PENGATURAN TRANSAKSI PEMBAYARAN

MENGGUNAKAN ASET KRIPTO DI INDONESIA

I Gusti Agung Ngurah Dwija Iswara Aditya Ningrat, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Artikel ini memiliki tujuan untuk mengkaji regulasi terkait transaksi aset kripto di Indonesia guna mengetahui bagaimana pengaturan aktivitas transaksi menggunakan aset kripto. Metode penelitian yang dipakai yakni metode hukum normatif dengan pendekatan statue approach serta disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwasanya perdagangan aset kripto sebagai aset komoditas memiliki izin dari Kementrian Perdagangan, dalam hal ini Bappebti, dengan keluarnya Permendag No. 99 Tahun 2018. Hal ini semakin diperkuat dengan Peraturan Bappebti No. 3 Tahun 2019 serta Peraturan Bappebti No.5 Tahun 2019. Hal ini menunjukkan bahwasanya aset kripto bisa diklasifikasikan sebagai properti tidak berwujud yang bisa diperdagangkan ataupun properti hukum yang dipakai sebagai dasar hukum untuk perdagangan melalui teknologi perantara berupa elektronik melalui perjanjian khusus dan sarana komunikasi. Namun, menurut undang-undang mata uang, hanya mata uang rupiah yang diperbolehkan sebagai mata uang nasional serta menurut PBI No. 18/40/PBI/2016 dan PBI 19/12/PBI/2017 tentang penerapan teknologi keuangan menetapkan bahwasanya pemakaian aset kripto dilarang digunakan sebagai mata uang namun diperbolehkan sebagai aset komoditas.

Kata Kunci: Aset Kripto, Blockchain, Transaksi, Komoditi, Kontrak Berjangka.

ABSTRACT

This article aims to examine regulations related to crypto asset transactions in Indonesia in order to find out how transaction activities using crypto assets are regulated. The research method used is the normative legal method with the statue approach and is presented descriptively. The results of the study show that crypto asset trading as a commodity asset has a permit from the Ministry of Trade, in this case CoFTRA, with the issuance of Permendag No. 99 of 2018. This is further strengthened by CoFTRA Regulation No. 3 of 2019 and CoFTRA Regulation No. 5 of 2019. This shows that crypto assets can be classified as intangible properties that can be traded or legal properties that are used as a legal basis for trading through intermediary technology in the form of electronics through special agreements and communication facilities. However, according to the currency law, only the rupiah currency is allowed as the national currency and according to PBI No. 18/40/PBI/2016 and PBI 19/12/PBI/2017 concerning the application of financial technology stipulates that the use of crypto assets is prohibited from being used as currency but is permitted as a commodity asset.

Key Words: Crypto Assets, Blockchain, Transaction, Commodity, Futures Contract.

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1    Latar Belakang

Transaksi adalah satu dari sekian banyak bidang teknologi modern yang telah berubah sebagai akibat dari kemajuan di bidangnya. Berbagai aktivitas kini bisa dilakukan di internet berkat kemajuan teknologi digital. Dengan munculnya cryptocurrency, salah satu dari elemen transaksi juga telah berubah. Ketika berbicara mengenai uang digital, istilah "cryptocurrency" pasti merupakan salah satu yang menjadi perbincangan.1 sebab sifatnya yang terdesentralisasi, aman, serta mendunia, uang kripto dipandang sebagai bentuk pembayaran yang lebih kontemporer. Dimungkinkan guna melaksanakan transaksi cryptocurrency memakai perangkat apa pun yang terhubung ke internet, laptop, PC desktop, ataupun bahkan smartphone.2 Cryptocurrency yakni produk revolusi Industri yang bisa dipakai di masa depan, meskipun faktanya masih banyak pertanyaan mengenai keamanannya.

Perubahan ini tentu memerlukan hadirnya sebuah peraturan ataupun hukum sebagai alat integratif serta preventif agar terdapat kontrol atas kegiatan yang terjadi dan terciptanya keamanan serta kenyamanan masyarakat. cryptocurrency sebagai hasil dari revolusi industri sejatinya memerlukan sebuah pengkajian dari aspek hukum. Topik mengenai uang kripto sebernarnya telah dibahas oleh banyak negara.3 Perkembangan yang signifikan ini tentu membutuhkan hukum sebagai tonggak serta pedoman masyarakat agar terhindar dari pengaruh negatif perubahan teknologi.4 Jadi secara garis besar cryptocurrency termasuk sebuah teknologi uang digital yang memungkinkan pengguna guna melaksanakan transaksi secara digital.5 Meskipun sama-sama tersimpan dalam bentuk digital, uang kripto adalah uang digital yang berbeda. Sampai saat ini setidaknya terdapat tiga varian dalam uang digital. Pertama, uang digital yang berbasis pada nilai uang fiat atau fisik. Varian pertama merupakan bentuk “digitalisasi” dari jumlah nilai uang nasabah atau pengguna. Otorisasi masih berada pada pihak perbankan karena terhubung dengan rekening pengguna. Mata uang digital ini sebatas pengalihan wahana, dengan basis nilai tetaplah menggunakan rupiah sebagai mata uang yang disahkan oleh pemerintah.6

