KEDUDUKAN WANITA BALI YANG NINGGAL KEDATON TERHADAP HAK WARIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM ADAT BALI
on
KEDUDUKAN WANITA BALI YANG NINGGAL
KEDATON TERHADAP HAK WARIS DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ADAT BALI
I Kadek Arya Wiguna Obara, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
A.A. Gede Oka Parwata, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan penulisan artikel ilmiah ini adalah untuk mengkaji bagaimana kedudukan wanita Bali yang ninggal kedaton dan akibat hukumnya terhadap hak waris dalam perspektif Hukum Adat Bali. Penulisan artikel ilmiah ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, dengan dua pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach). Hasil dari penulisan artikel ini menunjukan bahwa sistem kekerabatan patrilineal menimbulkan akibat hukum bagi sistem pewarisan. Wanita yang ninggal kedaton dianggap telah melepaskan segala tanggung jawab dengan rumah asal dan orang tuanya ketika perkawinan. Sehingga hal itu menyebabkan wanita yang ninggal kedaton tidak berhak atas hak waris. Dengan dikeluarkannya Keputusan Pesamuhan III MUDP Bali (Nomor 01/KEP/ PSM-3/MDP-BALI/X/2010) wanita mempunyai kedudukan dalam hal pewarisan ketika ninggal kedaton yakni keluar meninggalkan rumah asalnya ketika kawin. Akibat hukum ketika wanita ninggal kedaton adalah tidak mendapat hak warisan dari keluarga asalnya, hal itu bersamaan lepas dengan tanggung jawab yang dimiliki oleh wanita tersebut ketika kawin. Namun dengan dikeluarkannya Keputusan Pesamuhan III MUDP Bali tersebut, wanita Bali berhak atas hak waris ditentukan dari jenis ninggal kedaton yang dilakukannya.
Kata Kunci: Wanita Bali, Ninggal Kedaton, Hak Waris
ABSTRACT
The purpose of writing this scientific article is to examine how the position of Balinese women who died in kedaton and its legal consequences on inheritance rights in the perspective of Balinese customary law. The writing of this scientific article uses normative legal research methods, with two approaches, namely the statutory approach and the conceptual approach. The results of writing this article show that the patrilineal kinship system has legal consequences for the inheritance system. The woman who leaves the kedaton is considered to have released all responsibilities with her home and parents at the time of marriage. So that it causes women who live in kedaton are not entitled to inheritance rights. With the issuance of the Decision of the Pemsamuhan III MUDP Bali (Number 01/KEP/PSM-3/MDPBALI/X/2010) women have a position in terms of inheritance when leaving the kedaton, namely leaving their home when they are got married. The legal consequence when a woman leaves kedaton is that she does not receive inheritance rights from her family of origin, it is simultaneously separated from the responsibilities that the woman has when she married. However, with the issuance of the Decision of the Pemamuhan III MUDP Bali, Balinese women are entitled to inheritance rights, which are determined from the type of stay in the kedaton that they do.
Key Words: Balinese Woman, Leaving Kedaton, Inheritance Rights
Konstitusi negara kita yaitu UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan lainnya mengatur secara tegas tentang kesamaan hak maupun kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menegaskan “Segala warga ngara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dengan tidak ada kecualinya”. Kemudian disambung pda ayat (2) yang menegaskan “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Jikalau mengacu pada peraturan perundang-undangan, kita dapat lihat pada pasal 3 ayat (2) UU/39/1999 tentang HAM yang menegaskan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”. Negara kita juga meratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, dimana kemudian hasil ratifikasi tersebut dituangkan melalui UU/7/1984. Ratifikasi tersebut tentunya sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan derajat perempuan, yang dimana agar kedepannya sikap diskriminasi yang sebagian besar masih diterima oleh kaum perempuan di segala lini kehidupan dapat dihilangkan.
