HAK PEKERJA DALAM PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) PASCA DIUNDANGKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020

TENTANG CIPTA KERJA

Cahya Kinari Arnita Putri, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Made Aditya Pramana Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan yang hendak dicapai dalam tulisan ini ialah untuk menulusuri dan mengetahui dari perspektif hukum terkait peralihan peraturan dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pasca Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Penulisan ini juga bertujuan untuk mengetahui apakah regulasi terbaru PKWT sudah dapat melindungi dan menjamin hak-hak buruh/tenaga kerja, serta bagaimana dampak pengimplementasiannya dalam hubungan kerja di Indonesia. Dalam penulisan ini penulis memilih metode penelitian hukum normatif yaitu memfokuskan objeknya berupa pengolahan bahan-bahan hukum, serta mengumpulkan dan menganalisis unsur-unsur hukum yang ada yang didasari oleh sumber-sumber data sekunder. Penelitian ini memperoleh hasil yaitu bahwa regulasi hukum terbaru PKWT belum sepenuh nya memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja. Hal ini terbukti dari masih adanya kekaburan bahkan kekosongan aturan yang tidak dapat menampung keresahan masyarakat, salah satu nya belum ada ketentuan yang mengatur akibat hukum PKWT yang dibuat secara tidak tertulis. Hal ini tentu akan berdampak pada saat pengimplementasian nya dalam hubungan kerja karena akan sulit untuk membuktikan hak dan kewajiban para pihak dengan tidak adanya bukti tertulis sebagai jaminan yang kuat. Selain itu, kesejahteraan yang menjamin hak-hak buruh/tenaga kerja akan sulit ditegakkan karena semakin terbuka nya peluang praktik pemberi kerja untuk bertindak semena-mena bahkan mengeksploitasi buruh/tenaga kerja.

Kata Kunci: Hak Pekerja, PKWT, Undang-Undang Cipta Kerja

ABSTRACT

The purpose to be achieved in this scientific paper are to explore and know from legal perspective related to the Certain Time Work Agreement (PKWT) after Law No. 11 of 2020 on Omnibus Law on Job Creation. This paper is also has purposed to figure out about the latest regulation of PKWT has provided legal protection for employees rights and find out the impact of it implementation in Indonesia employment relations. This paper is using normative legal research methods which is focus on the object in the form of processing legal materials, then collect and analyze existing legal elements based on secondary data sources. This paper research obtain that the latest legal regulation of PKWT has not yet fully provided legal protection for employee’s rights. The evident is from the emptiness and obscurity regulations that can’t accommodate public restlessness such as no consequences in unwritten PKWT agreement. This will certainly impact to the implementation in employment relationship because it will be difficult to prove employee rights and responsibility of the parties in the absence of written evidence as a strong guarantee. In addition, it will be difficult to enforce the welfare and legal protection of employee rights because there are more opportunities for employers to act arbitrarily and even exploit the employee.

Keywords : Employee Rights, PKWT, Omnibus Law on Job Creation

  • 1.    Pendahuluan

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Pemerintah sangat giat untuk melakukan pembangunan nasional di era globalisasi ini karena semakin maju nya ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat membantu seluruh aspek dalam kehidupan masyarakat. Pembangunan nasional dilaksanakan bertujuan untuk menciptakan negara yang adil, sejahtera, makmur, serta mewujudkan kehidupan masyarakat yang merata baik secara rohani, batin, maupun materil seperti yang diamanat kan dalam UUD 1945.

Terdapat beberapa aspek yang dapat mendukung pembangunan nasional salah satu nya adalah struktur perekonomian suatu negara. Untuk membangun struktur perekonomian suatu negara tidak akan terlepas dari sektor ketenagakerjaan yang mendukungnya. Sektor ketenagakerjaan merupakan salah satu sektor yang menampung berbagai macam jenis pekerjaan dan industri di Indonesia, serta berkaitan erat dengan hubungan hukum antara tenaga kerja, pemberi kerja, bahkan pemerintah yang menaungi langsung mengenai regulasi hukum yang terkait. Ketenagakerjaan sendiri merupakan seluruh hal dan kegiatan yang berkaitan langsung dengan hubungan kerja dengan para pihak yang terkait baik tenaga kerja maupun pemberi kerja saat sebelum sampai sesudah masa kerja, sebagaimana yang dijelaskan dalam UU Ketenagakerjaan.

Pada dasar nya dalam hubungan ketenagakerjaan secara tidak langsung akan mempraktikan hukum ketenagakerjaan. Hukum tersebut dapat terealisasikan apabila adanya hubungan kerja antara pekerja atau buruh dengan pemberi kerja atau pengusaha untuk bekerja secara bersama-sama dalam menjalakan suatu kegiatan usaha yang didasari oleh sebuah perjanjian kerja.1 Hubungan kerja dapat terjadi ketika adanya suatu kesepakatan yang didasari oleh suatu perjanjian kerja baik secara tertulis maupun lisan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 50 UU Ketenagakerjaan.2

Ketika para pihak tersebut sudah setuju untuk menjalin suatu hubungan kerja maka secara otomatis akan menghasilkan kesepakatan yang mengikat kedua belah pihak. Hal ini dapat terjadi karena lahir nya sebuah perjanjian kerja seperti yang dijelaskan dalam Pasal 1601 KUH Perdata.3 Dengan adanya suatu peristiwa perjanjian kerja merupakan upaya hukum yang berisi unsur subjek dan objek pekerjaan, serta dapat menciptakan maupun mengatur ketentuan-ketentuan yang disepakati oleh para pihak yang terkait, yaitu pihak pekerja dan pemberi kerja atau pengusaha. Ketentuan yang dimaksud tersebut dapat berisi hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak terkait. Para pemberi kerja atau pengusaha harus melaksanakan kewajiban nya karena itu merupakan hak dari para pekerja atau buruh. Begitupula sebalik nya, para pekerja atau buruh harus menyelesaikan

kewajiban nya karena itu merupakan hak pemberi kerja atau pengusaha. Maka dari, itu para pekerja dengan pemberi kerja memiliki hubungan yang bersifat timbal balik sehingga ketika salah satu tidak memenuhi kewajibannya atau melakukan wanprestasi maka pihak lain dapat menuntut dan pelaku nya dapat dikenakan sanksi.

