ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM DESAIN INDUSTRI BERDASARKAN PENILAIAN UNSUR KEBARUAN DALAM STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 583K/Pdt.Sus-HKI/2021
on
ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM DESAIN
INDUSTRI BERDASARKAN PENILAIAN UNSUR KEBARUAN DALAM STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 583K/Pdt.Sus-HKI/2021
Kadek Regita Cahyanti, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
I Made Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan studi ini untuk mengkaji perlindungan hukum desain industri di Indonesia dan mengkaji putusan nomor 583 K/Pdt.Sus-HKI/2021 dalam memberikan perlindungan hukum berdasarkan penilaian unsur kebaruan desain industri. Studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Hasil studi menunjukkan bahwa Perlindungan Hukum atas Desain Industri di Indonesia menerapkan sistem konstitutif dengan sistem pendaftaran menganut First To File System, namun berdasarkan UU Desain Industri, pada sistem pendaftaran Desain Industri pemeriksaan substantif hanya dijalankan apabila terdapat keberatan terhadap permohonan Desain Industri. Kedua berdasarkan analisis Putusan Nomor 583K/Pdt.Sus-HKI 2021 dibatalkannya kemasan Desain Industri milik Tergugat karena tidak terpenuhinya unsur kebaruan yang diatur dalam Pasal 2 UU Desain Industri, sebab kemasan tersebut telah ada pengungkapan oleh Penggugat dan telah diketahui umum sebelum tanggal penerimaan permohonan atau disebut dengan “publicly known design”. Sedangkan perbedaan hasil putusan pada peradilan tingkat pertama dan tingkat kasasi karena kekeliruan atau ketidakpastian hukum mengenai tolak ukur desain industri dikatakan baru dan tidak dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 2 Ayat (2) UU Desain Industri mengenai pengertian dari frasa “tidak sama”, sehingga penafsiran unsur kebaruan sering kali diserahkan kepada hakim untuk memberikan Putusan.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Desain Industri, Unsur Kebaruan.
ABSTRACT
The purpose of this study is to examine the legal protection of industrial designs in Indonesia and examine the decision number 583 K/Pdt.Sus-HKI/2021 in providing legal protection based on an assessment of the novelty of industrial designs. This study uses normative legal research methods with statutory and case approaches. The results of the study show that the Legal Protection of Industrial Designs in Indonesia implements a constitutive system with a registration system adhering to the First To File System, but based on the Industrial Design Law, substantive examination of the Industrial Design registration system is only carried out if there are objections to an application for an Industrial Design. Second, based on the analysis of Decision Number 583K/Pdt.Sus-HKI 2021, the Industrial Design packaging belonging to the Defendant was canceled due to the non-fulfillment of the novelty element stipulated in Article 2 of the Industrial Design Law, because the packaging had been disclosed by the Plaintiff and was publicly known before the date of receipt of the application or called "publicly known design". Meanwhile, differences in the results of decisions at first instance court and cassation level due to confusion or legal uncertainty regarding industrial design benchmarks are said to be new and are not explained further in Article 2 Paragraph (2) of the Industrial Design Law regarding the meaning of the phrase "not the same", so that the interpretation of elements the novelty is often left up to the judge to render a Verdict.
Keywords: Legal Protection, Industrial Design, Novelty Elements.
Secara fundamental Kekayaan Intelektual (KI) adalah kreasi ciptaan manusia yang bersumber dari sebuah ide berupa hasil olah pikir intelektual dan kreativitas manusia sebagai insan yang berbudaya. Contoh kreasi ciptaan manusia dapat dilihat dalam bentuk hasil karya seni, naskah atau sastra, dan teknologi.1 Dalam kerangka Hak Kekayaan Intelektual, yang memperoleh perlindungan hukum (Hak Ekslusif) adalah Haknya. Kekayaan Intelektual dalam prespektif ilmu hukum mendapat perlindungan hukum apabila inspirasi dari gagasan kemampuan intelektual manusia telah diungkapkan dalam bentuk hasil karya seperti, kreasi teknologi, karya cipta seni dan sastra, ilmu pengetahuan, serta karya–karya desain yang merupakan beberapa contoh bentuk nyata dari kemampuan intelektual manusia.2
Insan Budi Maulana mengemukakan penegasan tentang kekayaan intelektual bahwa, kekayaan intelektual (intellectual property) merupakan hukum kebendaan tidak berwujud (intangible assets), yang dibagi menjadi 2 poin besar antara lain:3
-
1. Hak cipta (copyright) yaitu memberikan perlindungan terhadap karya-karya seni, karya sastra, dan ilmu pengetahuan, contohnya seperti: tarian, film, novel, lukisan, program komputer, dan sebagainya.
-
2. Hak kekayaan industrial (industrial property rights) yaitu berhubungan dengan inovasi terkait kegiatan industri yang mencakup paten (patent), desain industri (industrial design), merek (trademark), perlindungan varietas tanaman (plant variety protection), desain tata letak sirkuit terpadu (layout design of integrated circuit), dan rahasia dagang (trade secret).
Kekayaan Intelektual dalam hal ini Desain Industri perlu diberikan perlindungan hukum untuk mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran hak serta mewujudkan kesejahteraan manusia. Untuk mendapatkan “perlindungan hukum desain industri” terdapat persyaratan yang harus terpenuhi, salah satunya adalah “unsur kebaruan” yang diatur pada Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri.