Ada banyak ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk konstitusi negara kita yang sudah mengatur secara eksplisit perihal kesamaan hak maupun kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Namun jika dilihat pada kenyataannya, implementasi kesamaan tersebut belum sepenuhnya terjadi, bahkan kurang diperhatikan oleh masyarakat. Khususnya di Bali, hal tersebut dapat kita lihat pada pengakuan awig-awig dalam hukum adatnya. Pengakuan awig-awig tersebut unik, yang dapat kita lihat pada pelaksanaan prinsip kesamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempunan. Jika melihat Hukum Adat Bali secara garis besar khususnya perihal waris, sistemnya beracuan pada sistem kapurusa. Maksudnya adalah orang yang ditunjuk sebagai ahli waris suatu keluarga ditarik dari garis pokok keturunan laki-laki dalam keluarga yang bersangkutan. Disamping itu hal tersebut juga berkaitan dengan kepercayaan yang dianut orang Bali serta sebagian besar umatnya beragama Hindu.1 Memang dalam kehidupan beragama Hindu dan dalam kehidupan masyarakat Bali, laki-laki cenderung berperan lebih menonjol daripada perempuan.
Jika kita lihat dari sudut pandang kesamaan gender, tentunya bertentangan dan ada ketimpangan antara laki-laki dengan perempuan dalam hal waris di Bali. Kedudukan perempuan disini suboordinatif terhadap laki-laki, yang menyebabkan kedudukan dari laki-laki itu sendiri sangat kukuh, sehingga menimbulkan ketidakadilan gender bagi perempuan di Bali khususnya. Padahal jika kita lihat banyak instrument peraturan skala nasional yang menjelaskan secara gambling kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Ada dua sisi yang berbeda antara perumusan instrument hukum nasional dan instrument yang dirumuskan dalam hukum adat di Bali khususnya. Kenyataan nya masih bisa kita lihat, masih banyak perempuan yang menerima diskriminasi dalam hal pewarisan dalam hukum adat. Disatu sisi pula dari kaum perempuan masih banyak yang hanya menerima saja, ditambah lagi jika dalam proses peradilan untuk perkara pewarisan di Bali, para hakim yang memutus perkara menggunakan pedoman Hukum Adat Bali dalam penjatuhan putusannya.
Walaupun prempuan ditegaskan dalam masyarakat adat Bali bukan sebagai ahli waris dalam sistem kekeluargaan kapurusa, perempuan yang ada di Bali jika kita lihat masih bisa menikmati warisan yang dimiliki oleh orang tuanya sebelum ia menikah. Jika ia sudah akan menikah, maka akan diberikan semacam bekal yang biasa disebut “jiwa dana atau tetadtadan” dalam konteks perempuan ini sebagai “dehe”, “dehe tua”, “sentana rajeg” maupun ia yang berstatus janda yang masih mempunyai hak untuk menikmati warisan dari orang tuanya. Keadaan tersebut dinamakan waris bersyarat. Gde Panetja di dalam tulisannya menjelaskan “Wanita mempunyai hak waris terbatas, yang berarti wanita pada hakikatnya hanya mempunyai hak untuk selama ia tinggal di rumah asal atau selama ia belum kawin, sehingga hak itu tidak boleh dianggap sebagai kepemilikan, kecuali terhadap hasilhasilnya saja dan tidak boleh menjual ataupun menggadaikannya”2
Menyambung penjelasan sebelumnya meskipun laki-laki lebih dominan untuk menerima waris dari kedua orang tuanya, wanita disatu sisi juga berhak menerima waris dari kedua orang tuanya atau dari harta peninggalan suaminya. Dari sudut pandang Hukum Adat Bali pula, yang hanya mempunyai hak untuk mewarisi adalah keturunan, pihak keluarga atau anak angkat dari pria. Keluarnya “Keputusan Mejlis Utama Desa Pakraman Bali (MUDP) No. 1/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010 tentang Hasil-Hasil Pasamuhan Agung III MUDP Bali” yang selanjutnya disebut dengan “Keputusan Pasamuhan Agung III/2010” memberikan kemajuan dalam hal pewarisan bagi perempuan di masyarakat Bali. Keputusan tersebut singkatnya menjelaskan tentang bagaimana kedudukan suami, istri dan anak terhadap harta waris serta penjelasan mengenai perempuan yang mempunyai hak untuk menerima waris. Lahirnya keputusan tersebut menjadi salah satu pedoman dalam pembagian hak waris bagi perempuan yang ada di Bali.