Kedua, uang digital yang tersimpan dalam dompet digital yang merupakan storedvalue atau prepaid card. Uang ini tidak memerlukan otorisasi dari pihak perbankan atau tidak terhubung dengan rekening pengguna sehingga dapat digunakan secara langsung dengan vendor yang telah menyetujui penggunaannya. Jenis ini tersimpan, misalnya, dalam Gopay, OVO, dan bentuk E-money lainnya.7 Ketiga, uang digital yang dalam penggunaannya tidak lagi membutuhkan perantara. Transaksi dapat terjadi antarpengguna dan tidak perlu diketahui oleh pihak lain. Transaksinya tercatat dalam database jaringan. Uang digital varian ketiga ini yang paling populer adalah Bitcoin sebagai uang digital pertama yang diciptakan oleh sosok anonim Satoshi Nakamoto

pada 2009.8 Setelah meledaknya Bitcoin, uang digital-uang digital lain yang tergabung dalam cryptocurrency bermunculan yang disebut sebagai altcoin atau koin alternatif seperti Ethereum, XRP (Ripple), Dash, Dogecoin, XLM, Cardano dan ribuan lainnya. Hanya saja mekanisme penggunaan transaksi bitcoin dilakukan secara digital menggunakan perangkat berbasis teknologi informasi.9 Jadi dapat dikatakan cryptocurrency adalah sistem mata uang virtual yang berfungsi seperti mata uang pada umumnya yang memungkinkan pengguna untuk melakukan pembayaran secara virtual atas transaksi bisnis yang terjadi.10

TokoCrypto dan Indodax yakni dua bursa saham terpopuler di Indonesia. Hingga artikel ini ditulis, jumlah pengguna bursa kedua telah mencapai 7 juta orang. Dengan jumlah penduduk Indonesia, angka ini masih terbilang sedikit. Namun, Direktur Utama Indodax Oscar Darmawan mengatakan seluruh volume transaksi harian di Indodax terkadang melebihi satu triliun rupiah.11 Ada 4172 jenis cryptocurrency yang diidentifikasi pada tulisan ini, termasuk Bitcoin, Ethereum, Binance Coin, Polkadot, Cardano, XRP, Litecoin, serta Chain link, antara lain. Dengan nilai pasar $810.828.917.227 guna 1 Bitcoin (BTC), Bitcoin yakni cryptocurrency paling populer, diikuti oleh Ethereum seharga $314.444.615.089 guna 1 Ethereum (ETH) (ETH).12

Melihat perkembangan uang kripto yang sangat pesat membuat banyak negara telah mengambil sikap terkait penggunaannya, termasuk Indonesia. Indonesia bersama dengan Nepal, Mesir, Maroko, Tiongkok termasuk kategori negara-negara yang melarang pemakaian uang kripto. Sementara negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Belanda dan Swiss serta 111 negara lainnya termasuk negara yang melegalkan pemakaian uang kripto namun dengan tetap berusaha mencegah tindak pencucian uang.

Aset yang relatif baru ini memiliki beberapa keunggulan yang membuatnya populer di masyarakat. Karena dibangun di atas sistem yang disebut blockchain, ini membuat kripto terdesentralisasi, artinya tidak ada badan atau otoritas khusus untuk mengontrol distribusi pasokan aset ini atau mengawasi transaksi yang terjadi di dalamnya. Blockchain sebagai buku besar terdistribusi yang berfungsi untuk mencatat semua transaksi yang terjadi.13 Blockchain memungkinkan data transaksi untuk berada dalam banyak jaringan komputer dengan lokasi yang berbeda sehingga bila ada

perubahan rantai akan terlihat pada setiap salinan.14 Pencatatan dilakukan berisifat catatan publik dan catatan umum, hal ini dilakukan agar publik mengetauhi setiap transaksi menggunakan Aset Kripto walaupun alamat wallet Aset Kripto tetap dapat dirahasiakan sehingga publik tidak mengetahui pelaku transaksi tersebut.15 Jadi pemerintah tidak bisa mencampuri transaksi yang terjadi di blockchain. Namun, cryptocurrency bukan tanpa kekurangannya. Sistem desentralisasi ini justru memudahkan untuk terjadinya tindak kriminal. Langkah ini sebenarnya sudah berlangsung lama, terutama menggunakan Bitcoin. Sejak pertama kali dibuat pada tahun 2009, Bitcoin telah menjadi kripto yang paling banyak digunakan di deepweb. Dari perdagangan manusia, perdagangan anak, pembelian narkoba, senjata hingga layanan prostitusi tersebar dan dapat diakses menggunakan Bitcoin sebagai alat pembayaran. Hal ini tentu merupakan salah satu sisi gelap dari kripto yang masih perlu dikaji lebih lanjut.