Dalam studi ini yang menjadi bahan analisis adalah Putusan Nomor 583K/Pdt.Sus-HKI/20214 yang melibatkan PT Total Asri Sumber Alam sebagai Penggugat melawan PT Aneka Boga Citra sebagai Tergugat. Dapat diuraikan bahwa Putusan ini memeriksa Perkara Perdata mengenai Kekayaan Intelektual yaitu Desain Industri. Kronologi kasus dimulai ketika Tergugat mendaftarkan Desain Industri dengan nomor daftar IDD000040082 tanggal permohonan 12 Maret 2014, dengan judul “Kemasan” yang dikeluarkan tanggal 19 Juni 2015 atas nama Tergugat sebelumnya sudah diumumkan, dipergunakan dan dipasarkan di Indonesia sejak 2009 jauh sebelum diajukan permohonan pendaftaran oleh Tergugat. Oleh karenanya, kemasan produk tergugat dianggap tidak memenuhi unsur kebaruan karena mempunyai Desain Industri yang sama dengan Penggugat yang sudah lebih dulu menggunakan Desain Industri tersebut.
Penggugat dalam gugatannya memohon kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menyatakan Desain Industri yang didaftarkan Tergugat bukan Desain Industri yang baru, menyatakan bahwa Tergugat tidak beritikad baik saat mengajukan permohonan pendaftaran Desain Industri karena dilandasi niat merugikan masyarakat umum dan terkhusus kepada Penggugat, memohon agar Desain Industri nomor daftar IDD000040082 atas nama Tergugat dibatalkan dengan segala akibat hukumnya, memerintahkan kepada Dirjen KI dalam hal ini adalah Direktur Hak Cipta dan Desain Industri, untuk mencatat dan mengumumkan pembatalan pendaftaran Desain Industri tersebut dengan segala akibat hukumnya, serta memohon kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar Tergugat dihukum untuk membayar biaya perkara.
Terdapat perbedaan penafsiran terkait unsur kebaruan pada desain Industri, dalam penyelesaian perkara yang sudah diputus Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 43/Pdt.Sus-Desain Industri/2020/PN Niaga Jkt.Pst., dengan Putusan MA Nomor 583K/Pdt.Sus-HKI/2021 terkait penilaian “Unsur Kebaruan” yang diatur pada Pasal 2 UU Desain Industri. Dalam perkara tersebut, ditingkat pertama Pengadilan Niaga, Penggugat memohon agar Desain Industri “Kemasan” minuman jahe merah Tergugat dibatalkan oleh PN Niaga Jakarta Pusat karena desain industri tersebut tidak memenuhi kriteria “Unsur Kebaruan”, namun PN Niaga memutuskan menolak gugatan pembatalan hak Desain Industri tersebut. Sedangkan ditingkat kasasi, Mahkamah Agung memutuskan bahwa putusan PN Niaga Jakarta Pusat dibatalkan dengan alasan bahwa Hak Desain Industri “Kemasan” minuman jahe merah Tergugat “tidak memiliki unsur kebaruan” karena sudah beredar luas jauh sebelum didaftarkan tahun 2014 oleh Tergugat.
Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti perlindungan hukum desain industri di Indonesia dan mengkaji Putusan Mahkamah Agung Nomor 583 K/Pdt.Sus-HKI/2021 dalam memberikan perlindungan hukum berdasarkan penilaian unsur kebaruan desain industri. Sebagai bahan perbandingan serta pembuktian orisinalitas pada penelitian ini, terdapat beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini dan telah terdapat perbedaan dari segi objek penelitian dan hasil penelitian. Pertama yaitu penelitian oleh Muhammad Hendra Razak, Riyanto dan Andi Sunandi5 yang mengangkat judul “Penerapan Unsur Kebaruan (Novelty) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri”. Penelitian ini berfokus pada objek Putusan Nomor 02/HKI.Desain Industri/2014/PN Niaga Sby dan Putusan MA Nomor 286 K/Pdt.Sus-HKI/2015. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya telah memenuhi ketentuan Prinsip atau Kaidah HKI Nasional dan Internasional terkait pendapatnya bahwa yang dapat mengajukan gugatan adalah subjek hukum desain industri dalam hal ini yaitu pendesain. Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya berpendapat bahwa penggugat bukan termasuk dalam pihak yang berkepentingan (legal standing) untuk mengajukan gugatan pembatalan pendaftaran hak desain industri.