Perjanjian kerja yang merupakan awal permulaan dari suatu hubungan kerja dapat digolongkan berdasarkan waktu nya. Untuk perjanjian yang dilakukan sementara dapat disebut sebagai perjanjian kerja dalam waktu tertentu. Sementara perjanjian yang dilakukan secara tetap disebut perjanjian kerja dalam waktu tidak tertentu atau dilakukan secara tetap. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah perjanjian yang dilakukan oleh pekerja dengan pemberi kerja ketika para pihak tersebut sudah sepakat untuk melakukan pekerjaan tertentu dalam hubungan kerja dengan jangka waktu kerja yang sebentar. Sementara itu, Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) adalah perjanjian yang dilakukan oleh pekerja dengan pemberi kerja ketika para pihak tersebut sudah sepakat untuk melakukan pekerjaan dalam hubungan kerja dengan jangka waktu kerja yang berlangsung secara terus-menerus dan tetap.4

Berdasarkan Pasal 52 UU Ketenagakerjaan, baik itu PKWT ataupun PKWTT yang dibuat harus berisi unsur-unsur perjanjian berdasarkan pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Perjanjian kerja yang dibuat harus mengatur para pihak yang terkait harus cakap secara umur serta tidak dalam suatu keadaan pengampunan dan para pihak tersebut harus sama-sama setuju untuk mengaitkan diri dalam perjanjian tanpa adanya paksaan, ancaman, ataupun kekhilafan. Kemudian dalam suatu perjanjian harus berisi sebuah objek yang halal, yang mana tidak bertentangan dengan hukum maupun berlawanan dengan ketertiban umum. Ketika perjanjian kerja yang dibuat sudah mengacu pada ketentuan tersebut maka akan terciptanya suatu hubungan kerja antara para pekerja dengan pemberi kerja secara sah yang dapat dipertanggungjawabkan oleh kedua belah pihak. Dalam praktik hubungan kerja, penting pula untuk menerapkan asas pembangunan ketenagakerjaan yaitu asas demokrasi, adil, dan merata, yang pada dasar nya selaras dengan tujuan yang dicita-citakan oleh asas pembangunan nasional.

Namun seiring berjalannya waktu, pada praktik nya seringkali asas-asas tersebut dikesampingkan demi kepentingan pribadi atau kelompok-kelompok tertentu sehingga menyebabkan perselisihan dalam ketenagakerjaan. Permasalahan mengenai ketenagakerjaan ini dapat terjadi antara tenaga kerja, pengusaha, perusahaan, bahkan pemerintah seperti hal nya perselisihan hubungan industrial. Perselisihan ini dapat terjadi karena kurang nya pemahaman terkait regulasi keserikatpekerjaan, serta kurang nya kesadaran para pihak atas hak-hak yang wajib didapatkan maupun tindakan-tindakan yang wajib dilaksanakan oleh para pihak ketika sedang membuat suatu perjanjian.

Perbedaan penafsiran maupun pelaksanaan terhadap peraturan yang mengatur perihal ini akan berdampak dan memicu suatu konflik. Terlebih lagi

dengan adanya polemik yang tak henti sejak tahun 2019 dan ketidakpastian regulasi hukum yang mengatur persoalan perjanjian kerja yang semula berpedoman pada UU Ketenagakerjaan, kemudian diubah menjadi tunduk pada UU Cipta Kerja. Namun, MK menyatakan bahwa UU Cipta Kerja cacat secara formil karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, dinyatakan kembali bahwa ketentuan dalam regulasi tersebut tidak sesuai dengan aturan, serta tidak memenuhi unsur keterbukaan sehingga bersifat inkonstitusional bersyarat. Maka dari itu, perlu segera di lakukan perbaikan pada Undang-Undang Cipta Kerja selama 2 tahu sejak diputuskannya. Pernyataan tersebut akan berdampak terhadap beberapa regulasi karena terdapat beberapa peraturan yang tetap berlaku secara bersyarat.

Dengan berubah nya regulasi mengenai PKWT yang dapat ditemui pada bagian Bab IV mengenai ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja, terdapat banyak penolakan dari masyarakat terlebih lagi para pekerja. Para pekerja menilai bahwa beberapa ketentuan baru mengenai PKWT dianggap merugikan hak para pekerja, seperti tidak diatur nya kebijakan PKWT yang harus dibuat secara tertulis dan tidak adanya pemberian sanksi terhadap para pelaku yang melanggar. Ketentuan tersebut tentu nya akan berdampak kepada kesewenang-wenangan pengusaha terhadap hak-hak pekerja karena tidak ada bukti secara fisik yang mengatur seluruh ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dalam perjanjian kerja, serta tidak ada akibat hukum pula yang membuat pelaku segan ataupun jera untuk mengulanginya kembali. Hal ini akan berdampak kepada ketidakpastian hukum dalam hubungan kerja dan selama masa suatu proyek atau pekerjaan berlangsung. Para pekerja juga tidak memiliki peluang dan kesempataan waktu yang lama untuk mencari pekerjaan baru setelah masa PKWT habis. Tentu nya kerugian yang dialami oleh para pekerja dapat terjadi sebab tidak ditemukan regulasi yang mengatur dan mewajibkan para pengusaha untuk memberitahu kan masa perpanjangan dan pembaharuan ketika kontrak PKWT sudah ingin berakhir.

