RELEVANSI PELAKSANAAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG TERHADAP PASAL 22E UNDANG-UNDANG DASAR 1945 TENTANG PEMILIHAN UMUM
on
RELEVANSI PELAKSANAAN PEMILIHAN KEPALA
DAERAH SECARA LANGSUNG TERHADAP PASAL 22E
UNDANG-UNDANG DASAR 1945 TENTANG
PEMILIHAN UMUM
Ayu Merta Corelia Wati, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: ayucorelia17@gmail.com
Nyoman Mas Aryani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: masaryani@gmail.com
ABSTRAK
Study ini memiliki tujuan untuk meneliti dan menganalisis relevansi Pemilihan kepala daerah secara langsung dengan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) tentang pemilihan umum (pemilu), hal ini dirasa perlu karena masih banyak pro dan kontra mengenai pelaksanaan pilkada secara langsung, dikarenakan pilkada tidak termasuk bagian dari penjelasan pemilu sesuai amanat Pasal 22E. Penelitian ini menggunakan metode hukum yuridis normatif dan mempergunakan tiga pendekatan yaitu pendekatan perundang-undang, pendekekatan konseptual, dan pendekatan komparatif. Hasil dari studi ini menunjukan bahwasannya frasa “dipilih secara demokratis” mempunyai makna dapat dipilih langsung oleh rakyat ataupun bisa melalui perwakilan yang harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing daerahny sehingga relevansi pilkada langsung dengan UUD 1945 ialah pilkada tidak termasuk kedalam rezim pemilu sebagai mana diatur dalam Pasal 22E UUD 1945, namun lebih mengarah pada penghormatan terhadap pengimplementasian Pasal 18 UUD 1945, yang dalam praktiknya bisa tidak sama dengan pemilu seperti yang diatur pada Pasal 22E UUD 1945.
Kata kunci: Demokrasi, Kepala Daerah, Pemilihan Umum.
ABSTRACT
The prupose of this study is to examine and analyze the relevance of direct regional head elections to article 22E of UUD 1945 constitution regarding election, this is deemend necessary since there are still many pros and cons regarding the direct implementation of regional election, because the regional election are not included as part of the elction explanation as mandated by article 22E. The research methode that is used in this study is normative legal research using a statute approach, a conceptual approach, and a comparative approach. The result of this study shows that the phrase “democraticly elected” has the meaning of being directly elected by the people or through the representatives who must adapt to the situations and conditionsof each region. So that the relevance of direct regional head elections to UUD 1945 is that the direct regional head elections are not included in the general election regime as regulated in Article 22E of UUD 1945, but rather leads to respect for the implementation of Article 18 of UUD 1945, which in practice can be different from the general elections as stipulated in Article 22E UUD NRI 1945.
Key Words: Democrasy, Regional Head, General Election.
Sesudah masa reformasi, demokrasi di negara indonesia baik ditingkat pusat ataupun tingkat daerah terus mengalami perubahan untuk menemukan formulasi baru yang sesuai dengan perkembangan masyarakat indonesia.1 Pilkada adalah pemilihan pemimpin daerah yang dipilih oleh rakyat, khusunya masyarakat setempat. Pemilihan kepala daerah bertujuan untuk memilih Gubernur beserta wakilnya, Bupati beserta wakilnya, serta Walikota beserta wakilnya.2
Pemilihan kepala daerah yang selanjutnya disebut pilkada merupakan rangkaian sejarah politik yang panjang bagi negara Indonesia. Sebelum amandemen sistem yang digunakan dalam Pilkada yaitu pemilihan tertutup atau perwakilan oleh DPRD. DPRD berwenang memilih kepala daerah dengan cara membuka rekruitmen di daerah. Pada era ini, serangkaian permasalahan bermunculan, salah satunya adalah kasus pembelian hak suara anggota DPRD oleh para calon yang kerap terjadi. Hal tersebut tentunya telah mencederai esensi dari sebuah “pemilihan” dan berimplikasi pada calon terpilih yang belum tentu dapat mewakili kepentingan masyarakat.