Terkait dengan regulasi uang kripto tersebut pemerintah telah mempunyai beberapa aturan dasar seperti UU No. 23 Tahun 1999, UU No. 11 Tahun 2008, serta UU No. 7 Tahun 2011. sebab uang kripto ini terus berkembang pemerintah kemudian mengeluarkan beberapa peraturan yang lebih mengatur permasalahan teknis yakni PBI No. 18/40/PBI/2016, PBI No. 19/12/PBI/2017, Permendag No. 99 Tahun 2018 serta Peraturan Bappebti No. 5 Tahun 2019. Melalui peraturan-peraturan tertera, kajian lebih lanjut mengenai hal ini tentu diperlukan guna memberi kepastian hukum demi berjalannya roda perekonomian.16 sebab sejatinya kepastian hukum atas pengaturan pasar aset kritpo termasuk hal yang esensial akan keberlangsungan iklim berinvestasi.17 Di Abad Pertengahan kegiatan ekonomi telah menciptakan aturan-aturan bagi pedagang yang merupakan cikal bakal hukum perdagangan (commercial law) di masa modern. 18 Hal serupa bisa terjadi dalam konteks uang kripto ini.

Penting guna dicatat bahwa, terlepas dari keuntungan memakai aset kripto, ada berbagai bahaya yang menyertainya sebab sifat sistem mata uang kripto yang tidak stabil. Di setiap sistem, selalu ada kemungkinan terjadi kesalahan, dan ini tercakup aset kripto, pelanggaran data, peretasan, serta regulasi aset kripto.19

Permasalahan mengenai aset kripto ini sebenarnya telah dikaji oleh beberapa peneliti. Berdasarkan kajian artikel jurnal, publikasi serta penelitian terdahulu menunjukkan fokus kajian lebih kearah teknologi blockchain serta bitcoin saja seperti kajian oleh Ida Bagus Prayoga Bhianara yang mengangkat judul “Teknologi Blockchain

Cryptocurrency Di Era Revolusi Digital”20 kajian yang ditulis oleh Raina Chanda Norsanti, Herberitus Yulyanto, Cristophorus Hadonio yang mengangkat judul “Blockchain - Teknologi Mata Uang Kripto (Crypto Currency)”.21 Serta kajian yang ditulis oleh Siti Nurjannah yang mengangkat judul “Bitcoin Sebagai Aset Kripto di Indonesia Dalam Perspektif Perdagangan”22 Penulis percaya ada kebutuhan guna penelitian lebih lanjut mengenai aset kripto sebagai aset komoditas serta metode pembayaran, berdasarkan penelitian sebelumnya. Batasan ataupun perjanjian apa yang berlaku di Indonesia terkait cryptocurrency sebagai aset komoditas dan metode pembayaran? Itulah pertanyaan yang ingin penulis ketahui. “PENGATURAN TRANSAKSI PEMBAYARAN MENGGUNAKAN ASET KRIPTO DI INDONESIA”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana pengaturan aset kripto sebagai aset komoditas dalam lingkup transaksi di Indonesia?

  • 2.    Bagaimana legalitas aset kripto sebagai alat pembayaran menurut peraturan perundang-undangan di Indonesa?

  • 1.3    Tujuan Masalah

Penulisan jurnal ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami bagaimanakah bentuk regulasi dan legalitas aset digital kripto apabila digunakan sebagai salah satu alat pembayaran dalam lingkup transaksi di Indonesia.

  • 2.    Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif dan disajikan secara deskriptif menggunakan bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan yakni peraturan perundang-undangan. Untuk kepentingan analisis hukum, digunakan bahan hukum sekunder yang yakni berbagai jurnal ilmiah, buku, dan literatur hukum yang relevan. Dengan teknik penelusuran literature diperpustakaan dan internet. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan statute approach dengan cara mengkaji dan menganalisis peraturan perundang-undangan yang kemudian akan dijadikan acuan dalam menganalisa suatu permasalahan.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Pengaturan Aset Kripto Sebagai Aset Komoditas Dalam Lingkup Transaksi Di Indonesia