Kedua yaitu penelitian oleh Destri Ayu Larasati Mahayana dan Ida Ayu Sukihana6 yang mengangkat judul “Analisis Pemaknaan Unsur Kebaruan Dalam Pengaturan Desain Industri Di Indonesia (Studi Kasus EcoBottle vs Biolife)”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa, pertama tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai indikator unsur kebaruan desain industri agar bisa disebut baru, dan tidak di jelaskan lebih jauh lagi mengenai pengertian “tidak sama” dalam Pasal 2 ayat (2) UU Desain Industri, sehingga terdapat pemaknaan ganda. Kedua, berdasarkan analisis Putusan pada kasus antara “Eco Bottle vs Biolife”, dalam prakteknya penegakan hak Desain Industri di Indonesia masih terdapat disparitas putusan pengadilan dan terdapat kekaburan norma dalam frasa “tidak sama” pada Pasal 2 Ayat (2) UU Desain Industri apakah terdapat perbedaan secara signifikan atau terdapat perbedaan yang sedikit. Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan diatas, penulis tertarik untuk menulis artikel jurnal dengan judul “Analisis Perlindungan Hukum Desain Industri Berdasarkan Penilaian Unsur Kebaruan Dalam Studi Kasus Putusan Nomor 583K/Pdt.Sus-HKI/2021”.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis merumuskan 2 (dua) rumusan masalah yang akan diteliti dan dibahas yaitu:
-
1. Bagaimana perlindungan hukum desain industri di Indonesia?
-
2. Bagaimana Putusan Nomor 583 K/Pdt.Sus-HKI/2021 dalam memberikan perlindungan hukum berdasarkan penilaian unsur kebaruan desain industri?
Tujuan penulisan artikel jurnal ini antara lain:
-
1. Untuk memahami dan mengetahui perlindungan hukum desain industri di Indonesia.
-
2. Untuk memahami dan mengetahui putusan Nomor 583 K/Pdt.Sus-HKI/2021 dalam memberikan perlindungan hukum berdasarkan penilaian unsur kebaruan desain industri.
Pada penelitian hukum ini, penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif yaitu dengan cara mengkaji serta menelaah perihal hukum selaku norma, asas, prinsip, teori, doktrin dan kepustakaan lainnya untuk memberi jawaban terkait problem hukum yang diteliti.7 Adapun jenis pendekatan pada penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pertama pendekatan perundang-undangan (statute approach), dilakukan dengan cara menelaah seluruh peraturan perundang-undangan serta regulasi yang berkaitan dengan perlindungan hukum desain industri di Indonesia. Yang kedua metode pendekatan kasus (case approach), pendekatan ini dilakukan dengan cara menelaah perkara atau kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.8
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
-
1) Bahan hukum primer
Bahan hukum primer yaitu terdiri atas peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan dokumen resmi Negara, seperti:
-
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
-
b. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri
-
c. TRIPs Agreement
-
d. Putusan Mahkamah Agung Nomor 583 K/Pdt.Sus-HKI/2021
-
e. Putusan Nomor 43/Pdt.Sus-Desain Industri/2020/PN Niaga Jkt.Pst.
-
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yakni bahan yang memberi penjelasan lebih lanjut mengenai hal-hal yang telah diteliti pada bahan hukum primer, meliputi: buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, pandangan para ahli hukum, artikel tentang hukum, terutama yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
Teknik pengumpulan bahan hukum pada penelitian ini menggunakan studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan merupakan suatu teknik atau prosedur pengumpulan atau penggalian data kepustakaan. Kemudian analisis bahan hukum atau data yang digunakan yaitu metode analisis yang bersifat kualitatif, yaitu dilakukan dengan cara melakukan penafsiran atau interpretasi terhadap bahan-bahan hukum yang sudah diolah untuk dipaparkan secara deskriptif kualitatif.
Perlindungan hukum merupakan upaya untuk melindungi hak subyek hukum, yang diberikan dalam bentuk perangkat hukum baik tertulis maupun tidak tertulis, dan bersifat preventif atau represif. Dengan demikian, artinya perlindungan hukum menjadi suatu gambaran dari fungsi hukum dalam memberikan keteraturan, keadilan, keputusan, dan kepastian hukum.9 Di Indonesia desain industri diberikan perlindungan secara hukum sebagai bagian dari hak kekayaan intelektual, tujuan sistem perlindungan atas desain industri antara lain memberikan perlindungan atas hak-hak pencipta karya desain untuk mencegah tindakan penyalahgunaan hak yang diberikan ataupun pelanggaran yang dilakukan pihak lain. Perlindungan Hukum ini diberikan agar kreatifitas para pencipta karya desain industri meningkat guna menghasilkan karya desain yang baru.10
Perlindungan hukum terhadap pencipta karya desain maupun pemegang hak desain industri dibagi menjadi 2 macam antara lain:11
-
1) Perlindungan Hukum Preventif, perlindungan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa ataupun pelanggaran terhadap Kekayaan Intelektual khususnya atas Hak Desain Industri, serta memberi petunjuk dan batasan dengan menjalankan suatu kewajiban.
-
2) Perlindungan Hukum Represif, bertujuan untuk menyelesaikan pelanggaran atau sengketa atas hak Desain Industri. Penyelesaian sengketa Perdata termasuk gugatan terhadap Desain Industri diselesaikan melalui Pengadilan Niaga.
Pemerintah Negara Republik Indonesia bertanggung jawab memberi Perlindungan terhadap Warga Negara Indonesia, hal ini tertera pada alenia 4 pembukaan UUD 1945 “Pemerintah Negara Republik Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. Pemerintah ialah wakil dari negara dalam menjalankan fungsi perlindungan berkaitan dengan Hak Asasi Manusia yang ketentuannya diatur dalam Pasal 28I Ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945.12 Perlindungan masalah Hak Kekayaan Intelektual tidak saja semata-mata menjadi masalah satu Negara, namun telah menjadi ihwal masyarakat dunia Internasional. Terutama semenjak dilakukan penandatanganan WTO.13 Sehingga dalam menghadapi perkembangan ekonomi global saat ini menjadikan setiap negara agar mampu bersaing dengan memanfatkaan peranan Desain Industri serta keanekaragaman budaya yang menjadi bagian Kekayaan Intelektual.