Menghadapi permasalahan dan isu-isu perdebatan yang terjadi di kalangan masyarakat membuat persoalan hak pekerja ini sangat krusial dan perlu untuk dipahami lebih dalam. Pemahaman lebih lanjut tidak hanya untuk tenaga kerja dan pengusaha saja, melainkan penting bagi seorang praktisi hukum dan masyarakat luas. Maka dari itu, penulis menganalisis dan mencari tahu lebih dalam terhadap beberapa transisi kebijakan yang diubah dalam ketentuan regulasi PKWT setelah di sah kan nya UU Cipta Kerja. Tulisan yang dibuat ini mengacu pada beberapa jurnal untuk dijadikan sebagai referensi dan pedoman dalam menulis karya ilmiah ini, diantara nya yaitu berjudul “Perlindungan Hukum Tenaga Kerja dan Pengusaha Dalam Pelaksanaan Perjanjian Kerja Pasal 59 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja” oleh Nandang Purnama dan “Perlindungan Hukum Hak Pekerja Pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Dalam Ketenagakerjaan” oleh Abdul Azis, dkk. Namun yang membedakan tulisan ini dengan artikel-artikel yang terkait sebelumnya ialah lebih membahas dan mengkaji pengimplementasian regulasi terkait PKWT dari sudut pandang kepentingan hak tenaga kerja agar tidak mudah untuk di tindas dan di eksploitasi. Oleh karena itu, harapan nya dapat berdampak terhadap kesejahteraan hak pekerja demi keberlangsungan pembangunan struktur perekonomian dan pembangunan nasional.

  • 1.2    Rumusah Masalah

  • 1.    Bagaimana regulasi terkait perlindungan hukum terhadap hak pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pasca diundangkannya Undang-Undang Cipta Kerja No. 11 Tahun 2021?

  • 2.    Bagaimana pengimplementasian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam hubungan kerja di Indonesia pasca diundangkannya Undang-Undang Cipta Kerja No. 11 Tahun 2021?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini yaitu menganalisis dan mengetahui dari perspektif hukum terkait apa saja ketentuan regulasi yang beralih dalam PKWT setelah disahkan nya UU Cipta Kerja. Penulis juga ingin mengetahui apakah hak-hak pekerja dilindungi dari segi hukum dalam PKWT, serta bagaimana dampak pengimplementasian nya dalam hubungan kerja.

  • 2.    Metode Penelitian

Dalam penulisan ini, metode penelitian yang dipilih adalah metode hukum normatif yang memfokuskan penelitian terhadap norma hukum dari suatu isu atau permasalahaan yang di teliti. Metode ini mencari apakah terdapat norma yang kosong, kabur, atau bahkan konflik norma pada suatu karya tulis. Metode ini bersumber dari data sekunder yang berasal dari tiga bahan hukum yaitu primer, sekunder, dan tersier.

Bahan primer yang digunakan berasal dari peraturan perundang-undangan. Lalu bahan sekunder yang digunakan dapat berasal dari teori hukum, kaidah-kaidah, doktrin-doktrin, pencarian melalui website seperti artikel ilmiah lain nya yang dapat dijadikan sebagai referensi atau acuan, dan lain sebagainya. Selain itu, bahan tersier dapat berasal dari suatu pencarian dan penelitian dalam kamus hukum atau pendapapat para ahli. Tulisan ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dengan memilih beberapa hal-hal yang memiliki korelasi terhadap suatu hal yang ingin di teliti.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Regulasi Perlindungan Hukum Terhadap Hak Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pasca Diundangkannya Undang-Undang Cipta Kerja No. 11 Tahun 2021

Pada dasar nya manusia akan selalu tumbuh dan berkembang untuk dapat bertahan hidup, serta berkerja keras untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup nya. Begitupula dalam bidang pekerjaan. Dalam suatu hubungan kerja manusia akan berlomba-lomba satu sama lain untuk untuk mencapai tujuan nya masing-masing. Bahkan seseorang dapat melakukan segala cara untuk mewujudkan keinginan nya sampai mengesampingkan Hak Asasi Manusia atau bahkan melarang peraturan yang berlaku. Maka dari itu, penting nya untuk menerapkan perlindungan hukum dalam hubungan kerja.

Perlindungan hukum dapat diartikan sebagai upaya untuk menjamin bahwa fungsi hukum yang dicita-cita kan dapat diterapkan sebagaimana mesti nya yaitu memberikan ketertiban, keadilan, kepastian, dan kesejahteraan. Dengan kata lain dapat dikatakan sebagai upaya untuk memberikan pengayoman kepada Hak Asasi Manusia yang dirugikan orang lain dan

perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Demikian masyarakat dapat menjamin harkat dan martabat seseorang sebagaimana mesti nya, serta melindungi Hak Asasi Manusia dari kesewenangan pihak-pihak tertentu.

Perlindungan hukum dapat diberikan kepada subyek hukum secara lisan maupun tertulis, serta dapat berfungsi untuk mencegah terjadi nya suatu sengketa. Oleh karena itu, perlindungan hukum dapat bersifat preventif. Namun disatu sisi, perlindungan hukum dapat juga bersifat represif yaitu untuk menyelesaikan suatu sengketa. Dalam hubungan kerja, perlindungan hukum bertujuan untuk menghindari adanya kesewenangan para pihak, terutama dari tindakan para pihak kuat yang mendominasi para pihak yang lemah, sehingga akan terciptanya suatu hubungan kerja yang sehat. Demikian perlindungan hukum penting untuk diterapkan sesuai dengan peraturan yang berlaku oleh para pihak ketika menjalin suatu hubungan kerja, sehingga hak dan kewajiban para pihak juga akan terealisasikan dengan baik.

Dalam hubungan kerja, kedua unsur tersebut saling berkesinambungan dan tidak dapat dipisahkan. Ketika seseorang berhasil melaksanakan kewajibannya, maka ia berhak mendapatkan hak atas keberhasilan yang sudah diselesaikan sebagai tanggungjawab nya. Begitupula sebaliknya, seseorang dapat menuntut hak yang merupakan wewenang nya ketika ia sudah menyelesaikan kewajiban sebagai tanggungjawab yang harus diselesaikan. Oleh karena itu, penting nya kesetaraan hak dan kewajiban yang dapat diwujudkan dengan adanya perlindungan hukum sebagai landasan dalam suatu hubungan kerja.