Aset Kripto termasuk uang digital yang memakai kriptografi dalam proses transaksinya sehingga menjadi lebih aman .23 Peraturan mengenai perdagangan aset kripto sebenarnya telah diatur oleh pemerintah, hal ini terbukti dengan dikeluarkannya

Peraturan Badan Pengatur Perdagangan Berjangka Komoditi No. 5 Tahun 2019 “Peraturan Teknis Penyelenggaraan Pasar Aset Kripto Fisik Bursa Berjangka” dan “Peraturan Badan Pengatur Perdagangan Berjangka Komoditi” No. 5. Pada tanggal 2 Februari 2019, telah diatur pelaksanaan pasar fisik komoditas di bursa berjangka. Tidak hanya itu, pada tahun 2018 Kementerian Perdagangan mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2018. yang bertujuan untuk melegalkan perdagangan aset kripto di bursa berjangka. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Bappebti berdasarkan Peraturan Bappebti Nomor 3 Tahun 2019 tentang Kontrak Berjangka, Kontrak Derivatif Syariah dan/atau Kontrak Derivatif Lainnya Yang Dapat Diperdagangkan di Bursa Berjangka.

Perkembangan aset kripto termasuk hal baru yang tentu menarik minat masyarakat di seluruh dunia tidak terkecuali Indonesia. Potensi kenaikan yang besar menjadi hal utama yang menarik perhatian masyarakat. Pengaturan mengenai aset kripto tentu sangat diperlukan agar menciptakan iklim berinvestasi yang sehat. Urgensi pengaturan itu memiliki tujuan antara lain:

  • 1.    Adanya kepastian hukum bagi pelaku usaha baik penjual maupun pembeli;

  • 2.    Menjamin perlindungan atas pelaku usaha aset kripto dari kerugian;

  • 3.    Memberi terobosan, perkembangan serta inovasi usaha terkait aset kripto;

  • 4.    Mengawasi pemakaian aset kripto untuk hal-hal illegal semisal pencucian uang, narkotika, terorisme, serta berbagai hal yang dilarang didalam Peraturan Perundang-Undangan.

Terdapat beberapa syarat bagi sebuah aset kripto agar bisa diperdagangkan seperti:24

  • 1.    Menggunakan teknologi distribusi berbasis ledger

  • 2.    Merupakan aset kripto fungsi ataupun aset yang didukung kripto

  • 3.    Masuk ke dalam peringkat 500 berdasarkan besaran nilai kapitalisasinya

  • 4.    Terdapat didalam exchanger bursa aset kripto terbesar

  • 5.    Mempunyai manfaat ekonomi baik itu pajak, pertumbuhan industri serta informatika

  • 6.    Sudah dilakukan penilaian resikonya (risk profile).

Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2011, aset kripto ataupun komoditi kripto bisa dikategorikan menjadi “hak ataupun kepentingan” sebab aset kripto yang berbasis blockchain ini bisa diperdagangkan dan termasuk subjek dari kontrak berjangka serta kontrak derivatif syariah. Dalam pembentukan tata kelola terkait aset kripto ini diperlukan pengawasan beberapa aspek yakni:

  • a)    Adanya lembaga yang memiliki tugas pengawasan, penegakan peraturan, pembinaan serta pengembang.

  • b)    Regulasi iklim usaha harus sesuai prinsip good governance serta corporate governance.

  • c)    Masyarakat yang ikut andil dalam mendorong terciptanya iklim investasi yang sehat.

Untuk alasan ini, aset kripto mereka juga termasuk dalam klasifikasi aset komoditas, pemerintah telah membuat sejumlah aturan guna mengawasi perdagangan aset kripto, aturan-aturan tersebut yakni:

  • 1.    Peraturan Menteri Perdagangan No. 99 Tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto (Crypto Asset);

  • 2.    Peraturan Bappebti No. 2 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pasar Fisik Komoditi di Bursa Berjangka;

  • 3.    Peraturan Bappebti No. 5 tahun 2019 tentang Ketentuan teknis penyelenggaraan Pasar fisik aset kripto (crypto asset) Di bursa berjangka sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka komoditi No. 3 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi No. 5 tahun 2019 tentang Ketentuan teknis penyelenggaraan Pasar fisik aset kripto (crypto asset);

  • 4.    Peraturan Bappebti No. 6 tahun 2019 tentang Penerapan Program Anti Pencucian    Uang    serta Pencegahan Pendanaan Terorisme Terkait

Penyelenggaraan Pasar Fisik Komoditi Di Bursa Berjangka;

  • 5.    Peraturan Bappebti No. 7 Tahun 2020 tentang Penetapan Daftar Aset Kripto Yang bisa Diperdagangkan Di Pasar Fisik Aset Kripto.

