SEMI-QUANTITATIVE EXAMINATION OF TOTAL PROTEIN LEVELS IN DOG SALIVA
on
Volume 15 No. 4: 517-522
Agustus 2023
DOI: 10.24843/bulvet.2023.v15.i04.p03
Buletin Veteriner Udayana
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet
Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021
Pemeriksaan Semikuantitatif Kadar Protein Total dari Saliva Anjing
(SEMI-QUANTITATIVE EXAMINATION OF TOTAL PROTEIN LEVELS IN DOG SALIVA)
Brainna Kirayna Ginting1*, Iwan Harjono Utama2, Sri Kayati Widyastuti3
-
1Mahasiswa Pendidikan Sarjana Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudriman, Denpasar, Bali, Indonesia;
-
2Laboratorium Biokimia Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudriman, Denpasar, Bali, Indonesia;
-
3Laboratorium Penyakit Dalam Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudriman, Denpasar, Bali, Indonesia.
*Email: brainnakirayna.bk@gmail.com
Abstrak
Anjing merupakan hewan yang cukup populer dalam kategori hewan peliharaan. Menjaga kesehatan anjing sebagai hewan peliharaannya tentu menjadi salah satu prioritas pemilik. Di sisi lain, anjing juga menjadi reservoir utama berbagai infeksi penyakit zoonosis. Deteksi dini dan pengobatan yang efektif serta efisien diperlukan untuk mencegah penyebaran dan peningkatan keparahan penyakit. Saliva yang merupakan salah satu jenis cairan biologis, mulai banyak digunakan sebagai sampel diagnostik. Kandungannya yang beragam, tidak hanya saling menunjang dalam menjalankan fungsi saliva, tetapi juga bisa menjadi biomarker dari berbagai infeksi atau penyakit pada suatu individu. Salah satu komponen saliva adalah protein. Protein telah terbukti menjadi biomarker berbagai jenis penyakit pada manusia, seperti gingivitis, periodontitis, kanker, dan caries. Penelitian ini mengkaji kadar protein dari saliva anjing yang dilakukan pada 15 ekor anjing sehat. Sampel saliva yang diperoleh diukur secara semikuantitatif dengan menggunakan alat tes glukosa-protein urin. Data hasil penelitian ini disajikan dalam bentuk grafik batang distribusi frekuensi dan analisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar protein total saliva anjing bervariasi dengan hasil paling dominan adalah 0-10mg/dL. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan dengan menggunakan jumlah sampel yang lebih besar dan alat ukur yang berbeda.
Kata kunci: Anjing; kadar protein total saliva; pemeriksaan semikuantitatif; sampel diagnostik
Abstract
Dogs are quite popular animals in the pet category. Maintaining the dog's health as a pet is certainly one of the owner's priorities. On the other hand, the dog is also a major reservoir of various zoonotic disease infections. Early detection and effective, efficient treatment are needed to prevent the spread and increase in the severity of the disease. Saliva, which is one type of biological fluid, has begun to be widely used as a diagnostic sample. Its diverse components not only support each other in carrying out the function of saliva but can also be a biomarker of various infections or diseases in an individual. One of the components of saliva is protein. Protein has been shown to be the biomarker of various types of diseases in humans, such as gingivitis, periodontitis, cancer, and caries. This study examines the total protein level of dog saliva, which carried out on 15 healthy dogs. The saliva samples obtained were measured semi-quantitatively using the urine glucose-protein test kit. This study's data is presented in a frequency distribution of bar graphs and descriptive analyses. The results showed that the total protein levels of dog saliva varied, with the most dominant result being 0–10 mg/dL. Larger sample size and different measuring instruments can be applied in further research.
Keywords: Diagnostic sample; dog; salivary total protein level; semi-quantitative examination
PENDAHULUAN
Saliva merupakan cairan biologis dengan kandungan yang bisa digunakan untuk menyediakan informasi mengenai status kesehatan seseorang. Saliva sendiri telah dipelajari secara mendalam dan dalam hal kesehatan manusia telah digunakan dalam uji diagnosis kesehatan oral, kanker, dan penyakit sistemik (Sanguansermsi et al., 2018). Menurut Khurshid et al. (2020), peminatan terhadap penggunaan saliva sebagai indikator diagnosis telah meningkat dikarenakan beberapa faktor. Yang pertama adalah prosedur koleksi saliva tidak membutuhkan tindakan yang aversif dibandingkan koleksi jenis sampel lainnya, seperti darah yang membutuhkan teknik restrain dalam prosesnya dan penusukan jarum yang kerap menimbulkan stres pada anjing. Dengan kata lain saliva dapat dikategorikan sebagai sampel non invasif. Selain itu, saliva sebagai sampel dikatakan lebih mudah dalam masalah
penyimpanannya karena stabil dalam suhu ruangan dan memiliki masa penyimpanan yang lebih lama pada lemari pendingin (Kasempimolporn et al., 2000).