Keputusan tersebut memang memberikan hak waris terhadap wanita, akan tetapi hak waris tersebut akan gugur terhadap anak wanita yang ninggal kedaton, ninggal kawitan atau ninggal swadharma berarti meninggalkan tanggung jawab sebagai waris (keturunan) tetapi bukan ahli waris (tidak berhak atas warisan). Permasalahannya adalah ketika keturunan laki-laki maupun perempuan tersebut tidak lagi beragama Hindu, pindah agama atau ahli waris beragama lain. Ninggal Kedaton maksudnya adalah hubungan hukum antara anak dan orang tua pasca anak perempuan melangsungkan perkawinan. “Bersamaan dengan kepergiannya meninggalkan rumah keluarga asalnya, juga meninggalkan tanggung jawabnya terhadap keluarga asalnya sehingga tidak berhak atas harta warisan keluarga”.
Penulis kemudian tertarik untuk membuat sebuah artikel yang diberi judul “Kedudukan Hak Waris Bagi Wanita Bali Yang Ninggal Kedaton dalam Perspektif Hukum Adat Bali”. Ada penelitian sejenis yang penulis jadikan acuan, yang berjudul “Hak Waris Bagi Individu Yang Berpindah-Pindah Agama (Studi Kasus Putusan Nomor: 483/Pdt.G/2020/Pn.Dps)” Yang ditullis oleh I Putu Budi Astika, Pada intinya tulisan tersebut menjabarkan bahwa pengaturan hak waris individu tersebut gugur dikarenakan dalam putusan tersebut jelas dijabarkan bahwa keturunan yang sudah pindah agama tidak berhak untuk mendapatkan haknya untuk mewaris. Lalu yang menjadi kesamaan dalam penelitian ini adalah membahas tentang mewaris, Pembeda dari penelitian ini adalah fokus terhadap wanita yang ninggal kedaton. Hal inilah yang menarik perhatian dan melatar belakangi penulisan ini dibuat karena ada perbedaan dari segi substansi isi maupun metodenya.
Berdasarkan pemaparan tersebut, penulis jabarkan 2 (dua) rumusan masalah yang akan dibahas, yakni sebagai berikut:
-
1. Bagaimana kedudukan wanita Bali terhadap hak waris dalam perspektif Hukum Adat Bali?
-
2. Bagaimana akibat hukum yang ditimbulkan terhadap hak waris bagi wanita Bali yang ninggal kedaton?
Tujuan penulisan artikel ini yaitu untuk mengetahui pengaturan kedudukan wanita bali terhadap hak waris dalam perspektif Hukum Adat Bali. Selain itu, tujuan penulisan artikel ini juga memiliki tujuan untuk mengetahui akibat hukum terhadap hak waris bagi wanita Bali yang ninggal kedaton.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif dengan cara deskriptif. Menggunkan pendekatan peraturan perundang-undangan (statue approach) dengan menggunakan pasal-pasal terkait yang berhubungan dengan topik terkait. Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan adalah Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat, “Keputusan Psamuhan Agung MUDP (Majelis Utama Desa Pakraman) No. 01/Kep/Psm-3/MDP Bali/X/2010 tentang Hasil-Hasil Pasamuhan Agung”. Sedangkan bahan hukum sekunder yang digunakan adalah jurnal ilmiah, buku hukum, tesis, putusan pengadilan (yurisprudensi) seperti Putusan Pengadilan Negeri Negara No. 26/Pdt/1987/PN. Ngr.