Menurut ketentuan Pasal 1 Permendag No. 99 Tahun 2018, aset kripto bisa dikategorikan sebagai komoditas yang menjadi subjek knotrak berjangka serta bisa diperdagangnkan di bursa berjangka, dengan tetap dalam pengawasan dari Kepala Bappebti. Hal ini pun sesuai dengan yang dikemukakan Magnuson dalam bukunya Financial Regulation in the Bitcoin Era.25 Menurutnya aset kripto ini masih memiliki kekosongan terkait regulasi serta teknis penggunaannya, hal ini diperlukan agar masyarakat melalui negara memiliki pondasi ataupun pedomman sehingga bisa mencegah terjadinya penyalahgunaan aset ktiprto itu sendiri, memberi kepastian hukum serta meningkatkan perlindungan konsumen. Meskipun demikian aset kripto belum mampu memenuhi beberapa kriteria sebagai alat tukar. Kriteria –kriteria itu antara lain stabil, mudah disimpan, tidak mudah rusak, diterima oleh masyarakat, serta adanya jaminan.26

Berdasarkan Peraturan Bappebti No. 5 Tahun 2019, telah diatur mengenai teknis pelaksanaan perdagangan aset krpito di bursa berjangka dengan perubahannya yakni Peraturan Bappebti No. 3 Tahun 2020. Perihal aset kripto mana saja yang bisa diperdagangkan di Indonesia telah diatur dalam Peraturan Bappebti No. 7 Tahun 2020. Dampak penggunaan mata uang virtual atau cryptocurrency terhadap perekonomian Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Hal ini relevan dengan perekonomian Indonesia, mengingat banyak negara besar yang mulai melegalkan penggunaan aset krrpto. Tren turun baru-baru ini dalam cryptocurrency harus diperhatikan. Pasalnya, hal itu bisa berdampak pada perekonomian domestik. Di Indonesia, untuk menjaga kedaulatan rupiah sebagai alat pembayaran yang sah, penggunaan cryptocurrency sebagai alat pembayaran dilarang, baik secara hukum (hukum positif) atau di luar kemanfaatan. Oleh karena itu, penggunaan aset kiripto sebagai alat pembayaran di Indonesia dapat ditafsirkan sebagai pelanggaran hukum dan memiliki akibat hukum. Konsekuensi hukum yang disebutkan di atas adalah sanksi atas penggunaan aset

kroipto ini. Secara khusus Sanksi bagi Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) yang memberikan layanan untuk memfasilitasi transaksi Pembayaran dilakukan kepada pengguna jasa dalam sistem pembayaran. Larangan penyedia layanan pembayaran Terima koin kripto atau mata uang virtual dalam transaksi. Sanksi Perintah yang tertuang dalam peraturan dapat berupa peringatan, penghentian kegiatan Meliputi pelaksanaan kerjasama sementara, sebagian atau seluruhnya; dan/atau mungkin PJP dicabut.

  • 3.2 Legalitas Aset Kripto Sebagai Alat Pembayaran Menurut Peraturan Perundang Undangan Di Indonesia

Aset kripto dalam perkembangannya sebagai alat pembayaran mengalami beberapa kendala baik itu dari sisi kepercayaan masyarakat, harganya yang cenderung fluktuatif, kekosongan lembaga yang mengeloloa, serta minimnya tingkat perlindungan konsumen. Perihal legalitas aset kripto juga mengalami kendala, pasalnya belum ada peraturan yang menetapkan bahwa aset kripto dapat digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia. Hal ini sesuai dengan Pasal 21(1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, yang mengatur penggunaan Rupiah sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah sebagai alat pembayaran di Indonesia. Apakah transaksi tersebut memiliki fungsi pembayaran, pemenuhan kewajiban harus dilakukan menggunakan uang atau transaksi finansial lainnya.

Bank Indonesia juga mendukung pengaturan tersebut melalui PBI No. 17/3/PBI/2015 yang mengatur tentang penggunaan rupiah dalam setiap transaksi yang dilakukan di Indonesia. Hal yang sama diatur dalam ketentuan Peraturan BI No. 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan dan Transaksi Sistem Pembayaran yang diatur oleh Perbankan Indonesia dan seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai kewajiban penukaran rupiah dalam setiap transaksi di wilayah Indonesia, baik secara langsung maupun melalui media elektronik, serta penyelenggaraan sistem serta transaksi pembayaran.