Anjing sangat populer dalam kategori hewan peliharaan, namun juga menjadi reservoir utama dalam infeksi penyakit zoonosis. Virus ataupun bakteri patogen pada cavum oral dapat ditularkan ke manusia terutama melalui saliva yang terinfeksi. Oleh karena itu, saliva menjadi cairan biologis yang penting untuk dipertimbangkan dalam kaitannya dengan kesehatan masyarakat (Sanguansermsi et al., 2018). Saliva anjing telah digunakan untuk pengukuran kortisol, pengukuran IgGs, deteksi antigen virus rabies, monitor penggunaan obat, dan kuantifikasi CRP (C-Reactive Protein) (Iacopetti et al., 2017). Sehingga dapat dilihat bahwa saliva tidak hanya digunakan sebagai indikator kesehatan oral saja, namun juga bisa sebagai indikator kesehatan hewan secara umum.
Salah satu komposisi dari saliva adalah protein. Keberadaannya pada saliva memberikan kontribusi yang penting dalam
menjalankan fungsi saliva dan dianggap sebagai ultrafiltrat serum dari mulut. Protein saliva telah terbukti meningkat pada pasien dengan gangguan medis yang kondisinya secara umum menjadi lebih buruk. Berdasarkan beberapa penelitian, protein total saliva terlihat meningkat pada penderita gingivitis dan periodontitis (Shaila et al., 2013), kanker (Al-Muhtaseb, 2014), dan karies (Tulunoglu et al., 2006).
Maka, dari semua hal yang telah disebutkan di atas, protein pada saliva dapat menjadi biomarker dari munculnya suatu infeksi atau penyakit, terlebih lagi penyakit seperti periodontal dikatakan sebagai penyakit mulut yang paling sering ditemukan pada anjing (Iacopetti et al., 2017). Untuk menjadikan protein saliva sebagai indikator kesehatan anjing secara umum maupun spesifik terhadap suatu penyakit, dibutuhkan data yang jelas mengenai nilai normal dari protein total pada saliva anjing. Informasi mengenai hal ini belum banyak dilaporkan. Pada penelitian ini akan dilakukan penghitungan protein total dari saliva anjing. Dengan hasil penelitian yang didapatkan mengenai hal tersebut, diharapkan secara tidak langsung dapat menjadi acuan dalam pemeriksaan saliva anjing sebagai bagian dari tahap pemeriksaan kesehatan anjing.
METODE PENELITIAN
Sampel Penelitian
Penelitian ini menggunakan sampel saliva dari 15 ekor anjing yang dipilih secara acak, baik jantan maupun betina dan tidak berdasarkan ras tertentu. Sampel saliva diambil sebanyak satu kali dari setiap anjing. Sampe berjumlah kurang dari 30 atau N < 30, maka dikategorikan sebagai sampel kecil (Spiegel dan Stephens, 2008).
Perlakuan Hewan Coba
Sebelum proses pengambilan saliva, setiap anjing diperiksa terlebih dahulu untuk memastikan anjing dalam kondisi sehat secara klinis. Pemeriksaan berupa pengukuran suhu tubuh, detak jantung, pulsus, frekuensi napas, dan CRT
(Capillary Refill Time). Pemeriksaan kondisi mulut secara umum juga dilakukan untuk memastikan anjing bebas dari penyakit gigi dan mulut. Pengambilan saliva dari setiap anjing dilakukan satu kali. Setiap alat, seperti pipet tetes, dibersihkan dengan desinfektan dan gloves digunakan. Untuk memicu keluarnya saliva, maka makanan akan diletakkan di atas hidung anjing. Fenomena adanya stimulasi terkait erat dengan sekresi saliva ini telah dirintis oleh Pavlov dan diuji pada anjing (Ekström et al., 2012). Hal ini disebut dengan respon Pavlov.
