akan dilindungi berdasarkan uraian pasal tentang Pencabulan, salah satunya yakni pasal 420 RKUHP yang merumuskan secara singkat sebagai berikut:

  • 1)    “Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminya didepan umum dipenjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak kategori III. Jika dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan serta dipublikasikan sebagai muatan pornografi maka akan dipidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun”.

  • 2)    “Setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan cabul terhadap dirinya akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun”.

Selain salah satu jabaran rumusan pasal diatas, masih ada lagi rumusan pasal yang berkaitan dengan perbuatan cabul dalam RKUHP, yakni Pasal 421 – 428 RKUHP. Rumusan pasal tersebut dilihat dari penjelasannya lebih mencakup keseluruhan korban laki-laki, terlepas dia memiliki hubungan darah atau tidak dengan pelaku. Ditambah lagi sanksi pidananya lebih ringan ketimbang rumusan pasal 419 RKUHP. Dari sisi pertanggungjawaban pidana jika perempuan sebagai pelaku kekerasan seksual terhadap laki-laki ini, masih ada kemungkinan lolos dari perbuatannya atau perbuatanya tersebut dikategorikan sebagai perbuatan cabul, bukan kekerasan seksual. 16Apalagi baik dalam KUHP saat ini maupun dalam RKUHP yang sedang disusun tidak mengenal istilah “kekerasan seksual”, sehingga lebih besar kemungkinan perbuatan pelaku hanya masuk kedalam kategori perbuatan cabul dan sudah barangtentu sanksi pidana nya akan berbeda. Singkatnya rumusan pasal yang ada di RKUHP ini sudah mengakomodir perlindungan terhadap tindak pidana kekerasan seksual, hanya saja masih sama seperti KUHP yang berlaku saat ini, ada sedikit diskriminasi terhadap korban yang dalam hal ini adalah laki-laki.

Keseriusan negara Indonesia dalam memerangi kasus kekerasan seksual yang terjadi kembali dibuktikan dengan penyusunan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS. Ide perancangan draft aturan ini sudah dimulai sejak tahun 2012 dan baru mendapatkan pengesahan pada tanggal 12 April 2022, setelah melalui berbagai macam pembahasan. Tentu disahkan RUU PKS menjadi UU/12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang kemudian disebut dengan UU TPKS merupakan sebuah bukti bahwa masih banyak bentuk kejahatan serta kekerasan seksual serta tidak melanda kaum perempuan, tetapi termasuk laki-laki.

Jika dibandingkan ketentuan terkait kekerasan seksual dalam RKUHP dan UU TPKS, sudah barangtentu rumusan dalam UU TPKS ini bersifat lebih mengkhusus atau lex specialis. Hal tersebut terlihat dari UU TPKS yang mengatur pemidanaan yang tidak diatur di dalam RKUHP, kemudian pendefinisian terkait dengan kekerasan seksual tidak ada batasan dimensi dan bersifat lebih general, sehingga dapat ditunjukkan kepada setiap orang tanpa memandang ia laki-laki atau perempuan. Pendefinisian mengenai tindak pidana kekerasan seksual yang

bersifat lebih general tersebut tentu secara tidak langsung memberikan perlindungan atau payung hukum bagi laki-laki dewasa korban kekerasan seksual dan memberikan keuntungan terhadap pemidanaan yang lebih spesifik dan terkategorisasi dalam RUU PKS yang telah disahkan menjadi UU TPKS.17

Berdasarkan penjelasan tersebut pula, pemberlakuan UU TPKS ini tidak hanya dapat menjamin perlindungan terhadap seluruh korban tanpa memandang gender ia laki-laki atau perempuan. Hal tersebut dibuktikan dengan uraian UU TPKS khususnya pada BAB IV Bagian Ketiga tentang Pendampingan Korban dan Saksi khususnya Pasal 26 – 29 UU TPKS. Selain mendapatkan pendampingan, korban juga mendapatkan perlindungan yang tercantum pada Bagian Keenam tentang Perlindungan Korban khususnya pada pasal 42 – 47 UU TPKS. Hal tersebut tentu dapat menjadi payung hukum terhadap kasus-kasus kekerasan seksual yang menitikberatkan laki-laki sebagai korbannya. Ambil contoh kasus anggota KPI yang sempat mengalami perundungan setelah ia melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya, UU TPKS ini dapat menjadi payung hukum bagi perlindungan terhadap hak-hak korban yang bersangkutan.