Secara hukum, hanya ada dua jenis mata uang rupiah, uang kertas dan koin logam. Munculnya mata uang rupeiah dalam bentuk elektronik merupakan perkembangan karena kebutuhan zaman dan adanya teknologi elektronik yang mempermudah proses transaksi. Munculnya mata uang rupiah dalam bentuk elektronik tentu tidak lepas dari peran Bank Indonesia sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang mengawasi rupiah. Ketentuan mengenai format elektronik rupiah dapat dilihat dalam PBI Nomor 20/6/PBI/2018. Peraturan tersebut memberikan acuan dan pedoman bertransaksi yang harus dipatuhi oleh pelaku ekonomi yang ingin memanfaatkan proses transaksi elektronik dalam kegiatan komersialnya. Bentuk elektronik rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 sampai 4 menjelaskan bahwa bentuk elektronik rupiah merupakan instrumen pembayaran yang memenuhi unsur-unsur seperti diterebitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbit, nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip, dan nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan. Sedangkan dalam Pasal 3 menjelaskan lebih rinci tentang uang elektronik yang dibedakan berdasarkan ruang lingkup penyelenggaraannya. Seperti penggunaan uang elektronik sebagai pembayaran kepada penyedia barang dan/atau jasa yang merupakan Penerbit Uang Elektronik tersebut27 dan penggunaan uang elektronik sebagai instrumen

pembayaran kepada Penyedia Barang dan/atau Jasa yang bukan merupakan Penerbit Uang Elektronik tersebut.28

Dari penjelasan diatas terlihat jelas bahwasanya regulasi mengenai aset kripto sebenarnya telah diatur di Indonesia. Menurut ketentuan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia aset kripto tidak bisa dijadikan sebagai alat pembayaran sebab menurut UU Mata Uang hanya mengakui Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia.29 Hal ini kemudian membuat pemerintah merasa adanya urgensi guna mengeluarkan sebuah regulasi guna mengatur keberadaan aset kripto ini di Indonesia. satu dari contohnya yakni Pasal 62 Peraturan BI No.20/6/PBI/2016 yang mengatur tentang larangan menerima,menggunakan, mengaitkan serta melaksanakan proses transaksi pembayaran mengunakan virtual currency. Hal serupa juga diatur dalam Pasal 34 Butir (a) Peraturan BI No. 18/40/PBI/2016 yang mengatur larangan pembayaran dengan memakai virtual currency.

Sebagaimana dinyatakan dalam rilis berita, mata uang virtual yakni uang yang dibuat oleh pihak ketiga di luar otoritas dengan kekuatan moneter, seperti individu yang membeli mata uang virtual, ataupun individu yang menerima hadiah (airdrops). Dengan mengizinkan pengembang guna membuat serta mengatur mata uang mereka sendiri, masyarakat digital telah memakai jenis mata uang baru ini. Dikarenakan aset kripto bukan termasuk mata uang yang sah, harganya tidak bisa diprediksi dan tidak stabil, serta tingkat perlindungan konsumen yang masih sangat rendah, Bank Indonesia telah mewaspadai bahaya yang ditimbulkan oleh uang digital. Hal ini tentu akan meiningkatkan resiko transaksi karena rentan akan penyalahgunaan seperti sebagai pencucian uang, perdagangan narkoba serta pendanaan teroris.

Dalam pekembangannya aset kripto telah mengalami berbagai problematka dari ruang lingkp international yang sampai saat ini masih terdaapt kekosongan regulasi hukum internasional yang mengawasi prodkuksi serta beredarnya uang kripto ini. Keadaan kerangka hukum internasional yang maish remang-remang tentu meningkatkan berbagai risiko yang diakibatkan dari peyalahgunaan asset kripto. Terlebih dengan terus meningkatknya kepopuleran dari asset kripto itu sendiri. Maka dari itu hukum yang mengatur pemakaian asset kripto secara internasional termasuk sebuah urgensi yang mendesak. Namun di sisi lain banyak komunitas yang menolak regulasi asset kripto dengan alasan hal itu akan menghilangkan tujuan utama dari kripto itu sendiri yakni bersifat desentral serta tidak dikontrol oleh pihak manapun. Hal ini tentu menimbulka sebuah pro serta kontra dari para penggunanya.

Aset kripto yang merupakan komoditas digital ini tidak dapat digunakan sebagai metode pembayaran di Indonesia. Hal ini sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah dijelaskan diatas. Walaupun mata uang kripto tidak bisa dipakai sebagai alat tukar serta mata uang yang sah di Indonesia, namun aset kripto tetap bisa diperdagangkan di bursa berjangka, namun Bank Indonesia juga telah memberi peringatan terkait risiko yang bisa ditimbulkan sehingga menjadi tanggung jawab masingimasing individu.