Ada banyak permasalahan yang bisa kita temi dalam ruang lingkup Hukum Adat. Salah satunya yang akan penulis bahas adalah berkaitan dengan waris. Bila ditarik pengertiannya secara garis besar, Hukum Waris Adat merupakan salah satu norma yang menetapkan suatu harta kekayaan seseorang yang bisa diserahkan kepada keturunannya. Tidak hanya itu, dalam norma tersebut juga mengatur bagaimana tata cara dan proses peralihannya.3 Tentunya dapat kita lihat aspek hukum yang sangat berkaitan dengan Hukum Adat, setelah membaca pengertian tersebut. Mengutip pendapat ahli yaitu Hilman Hadikusuma melalui buku dari Wayan P. Windia, disebutkan mengenai pewarisan, yang brarti bagi mereka yang mepunyai harta selagi masih hidup ataupun sudah wafat, akan diteruskan kepemilikannya kepada keturunannya beserta kewajiban seluruhnya. Tentu jika pemilik harta yang bersangkutan sudah meninggal dunia, maka secara otomatis warisan tersebut akan terbuka untuk dibagi kepada seluruh ahli waris yang sudah diamanatkan oleh almarhum.
Jika dilihat menurut umat Hindu di Bali, keturunan yang akan mewarisi harta peninggalan dari pewaris akan berstatus sebagai purusa. Tidak hanya mewarisi warisan yang berwujud, namun juga diwarisi kewajiban atau yang dalam istilah Bali disebut dengan Swadharma sebagai penerus.4 Menurut Hukum Waris umat Hindu pula, yang berhak untuk mewarisi adalah anak kandung khususnya seorang pria. Kalaupun tidak memiliki anak kandung atau keturunan pria, wanita pun bisa menjadi seorang purusa dengan perkawinan sebagai sentana rajeg. Disamping itu pula ada kewajiban lain yang harus juga dilaksanakan. Kewajiban yang dimaksud adalah dalam pelaksanaan Tri Hita Karana yaitu “Hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan tuhan serta hubungan manusia dengan alam sekitarnya”. Ada rentetan peristiwa atau pelaksanaan yang harus dijalankan bagi seseorang yang akan mewarisi sesuatu hal, sehingga proses tersebut tidak akan terjadi begitu saja. Sebagai pewaris tentunya harus mengikuti rentetan tersebut, sehingga nantinya dapat meneruskan rentetan peristiwa yang sama kepada generasi penerus selanjutnya dalam keluarga, serta mengatur bagaimana pelaksanaan perkawinan yang tetap menyesuaikan pula dengan masyarakat adat yang bersangkutan.5
Penjelasan tersebut berkaitan dengan bagaimana keberlakuan hukum adat keluarga di Bali itu sendiri. Hukum adat keluarga sendiri bermakna keseluruhan norma yang tertulis maupun tidak yang mengatur hubungan suatu keluarga, baik yang disebabkan oleh hubungan darah maupun perbuatan hukum tertentu. Patrilineal merupakan sitem hukum kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat Bali, yang dimana maksudnya anak yang dilahirkan akan ditarik garis keturunannya berdasarkan keluarga dari ayahnya. Sistem kekeluargaan ini berhubungan erat dengan pelaksanaan perkawinan yang sudah dijelaskan sebelumnya. “Disamping itu dianutnya sistem ini membawa pengaruh terhadap bentuk dan tata cara melangsungkan perkawinan di Bali, yang dibagi menjadi 3 (tiga) bentuk yaitu:
-
a. Perkawinan Biasa;
-
b. Perkawinan Nyentana, dan;
-
c. Perkawinan Padagelahang.”6
Mengenai status dari purusa itu sendiri, tidak sedikit masyarakat Bali yang salah persepsi atau keliru mengenai istilah tersebut. Masih banyak yang menganggap bahwa anak laki-laki saja yang bisa meneruskan warisan atau berstatus sebagai purusa, tidak serta merta jika istilah tersebut hanya dimaknai sebagai sistem yang berdasar pada jenis kelamin laki-laki saja. Konsep purusa dan pradana sendiri tidak mengenal adanya jenis kelamin, tidak ada pembeda jenis kelamin dalam konsep sebagai subyek pelaku dalam konsep tersebut. Keberadaan keturunan dalam suatu keluarga tentunya otomatis menjadi ahli waris dan akan meneruskan semua hak dan kewajiban yang sebelumnya dilaksanakan oleh leluhur dan orang tua mereka secara turun temurun.7
Berbicara mengenai purusa, ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan seseorang bisa kehilangan haknya untuk menjadi ahli waris. Faktor tersebut diatur secara ekspisit dalam “Keputusan Psamuhan Agung MUDP (Majelis Utama Desa Pakraman) No. 01/Kep/Psm-3/MDP Bali/X/2010 tentang Hasil-Hasil Pasamuhan Agung”. Pada keputusan tersebut khususnya pada angka 5 dan angka 7 menyebutkan sebagai berikut:
-
1. “Anak yang berstatus kapurusa berhak atas sebagian dari warisan, sedangkan yang berstatus Pradana/Ninggal Kedaton terbatas berhak atas sebagian atau setengah dari harta warisan yang diterima oleh seorang anak yang berstatus kapurusa;
-
2. Anak yang ninggal kedaton penuh tidak berhak atas warisan, namun masih dapat diberikan bekal atau jiwa dana oleh orang tuanya tanpa merugikan ahli waris.”