Amandemen UUD 1945 memberikan perubahan yang signifikan terhadap kompisisi peraturan di indonesia. Salah satu substansi materinya ialah pada sistem pilkada. Substansi perubahannya berkaitan dengan pengisian jabatan kepala daerah yang tertuang pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, yang mengatur mengenai “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.” Kehadiran norma yang mengatur mengenai pilkada didalam perubahan UUD 1945 sangat dipengaruhi tuntutan reformasi 1998 yang salah satunya yaitu mendorong adanya perubahan UUD 1945 yang dipandang menjadi factor yang menyebabkan adanya kekuasaan yang otoriter.3 Didalam ketentuan Pasal 56 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwasannya “kepala daerah dipilih dalam satu pasang calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.” Pilkada secara langsung bertujuan untuk menciptakan Indonesia dengan demokrasi yang baru. Hal ini dilaksanakan dengan mengembalikan kembali kedaulatan sepenuhnya berada ditangan rakyat.
Bagi suatu negara yang menerapkan paham kedaulatan rakyat, rakyat dipandang menjadi penguasa tertinggi. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan jika “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.” Makna dari “kedaulatan berada ditangan rakyat” hal tersebut berarti jika rakyat mempunyai kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban atau dapat juga adiartikan bahwa kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat4 untuk dapat secara demokratis
dapat memilih pemimpin yang akan mengatur serta melayani segala kepentingan masyarakat.
Pemilu pada hakikatnya merupakan media dalam mengaplikasikan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, jujur, dan adil dalam NKRI. Saat pemilu rakyat bisa secara bebas sesuai dengan hati nurani nya dapat memilih pemimpin yang ia rasa mampu untuk mengayomi dan menyejahterakan mereka. Tujuan dari adanya pemilu ialah untuk membentuk kemungkinan adanya pergantian kepemimpinan pemerintahan secara aman serta dan penggantian pejabat yang akan menjadi wakil bagi rakyat dilembaga perwakilan, yang terakhir, adalah untuk mewujudkan hak masyarakat.5
Melihat hakikat diatas, lantas muncul sebuah pertanyaan apakah pemilihan kepala daerah dikategorikan kedalam pemilu berdasarkan Pasal 22E UUD 1945, yang notabene hanya mengatur terkait dengan pemilihan DPR, DPD, Presiden beserta wakilnya, serta DPRD, yang pemilihannya dilakukan melalui pemilu yang mana penyelenggaranya adalah KPU. KPU bersifat nasional, tetap dan mandiri serta independen. Ketentuan tersebut memicu sebuah pertanyaan apakah pilkada masuk kepada rezim pemilu ataupun tidak, karena memang tidak terdapat satu pasalpun yang mengatur mengenai kepala daerah yang pemilihannya harus dengan pemilu. Oleh sebab itu, apakah sistem pilkada secara langsung pada saat ini dapat diartikan sebagai pemilu atau tidak, serta apalah pilkada secara langsung pada saat ini relevan dengan UUD 1945.