Ketika suatu hubungan kerja sudah terjalin dan disepakati kedua belah pihak, maka kedua unsur di atas harus dipenuhi oleh para pihak.5 Kewajiban adalah segala upaya untuk melakukan sebuah tindakan yang wajib dilakukan oleh seseorang demi tercapai nya suatu tujuan. Dalam suatu hubungan kerja, kewajiban dari buruh/pekerja ialah melaksanakan tugas dan pekerjaan dengan selesai, serta tunduk pada petunjuk dan peraturan yang sudah disepakati sebelumnya dalam perjanjian. Sementara itu, kewajiban para pemberi kerja adalah memberi upah secara tepat waktu sebagai wujud imbalan kepada para pekerja yang merupakan hak dari para buruh/pekerja.6 Para pemberi kerja juga berkewajiban untuk memberikan pelatihan kerja, memberi kesempatan dan memperlakukan buruh/tenaga kerja secara adil, serta memperhatikan kesehatan maupun keselamatan buruh/tenaga kerja.

Sedangkan hak adalah sebuah penghargaan yang diberikan kepada seseorang untuk bertindak maupun menerima sesuatu sebagai kewenangan atau kekuasaan yang berlandaskan oleh hukum. Para pemberi kerja memiliki kewajiban yang harus dilakukan karena itu merupakan hak daripada para buruh/ tenaga kerja. Misalnya seperti hak untuk mendapatkan upah atas pekerjaannya secara layak dan tepat waktu. Maksudnya ialah buruh/tenaga kerja harus diberi upah seimbang dengan tenaga yang mereka keluarkan dan

kerjakan, serta sesuai dengan apa yang sudah disepakati dalam perjanjian termasuk termin waktu pembayaran upah. Hak-hak lain dari buruh/tenaga kerja adalah mendapatkan kesempatan pelatihan kerja untuk mengembangkan potensi yang dimiliki para pekerja baik sebelum dan saat masa kerja berlangsung. Hak lain yang harus dimiliki oleh buruh/tenaga kerja ialah diperlakukan yang layak dan sama tanpa memandang latarbelakang apapun dan tanpa adanya diskriminasi, agar para pekerja dapat bertindak dan berperilaku sama seperti dengan para pekerja yang lain selagi tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.

Sementara itu, hak dari pemberi kerja pastinya menerima hasil pekerjaan yang benar dari buruh/tenaga kerja sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian. Para pemberi kerja juga memiliki hak untuk mengarahkan maupun mengatur para buruh/tenaga kerja dalam melakukan pekerjaannya agar dapat sesuai dengan tujuan serta visi dan misi dari perusahaan. Ketika para buruh/tenaga kerja tidak dapat memenuhi kebutuhan pemberi kerja atau tidak dapat bekerja sesuai dengan kesepakatan, maka pemberi kerja juga memiliki hak untuk memutus hubungan kerja dengan buruh/tenaga kerja. Namun hal ini tidak dapat semerta-merta dilakukan seperti itu saja. Pemutusan hubungan kerja biasanya dilakukan karena buruh/tenaga kerja sudah tidak dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan karena hal-hal alamiah tertentu seperti pension, mengalami kecelakaan dan sakit sehingga meninggal dunia, bahkan bisa juga karena para pekerja ingin mengundurkan diri atas alasan dan kemauan nya sendiri. Pemutusan hubungan kerja juga dapat terjadi karena buruh/tenaga kerja melakukan kesalahan-kesalahan berat seperti penipuan, pencurian, membongkar rahasia perusahaan, dan tindakan lainnya yang bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Ketika para pekerja mangkir terlalu lama tanpa ada keterangan, perusahaan dapat pula melakukan pemutusan hubungan kerja.

Suatu hubungan kerja juga dapat terjadi karena kelalaian pihak perusahaan. Misalnya seperti perusahaan mengalami kebangkrutan ataupun perusahaan terkena musibah bencana yang merupakan force majure, sehingga tak dapat dihindari oleh pihak manapun. Ketika perusahaan mengalami kerugian secara terus-menerus, maka para buruh/tenaga kerja dapat terkena pemutusan hubungan kerja secara tiba-tiba saja.

Pemberi kerja maupun perusahaan dapat pula memutus hubungan kerja dengan buruh/tenaga kerja ketika pekerjaan yang dilakukan para pekerja sudah selesai sebelum berakhirnya masa kontrak yang disepakati dalam Perjanjian Waktu Kerja Tertentu (PKWT). Hal ini tentu nya akan berdampak pada keberlangsungan hidup para pekerja yang dapat diputus hubungan kerja nya secara langsung. Dampak nya ialah kesejahteraan hidup para buruh/tenaga kerja juga terancam karena tidak lagi memiliki pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup nya. Para pekerja juga akan mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan baru dikarenakan kesempatan dan waktu yang terbatas dalam mencari pekerjaan kembali.

Maka dari itu, perlu nya regulasi untuk mengatur kebijakan yang dilakukan oleh perusahaan maupun para pemberi kerja agar tidak berperilaku semena-mena kepada buruh/tenaga kerja. Merujuk pada ke khawatiran di atas, penting pula untuk menerapkan perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja sebagai wujud untuk menghindari eksploitasi tenaga kerja serta

melindungi kekuasaan semena-mena dari majikan kepada pekerja. Selain itu, perlindungan hukum dalam hak-hak pekerja juga bertujuan untuk mewujudkan the rule of law yaitu menegakkan hukum yang berlandaskan keadilan dan perlindungan Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur juga dalam DUHAM.

Hubungan kerja antara tenaga kerja dengan pemberi kerja akan melahirkan hak-hak pekerja sebagai akibat atau konsekuensi dari kesepakatan antara kedua belah pihak. UU Ketenagakerjaan mengatur mengenai hak-hak pekerja tersebut. Secara mendasar terdapat beberapa hak pekerja yang melekat pada buruh/tenaga kerja, antara lain :

  • 1.    Hak untuk mendapatkan upah yang adil. Setiap buruh/tenaga kerja berhak memperoleh upah sebagai hasil kompensasi dari kerja nya. Upah yang diberikan harus sesuai dengan tenaga dan pekerjaan yang dilakukan. Hal ini diatur dalam dalam Pasal 1 ayat (30) Undang-Undang Ketenagakerjaan.