Keputusan tersebut jelas mengakomodir bahwa anak yang ninggal kedaton secara penuh tidak berhak atas warisan apapun. Begitu pula dengan pria Bali yang kemudian ia pindah agama, dia juga tidak berhak atas harta warisan dari keluarga nya yang juga sudah diatur dalam keputusan tersebut. Penulis juga menemukan yurisprudensi hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Negara No. 26/Pdt/1987/PN. Ngr. Dimana putusan tersebut menjabarkan bahwa Wanita yang sudah kawin keluar tidak berhak lagi mewarisi harta yang ditinggali oleh keluarga nya dirumah. Majelis Utama Desa Pakraman atau MUDP sendiri kedudukannya diperkuat melalui Perda Provinsi Bali No. 4 Th. 2019 tentang Desa Adat, sebagai lembaga resmi di daerah non pemerintah yang berdiri sendiri tanpa intervensi dari pihak manapun. Jadi keputusan yang sudah ditetapkan oleh MUDP ini berlaku mengikat bagi seluruh desa adat yang ada di Bali dan pelaksanaan nya wajib diamankan oleh seluruh instasnsi yang berkaitan di jenjang pemerintahan daerah Bali.
Dalam Keputusan Pasamuhan Agung yang sudah dijelaskan sebelumnya memang menjabarkan bahwa sistem pewarisan masih sama seperti pewarisan yang sudah dilaksanakan sebelumnya, dengan tetap menarik garis keturunan keluarga laki-laki. Keputusan ini bedanya juga menekankan bahwa wanita juga dapat menjadi ahli waris dalam keluarganya. Kedudukan wanita sebagai ahli waris setelah dikeluarkannya keputusan tersebut menjadi jelas dan sebagai solusi bagi masyarakat bali yang masih melakukan tindakan diskriminasi terhadap perempuan di Bali. Pembagian waris dapat dilakukan jika wanita tersebut tidak kawin keluar atau ninggal kedaton. 8Praktik dilapangan memberikan pemahaman bahwa meskipun perempuan yang bersangkutan sudah kawin keluar, ia masih memungkinkan melakukan Swadharma-nya sebagai umat Hindu. Dari sanalah muncul kesempatan atau peluang untuk seorang perempuan masih dapat menerima waris dari orang tuanya. Meskipun sudah kawin keluar, tentunya kewajiban untuk merawat orang tuanya tidak akan hilang meskipun seorang wanita sudah kawin keluar mengikuti suaminya.9
Berdasarkan Keputusan Pesamuhan Agung III itu pula, seorang wanita yang mewaris hanya akan mendapatkan warisan bawaan dari keluarga jika memang sudah disepakati oleh keluarganya dengan sukarela. Jika seorang wanita sudah kawin keluar,
maka kewajiban-kewajiban yang dulu ia emban akan hilang. Maka dari itu pula Keputusan Pesamuhan Agung III tersebut secara tidak langsung memberikan makna bahwa harta warisan suatu keluarga tidak harus diteruskan kepada keturunan laki-laki saja. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kewajiban seseorang untuk merawat orangtuanya (khususnya perempuan) tidak akan hilang. Atas dasar itulah keturunan perempuan masih punya hak atau kesempatan menjadi pewaris.