Dalam penyusunan jurnal ilmiah ini mengambil beberapa refrensi pada penelitian sebelumnya yaitu dari Hasrul Harapan pada “jurnal Renaissance” tahun 2016 dengan judul “Evaluasi Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2015.”6 Refrensi lainnya juga diambil dari Sinaga Parbuntian pada “Jurnal Binamulia Hukum” tahun 2018 dengan judul “Pemilihan Kepala Daerah Dalam Konstruksi UUD NRI Tahun 1945.”7 Kedua topik tersebut memiliki bahasan yang berbeda dengan bahasan pada jurnal ini karena pada jurnal tersebut menitik beratkan pada evaluasi pilkada serentak serta regulasi pemilihan kepala daerah serentak pada UUD NRI Tahun 1945, sedangkan pada jurnal ini penulis menitikberatkan pada relevansi Pilkada secara langsung dengan Pasal 22E pada UUD NRI Tahun 1945 tentang Pemilihan Umum. Tentu, terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara tulisan ini dengan tulisan sebelumnya, yang dimana pada tulisan sebelumnya yaitu pada jurnal Renaissance menggunakan analisa histori pelaksanaan pilkada sehingga urgency kajiannya berfokus pada evaluasi pilkada, serta pada jurnal Binamulia hukum menganalisa konstruksi UUD 1945 yang memiliki urgency untuk mengetahui kedudukan pemilihan kepala daerah dalam UUD 1945. Sedangkan pada penelitian ini penulis menganalisa apakah makna kepala daerah “dipilih secara demokratis” memiliki arti yang sama dengan dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga tulisan ini memiliki urgency untuk mencari tahu relevansi pilkada secara langsung pada saat ini dengan Pasal 22E UUD 1945 mengenai pemilihan umum. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis melakukan penelitian dengan judul :
“RELEVANSI PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG TERHADAP PASAL 22E UUD TENTANG PEMILU”
-
1.2. Rumusan Masalah
-
1.2.1 Bagaimana Pengaturan pemilihan kepala daerah dalam sistem ketatanegaraam Indonesia?
-
1.2.2 Apa makna kata “dipilih secara demokratis” pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945?
-
1.2.3 Bagaimana relevansi pemilihan kepala daerah secara langsung dengan Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 tentang Pemilu?
-
-
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji Pengaturan pemilihan kepala daerah dalam sistem ketatanegaraam Indonesia, serta mencari apa makna frasa “dipilih secara demokratis” pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 sehingga penulis dapat menganalisis relevansi pemilihan kepala daerah langsung terhadap Pasal 22E UUD 1945.
Dalam hal ini metode penelitiannya menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang merupakan suatu penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan kepustakaan.8 Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan perundang-undangan, yang kedua menggunakan pendekatan konseptual yang dipergunakan dalam memberikan sudut pandang analisa penyelesaian masalah, serta yang terakhir pendekatan Komparatif (comparative approach) untuk mengkomparasikan pemilihan keplada daerah perwakilan dengan pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat. Didalam penelitian normatif ini penulis menggunakan beberapa bahan hukum sebagai studi yakni bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-undang dan bahan hukum sekunder berupa hasil penelitian.
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1. Pengaturan pemilihan kepala daerah dalam sistem ketatanegaraam Indonesia.
-
Sebagaimana telah dijelaskan dilatar belakang, bahwasannya pilkada sebelum menggunakan mekanisme pemilihan langsung masih menggunakan sistem pemilihan secara perwakilan yakni melalui DPRD. Problematika yang muncul serta calon kepala daerah terpilih dianggap kurang mewakili aspirasi masyrakat membuat pilkada secara perwakilan dianggap kurang maksimal.