Perlindungan Hukum atas Desain Industri di Indonesia menerapkan “sistem konstitutif”, artinya untuk mendapat hak atas Desain Industri harus dilakukan pendaftaran oleh pencipta karya desain atau pihak yang diperintahkan pendesain pada Dirjen KI. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perlindungan atas Desain Industri tidak berlangsung secara otomatis setelah Desain Industri tercipta namun harus melalui proses pendaftaran.14 Adapun sistem pendaftaran Desain Industri di Indonesia menganut “First To File System” atau “sistem pendaftaran pertama”, artinya Perlindungan Hukum Desain Industri diberikan pada orang yang mengajukan permohonan hak atas Desain Industri pertama dan bukan pada orang yang menciptakan desain pertama kali,15 terkeculi Desain tersebut terbukti telah melanggar ketentuan dalam UU Desain Industri terkhusus ketentuan pada pasal 2 dan pasal 4 maka perlindungan Hak-nya dapat dibatalkan.
Dalam prakteknya, meskipun Indonesia telah memiliki aturan hukum dalam bidang Desain Industri, tetapi aturan hukum Desain Industri di Indonesia belum sepenuhnya mampu memberi dukungan pada perkembangan Industri kreatif di Indonesia. Salah satunya pada UU Desain Industri tidak diatur perihal pentingnya “pemeriksaan substantif” pada sistem pendaftaran Desain Industri.16
Pemeriksaan substantif dalam hal ini merupakan upaya pengamatan pada setiap permohonan hak Desain Industri yang dimohonkan untuk mengetahui apakah telah memenuhi syarat kebaruan. Dirjen KI akan mempertimbangkan penampikan, bantahan, dan/atau sanggahan yang diutarakan oleh pihak yang berkepentingan untuk
menentukan dan memberikan putusan apakah permohonan Desain Industri tersebut diterima atau ditolak. Namun, berdasarkan Pasal 26 Ayat (5) UU Desain Industri, Pemeriksaan Substatif hanya dijalankan apabila terdapat keberatan terhadap permohonan Desain Industri. Pasal 26 Ayat (2) menjelaskan “Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sudah diterima oleh Direktorat Jenderal paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dimulainya pengumuman”. Artinya, apabila dalam batas waktu pengumuman selama 3 bulan tersebut tidak ada pihak lain yang mengajukan keberatan ataupun sanggahan, maka akan diterbitkan Sertifikat Desain Industri dan diserahkan oleh Dirjen KI paling lama 30 hari terhitung mulai tanggal penerimaan.17
Dengan tidak dijalankannya pemeriksaan substantif pada setiap Permohonan Desain Industri apabila tidak ada penampikan, bantahan, dan/atau sanggahan oleh pihak lain. Dengan demikian, Dirjen KI akan menerima setiap permohonan Desain Industri tanpa memeriksa pengajuan permohonan Desain Industri tersebut apakah telah memenuhi kualifikasi unsur kebaruan yang ketentuannya diatur pada Pasal 2 UU Desain Industri. Akibatnya Dirjen KI tidak dapat menjalankan pemeriksaan secara objektif mengenai kualifikasi kebaruan pada setiap Permohonan Desain Industri.18 Kelemahan ini berisiko mengakibatan ditiru dan didaftarkannya karya desain oleh produsen lain dengan itikad tidak baik.
Dasar Hukum Perlindungan Desain Industri diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. Undang-Undang tersebut disahkan oleh Presiden RI pada tanggal 20-12-2000 dan merupakan Undang-Undang pertama yang mengatur secara khusus mengenai Perlindungan Desain Industri Di Indonesia.19 UU Desain Industri ini terdiri dari 13 Bab dan 57 Pasal yang pada pokoknya mengatur mengenai pengertian, subjek desain industri, persyaratan perlindungan, permohonan pendaftaran, hak, lingkup, pembatalan, serta penyelesaian sengketa.20 Dasar hukum Perlindungan Desain Industri selain diatur dalam Undang-Undang Desain Industri, perlindungan hukumnya diatur pula secara Internasional dalam berbagai Konvensi seperti: “TRIPs Agreement, The Hague Agreement dan Paris Convention for the Protection of Industrial Property.”21
Desain Industri sebagai produk intelektualitas manusia yang merupakan bagian dari HKI, sistem perlindungannya bersumber pada persepsi bahwa terciptanya Desain Industri tidak terlepas dari kreativitas yang dimiliki manusia22 Pengertian Desain Industri berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU DI dijelaskan bahwa: “Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, atau komoditas
industri, atau kerajinan tangan.” Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa: Desain Industri memberikan perlindungan pada suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi atau komposisi garis atau warna yang diberikan setelah proses permohonan pendaftaran Desain Industri selesai dan diterima.