Keputusan Pesamuhan Agung III ini tidak mengikat sepenuhnya seluruh masyarakat Bali. Hal tersebut kembali kepada kewenangan masing-masing desa pakraman, jika memang ketentuan tersebut masuk kedalam awig-awig desa tersebut, maka akan secara langsung mengikat masyarakat tersebut. Sudah ada beberapa desa yang menerapkan keputusan tersebut kedalam awig-awig desanya, namun masih ada juga desa adat yang belum menerapkan keputusan tersebut meskipun sudah disebarluaskan melalui media sosial, surat kabar dan lain-lain. Perempuan dapat mewaris jika status dan kedudukannya tinggal di rumah keluarga tersebut atau statusnya sentana. Karena ada peluang persamaan tersebut, perempuan berhak mewarisi tanpa memandang status ia keturunan kandung ataupun anak angkat setelah mendapat pembagian sepertiga harta bersama atau due tengah keluarganya.10
Sistem kekerabatan patrilineal di Bali menyebabkan pewarisan keluarga dimiliki oleh keturunan laki-laki. Disamping itu pula didukung dengan sistem kekerabatan di Bali yang menganut sistem kapurusa. Pembagian warisan disasarkan atas Hukum Adat yang berlaku, namun jika dilihat dari segi praktiknya jika menemukan permasalahan, maka akan diselesaikan melalui lembaga peradilan. Jika beracuan pada Putusan MA teranggal 3 Desember 1958 “Putusan Nomor 200K/SIP/1958”, yang berhak mnerima warisan di Bali hanyalah keturunan laki-laki. Putusan tersebut jika ditinjau secara filosofis mengandung teori keadilan particular atau particular justice yang maksudnya adalah keadilan dipandang dari sisi kebudayaan. Secara garis besar putusan ini relevan dengan situasi dan kondisi secara keseluruhan dari Hukum Adat di Bali, namun tidak sedikit pula yang beranggapan keputusan tersebut belum adil sepenuhnya. Ditinjau dari sisi yuridis putusan ini tentu sejalan dengan Hukum Adat Bali yang memang menarik garis keturunan kapurusa atau keturunan laki-laki. Pandangan tradisional masih beranggapan bahwa yang berhak menerima waris hanyalah keturunan laki-laki saja. Logikanya adalah seluruh warisan dari keluarga tersebut langsung milik keturunan laki-lakinya sedangkan perempuan tidak punya hak atas warisan tersebut. Karena kembali lagi dalam Hukum Adat Bali hanya mengenal sistem kekerabatan kapurusa yang menarik garis keturunan laki-laki saja dari keluarga yang bersangkutan untuk menjadi pewaris.11
Seseorang yang sudah menikah dan meninggalkan rumah asalnya seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya dinamakan ninggal kedaton. Berdasarkan Keputusan Pasamuhan Agung MUDP yang sudah dijelaskan sebelumnya, ninggal kedaton adalah orang yang sudah meninggalkan tanggunjawab keluarga sehingga tidak berhak menjadi
ahli waris keluarga.12 Ninggal Kedaton ini kembali lagi dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu secara penuh dan terbatas. Secara penuh disini maksudnya adalah hubungan si perempuan dengan keluarganya secara batin, moral maupun hukumnya benar-benar terputus atau sudah tidak ada lagi. 13 Kemudian yang dimaksud dengan ninggal kedaton terbatas adalah kewajiban dari perempuan tersebut tidak ada, namun masih memiliki ikatan moral dengan orang tuanya. Hak yang dulu ia dapatkan dari orangtuanya sudah berpindah kepada suaminya. Mereka yang tergolong ninggal kedaton terbatas yakni:
-
1. “Wanita yang melakukan perkawinan biasa;
-
2. Pria yang melangsungkan perkawinan nyentana/nyeburin;
-
3. Telah diangkat anak atau kaperas sentana oleh keluarga lain sesuai dengan Agama Hindu dan Hukum Adat Bali;
-
4. Menyerahkan diri atau makidihang raga kepada keluarga lain atas kemauan sendiri.”14