Pengaturan pemilihan kepala daerah termuat didalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengamanatkan pilkada dilaksanakan secara demokratis. Selain itu, dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang selanjutnya disebut UU Pemerintahan Daerah mengamanatkan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan secara langsung oleh rakyat. Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 menjabarkan tentang dasar pemikiran terciptanya frasa “dipilih secara demokratis” ialah untuk menyesuaikan sistem pemilihan kepala daerah dengan perkembangan
masyarakat disetiap wilayahnya.9 Pembentuk undang-undang bisa menyesuaikan dengan rumusan sistem yang dikehendaki oleh rakyat sehingga masyarakat mempunyai dua pilihan, apakah menyelenggarakan pilkada secara langsung ataupun menggunakan sistem perwakilan. Tujuannya menyesuaikan dengan perkembangan. Hal tersebut adalah open legal policy dari pembentuk undang-undang yang akan berhubungan dengan penghormatan terhadap adat istiadat di setiap daerahnya.10
Berdasarkan aspek filosofis, munculnya sebuah ide tentang pelaksanaan pilkada secara langsung pada intinya adalah tindak lanjut dari harapan besar untuk melakukan perbaikan terhadap kualitas demokrasi di setiap daerahnya. Pilkada secara langsung, oleh rakyat, diharapkan bisa menciptakan sebuah pemimpin yang berkualitas dan kredibel, serta memiliki legitimasi yang kuat dari masyarakat di setiap daerahnya.11 Selain itu, latar belakang adanya pilkada langsung ini juga dikarenakan pemilihan kepala daerah melalui DPRD dirasa kurang aspiratif atau tidak mampu mewakili aspirasi seluruh masyarakat, karena dalam prakteknya sering diwarnai dengan kasus politik uang serta adanya intervensi dari partai politik.12
Pilkada berdasarkan aspek yuridis secara umum adalah konsekuensi wajib dari pergeseran otonomi daerah. Pilkada secara langsung dilatarbelakangi oleh amandemen UUD 1945 khususnya dalam Pasal 18 ayat (4) yang menjelaskan jika “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara Demokratis.” Di masa reformasi pilkada diatur lebih lanjut dalam UU No. 22 tahun 1999 yang kemudia direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 karena dinilai undang-undang tersebut kurang mewakili aspirasi masyarakat dan banyak memunculkan pro dan kontra. Pasal 56 UU Pemerintahan Daerah menjelaskan jika “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, jujur, dan adil”.
Pembentukan UU Pemerintahan Daerah dilakukan setelah amandemen UUD 1945 mengatur Pilkada dilaksanakan secara langsung oleh rakyat dan bertanggungjawab terhadap rakyat sehingga mempunyai kekuatan hukum yang seimbang bagi kepala daerah yang terpilih. Kedaulatan rakyat diakui secara implisit yang mana kedaulatan rakyat adalah wujud dari penghargaan terhadap hak masyarakat untuk dapat memilih serta menentukan arah jalan kehidupan suatu negara untuk kepentingan bersama seluruh rakyat indonesia.
Berdasarkan aspek sosiologis, latar belakang diselenggarakannya pilkada secara langsung oleh rakyat dikerenakan muncul berbagai pendapat yang menyebutkan keunggulan dari pilkada secara langsung yakni:
-
1. Pilkada secara langsung bertujuan supaya dapat menghapus oligarki partai politik yang menjadi roh pola organisasi partai politik dalam lingkungan DPRD, kepentingan golongan partai politik sering disamarkan, dan dimanipulasi seolah-olah menjadi kepentingan masyarakat secara umum;
-
2. Kepala daerah yang terpilih akan mempunyai mandat langsung oleh rakyat yang akan melegitimasi kepempinannya karena secara langsung dipilih oleh rakyat;
-
3. Memungkinkan adanya proses partisipasi masyarakat konstituennya secara luas, bukan hanya melibatkan bebas pihak secara oligarki dalam DPRD yang malah tidak mewakili suara rakyat. Dengan demikian, pelibatan masyarakat secara langsung merupakan peruwujudan dari kedaulatan rakyat.13