Ketentuan dalam Pasal 1 tersebut berkaitan dengan Pasal 2 yang pada intinya menyatakan bahwa “hak Desain Industri diberikan untuk Desain Industri yang baru dan pada tanggal penerimaan atau tanggal prioritas Desain Industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya maupun tidak diumumkan atau digunakan di Indonesia atau di luar Indonesia.” Artinya kriteria Desain Industri untuk bisa dikatakan telah memenuhi unsur kebaruan yaitu tidak hanya ditetukan berdasarkan tanggal penerimaan pendaftaran pertama, namun juga ditentukan bahwa tidak adanya pihak lain yang membantah dan membuktikan pendaftaran Desain Industri tersebut. Dalam hal ini kepemilikan sertifikat Desain Industri menjadi hal yang sangat penting untuk dimiliki sebagai alat bukti kepemilikan yang sah dan alat bukti yang kuat di pengadilan, namun tetap perlu diperhatikan bahwa syarat desain harus memenuhi “unsur kebaruan”.
Ketentuan dalam pasal tersebut telah sesuai dengan yang dimaksudkan dalam Pasal 25 (1) TRIPs Agreement, yang menyatakan bahwa:
“Members shall provide for the protection of independently created industrial designs that are new or original. Members may provide that designs are not new or original if they do not significantly differ from known designs or combinations of known design features. Members may provide that such protection shall not extend to designs dictated essentially by technical or functional considerations.”
Berdasarkan pasal tersebut artinya, setiap Negara Anggota diberikan keleluasaan untuk memutuskan sendiri apakah ingin menggunakan kriteria “baru” atau “orisinal”. Kriteria yang dipilih Indonesia yaitu kriteria “baru” yang menjadi dasar untuk pengakuan sebuah desain. Dasar pertimbangan dipilihnya kriteria “baru” karena dalam pelaksanaan kriteria “orisinalitas” diperlukan pemeriksan yang lebih sukar, sedangkan pada waktu terbentuknya Undang-Undang Desain Industri ini, kemampuan untuk pemeriksaan persyaratan “orisinalitas” masih sangat terbatas.23
Desain Industri yang tidak medapat perlindungan, ketentuannya diatur Pada Pasal 4 Undang-Undang Desain Industri bahwa “Hak Desain Industri tidak dapat diberikan apabila Desain Industri tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, agama, atau kesusilaan”.
Perlindungan terhadap hak Desain Industri diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal penerimaan, aturan ini tertera dalam Pasal 5 Ayat (1) UU Desain Industri. Dalam UU Desain Industri tidak diatur mengenai “perpanjangan perlindungan”, hal ini karena UU Desain Industri dibuat berdasarkan TRIPs Agreement yang telah disepakati negara-negara anggota WTO. Setelah berakhirnya masa perlindungan Desain Industri akan menjadi Public Domain, yang artinya siapa saja dapat menggunakan dan memproduksi Desain Industri tersebut tanpa harus meminta izin terlebih dulu ataupun membayar royaIty pada pencipta karya desain industri. Oleh karenanya, kalangan desainer sangat diwajibkan untuk selalu mengupdate desain dan mendaftarkan perlindungannya tanpa harus menunggu masa perlindungan desain industri yang lama berakhir. Kemunculan desain-desain baru untuk kendaraan
bermotor dan smartphone dalam perkembangan teknologi dan selera pasar merupakan salah satu contoh upaya perlindungan. Permohonan Hak Desain Industri diberikan oleh DJKI sesuai dengan prosedur yang diatur pada Pasal 10 sampai dengan Pasal 31 UU Desain Industri.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 26 (1) TRIPss Agreementt dijelaskan bahwa: “The owner of a protected industrial design shall have the right to prevent third parties not having the owner’s consent from making, selling or importing articles bearing or embodying a design which is a copy, or substantially a copy, of the protected design, when such acts are undertaken for commercial purposes.”
Ketentuan tersebut sesuai dengan UU Desain Industri, khususnya pada Pasal 9 yang memberi hak eksklusif kepada pemegang hak Desain Industri untuk mencegah pihak ke-3 yang tidak mendapat persetujuan pemiliknya untuk membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, dan/atau mengedarkan barang yang diberi hak Desain Industri.24
Undang-Undang Desain Industri juga memberikan hak untuk menuntut secara Perdata dengan tuntutan berupa ganti kerugian dan/atau pemutusan hubungan kerja “Pemegang Hak Desain Industri atau penerima Lisensi dapat menggugat siapapun yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9”, adapun gugatan ini dapat diajuka ke PN Niaga sesuai dgn ketentuan yang diatur pada Pasal 46 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Desain Industri.25
-
3.2 Perlindungan Hukum Desain Industri Di Indonesia Berdasarkan Penilaian
Unsur Kebaruan Dalam Studi Kasus Putusan Nomor 583 K/Pdt.Sus-HKI/2021
Berdasarkan uraian kasus dalam Putusan MA No. 583K/Pdt.Sus-HKI/2021, dapat dianalisis sebagai berikut:
Sengketa desain industri yang akan penulis analisis dalam hal ini adalah perkara antara PT Total Asri Sumber Alam sebagai Penggugat, melawan PT Aneka Boga Citra adalah Tergugat. Terdapat perkara pembatalan hak desain industri berupa desain industri “Kemasan” untuk pembungkus makanan atau minuman jahe merah dalam Putusan Nomor 583 K/Pdt.Sus-HKI/2021.