Kemudian mereka yang tergolong ninggal kedaton penuh adalah yang sudah tidak lagi beragama Hindu. Keputusan Pesamuhan Agung III lebih lanjut menjelaskan bahwa mereka yang ninggal kedaton terbatas berhak atas warisan dengan jatah satu bagian, kemudian yang berstatus pradana berhak atas sebagian dari harta yang sudah diterima oleh anak yang akan mewarisi harta dari orangtuanya. Disamping itu, anak yang ninggal kedaton penuh tidak berhak atas warisan, namun dapat diberikan jiwa dana atau bekal oleh orangtuanya dengan tidak merugian ahli warisnya. Namun harus ada kesepakatan antar pihak tentang berapa besar harta yang akan diberikan kepada pihak yang melaksanakan ninggal kedaton secara penuh tersebut.15
Dengan demikian, akibat hukum ketika wanita bali yang ninggal kedaton terhadap hak waris adalah secara otomatis hak waris tersebut mengilang bersamaan keluarnya wanita tersebut dari rumah orang tuanya ketika menikah mengingat sistem patrilineal yang dianut oleh masyarakat Bali, sehingga yang berhak atas hak waris hanya pihak Pria. Namun setelah dikeluarkannya keputusan Pesamuhan Agung MUDP ke-III mengenai ninggal kedaton dan kedudukan wanita bali ketika ninggal kedaton terhadap hak waris, akibat hukum wanita bali yang ninggal kedaton terhadap waris adalah wanita bali tersebut mempunyai hak waris namun hal itu ditentukan kembali apakah wanita tersebut ninggal kedaton terbatas atau ninggal kedaton penuh. Jika yang bersangkutan ninggal kedaton terbatas maka ia masih berhak atas sebagian atau setengah harta warisan keluarganya, berbeda dengan ninggal kedaton penuh maka hanya akan mendapatkan bekal dari orangtuanya dengan tetap ada kesepakatan dari seluruh pihak yang terlibat.
Berdasarkan pemaparan pembahasan diatas, penulis menarik 2 (dua) poin kesimpulan yakni sebagai berikut:
-
1. Kedudukan perempuan Bali terhadap hak waris diatur pengaturannya dalam “Keputusan Psamuhan Agung MUDP (Majelis Utama Desa Pakraman) No. 01/Kep/Psm-3/MDP Bali/X/2010 tentang Hasil-Hasil Pasamuhan Agung” yang menjelaskan bahwa (1) “Anak yang berstatus kapurusa berhak atas sebagian dari warisan, sedangkan yang berstatus Pradana/Ninggal kedaton terbatas berhak atas sebagian atau setengah dari harta warisan yang diterima oleh seseorang anak yang berstatus kapurusa” dan (2) “Anak yang ninggal kedaton penuh tidak berhak atas warisan, tetapi dapat diberikan bekal (jiwa dana) oleh orang tuanya dari harta guna kaya tanpa merugikan ahli waris”.
-
2. Akibat hukum ketika wanita bali yang ninggal kedaton terhadap hak waris adalah secara otomatis hak waris tersebut mengilang bersamaan keluarnya wanita tersebut dari rumah orang tuanya ketika menikah mengingat sistem patrilineal yang dianut oleh masyarakat Bali, sehingga yang berhak atas hak waris hanya pihak Pria. Namun melalui Keputusan Psamuhan Agung MUDP (Majelis Utama Desa Pakraman) memberikan titik terang bahwa ninggal kedaton dan kedudukan wanita bali ketika ninggal kedaton terhadap hak waris, akibat hukum wanita bali yang ninggal kedaton terhadap waris adalah wanita bali tersebut mempunyai hak waris namun hal itu ditentukan kembali apakah wanita tersebut ninggal kedaton terbatas atau ninggal kedaton penuh.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Mulyadi, Lilik. Eksistensi dan Dinamika Hukum Waris Adat Bali Dalam Perspektif Masyarakat dan Putusan Pengadilan (Jawa Barat, Penerbit Alumni, 2018), 33
Panetja, Gde. Aneka Catatan Hukum Adat Bali (Denpasar, CV Kayumas, 1986), 45
Windia, W., P. Hukum Adat Bali: Aneka Kasus dan Penyelesaiannya (Denpasar, Udayana University Press, 2014), 526
Jurnal
Adnyani, Ketut Sari. "Bentuk Perkawinan Matriarki Masyarakat Hindu Bali Ditinjau dari Perspektif Gender dalam Hukum." udata Research Law Journal 11, no. 1 (2016): 47-64.