  • 2.    Hak atas keselamatan dan kesehatan dalam bekerja. Selama masa kerja, buruh/tenaga kerja wajib mendapatkan perlindungan sebagai jaminan hak untuk hidup. Oleh karena itu pemberi kerja harus memberikan fasilitas yang dapat menjamin keselamatan dan kesehatan para pekerja secara adil tanpa adanya diskiriminasi jenis kelamin maupun SARA, sebagaimana dilindungi dalam Pasal 28D UUD 1945.

  • 3.    Hak atas jaminan sosial. Setiap pekerja dapat memperoleh jaminan sosial karena sebagai wujud jaminan atas resiko sosial, serta waktu dan tenaga yang dikeluarkan selama jam kerja. Jaminan sosial juga diberikan untuk menjamin kesehatan buruh maupun keluarga nya sebagaimana tercantum dalam Pasal 99 Undang-Undang Ketenagakerjaan.

  • 4.    Hak atas istirahat dan cuti. Berdasarkan Pasal 79 Undang-Undang Ketenagakerjaan, buruh/tenaga kerja berhak mendapatkan waktu istirahat dan cuti. Waktu istirahat yang diberikan kepada pekerja minimal setengah jam setelah melakukan kerja selama 4 jam terus-menerus dan tidak terhitung dengan jam kerja. Sedangkan waktu cuti yang diberikan kepada pekerja termasuk cuti sakit, cuti keluarga meninggal, dan lain sebagainya. Teruntuk pekerja perempuan memiliki hak khusus yang berkaitan dengan fungsi reproduksi nya, serta untuk mengurus anak nya ketika selesai melahirkan seperti menyusui, dan bahkan berhak untuk mendapatkan waktu istirahat ketika mengalami keguguran seperti yang diatur dalam Pasal 81-83.

  • 5.    Setiap buruh/tenaga kerja berhak untuk tidak bekerja dalam hari-hari libur. Para pemberi kerja juga tidak dapat memperkerjakan pekerja melebihi waktu kerja nya. Apabila terdapat pekerjaan di luar waktu jam kerja perlu adanya persetujuan dari pekerja yang bersangkutan, serta wajib membayar upah lembur yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mentri. Para pekerja dapat diperkerjakan dari waktu kerja nya tidak boleh dari 3 jam dalam sehari dan pekerja juga berhak menolak apabila tidak bersedia melakukannya.

  • 6.    Hak untuk berserikat. Untuk memperjuangkan kepentingan bersama para pekerja sebagaimana diatur dalam Pasal 104, maka para peker

diperbolehkan untuk membuat maupun berserikat dalam perkumpulan serikat pekerja.

  • 7.    Setiap buruh/tenaga kerja berhak mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan ibadah dan hal-hal lain yang diwajibkan oleh agama nya tanpa ada batasan apapun dari pihak pemberi kerja, sebagaimana tercantum dalam Pasal 80 Undang-Undang Ketenagakerjaan.

  • 8.    Hak untuk mogok kerja. Berdasarkan Pasal 137 Undang-Undang Ketenagakerjaan, para buruh/tenaga kerja dapat melakukan mogok kerja apabila terjadi kegagalan kesepakatan yang merugikan pihak pekerja. Hal ini dapat dilakukan selama pekerja tetap berperilaku tertib dan tidak melakukan tindakan yang berlawanan dengan hukum maupun yang dilarang dalam peraturan.7

Ketika hak-hak di atas diterapkan baik oleh para pemberi kerja di lingkungan kerja, maka akan menciptakan budaya kerja yang harmonis demi keberlangsungan hubungan kerja.

Namun seiring beralihnya beberapa regulasi menjadi UU Cipta Kerja yang menyusung konsep omnibus law, maka ketentuan mengenai ketenagakerjaan termasuk perjanjian kerja tunduk dan diatur dalam undang-undang tersebut. Peraturan terhadap PKWT diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja sebagai turunan aturan dari UU Cipta Kerja. Setelah diberlakukan dan disahkan nya regulasi tersebut, ketentuan mengenai tenaga kerja termasuk hak-hak nya mengalami perubahan seperti yang diatur pada PKWT.

Hal tersebut dapat dibuktikan dalam Pasal 15-17 PP Nomor 35 Tahun 2021. Dapat dijumpai perubahan yang paling signifikan yaitu ketika buruh/tenaga kerja telah bekerja paling sedikit 1 bulan dengan masa waktu 12 bulan pada PKWT secara terus-menerus maka memiliki hak untuk memperoleh dana kompensasi. Dana kompensasi juga harus diberikan kepada pekerja yang berenti bekerja walaupun masa kerja nya dalam PKWT belum berakhir, baik diajukan oleh pihak pekerja maupun pemberi kerja. Besaran dana kompensasi dihitung berdasarkan jangka waktu yang dilaksanakan pekerja dalam perjanjian. Sebelumnya, Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak mengatur perihal dana kompensasi ketika selesai nya kontrak PKWT. Namun ketentuan pasca regulasi Cipta Kerja menyebabkan pekerja wajib memberikan dana kompensasi kepada buruh/tenaga kerja sesuai masa pekerja yang bersangkutan dengan di kalikan 1 bulan upah. Ketika masa kerja pekerja 6 bulan, maka dana kompensasi yang didapatkan adalah 6/12 dikalikan dengan 1 bulan upah dan begitupula yang lain nya. Namun dana kompensasi ini tidak berlaku terhadap tenaga kerja asing yang dipekerjakan. Demikian, seperti yang tertera dalam Pasal 16 UU Ketenagakerjaan maka para buruh/ tenaga kerja berhak mendapatkan dana kompensasi sekaligus hak untuk mendapatkan dana sisa masa kerja, mengingat tidak terdapat perubahan maupun penghapusan terhadap ketentuan ini.