Menurut Joko J. Prihatmoko menyatakan bahwa pilkada langsung akan mendorong partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak suaranya dengan maksimal, serta adanya keterbukaan bagi seluruh masyakat untuk dapat mengawal pilkada secara langsung dengan maksimal.14 Joko J. Prihatmoko pun mengemukakan mengenai manfaat pilkada langsung yakni : 1) kepala daerah akan memiliki mandat dan legitimasi, 2) pilkada secara langsung memberikan pendidikan politik kepada masrakat, 3) terbentuknya equality atau kesetaraan politik bagi seluruh masyarakat dalam hal menggunakan hak suaranta, 4) terbentuknya akuntabilitas publik, 5) pilakada langsung dapat meningkatkan kepekaan para calon mengenai kebutuhan masyrakat. Pilkada langsung memiliki tujuan untuk memilih suatu pejabat politik, bukan memilih pejabat administratif.15
Selain pertimbangan aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis diatas, hal yang kembali melatarbelkangi pemilihan kepala daerah langsung yaitu sistem pemerintahan negara indonesia sesuai dengan amanat konstitusi yang memberikan kekuasaan penyelenggaraan otonomi daerah sebesar-besarnya kepada masing-masing daerah yang bersangkutan. Dalam penyelenggaraan otonomi daerah perlu memperhatikan adanya prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, kesejahteraan penduduk, serta kesesuaian hubungan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.16 Sehingga dirasa perlu untuk melaksanakan pilkada secara langsung untuk mencapai adanya asas demokrasi yakni pengakuan terhadap partisipasi rakyat dalam pemerintahan.17
Demokrasi menjadi suatu aspek utama yang berhubungan dengan kepentingan hidup orang banyak. Pendapat dari Sidney Hook menyatakan jika demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang yang mana segala putusan pemerintah baik langsung ataupun tidak langsung berlandaskan kepada mayoritas yang diberikan secara bebas kepada masyarakat luas.18 Pada konsep negara demokrasi, makna dari
istilah demokrasi diartikan dengan sebuah system pemerintahan di dalam sebuah negara. Rakyat memiliki hak turut serta dalam menyelenggarakan negara ataupun menjadi pengawas jalannya pemerintahan secara langsung ataupun secara perwakilan sehingga pemerintahan yang diselenggarakan tidak sebatas pada kepentingan rakyat, dengan pemerintahan dijalankan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Serta kepala daerah akan memiliki tanggung jawab moral terhadap rakyat yang telah memilihnya secara langsung.19
Pilkada secara langsung dapat dimaknai dengan rakyat memilih secara langsung tanpa adanya perwakilan. Perolehan suara yang paling banyak menjadi dasar dalam menentukan siapakah yang memenangkan pilkada, serta dalam pelaksanaannya dilakukan serentak diseluruh daerah.20 Hal itu sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) PP No. 6 Tahun 2005 mengenai “Pemilihan, Pengesahan, pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah” Junto PP No. 49 Tahun 2008 tentang perubahan atas PP No. 6 Tahun 2005 mengenai “sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 untuk memilih kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah.”
Pilkada langsung adalah serangkaian rel demokrasi yang akan direalisasikan sebagai upaya peningkatan nilai demokrasi di tingkat daerah. Pendapat dari Eko Prasodjo, pilkada langsung merupakan instrument untuk dapat meningkatkan “participatory democracy” dan diharapkan dapat memenuhi segala aspek yang diinginkan. Tujuan dari pilkada salah satunya yaitu untuk menguatkan legitimasi demokrasi. Namun, kesuksesan pilkada di negara-negara yang lain tidak berjalan secara sendiri tetapi ditentukan oleh kedewasaan partai politik dan aktor-aktor politiknya. Kondisi politik lokal yang amat mejemuk, kesadaran dan pemahaman masyarakat akan politik, buruknya sistem pencatatan kependudukan dan kurang maksimalnya lembaga penyelenggara sering menjadi penyebab gagal terwujudnya pilkada secara langsung.