Setelah satu menit anjing distimulasi dengan makanan kering, anjing direstrain berdiri. Lalu dengan menggunakan kedua tangan, mulut anjing dibuka perlahan dan ditahan pada posisi tersebut. Saliva segera diambil dengan menggunakan pipet tetes. Pipet tetes diarahkan pada bagian bawah lidah. Setelah tertarik ke dalam pipet, saliva segera dipindahkan ke dalam tabung salep steril yang sudah disiapkan. Proses ini dilakukan beberapa kali hingga sampel yang terkumpul mencukupi, yaitu sekitar 0,05-1 ml (3-5 tetes). Setelah terkumpul tabung sampel segera ditutup dan segera diberi label atau tanda berupa nama anjing serta informasi lain dari anjing, seperti jenis kelamin, umur, dan pola warna rambut. Berikutnya tabung dimasukkan ke dalam kotak es.
Pemeriksaan Protein
Pemeriksaan protein total dilakukan dengan menggunakan Urine Gluco Protein Test (OneMed). Alat ini merupakan tes strip yang digunakan untuk pemeriksaan kadar gula dan protein secara semikuantitatif. Dengan menggunakan pipet tetes steril, sampel saliva diambil dari dalam tabung. Saliva diteteskan perlahan dimulai dari tepi area indikator protein, hingga ke bagian tengah. Setelah semua area telah terkena saliva, tes strip didiamkan selama satu menit untuk menunggu hasil. Hasil tes dibaca dengan membandingan warna pada standar warna yang tersedia pada kemasan.
Analisis Data
Data yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk grafik batang yang menunjukkan distribusi frekuensi dari setiap kelompok nilai total protein. Adapun hasil berdasarkan standar warna pada kemasan dimulai dari negatif, 10 mg/dL, 30 mg/dL, 100 mg/dL, dan 300 mg/dL. Bila hasil warna tidak persis seperti salah satu warna parameter, maka dituliskan nilai di antara dua warna parameter yang menyerupai hasil, sehingga nantinya akan terbentuk 4 kelompok, yaitu 0-10 mg/dL, 10-30 mg/dL, 30-100 mg/dL, 100-300 mg/dL. Informasi mengenai jenis kelamin, umur, serta warna rambut dari anjing sebagai objek penelitian juga disertakan dalam data.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil pemeriksaan semikuantitatif protein total dari saliva anjing disajikan pada grafik batang (Gambar 1).
Dari grafik batang tersebut dapat terlihat bahwa sebanyak 12 sampel menunjukkan hasil protein total yaitu 0-10 mg/dL, satu sampel menunjukkan hasil 10-30 mg/dL dan dua sampel menunjukkan hasil 30-100 mg/dL. Tidak ditemukan satupun hasil dengan kadar protein total 100-300 mg/dL dari sampel. Dengan begitu, kadar protein total dari saliva anjing paling banyak pada hasil 0-10 mg/dL.
Pembahasan
Pada penelitian ini, dilaporkan hasil paling banyak terdapat pada kelompok nilai protein total 0-10mg/dL yang merupakan kelompok dengan nilai protein total paling rendah dari empat kelompok yang ada. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan nilai protein total dari manusia dan beberapa jenis hewan lain, seperti kuda dengan nilai 96-423 mg/dL (Contreras-Aguilar et al., 2019), babi dengan nilai 95 mg/dL (Gutiérrez et al., 2013), dan primata dengan nilai 471 mg/dL (Edgar et al., 1932). Pasha et al., (2018) menyatakan dari hasil penelitiannya, bahwa perbedaan yang besar dapat terlihat pada perbandingan
komposisi protein saliva antara spesies, namun pada perbandingan antar ras, kesamaan yang tinggi ditemukan.
Penggunaan makanan sebagai pemicu saliva pada prosedur pengambilan sampel menyebabkan saliva yang dihasilkan berupa stimulated saliva. Dengan adanya makanan, anjing mengendus makanan tersebut sehingga aliran udara meningkat seiring dengan peningkatan stimulasi ke area reseptor. Menurut Ekström et al. (2012), stimulasi ini, olfactory-salivary reflex, mengatur sekresi kelenjar submandibular, tetapi tidak pada kelenjar parotis. Secara histologi, penyusun acinar dari kelenjar submandibular merupakan campuran dari sel serous dan mukus, namun sel serous lebih mendominasi. Hal ini menyebabkan saliva yang dihasilkan mengandung banyak air dengan kandungan protein yang lebih rendah.