Terdapat beberapa peralihan lain mengenai ketentuan PKWT. Sebelum nya, para pihak harus secara tertulis sepakat dalam pembuatan PKWT, sehingga perjanjian tersebut dibuat tertulis. Ketika para pihak sepakat secara lisan atau membuat perjanjian nya tidak tertulis maka kesepakatan tersebut tergolong kedalam PKWTT, sebagaimana tertera pada Pasal 57 UU Ketenagakerjaan. Setelah diundangkannya Undang-Undang Cipta Kerja, ketentuan tersebut berubah sehingga tidak adanya konsekuensi hukum pada perjanjian yang dibuat secara lisan atau dengan kata lain tidak tertulis.8 Dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini menyatakan bahwa PKWT boleh dibuat secara tertulis maupun lisan. Lebih lanjut diterangkan dalam Pasal 14 bahwa perjanjian yang dibuat harus dicatatkan dan diberikan kepada kementerian di bidang ketenagakerjaan. Dari ketentuan tersebut ditemukan ketidak sinkronisasian ketentuan dalam kedua pasal yang akan menimbulkan permasalahan hukum. Merujuk pada ketentuan tersebut bahwa perjanjian yang dibuat harus didaftarkan dalam Kementrian bidang Ketenagakerjaan, namun ketika perjanjian yang dibuat boleh secara lisan maka konsekuensi nya tidak dapat melakukan pendaftaraan karena wujud atau fisik dari perjanjian itu saja tidak dapat dibuktikan. Hal ini akan berpengaruh kepada akibat hukum dari keabsahaan perjanjian itu apabila dibuat secara lisan, serta tidak adanya bukti fisik untuk menjamin dan melindungi para pihak yang bersangkutan apabila di kemudian hari terjadi suatu permasalahan.9 Ketentuan ini merugikan pihak buruh/tenaga kerja ketika ingin melindungi hak-hak nya dalam hubungan kerja maupun di muka hukum.

Selain itu sebelumnya pada Pasal 93 UU Ketenagakerjaan mengatur dan memberikan toleransi kepada para pekerja yang sakit, keluarga meninggal, menjalankan ibadah, menikah, haid hari pertama dan kedua, istri mengalami melahirkan atau keguguran berhak melakukan cuti dan menerima upah selamat masa cuti. Regulasi baru pada Cipta Kerja mengatur bahwa pekerja tidak lagi berhak menerima upah selama cuti dan perlu adanya kesepakatan lebih lanjut yang diatur antara pemberi kerja dengan pekerja ketika ingin memberikan upah cuti. Perubahan pada ketentuan ini sangat merugikan hak-hak para pekerja terkhususnya buruh/tenaga kerja perempuan.

  • 3.2    Implementasi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam hubungan kerja di Indonesia Pasca Diundangkannya Undang-Undang Cipta Kerja No. 11 Tahun 2021

Hubungan kerja akan timbul ketika adanya suatu kesepakatan yang dibuat ke dalam perjanjian oleh pihak pekerja maupun pemberi kerja sebagaimana tertera pada KUHPerdata.10 Dalam hubungan kerja, istilah perjanjian tersebut dibagi menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Ketika perjanjian sudah terjalin, maka para pihak harus memenuhi hak dan prestasi sebagaimana disepakati dalam perjanjian tersebut.11 Perlindungan akan diberikan oleh pemerintah baik itu kepada pemberi kerja maupun pekerja ketika hubungan kerja sudah terjalin didasarkan oleh PKWT maupun PKWTT seperti yang diatur pada UU Ketenagakerjaan. Ketika UU Cipta Kerja disahkan, ditemukan beberapa peralihan regulasi dan kebijakan yang dapat ditemukan pada PP Nomor 35 Tahun 2021 sebagai turunan regulasi dari aturan-aturan perjanjian kerja yang ada dalam Cipta Kerja.

Perubahan paling mendasar ditemukan pada jenis pekerjaan yang dapat digolongkan dalam PKWT. Sebelumnya regulasi pada UU Ketenagakerjaan Pasal 59 menggolongkan beberapa jenis pekerjaan yang dapat dibuat dalam PKWT seperti pekerjaan yang sifatnya sementara yaitu yang dapat diselesaikan dalam waktu tertentu seperti pekerjaan yang bersifat sesekali atau musiman. Lalu pekerjaan yang selesai tidak lebih dari waktu 3 tahun dan yang masih dalam masa percobaan yang menangani perihal produk dan kegiatan baru dapat pula dijadikan sebagai jenis objek PKWT. Namun pasca Cipta Kerja terdapat 2 jenis pekerjaan yang bisa menggunakan PKWT yaitu berdasarkan jangka waktu dan selesainya pekerjaan tersebut. PKWT yang dibuat berdasarkan jangka waktu dapat berlaku pada jenis pekerjaan yang tidak memakan waktu lama. Dengan kata lain termasuk musiman dan berkaitan dengan produk maupun kegiatan baru, serta dapat pula dalam masa percobaan. Sementara itu, PKWT yang didasari oleh berakhirnya pekerjaan terdiri dari pekerjaan yang bersifat sementara atau dapat diselesaikan dengan sekali kerja saja. Demikian dapat diketahui bahwa terdapat penambahan jenis pekerjaan yang dapat menjadi objek dalam PKWT yaitu pekerjaan yang waktunya tergolong tidak tetap seperti hanya memerlukan waktu sementara dan tidak terjadi terus-menerus, sehingga pekerjaan tersebut bukan kegiatan yang berkaitan dengan proses produksi suatu perusahaan.