PT Total Asri Sumber Alam (Penggugat) sebelumnya telah mengajukan gugatan untuk “pembatalan desain industri milik Tergugat” dengan surat gugatan tanggal 2 September 2020, telah didaftarkan di Kepaniteraan PN Niaga Jakarta Pusat, dibawah register perkara No.43/Pdt.Sus-Desain Industri/2020PN Niaga Jkt.Pst,26 karena Penggugat tidak menyangka ternyata ada pihak lain yaitu Tergugat telah mendaftarkan Desain Industri “Kemasan” untuk kemasan (pembungkus) makanan atau minuman produk jahe merah sebagai Desain Industri dengan nomor permohonan A00201400658 tanggal permohonan 12 Maret 2014 yang terdaftar dengan nomor: IDD000040082 dengan perlindungan komposisi garis dan komposisi warna. Penggugat sangat keberatan dengan tindakan Tergugat karena sebelumnya kemasan jahe merah tersebut telah ada, digunakan dan dipasarkan di Indonesia oleh Penggugat sejak 2009 jauh
sebelum diajukan permohonan pendaftaran oleh Tergugat. Oleh karenanya Penggugat sesuai dengan ketentuan hukum berhak mengajukan pembatalan Desain Industri sebagaimana diatur pada pasal 38 UU Desain Industri.

Gambar 1

Gambar 2
Kemasan Produk Milik Tergugat
Kemasan Produk Milik Penggugat
Apabila dibandingkan kedua kemasan produk milik Penggugat dan kemasan produk milik Tergugat, apabila dilihat dari segi “bentuk, konfigurasi atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi” terlihat jelas bahwa kemasan produk milik Tergugat tidak baru oleh karena semua unsur kemasan produk milik Tergugat terdapat dalam kemasan produk milik Penggugat apabila dilihat dari segi komposisi warna yang merupakan gabungan dari warna kuning, orange dan merah. Konfigurasi letak atau posisi gambar cangkir dan gingseng yang sama yaitu berada pada sisi sebelah kanan bawah kemasan produk milik Penggugat. Demikian juga pada bayangan gingseng yang letaknya berada pada posisis sebelah atas kemasan terdapat juga pada kemasan produk Penggugat dengan posisi yang sama. Dalam hal ini desain kemasan milik Tergugat tidak baru, karena Desain Industri tersebut sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya yakni sebagaimana terdapat pada kemasan produk milik Penggugat yang telah diumumkan atau diungkapkan sejak tahun 2009, sehingga desain industri milik Tergugat dianggap harus dibatalkan.
Pada penyelesaian perkara Putusan MA No. 583K/Pdt.Sus-HKI/2021 terdapat perbedaan pendapat atau penafsiran dengan putusan sebelumnya yang sudah di putus oleh PN Niaga Jakarta Pusat No. 43/Pdt.Sus-Desain Industri/2020/PN Niaga Jkt.Pst tentang penilaian “unsur kebaruan” sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri.
Berdasarkan analisis pada Putusan Nomor 583 K/Pdt.Sus-HKI/2021 tersebut, apabila dilihat berdasarkan UU Desain Industri, dibatalkannya Putusan PN Niaga Jakarta Pusat No. 43/Pdt.Sus-Desain Industri/2020/PN Niaga Jkt.Pst karena tidak terpenuhinya unsur kebaruan yang ketentuannya diatur pada Pasal 2 UU Desain Industri, hal tersebut karena ternyata pada tanggal penerimaan desain industri kemasan pembungkus minuman jahe merah yang disengketakan tersebut tersebut sama dengan pengukapan yang telah ada sebelumnya. Pengertian pengungkapan sebelumnya diatur dalam ketentuan pasal 2 ayat (3) UU Desain Industri, pengungkapan sebelumnya
artinya, sebelum tanggal penerimaan atau tanggal prioritas apabila permohonan diajukan dengam hak prioritas, telah dilakukan pengungkapan desain industri oleh pihak lain, ataupun telah diumumkan, digunakan di Indonesia atau di luar Indonesia.