Agung, Anak AgungIstri. "Makna purusa dan pradana dalam putusan hakim mengenai sengketa waris adat Bali." PhD diss., Universitas Brawijaya, 2016.
Ardika, I. Nengah. "Pemberian Hak Waris bagi Wanita di Bali dalam Perspektif Keadilan." Jurnal Magister Hukum Udayana 5, no. 4 (2016): 639-649.
Arta, I. Komang Kawi, Ketut Sudiatmaka, dan Ratna Artha Windari. "Realisasi Keputusan Pesamuhan Agung III MUDP Bali terhadap Pewarisan Wanita Bali Aga di Kabupaten Buleleng." Jurnal Komunitas Yustisia 1, no. 1 (2020): 33-44.
Astika, I. Putu Budi, Anak Agung Sagung Laksmi Dewi, dan Luh Putu Suryani. "Hak Waris Terhadap Individu yang Berpindah-Pindah Agama (Studi Kasus Putusan Nomor: 483/Pdt. G/2020/PN Dps)." Jurnal Konstruksi Hukum 3, no. 2 (2022): 294300.
Buana, IG AA Putu Cahyania Tamara. "Hak Anak Laki-Laki yang Berstatus Pradana Sebagai Ahli Waris Ditinjau dari Hukum Adat Bali." CALYPTRA 7, no. 1 (2018):251-259
Cahyania, I. Gusti Agung Ayu Putu, Rachma Fitriyanti Nasri, Rizka Wulan Pravitasari, dan Moza Fausta. "Hak Pria yang Melangsungkan Perkawinan Nyentana." Kanun Jurnal Ilmu Hukum 21, no. 2 (2019): 295-312.
Dwijanata, Anak Agung Bagus Cahya, dan Griadhi, Ni Made Ari Yuliartini. "Kedudukan Hukum Wanita Yang Ninggal Kedaton Pasca Perceraian Dalam Perspektif Hukum Adat Bali" Kertha Desa: Journal Ilmu Hukum 8 No. 3 (2019):115.
Pratiwi, Ni Putu Indah, Diah Gayatri Sudibya, dan Ni Made Sukaryati Karma. "Kedudukan Wanita Dalam Mewaris Setelah Adanya Keputusan Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman Bali (Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010)." Jurnal Analogi Hukum 3, no. 1 (2021): 116-121.
Rata, Kd Dewantara. "Kedudukan Dan Hak Mewaris Anak Dari Anak Angkat Seorang Pradana Dalam Hukum Waris Adat Bali." Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan 5, no. 3 (2020):611-620.
Sadnyini, Ida Ayu. "Implementasi Keputusan MDP Bali Tahun 2010 ke dalam Awig-Awig Desa Pakraman di Bali." Udayana Master Law Journal 5, no. 3 (2016).
Warsana, I. Made. "Implikasi Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP BALI/X/2010 tentang Kedudukan Wanita Bali dalam Keluarga dan Pewarisan." Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 6, no. 2 (2021).
Peraturan Perundang-Undangan
Putusan MA No. 200 K/SIP/1958
Putusan Pengadilan Negeri Negara No. 4/Pdt/1987/PN Ngr
Putusan Pengadilan Negeri Negara No. 26/Pdt/1987/PN Ngr
Keputusan Pesamuhan III MUDP Bali No. 01/KEP/ PSM-3/MDP-BALI/X/2010)
Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 11 Tahun 2022 hlm 1170-1179
1179
Discussion and feedback