Lebih daripada itu, rendahnya kadar protein yang ditemukan bisa dikarenakan jadwal makan anjing yang tidak menentu. Hal ini menyebabkan anjing berada dalam keaadan lapar setiap saatnya. Adanya makanan menyebabkan stimulasi saraf parasimpatis yang menyebabkan penghasilan saliva yang kaya akan air. Berbeda dengan stimulasi saraf simpatis yang bisa muncul karena adanya rasa stress, menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah, sehingga terjadi pencurahan seluruh komponen pada sel glandular. Dengan begitu, volume saliva yang dihasilkan rendah (sedikit air), namun kaya akan zat-zat organik (Rahayu dan Kurniawati, 2018).
Konsentrasi zat-zat organik secara langsung dapat tergantung pada laju aliran saliva, sehingga faktor-faktor yang menyebabkan penurunan laju aliran saliva berpengaruh terhadap hasil penelitian ini. Faktor-faktor tersebut antara lain, faktor umur, jenis kelamin, dan nutrisi. Faktor jenis makanan yang dikonsumsi selama ini oleh hewan juga dapat mempengaruhi komposisi saliva, walaupun tidak mengubah laju aliran salivanya. Hal ini bisa menjadi salah satu penyebab terjadinya perbedaan hasil pada beberapa sampel.
Menurut Dawes (1970), efek sistemik dari makanan tertentu yang dikonsumsi dalam satu waktu atau dalam jangka panjang dapat dipertimbangkan menyebabkan efek spesifik langsung pada komposisi saliva yang bukan disebabkan karena perubahan laju aliran saliva. Namun, keterkaitan antara makanan yang dikonsumsi dengan kadar protein total pada saliva belum banyak dilaporkan, sehingga poin ini dapat dipertimbangkan namun dianggap tidak signifikan.
Laporan penggunaan urine gluco protein dipstick untuk mengukur secara semikuantitatif kadar protein total dari saliva belum pernah ditemukan sebelumnya, sehingga sensitivitas dan spesifisitasnya pada penelitian ini belum dapat dipastikan. Secara fisiologi, urin memiliki rentang pH yang lebar, yaitu 4,0 sampai 8,0 (Brunzel, 2018), dengan kata lain urin berkisar dari pH yang asam, netral ataupun basa. Maka berdasarkan hal ini, alat tersebut dapat digunakan pada saliva yang cenderung memiliki pH basa. Secara spesifik terhadap pengukuran protein, Reagan et al. (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pH alkalin dari sampel tidak memberikan efek yang besar terhadap estimasi protein.
Penggunaan alat ini pada urin telah banyak dilaporkan, misalnya untuk mendiagnosis proteinuria pada suatu individu. Stefánska et al. (2020), menyatakan bahwa dalam hal pengukuran proteinuria, signifikansinya dapat
terpengaruh beberapa hal, namun masih bisa digunakan untuk metode skrining primer karena kemudahan penggunaannya dan biaya yang rendah. Beberapa hal yang dikatakan dapat mempengaruhi signifikansi dipstick adalah adanya mukus, adanya darah, dan tingkat konsentrasi sampel (Melandri et al., 2020). Keberadaan mukus pada saliva sangat mungkin ditemukan karena whole saliva atau saliva total yang berada pada cavum oral merupakan campuran kompleks dari cairan yang berasal dari kelenjar saliva, lipatan gingiva, transudat mukosa mulut, bahkan mucus
yang berasal dari rongga hidung dan faring, sehingga signifikansinya dapat
terpengaruh.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa kadar protein total saliva dari tiap anjing bervariasi dengan hasil paling dominan adalah 0-10 mg/dL
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemeriksaan nilai protein total pada saliva anjing dengan skala sampel yang lebih besar dan dengan alat ukur yang berbeda. Selain itu dapat pula dilakukan pemeriksaan nilai protein total saliva pada anjing dengan menetapkan variabel kontrol yang berbeda, misalnya anjing dengan kondisi tidak sehat secara klinis, terutama kesehatan oral, dan lebih terperinci, sehingga dapat dijadikan data dasar dan perbandingan dengan nilai normal yang ada.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing dan dosen penguji atas segala masukan dan bimbingan yang telah diberikan. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada seluruh pihak yang telah membantu dari awal hingga akhir dari penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Muhtaseb AI. 2014. Serum and saliva protein levels in females with breast cancer. Oncol. Letters. 8: 2752-2756.