Pendapat dari Jimly Asshiddiqie, makna kalimat “dipilih secara demokratis” memiliki sifat yang sangat fleksibel, sehingga dapat mencangkup pengertian dapat dipilih langsung oleh rakyat maupun melalui Pilkada tidak langsung yang dilaksanakan DPRD.21 Lebih lanjut Suharizal menyatakan jika sesuai dengan ketentuan Pasal yang menjelaskan jika kepala daerah dipilih secara demokratis menjelaskan berbagai hal yaitu:
-
1 . Pilkada tidak diwajibkan dipilih oleh rakyat atau DPRD secara
langsung;
-
2 . Frasa “dipilih secara demokratis” tidak bisa dimaknai jika pemilihan pasangan calon menjadi kewenangan penuh dari partai politik sebagai salah satu lembaga yang memiliki fungsi mengadakan rekruitmen politik dalam hal mengisi jabatan publik;
-
3 .Rumusan Pasal 18 ayat (4) yang sebagai hasil dari amandemen kedua UUD NRI Tahun 1945 (Tahun 2000) tidak bisa diartikan sama halnya dengan tata cara dan prosedural pemilu pada umumnya;
-
4 .Bahwa Pasal a quo hanyalah mengharuskan kepala daerah nya saja yaitu “Gubernur, Bupati, dan Walikota” pemilihannya dilaksanakan secara demokratis akan tetapi untuk wakilnya “Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota” tidak diharuskan dipilih secara demokratis sehingga tidak diwajibkan untuk dipilih secara satu pasang.22
Pasca amandemen UUD 1945 yang mengahasilkan perubahan pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur bahwasannya pilkada diselenggarakan secara demokratis menghasilkan pro dan kontra dalam masyarakat, ada pihak yang memiliki pendapat bahwa makna kata demokratis tersebut tidaklah dilaksanakan melalui pemilihan langsung oleh rakyat, serta ada juga pihak yang berpendapat bahwa makna kata demokratis tersebut adalah langsung oleh rakyat tana adanya perwakilan (one men one vote). Apabila menyelisik lebih lanjut terhadap risalah persidangan MPR, yang merupakan sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan dalam merumuskan Pasal a quo, ditemukan bahwasannya pembentuk konstitusi menyepakati pilkada dilaksanakan secara demokratis. Selain itu, adanya keinginan untuk memberi peluang kepada pembuat undang-undang untuk ketentuan pilkada akan diatur menyesuaikan terhadap kondi daerah masing-masing asal tidak melanggar prinsip demokratis.23
Berdasarkan pandangan diatas, dapat disimpulkan bahwasannya makna kata demokratis bukanlah wajib melaksanakan pilkada secara langsung oleh rakyat dan bukan juga wajib melaksanakan pilkada secara perwakilan melalui DPRD, tetapi makna kata demokratis adalah memberikan peluang untuk dilakukannya kedua cara tersebut asal dilakukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan disesuaikan dengan situai dan kondisi masing-masing daerah yang bersangkutan.
-
3.3. Relevansi pemilihan kepala daerah secara langsung dengan Pasal 22E
UUD NRI Tahun 1945 tentang Pemilu
Melihat pilkada di Indonesia sekarang ini masih menjadi perdebatan apakah pilkada secara langsung ini masuk kepada rezim pemilu seperti yang tertuang pada ketentuan pemilu UUD 1945. Pasal 22E ayat (2) menjelaskan bahwasannya “pemilu dilaksanakan bertujuan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPRD, anggota DPD, dan Anggota DPRD,” lalu ketika kepala daerah tidak masuk dalam ketentuan pemilu, lalu bagaimana relevansi sistem pilkada pada saat ini terhadap UUD 1945 terutama pada Pasal tentang Pemilu.
Saldi Isra, menyatakan bahwasannya permasalahan pemilihan kepala daerah sudah timbul dari regulasi pada tingkat konstitusi yaitu UUD NRI Tahun 1945. Di lain sisi, pilkada tercantum didalam Bab IV tentang Pemerintahan Daerah yang dimana Pasal 18 ayat (4) menjelaskan bahwasannya “kepala daerah ditingkat Provinsi, Kabupaten, dan Kota masing-masing dipilih secara demokratis.” Sementara, disisi yang lainnya khususnya pada Bab VIIB tentang pemilihan tidak ada sedikitpun frasa yang menjelaskan jika “pilkada masuk kepada kategori pemilu, yang mana pemilu hanya berfungsi untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPRD, anggota DPD, dan Anggota DPRD.”