Berdasarkan penjelasan diatas secara singkatnya, baik dalam RKUHP yang masih dalam tahap pembahasan dan pengesahan serta dalam UU TPKS lebih merangkul korban dari segi perlindungannya. Hanya saja jika dilihat dari rumusannya, sudah barangpasti ketentuan dari UU TPKS ini bersifat lex specialis sehingga dapat dijadikan pertimbangan dan pedoman bagi aparat penegak hukum (APH) dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual, khususnya laki-laki yang menjadi korbannya. Harapan kedepan dalam pengaturan perlindungan hukum suatu tindak pidana, hukum positif maupun rancangan undang-undang selain harus memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, tentunya harus bisa meniadakan ketimpangan perlindungan terhadap korban (khususnya dalam kasus kekerasan seksual) baik itu laki-laki atau perempuan.

  • 4.    Kesimpulan

Tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia, sudah diakomodir dalam beberapa produk hukum positif yang berlaku seperti KUHP, UU Perlindungan Anak serta UU PKDRT. Masing-masing ketentuan tersebut mengatur sendiri-sendiri mengenai tindak pidana kekerasan seksual berdasarkan konteks yang berbeda. Namun dari ketiga produk hukum tersebut, hanya UU PA saja yang mengakomodir perlindungan hukum terhadap laki-laki korban kekerasan seksual, khususnya anak laki-laki. Kemudian berkaitan dengan perlindungan hukum laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual dari perspektif RKUHP dan UU TPKS juga sudah diakomodir. Hanya saja dalam RKUHP ini belum secara general mengakomodir perlindungan terhadap laki-laki korban kekerasan seksual. UU TPKS sendiri sudah disahkan dan lahir sebagai produk

hukum yang lex specialis mengatur mengenai tindak pidana kekerasan seksual, dan lebih bisa mengakomodir secara general perlindungan hukum terhadap korban tanpa memandang statusnya. Pengaturan suatu hukum positif kedepan dalam hal perlindungan hukum, hendaknya bisa meniadakan ketimpangan yang terjadi demi kepentingan bersama.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Mukti, Fajar dan Achmad Yulianto. Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, cet. III (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015)

Soeroso, Moerti Hadiati. Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis Viktimologis, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012)

Jurnal

Adita Miranti dan Yudi Sudiana. “Pelecehan Seksual Pada Laki-Laki Dan Perspektif Masyarakat Terhadap Maskulinitas (Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough)”, Bricolage: Jurnal Magister Ilmu Komunikasi 7, No. 2 (2021): 261-276 Arumita Sari, Aldira. “Kebijakan Formulasi Kekerasan Seksual Terhadap Istri (Marital Rape) Berbasis Keadilan Gender di Indonesia”, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 1, No.1: (2019) 117-127

Jamaludin, Ahmad. “Perlindungan Hukum Anak Korban Kekerasan Seksual”. JCIC: Jurnal CIC Lembaga Riset dan Konsultan Sosial 3, No. 2 (2021): 1-10

Kusuma Wardadi, Agnes. Fila Rais, Natasya dan Putri Manurung, Gracia. “Analisis Keberlakuan RKUHP dan RUU-PKS dalam Mengatur Tindak Kekerasan Seksual”, Lex Scientia Law Review 3, No. 1 (2019): 55-68

Novanda Fatura, Fara. “Telaah Tindak Pidana Pelecehan Seksual Secara Verbal Dalam Hukum Pidana Indonesia”. Jurnal Recidive 8, No. 2 (2019): 238-244

Paradiaz, Rosania dan Soponyono, Eko. “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelecehan Seksual”. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 4, No. 1 (2022): 61-72

Vania Putri, Rena. “Pertanggungjawaban Pidana Perempuan Yang Melakukan Persetubuhan Secara Paksa Terhadap Laki-Laki”. Jurnal Ilmu Hukum Universita 17 Agustus 1945 Surabaya (2019): 1-21

Widya Widiani, Ni Kadek. Minggu Widyantara, I Made. dan Sukaryati Karma, Ni Made. “Pertanggungjawaban Pidana Kekerasan Dengan Memaksa Orang Untuk Melakukan Perbuatan Pencabulan”, Jurnal Preferensi Hukum 1, No. 3 (2022): 97-102.

Yusyanti, Diana. “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Dari Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual”, Jurnal Penelitian Hukum De Jure 20, No. 4 (2020): 619-636.

Zachra Wadjo, Hadibah dan Marria Saimima, Judy. “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual Dalam Rangka Mewujudkan Keadilan Restoratif”. Jurnal Belo 6, No. 1 (2021): 49-59

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Sumber Lain

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) versi September 2019

Website

Indonesia Judicial Research Society (IJRS), “Kekerasan Seksual pada Laki-Laki:

Diabaikan dan Belum Ditangani Serius”, diakses dari http://ijrs.or.id/kekerasan-seksual-pada-laki-laki-diabaikan-dan-belum-ditangani-serius/ pada tanggal 6 Juni 2022

Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 5 Tahun 2023 hlm 478-490

490