Hal tersebut menjadi alasan bagi MA untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT Total Asri Sumber Alam tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 26 Januari 2021 yang selanjutnya Mahkamah Agung yang mengadili sendiri dengan amar permohonan kasasi Pemohon/Penggugat dikabulkan, maka Terugatan harus dihukum untuk membayar perkara di tingkat peradilan.27
Adapun perbedaan hasil putusan pada peradilan “tingkat pertama” dan peradilan “tingkat kasasi”, karena kekeliruan atau ketidakpastian hukum mengenai tolak ukur suatu desain industri dikatakan sebagai Desain Industri yang “baru” dan tidak dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 2 Ayat (2) UU Desain Industri mengenai pengertian dari frasa tidak sama, sehingga penafsiran “unsur kebaruan” sering kali diserahkan kepada hakim untuk memberikan Putusan. Hal ini karena dalam prakteknya persoalan penafsiran atas kriteria unsur kebaruan masih terdapat perbedaan pendapat antara satu dengan lainnya baik penafsiran oleh Direktorat Jendral Kekayaan Inteletual, Para Saksi Ahli, maupun oleh Para Aparat Penegak Hukum. Ketidakjelasan ini menimbulkan “ketidakpastian hukum” dan “permasalahan dalam proses penegakan hukum di lapangan”. Oleh karena itu dalam proses peradilan, peran hakim menjadi salah satu faktor yg sangat menentukan dalam hal pengambilan keputusan.28
Berdasaran permasalahan tersebut, untuk menghindari terjadinya sengketa dalam mendaftarkan Desain Industri perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
-
1) Pencipta karya desain industri harus membuat karya desain yang baru
-
2) Tidak mengungkap atau mempublikasikan desain industri lebih awal sebelum didaftarkan pada DJKI
-
3) Memastikan Desain Industri yg akan didaftarkan benar-benar desain baru, dengan melakukan pemeriksaan substantif
Untuk menentukan apakah dalam suatu produk terdapat pelanggaran desain industri, dalam prakteknya di Indonesia biasanya perbandingan ini dapat dilihat berdasarkan 2 kriteria yang terpisah, antara lain yaitu berdasarkan pengamatan “orang awam” dan berdasar “kriteria unsur kebaruan itu sendiri”. Dalam hal ini biasanya pada penglihatan orang awam, sebagai seorang konsumen ada kalanya kita dibuat bingung apabila terdapat 2 produk yang mirip atau dengan kata lain mempunyai kesamaan. Misal dalam hal ini produk pertama yang sudah lebih dulu didaftarkan atau diketahui umum, sedangkan produk ke-2 belum, dikarenakan harga produk ke-2 lebih murah dan faktor kesamaan, konsumen cenderung mememutuskan membeli produk ke-2. Berdasarkan hal tersebut, artinya dalam menganalisis suatau pelanggaran diperlukan “pengamat ahli” untuk memutuskan bagaimana penilaian unsur kebaruan yang benar.29
Berdasarkan Putusan No. 583 K/Pdt.Sus-HKI/2021, dapat disimpulkan bahwa desain industri dikatakan tidak baru dan dapat ditolak pengajuan pendaftarannya karena, desain telah dikenal publik sebelum tanggal penerimaan permohonan atau disebut dengan “publicly known design”. Jadi, dapat dikatakan bahwa tujuan dari sistem
perlindungan Desain Industri adalah memberi perlindungan atas hak-hak pencipta karya desain industri agar tidak ada pihak lain yang menyalahgunakan hak-nya. Perlindungan Hukum ini diberikan agar kreatifitas para pencipta karya desain meningkat agar selalu menghasilkan karya desain yang baru. Selain hal-hal yang telah disebutkan, hal lainnya yang menyebabkan pengajuan Desain ditolak yaitu telah diajukan first - to - file atau telah didaftarkan lebih dulu oleh pihak lain, maupun Desain yang berasal dari domain public atau desain lama yang masa perlindungannya telah habis.
Dalam UU Desain Industri, “Hak Eksklusif” dialokasikan sebagai bentuk perlindungan pada pencipta karya desain atas ciptaannya untuk kurun waktu tertentu dengan caranya sendiri atau memberi persetujuan pada pihak lain sebagai pemegang Hak atas Desain Industri untuk melaksanakan hak tersebut. “Hak Eksklusif” yg dimiliki oleh pencipta karya desain ini sering disebut dengan hak desain industri.30 Tingginya tingkat pelanggaran atas Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia menunjukkan bahwa masih rendahnya Kesadaran Masyarakat Indonesia untuk menghargai Karya Cipta orang lain, sehingga diperlukan perlindungan yang lebih memadai bagi Kekayaan Intelektual.31
Perlindungan Hukum atas Desain Industri di Indonesia menerapkan “sistem konstitutif”, artinya untuk mendapat hak atas Desain Industri harus dilakukan pendaftaran oleh pencipta karya desain atau pihak yang diperintahkan pendesain pada Dirjen KI. Adapun sistem pendaftaran Desain Industri di Indonesia menganut “First To File System” atau “sistem pendaftaran pertama”. Dalam prakteknya, meskipun Indonesia telah memiliki aturan hukum dalam bidang Desain Industri, tetapi aturan hukum Desain Industri di Indonesia belum sepenuhnya mampu memberi dukungan pada perkembangan Industri kreatif di Indonesia. Salah satunya pada UU Desain Industri tidak diatur perihal pentingnya “pemeriksaan substantif” pada sistem pendaftaran Desain Industri. Pemeriksaan Substatif hanya dijalankan apabila terdapat keberatan terhadap permohonan Desain Industri. Berdasarkan analisis pada Putusan Nomor 583 K/Pdt.Sus-HKI/2021, apabila dilihat berdasarkan UU Desain Industri, dibatalkannya Putusan PN Niaga Jakarta Pusat No. 43/Pdt.Sus-Desain Industri/2020/PN Niaga Jkt.Pst karena tidak terpenuhinya unsur kebaruan yang ketentuannya diatur pada Pasal 2 UU Desain Industri, hal tersebut karena ternyata pada tanggal penerimaan desain industri kemasan pembungkus minuman jahe merah yang disengketakan tersebut tersebut sama dengan pengukapan yang telah ada sebelumnya. Adapun perbedaan hasil putusan pada peradilan “tingkat pertama” dan peradilan “tingkat kasasi”, karena kekeliruan atau ketidakpastian hukum mengenai tolak ukur suatu desain industri dikatakan sebagai Desain Industri yang “baru” dan tidak dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 2 Ayat (2) UU Desain Industri mengenai pengertian dari frasa tidak sama, sehingga penafsiran “unsur kebaruan” sering kali diserahkan kepada hakim untuk memberikan Putusan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Dharmawan, Ni Ketut Supasti, et.all. Buku Ajar Hak Kekayaan Intelektual (Yogyakarta, Deepublish, 2016).