Perubahan ketentuan lain dapat di temui pada Pasal 6 yang merubah ketentuan jangka waktu maksimal pekerjaan dalam PKWT menjadi paling lama 5 tahun. Sebelum disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja, pekerjaan dalam PKWT dapat diselenggarakan selama 3 tahun yang terdiri dari jangka waktu berlaku nya PKWT selama 2 tahun dan waktu perpanjangan dengan jangka waktu paling lama 1 tahun sebagaimana tercantum dalam Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Namun terdapat perubahan aturan yang ditemui dalam Pasal 6 PP Nomor 35 Tahun 2021, bahwa PKWT dapat berlaku dengan jangka waktu maksimal 5 tahun.12 Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 8-10 bahwa dapat dilakukan perpanjangan perjanjian apabila pekerjaan yang dilakukan belum selesai tetapi jangka waktu sesuai kesepakatan awal sudah ingin berakhir. Perpanjangan PKWT dapat dilakukan asalkan terdapat kesepakatan antara buruh/tenaga kerja dengan pemberi kerja dan jangka

waktu perjanjian tersebut tidak melebihi 5 tahun terhitung dari waktu awal pekerjaan di mulai. Untuk PKWT yang didasari oleh jangka waktu tidak diatur lebih lanjut terkait ketentuan masa perpanjangan perjanjian, regulasi baru hanya menegaskan bahwa dapat dilakukan nya perpanjangan dengan jangka waktu maksimal 5 tahun. Sementara untuk PKWT yang didasari oleh selesai nya suatu pekerjaan tertentu dapat dilakukan perpanjangan masa perjanjian hingga pekerjaan tersebut selesai, selagi disepakati oleh kedua belah pihak. Ketentuan lebih lanjut terkait jangka waktu maksimal perpanjangan perjanjian juga tidak ditemukan batas waktu maksimal perpanjangan perjanjian. Sedangkan untuk PKWT yang didasari oleh suatu pekerjaan yang sifat nya tidak tetap dapat dilakukan masa perpanjangan perjanjian ke dalam bentuk perjanjian kerja harian.

Perjanjian harian harus disepakati dengan para pihak dengan masa waktu harus bekerja kurang dari 21 hari dalam kurun waktu sebulan dan tidak boleh dalam kurun waktu 3 bulan berturut-turut.13 Apabila perjanjian yang disepakati tidak sesuai ketentuan tersebut, maka akan batal demi hukum dan berubah menjadi PKWTT. Mengenai jangka waktu perpanjangan PKWT sebagaimana diatur dalam regulasi baru, tidak ditemukan ketentuan lebih lanjut yang mengatur waktu maksimal perpanjangan perjanjian pada jenis PKWT yang berdasarkan selesai nya suatu pekerjaan maupun PKWT yang berdasarkan jangka waktu tertentu. Hal ini tentu nya dapat menimbulkan kekeliruan dalam praktiknya karena akan adanya peluang untuk melakukan perpanjangan waktu pekerjaan lebih dari yang ditentukan dalam peraturan. Selain itu tidak adanya ketentuan spesifik terkait teknis pelaksanaan nya. Hal ini tentu dapat berdampak kepada hak maupun kewajiban para pihak yang terabaikan, serta memungkinkan untuk terjadi nya eksploitasi pekerja mengingat ketentuan masa perpanjangan yang tidak rinci akan mempengaruhi ketentuan perjanjian itu sendiri. Ketika masa waktu perjanjian yang dilakukan ternyata tergolong ke dalam PKWTT maka akan melanggar hak-hak pekerja untuk mendapatkan wewenang dan keharusan yang dimiliknya seperti yang diatur dalam ketentuan PKWTT. Misalnya seperti uang pesangon, hak pekerja untuk melakukan masa percobaan, dan lain sebagainya.

Mengenai ketentuan masa percobaan, regulasi baru pada Pasal 12 peraturan pemerintah menegaskan kembali bahwa dalam PKWT tidak diperbolehkan adanya masa percobaan. Ketentuan ini sebelumnya diatur dalam Pasal 58 UU Ketenagakerjaan yaitu bahwa PKWT tidak memberlakukan percobaan dalam masa perjanjian nya. Ketika ditemukan masa percobaan maka sanksi nya batal demi hukum karena perjanjian tersebut memang tidak pernah sah terjadi. Kebijakan dalam aturan tersebut pasca Undang-Undang Cipta Kerja tidak di hapus bahkan dipertegas kembali bahwa ketika pekerja melakukan masa percobaan kerja pada PKWT maka akan batal demi hukum. Namun di satu sisi, pekerja tetap dapat melakukan pekerjaan nya karena masa kerja akan tetap dihitung sejak dimulai nya pekerjaan.

Keresahan lain dari masyarakat yang sangat dikhawatirkan ialah terhadap perubahan ketentuan peraturan pasca disahkanya Undang-Undang Cipta Kerja salah satu nya adalah penghapusan sanksi atau akibat hukum terhadap PKWT yang tidak mengharuskan dibuat secara tertulis. Pada sebelumnya, para pihak yang membuat PKWT harus tertulis pada sebuah kertas sebagaimana diatur pada Pasal 57 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Ketika PKWT dibuat secara tidak tertulis maka hukum nya akan berubah menjadi PKWTT. Namun ketentuan tersebut dihapus dan tidak ada pengaturan pengganti maupun aturan lebih lanjut terkait PKWT yang tidak dibuat tertulis, mengingat bahwa dalam Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 memperbolehkan PKWT dibuat secara lisan maupun tertulis. Ketentuan dalam peraturan baru tidak mengatur konsekuensi apabila PKWT dibuat secara tidak tertulis, serta tidak adaknya akibat hukum untuk mencegah maupun menghindari masyarakat untuk melakukan nya. Hal ini tentu nya akan menciptakan ketidakpastian hukum dalam hubungan kerja. Selain itu, ketika adanya suatu sengketa antara pekerja dengan pemberi kerja akan menyulitkan pembuktian bagi kedua belah pihak karena tidak adanya bukti tertulis perjanjian yang disepakati.

Pada pelaksanaan nya di masyarakat, tidak sedikit ditemukan sengketa dalam suatu hubungan kerja yang didasari oleh PKWT ini. Dalam praktik nya, seringkali suatu pekerjaan dapat selesai sebelum jangka waktu yang disepakati dalam perjanjian, serta terdapat pula proyek pekerjaan yang selesai nya melewati jangka waktu yang sudah ditetapkan dalam perjanjian karena proyek tersebut bergantung dengan cuaca, musim, atau bahkan terjadi nya hal-hal force majure lain nya yang tidak dapat dihindari.14 Belum lagi permasalahan terkait jangka waktu pekerjaan yang tidak memenuhi persyaratan atau tidak tergolong dalam PKWT tetapi secara lisan disepakati sebagai PKWT oleh kedua belah pihak. Selain itu, dengan tidak adanya akibat hukum PKWT yang dibuat secara lisan maka akan menyulitkan untuk mengkategorikan perjanjian tersebut apakah termasuk ke dalam PKWT atau sebenarnya tergolong PKWTT. Tentu nya ini akan berdampak pada pembuktian terhadap ketentuan dan kewenangan para pihak berdasarkan kesepakatan bersama. Hal ini akan berpengaruh terhadap hak-hak para pihak yang semakin sulit untuk mendapat keadilan dan perlindungan hukum.