Proses amandemen UUD 1945, yang diselenggarakan secara berkala menyebabkan kendala bagi Majelis Permusywaratan Rakyat (MPR) untuk menentukan suatu sistem pemilihan langsung bagi kepala daerah saat amandemen ke II pada tahun 2000, dikarena pada masa tersebut perubahan terhadap Pasal 6 mengenai Pilpres secara langsung belum ditentukan. Dikarenakan amandemen pada Pasal 18 mengenai pemerintahan daerah harus sudah difinalisasi pada tahun 2000 tersebut, sehingga sistem pemilihan yang digunakan untuk memilih kepala daerah hanya diamanatkan untuk “dipilih secara demokratis.” Pasal 22E yang mengatur tentang pemilu ditetapkan pada tahun 2001 pada saat amandemen ke III bersamaan dengan usainya amandemen Pasal 6 sehingga sistem pemilihannya dimasukan kedalam definisi pemilu didalam ketentuan Pasal a quo.
Sesuai dengan putusan MK dengan Nomor perkara 073-PUU-II-2004, MK memiliki pendapat bahwa tidak ada alasan yang cukup kuat pilkada masuk kedalam pemilu yang tercantum pada konstitusi yaitu pada Pasal 22E ayat (2) UUD 1945. Mahkamah berpandangan selain pengertian pemilu, tersirat makna pemilu lain sebagaimana dalam pilkada yang merupakan sebuah amanat dari UUD 1945. Dalam pertimbangan hukum dalam putusannya mahkamah berpendapat bahwa: “terhadap pendapat apakah pemilihan kepala daerah langsung termasuk kategori pemilu yang secara formal berkaitan dengan ketentuan Pasal 22E ayat UUD NRI Tahun 1945 dan segala aturan penjabaran dari Pasal a quo, Mahkamah berpendapat bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung tidak termasuk kategori pemilihan umum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945. Namun, pemilihan kepala daerah secara langsung adalah pemilu secara materil untuk pengimplementasian Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945. Maka dari itu dalam praktiknya dapat berbeda dengan pemilu sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945, misalnya saja dari segi aturan, penyelenggaraan, dan badan yang memutus sengketa, namun harus tetap sesuai dengan asas-asas pemilu yang berlaku.”24
Berdasarkan pertimbangan diatas maka relevansi antara pilkada secara langsung terhadap UUD 1945 ialah pilkada tidak termasuk dalam rezim pemilu seperti yang tertuang pada Pasal 22 E, tetapi pelaksanaan pilkada langsung ini merupakan bentuk penghormatan terhadap Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 yaitu mengenai Pemerintahan Daerah. Dikarenakannya pilkada bukan termasuk dalam rezim pemilu maka dalam pelaksaannya akan sedikit berbeda dengan mekanisme pemilu, karena dalam pelaksananaan pilkada akan menyesuaikan dengan situasi dan kodisi masing-masing daerahnya. Perbedaan lainnya juga terletak pada aturan, panitia penyelenggara, dan badan yang memutus sengketa pilkada.
Dapat disimpulkan bahwasannya yang pertama pengaturan pemilihan kepala daerah dalam sistem ketatanegaraan indonesia terdapat pada didalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengamanatkan pilkada dilaksanakan secara demokratis. Kedua, frasa “dipilih secara demokratis” pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 memilik makna luwes yang dapat diartikan bisa dipilih secara langsung oleh rakyat ataupun bisa melalui perwakilan. Serta yang ketiga, Ketika ditarik benang merahnya, relevansi Pelaksanaan pilkada secara langsung merupakan bentuk penghormatan negara terhadap Pasal 18
UUD 1945 tentang pemerintahan daerah, sehingga dalam pelaksanaannya pilkada tidak masuk kedalam rezim Pemilu sebagaimana tertuang pada Pasal 22E ayat (2), sehingga dalam pelaksanannya pun berbeda, mulai dari mekanisme sampai dengan lembaga pemutus sengketanya.