Dharmawan, Ni Ketut Supasti, et.all. Harmonisasi Hukum Kekayaan Intelektual Indonesia (Denpasar, Swasta Nulus, 2018).
Muhaimin, Muhaimin. Metode Penelitian Hukum. (Mataram, Mataram University Press, 2020).
Jurnal:
Badung, Dewa Ayu Dwi Indah Cahyanti. “Transformasi Trips Agreement Terhadap Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri.” Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan 4, no. 1 (2019): 67-78.
Citrawinda, Cita. “Naskah Akademik Peraturan Perundang-Undangan Rancangan Undang-Undang Tentang Desain Industri.” Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum Dan HAM RI. (2018).
Fadjri, Ivan, Budi Santoso, and Rinitami Njatrijani. “Penerapan Asas Kebaruan (Novelty) Dalam Perlindungan Hukum Pemegang Hak Desain Industri Dari Tindakan Similiaritas Di Indonesia.” Diponegoro Law Journal 5, no. 3 (2016): 1-13.
Fataruba, Sabri. “TRIPs dalam Kaitannya dengan Perlindungan Hukum Terhadap Rahasia Dagang, Desain Industri dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Di Indonesia.” Sasi 26, no. 1 (2020): 1-8.
Kusumaningrum, Dinar Aulia, and Kholis Roisah. “Implementasi Penilaian Kebaruan dan Prinsip Itikad Baik dalam Perlindungan Desain Industri.” Jurnal Law Reform 12, no. 2 (2016): 277-287.
Mahayana, Destri Ayu Larasati, and Ida Ayu Sukihana. “Analisis Pemaknaan Unsur Kebaruan Dalam Pengaturan Desain Industri di Indonesia (Studi Kasus EcoBottle vs Biolife).” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 9, no. 5 (2021): 827-837.
Mokoginta, Zico Armanto. "Perlindungan Hukum Atas Desain Industri Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri." Lex Privatum 5, No. 5 (2017).
Nola, Luthvi Febryka. “Upaya Pelindungan Hukum Secara Terpadu Bagi Tenaga Kerja Indonesia (Tki)(Integrated Legal Protection For Migrant Workers).” Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan 7, no. 1 (2017): 3552.
Nugroho, Muyassar. “Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Desain Industri Eco Bottle Terhadap Tindakan Pemalsuan (Studi Perbandingan Dengan Amerika Serikat).” JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan) 6, no. 1 (2022).
Razak, Muhammad Hendra, Riyanto Riyanto, and Andi Sunandi. “Penerapan Unsur Kebaruan (Novelty) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri.” Jurnal Hukum Pelita 2, no. 2 (2021): 30-44.
Sinaga, Niru Anita. “Perlindungan Desain Industri Sebagai Bagian Dari Hak Kekayaan Intelektual Di Indonesia.” Jurnal Teknologi Industri 4 (2021).
Siregar, Mhd Rasyid. “Pembatalan Desain Industri Menurut Peraturan Perundang-Undangan Yang Berlaku Di Indonesia Tentang Hak Desain Industri (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 129PK/Pdt. Sus/2011).” Premise Law Jurnal 8 (2018).
Susiana, Dewi. “Pembatalan Desain Industri Karena Alasan Mempunyai Persamaan Pada Pokoknya.” Premise Law Journal 1, no. 2 (2013).
Yuliasih, Yuliasih. “Perlindungan Hukum Desain Industri Dalam Pelaksanaan Prinsip Keadilan Menurut Teori Keadilan John Rawls (Studi Kasus Putusan Nomor 35 PK/PDT. SUS-HKI/2014).” Notarius 8, no. 2 (2015): 152-179.
Skripsi, Tesis:
Arleta, Windy Maya. “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Desain Industri Dalam Rangka Optimalisasi Fungsi Praktek Persaingan Usaha.” Tesis Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2015.
Hastoro, Ferry Nur. “Konsekuensi Hukum Hak Eksklusif Atas Desain Industri Terdaftar Yang Tidak Memiliki Unsur Kebaruan (Novelty).” Tesis Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2013.
Setyaningtyas, Mia Yunisa. “Analisis Perbandingan Tahap Pemeriksaan Substantif Dalam Proses Pendaftaran Desain Industri (Studi Perbandingan Hukum Ketentuan Undang-Undang Desain Industri Negara Indonesia Dan Jepang).” Skripsi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2018.
Instrumen Hukum Internasional:
TRIPs Agreement (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights).
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 243, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045).
Putusan Pengadilan:
Putusan Mahkamah Agung Nomor 583 K/Pdt.Sus-HKI/2021.
Putusan Nomor 43/Pdt.Sus-Desain Industri/2020PN Niaga Jkt.Pst.
Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 11 Tahun 2022 hlm 1145-1158
1158
Discussion and feedback