  • 4.    Kesimpulan

Beberapa regulasi terkait PKWT yang diatur dalam UU Cipta Kerja memang melahirkan ketentuan yang dapat membantu hak buruh/tenaga kerja dalam hubungan kerja. Peraturan baru yang diciptakan ini memang menjawab keresahan buruh/tenaga kerja mengenai dana kompensasi yang diberikan kepada pekerja. Namun di satu sisi, masih terdapat ketentuan peraturan yang kabur dan bahkan tidak sejalan antara peraturan yang satu dengan lain nya seperti ketentuan yang memperbolehkan PKWT dibuat secara lisan. Lalu tidak adanya pengaturan lebih lanjut terhadap jangka waktu masa perpanjangan terhadap PKWT berdasarkan selesai nya suatu pekerjaan maupun berdasarkan jangka waktu tertentu. Terlebih lagi masih terdapat kekosongan aturan yang

tidak dapat menampung keresahan masyarakat, salah satu nya terkait ketentuan yang mengatur akibat hukum PKWT yang dibuat secara tidak tertulis. Dengan tidak diatur nya ketentuan terkait akibat hukum terhadap beberapa pelanggaran dalam PKWT akan membuat masyarakat tidak segan untuk melakukan hal-hal yang tidak diingkan. Masyarakat akan lebih mudah melakukan pelanggaran karena tidak adanya sanksi sebagai efek jera atau sebagai upaya preventif untuk mencegah pelanggaran tersebut. Kesejahteraan dan perlindungan terhadap hak para pekerja akan semakin sulit ditegak kan, serta akan menciptakan hubungan yang tidak pasti terhadap pekerja dengan pemberi kerja karena regulasi nya saja tidak benar-benar jelas dan terperinci dalam mengatasi maupun mencegah nya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Aloysius, Uwiyono, and Dony Setiawan Putra. 2019. "Asas-asas Hukum Perburuhan." Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit sebagai Perseroan Terbatas dalam Kasus Jual Beli Manusia. (Rajawali Pers) 27.

Asshiddiqie, Jimly, , and Ali Safa’at . 2012. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. . Jakarta: Konstitusi Press Jakarta.

Sugiyono, Dr. 2013. Metode penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif dan R&D. Jakarta: Alfabeta.

Jurnal

Aksin, Nur. 2018. "Upah Dan Tenaga Kerja (Hukum Ketenagakerjaan Dalam Islam)." Jurnal Meta Yuridis 74.

Azis, Abdul, Aan Handriani, and Herlina Basri . 2019. "Perlindungan Hukum Hak Pekerja Pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Dalam Ketenagakerjaan." Jurnal Surya Kencana Satu: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan 10 (1) : 59-74. 59-74.

Giri , Santosa, and Gede Dewa. 2021. "Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pasca Undang-undang Cipta Kerja: Implementasi dan Permasalahannya." Jurnal Ilmu Hukum 184.

Ismail, Najmi, and Mochamad Zainuddin. 2018. "Hukum dan Fenomena Ketenagakerjaan. Focus: Jurnal Pekerjaan Sosial 1 (3)." Focus: Jurnal Pekerjaan Sosial 1 (3) 166-182.

Kusuma, Ahmad Jaya, Edith Ratna, and Irawati . 2020. "KEDUDUKAN HUKUM PEKERJA PKWT YANG TIDAK SESUAI DENGAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN." Notarius 13 (1) 193-208.

Pamungkas, and Donny Sigit . 2018. "Keberlakukan Perjanjian Kerja Bersama Bagi

Pekerja Yang Tidak Menjadi Anggota Serikat Pekerja." Jurnal Ilmu Hukum 243.

Permatasari, RA Aisyah Putri . 2018. "Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Kontrak Yang Di Phk Saat Masa Kontrak Sedang Berlangsung." Mimbar Keadilan Jurnal Ilmu Hukum 110.

Purnama, Nandang. 2021. "Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Dan Pengusaha Dalam Pelaksanaan Perjanjian Kerja Pasal 59 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja." Pakuan Justice Journal Of Law 2 (1) 74-86.

Putra, and Dony Setiawan. 2019. "Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit sebagai

Perseroan Terbatas dalam Kasus Jual Beli Manusia." Jurnal Hukum Magnum 27.

Ramadhani, and Dwi Aryanti . 2019. "Implementasi Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perjanjian Kerja Antara Perusahaan Dan Tenaga Kerja Di Perseroan Terbatas (PT)." Jurnal Yuridis 5 (2) 186-200.

Rosifany, Ony. 2020. "Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Perempuan Menurut Ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan." Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum 36-53.

Shalihah, Fithriatus. 2016. "Implementasi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Dalam Hubungan Kerja Di Indonesia." Jurnal Selat 4 (1) 85.

Suhartoyo. 2019. "Perlindungan Hukum Bagi Buruh Dalam Sistem Hukum Ketenagakerjaan Nasional." Administrative Law and Governance Journal 2 (2) 326336.

Tampongangoy, Falentino . 2013. "Penerapan Sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Di Indonesia." Lex Privatum 146.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta : Pradnya Paramita, 2008.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran RI Nomor 4279. Sekretariat Negara. Jakarta.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Lembaran Negara RI Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran RI Nomor 6573. Sekretariat Negara. Jakarta.

Indonesia. 2021. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2021 Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021                 Nomor                 45.                 Jakarta.

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 4 Tahun 2022 hlm 392-406

406