Apabila dijabarkan mata uang kripto tidak bisa disebut sebagai uang elektronik, hal ini sebab menurut menurut Peratuan BI No. 11/PBI/2009 Pasal 3 Ayat 3 Butir a serta d menjelaskan bahwasanya uang elektronik termasuk bentuk lain dari mata uang rupiah dengan sistem pengelolaan yang berbeda. Uang elektornik harus disetorkan terlebih dahulu oleh pemegang kepada penerbit serta nilai yang disetorkan bukan termasuk aset

simpanan. Secara umum bisa disipulkan mata uang kripto bukan termasuk mata uang sah yang bisa diperdagangkan di Indonesia namun tetap bisa dipakai sebagai asset komiditas berjangka.

  • 4. Kesimpulan

Aset kripto sebagai suatu objek komoditas berjangka telah memiliki legalitas dari Kementrian Perdagangan serta Bappebti melalui Permendag No.99 Tahun 2018 yang didukung oleh Peraturan Bappebti No.3 Tahun 2019, serta Peraturan Bappebti No.5 Tahun 2019, maka dari itu asset kripto bisa dikategorikan sebagai asset yag bisa diperdagangkan ataupun tradeable tangible. Namun aset kripto tidak dapat dijadikan alat pembayaran yang sah di Indonesia berdasarkan UU Mata Uang, dimana disebutkan bahwasanya alat pembayaran yang sah dipakai dalam bertransaksi, pemenuhan kewajiban yang memerlukan uang serta metode pembayaran lainnya yakni dengan memakai Rupiah. Hal ini didukung dengan dikeluarkannya Peraturan BI No.18/40/PBI/2016 dan Peraturan BI No.19/12/PBI/2017 yang juga mengatur mengenai pemakaian asset kripto sebagai asset komoditas berjangka serta bukan sebagai alat pembayaran yang sah. Melalui berbagai regulasi yang sudah disebutkan pada penjelasan diatas menunjukan kesadaran dari pemerintah dalam menciptakan kepastian hukum ataupun rule of law terkait perkembangan teknologi baru di bidang ekonomi digital. Namun perlu diperhatikan dalam ketentuan normatifnya, terlihat adanya perspektif yang bersifat kontradiktif dalam menafsirkan aset kripto. Satu sisi melihat kripto sebagai “uang digital” serta melarang pemakaiannya sebagai alat pembayaran. Sementara di sisi lain memandang aset kripto sebagai sebuah aset digital yang bisa diperdagangkan pada bursa berjangka. Kedua pandangan ini tentu akan menimbulkan pro dan kontra serta kebingungan dalam melihat pedoman hukumnya. Oleh sebab itu, disarankan agar pemerintah menyelaraskan regulasi terkait aset digital agar lebih jelas.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Amal, Bakhurl. Hukum dan Masyarakat (Yogyakarta, Thafa Media, 2018).

Kasmir. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2014).

Lucking, David, and Vinod Aravind. Cryptocurrency as a commodity: The CFTC’s Regulatory Framework. (London, Global Legal Insights, 2020).

Nubika, Ibrahim. Bitcoin: Mengenal Cara Baru Ber-investasi Generasi Milenial (Bantul, Genesis Learning, 2018).

Oscar, Darmawan, and R. Sintha. Bitcoin Trading For Z Generation Cara Gaul Mengenal untuk Trading Bitcoin (Jakarta, Jasakom, 2017).

JURNAL ILMIAH

Aristeus, Syprianus. "Transplantasi Hukum Bisnis di Era Globalisasi Tantangan Bagi Indonesia." Jurnal Penelitian Hukum De Jure 18, no. 4 (2018).

Asep Zaenal Ausop, Elsa Silvia Nur Aulia, “Teknologi Cryptocurrency Bitcoin Untuk Investasi Dan Transaksi Bisnis Menurut Syariat Islam”, Vol. 17 Jurnal SosioTeknologi, (2018).

Bhiantara, Ida Bagus Prayoga. "Teknologi Blockchain Cryptocurrency Di Era Revolusi Digital." In Seminar Nasional Pendidikan Teknik Informatika (SENAPATI), vol. 9, pp. 173-177. 2018.

Böhme, Rainer, Nicolas Christin, Benjamin Edelman, and Tyler Moore. "Bitcoin: Economics, technology, and governance." Journal of economic Perspectives 29, no. 2 (2015).

Fabrizio Cafaggi, Antonio Nicita, dan Ugo Pagano (eds.). Legal Orderings and Economic Institutions, London dan New York: Routledge, (2007).

Fresly Nandar Pabokory, Indah Fitri Astuti, Awang Harsa Kridalaksana, “Implementasi Kriptografi Pengamanan Data Pada Pesan Teks, Isi File Dokumen Menggunakan Algoritma Advanced Encryption Standard”, Vol. 10 Jurnal Informatika Mulawarman, (2015).

Ibrahim Nubika, Bitcoin Mengenal Cara Baru Berinvestasi Generasi Milenial, Genesis Learning, Yogyakarta, 2018.