Daftar Pustaka
Buku
Budiman, Hendra. (2015). Pilkada Tidak Langsung dan Demokrasi Palsu, Yogyakarta: Pustaka Yustitia.
Mawasi, Irvan. (2014). Dinamika Sengketa Hukum Administrasi (Mewujudkan Electoral Justice dalam kerangka Negara Hukum Demokratis). Yogyakarta : JPPR.
Soekanto, R. Soejono. (2013). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Suharizal. (2012). Pemilukada, Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Jurnal Ilmiah
Hakim, Septiawandi. “Dampak Negatif Pemilihan Kepala Daerah Langsung dan Pemilihan Kepala Daerah Melalui DPRD, Serta Pemilihan Jepala Daerah Ideal.” Jurnal Sawala 6, no. 2 (2018).
Harahap, Hasrul. “Evaluasi Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2015.” Jurnal Renaissance 1, no. 1 (2016).
Johan, Ali Muhammad. “Sistem Pemilihan Kepala Daerah Pada Daerah Yang Memberlakukan Desentralisasi Asimentris.” Jurnal Al-Qisth Law Review 5, no. 1 (2021).
Melfa, Wendi. “Menggagas Amandemen UUD 1945 Dari Pemilukada.” Jurnal Dinamika Hukum, 13, no. 1, (2013).
Nur Wardani, Primandha Sukma. “Partisipasi Politik Pemilih Pemula Dalam Pemilihan Umum.” Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial 10, no. 1 (2018).
Retnowati, Endang. ‘Pusarana Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung atau Tidak Langsung.” Jurnal Perspektif XX, No. 1 (2015).
Rumokoy, Nike K. “Kedaulan dan Kekuasaan Dalam UUD 1945 Dalam Pembentukan Hukum di Indonesia.” Jurnal Hukum Unsrat 23, no. 9 (2017).
Romli, Lili. “Pilkada Langsung, Calon Tunggal, Dan Masa Depan Demokrasi Lokal.” Jurnal Penelitian Politik 15, no. 2 (2018).
Syam, Radian. “Pemilihan Umum Kepala Daerah Sebelum dan Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Menuju Pemilihan Berkedaulatan Rakyat.” Jurnal Hukum Prioris 5, no. 2 (2016).
Sinaga, Parbuntian. “Pemilihan Kepala Daerah Dalam Konstruksi UUD NRI Tahun 1945.” Jurnal Binamulia Hukum 7, No. 1 (2018).
S, Wawan. “Tinjauan Yuridis Perbandingan Sistem Pilkada Langsung dan Tidak Langsung Berdasarkan Demokrasi Pancasila.” Jurnal Dinamika Sosbud 17, no. 2 (2015).
Starta, Tata. “Ambang Batas Parlemen (Parlementary Thershold) dan Asas Demokrasi.” Jurnal Akrab Juara 4, no.5 (2019).
Sodikin. “Pemilihan Kepala Daerah Dalam Konteks UUD NRI Tahun 1946.” Jurnal Rechtvinding 4, no. 1 (2015).
Yandra, Alexander. “Fisibilitas Pilkada Serentak Tahap II Kota Pekanbaru Pasca Permendagri Nomor 18 Tahun 2015.” Jurnal Niara 9, no. 2 (2017).
Skripsi
Dzikri Laeny, Miftahul Jannah. “Tinjauan Yuridis dan Fiqih Siyasah Terhadap Komparasi Pemilihan Gubernur.” Skripsi Universitas Islam Sunan Ampel (2020).
Bahan Hukum
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Nomor 125 Tahun 2004, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang. Lembaran Negara Nomor 107, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5698)
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072- 073-PUU-II-2004 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap UUD NRI Tahun 1945
Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 7 Tahun 2022 hlm 689-700
700
Discussion and feedback