Brunzel NA. 2018. Fundamentals of urine & body fluid analysis. 5th ed. Saunders Elsevier. St. Louis.
Contreras-Aguilar MD, Escribano D, Martínez-Subiela S, Martín-Cuervo M, Lamy E, Tecles F, Cerón JJ. 2019. Changes in saliva analytes in equine acute abdominal disease: a
sialochemistry approach. BMC Vet. Res. 15(187): 4.
Dawes C. 1970. Effects of diet on salivary secretion and composition. J. Dent. Res. Suppl. 49(6): 1263-1269.
Edgar WM, Bowen WH, Cole MF. 1932. Protein components in saliva and plaque fluid from irradiated primates. J. Oral Pathol. 11: 254.
Ekström J, Khosravani N, Catagnola M, Messana I. 2012. Saliva and the control of its secretion. Springer. Pp. 29.
Gutiérrez AM, Nöbauer K, Soler L, Razzazi-Fazeli E, Gmeiner M, Cerón JJ, Miller I. 2013. Detection of potential markers for systemic disease in saliva of pigs by proteomics: a pilot study. Vet. Immunol. Immunopathol. 15: 76.
Iacopetti I, Perazzi A, Badon T, Bedin S, Contiero B, Ricci R. 2017. Salivary pH, calcium, phosphorus and selected enzymes in healthy dogs: a pilot study. BMC Vet. Res. 13(330): 1-7.
Kasempimolporn S, Saengseeom W, Lumlertdacha B, Sitprija V. 2000. Detection of rabies virus antigen in dog saliva using a latex agglutination test. J. Clin. Microbiol. 38(8): 3098-3099.
Khurshid Z, Warsi I, Moin SF, Slowey PD, Latif M, Zohaib S, Zafar MS. 2020. Biochemical analysis of oral fluids for disease detection. Adv. Clin. Chem. 100: 205-253.
Melandri M, Veronesi MC, Alonge S. 2020. Urinalysis in great dane puppies from birth to 28 days of age. Animals. 10(636): 1-14.
Pasha S, Inui T, Chapple I, Harris S, Holcombe L, Grant MM. 2018. The saliva proteome of dogs: variations within and between breeds and between species. Proteomics. 1700294: 1-7.
Rahayu YC, Kurniawati A. 2018. Cairan rongga mulut. Innosain. Yogyakarta.
Reagan WJ, VanderLind B, Botts S. 2007. Influence of urine ph on accurate urinary protein determination in sprague-dawley rats. Vet. Clin. Pathol. 36(1): 73-78.
Sanguansermsi P, Jenkinson HF, Thanasak J, Chairatvit K, Roytrakul S, Kittisenachai S, Puengsurin D, Surarit R. 2018. Comparative proteomic study of
dog and human saliva. PLoS ONE. 13(12): 1-2.
Spiegel MR, Stephens LJ. 2008. Theory and problems of statistics. 4th Ed.
McGraw-Hill. New York.
Shaila M, Pai GP, Shetty P. 2013. Salivary protein concentration flow rate, buffer capacity and ph estimation: a
comparative study among young and elderly subjects, both normal and with gingivitis and periodontitis. J. Indian Soc. Periodontol. 17(1): 42-44.
Stefánska K, Zieliński M, Zamkowska D, Adamski P, Jassem-Bobowicz J,
Piekarska K, Jankowiak M, Leszczyńska K, Świątkowska-Stodulska R, Preis K, Trzonkowski P, Marek-Trzonkowska N. 2020. Comparisons of dipstick test, urine protein-to-creatinine ratio, and total protein measurement for the diagnosis of preeclampsia. Int. J. Environ. Res. Pub. Health. 17: 1-9.
Tulunoglu Ö, Demirtas S, Tulunoglu I. 2006. Total antioxidant levels of saliva on children related to caries, age, and gender. Int. J. Pediatric Dentistry. 16: 186-191.

Gambar 1. Grafik batang distribusi frekuensi nilai protein total dari saliva anjing
522
Discussion and feedback