Magnuson, William. "Financial regulation in the Bitcoin era." Stan. JL Bus. & Fin. 23 (2018).

Mulyanto, Ferry. "Pemanfaatan Cryptocurrency Sebagai Penerapan Mata Uang Rupiah Kedalam Bentuk Digital memakai Teknologi Bitcoin." Indonesian Journal on Networking and Security 4, no. 4 (2015).

Noorsanti, Rina Candra, Heribertus Yulianton, and Kristophorus Hadiono. "Blockchain-Teknologi Mata Uang Kripto (Crypto Currency)." (2018).

Nurfia Oktaviani Syamsiah, “Kajian Atas Cryptocurrency Sebagai Alat Pembayaran Di Indonesia”, Vol. 6 Indonesian Journal On Networking And Security, (2017).

Nurfia Oktaviani Syamsiah, “Kajian Atas Cryptocurrency Sebagai Alat Pembayaran Di Indonesia”, Vol. 6 Indonesian Journal On Networking And Security, (2017).

Nurjannah, Siti, Artha, I Gede. “Bitcoin Sebagai Aset Kripto Di Indonesia Dalam Persepektif Perdagangan”. Kertha Negara Journal Ilmu Hukum vol 7 no 9. (2019).

Rinaldi, Dwikky Ananda, and Mokhamad Khoirul Huda. "Bitcoin sebagai alat pembayaran online dalam perdagangan internasional." (2016).

Roach Anleu, Sharyn L. Law and Social Change (London: SAGE Publications, 2000).

Rusydianta, Muhammad. "Dinamika Hukum dan Ekonomi dalam Realitas Sosial di Indonesia (Studi Kritis atas Kebijakan Hukum-Ekonomi di Indonesia)." Jurnal RechtsVinding 6, no. 3 (2017).

Sofian, Kalvian, and Edhy Sutanta. "Impelementasi Pembayaran memakai Bitcoin Pada Toko Online Berbasis Peer To Peer." Jurnal Script 3, no. 2 (2017).

Suharni. “Uang Elektronik (e-Money) Ditinjau dari Perspektif Hukum dan Perubahan Sosial”, Jurnal Spektrum Hukum, Vol. 15/No. 1/April 2018, (2018).

Syamsiah, Nurfia Oktaviani. "Kajian Atas Cryptocurrency Sebagai Alat Pembayaran Di Indonesia." Indones. J. Netw. Secur 6, no. 1 (2017).

Yohandi, Axel. “Implikasi Yuridis Penggunaan Mata Uang Virtual Bitcoin Sebagai Alat Pembayaran Dalam Transaksi Komersial (Studi Komparasi Antara Indonesia-Singapura)”, Diponegoro Law Journal Volume 6, Nomor 2, (2017).

Zhara Shafira Uswatun Khasanah, Yuniar Farida, “Analisis Performa Mata Uang Virtual (Cryptocurrency) Menggunakan Preference Ranking Organization Method for Enrichment Evaluation (Promethee).” Journal of Science and Technology Rekayasa, vol 14(1) (2021).

INTERNET

Coinbase.       What       Is       Crypto-Currency.       Available       from

https://www.coinbase.com/learn/what-is-cryptocurrency. (Diakses 25 Februari 2022).

Detik Finance. Transaksi Bitcoin di Indonesia Tembus Rp  1T.  Tersedia pada

https://finance.detik.com/moneter/d-3895202/transaksi-bitcoin-di-indonesia-tembus-rp-1-thari . (Diakses 25 Februari 2022).

Coin Market Cap. Crypto-Currency Market Capitalizations. Available from http://coinmarketcap.com (Diakses 25 Februari 2022).

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang – Undang Republik Indonesia No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdangan Berjangka Aset Kripto (Crypto Asset).

Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi No. 2 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pasar Fisik Komoditi di Bursa Berjangka.

Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi No. 3 Tahun 2019 tentang Komoditi Yang Dapat Dijadikan Subjek Kontrak Berjangka, Kontrak Derivatif Syariah, Dan/Atau Kontrak Derivatif Lainnya Yang Diperdagangkan Di Bursa Berjangka.

Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi No. 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset).

Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi No. 6 tahun 2019 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang serta Pencegahan Pendanaan Terorisme Terkait Penyelenggaraan Pasar Fisik Komoditi Di Bursa Berjangka.

Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi No. 7 Tahun 2020 tentang Penetapan Daftar Aset Kripto Yang bisa Diperdagangkan Di Pasar Fisik Aset Kripto.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/3/PBI/2015 Tahun 2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2016 tentang Uang Elektronik.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 11 Tahun 2022 hlm 1196-1207

1207