Volume 15 No. 4: 694-701

Agustus 2023

DOI: 10.24843/bulvet.2023.v15.i04.p23

Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal

Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Isolasi Jenis Cemaran Parasit pada Tanah

(ISOLATION OF PARASITE CONTAMINATION IN THE SOIL)

Ida Ayu Pasti Apsari1*, Ida Bagus Ngurah Swacita2, Ida Bagus Made Oka1

  • 1Laboratorium Parasitologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia 80234;

  • 2Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia 80234;

*Email: [email protected]

Abstrak

Telah dilakukan penelitian pada tanah sekitar kandang sapi dan padang penggembalaan. Tanah merupakan sumber infeksi/infestasi L3(stadium larva 3), telur infektif, ookista dan tungau atau caplak. Soil Transmitted Pathogens merupakan organisme yang hidup di tanah tapi dalam waktu yang tidak lama, selanjutnya keberlanjutan siklus harus memerlukan inang. Sapi dalam hal ini berperan sebagai inang/hospesnya. Tujuan penelitian untuk mengisolasi jenis cemaran parasit pada tanah sekitar kandang dan padang penggembalaan. Sampel tanah masing-masing sejumlah 100 berasal dari wilayah kering berkapur (Jimbaran) dan wilayah basah (Mengwi-Badung). Metode pengapungan dengan MgSO4 (garam inggris) yang dimodifikasi sebagai metode untuk menentukan jenis cemaran lingkungan tanah. Hasil penelitian diperoleh 45 % (90/200) tanah tercemar oleh parasit. Jenis cemaran parasit yang ditemukan adalah ookista coccidia, kista protozoa, telur cacing trematoda dan nematoda, larva cacing nematoda serta telur dan larva tungau. Simpulan dari hasil penelitian lingkungan tanah diperoleh 45% tanah ada cemaran parasit yaitu protozoa, telur cacing, larva dan telur tungau berasal dari wilayah Bukit Jimbaran (29%) dan Mengwi (61%).

Kata kunci: kista protozoa; MgSO4; parasit; tanah; telur cacing

Abstract

Research has been carried out on the soil around the cowshed and grazing land. Soil is the source of infection/infestation of L3 (larval stage 3), infective eggs, oocysts and mite or ticks. Soil-Transmitted Pathogens are organisms that live on the ground, but in a short time, then the continuity of the cycle requires a host. The cow acts as host in this case. The aim of the study is to isolate the type of parasitic contamination in the soil around the enclosure and grazing land. Each soil sample of 100 is collected from dry calcareous areas (Jimbaran) and the wet regions (Mengwi-Badung). The float method with MgSO4 (English salt) is modified as a method to determine the type of soil contamination. The results of the study showed 45% (90/200) soil contaminated by parasites. The parasite contamination found is coccidia oocyst, protozoa cyst, trematode and nematode worm eggs, nematode worm larvae and mite eggs and larvae. Conclusions from the results are 45% of the soil are contaminated by parasitic namely protozoa, worm eggs, mite larvae and eggs from the Bukit Jimbaran region (29%) and Mengwi (61%).

Keywords: MgSO4; parasites; protozoan cysts; soil; worm eggs

PENDAHULUAN

Infeksi parasit intestinal pada sapi masih menjadi faktor penyebab kerugian ekonomi yang cukup besar terutama bagi peternakan rakyat. Infeksi intestinal parasit seperti Fasciolosis dapat menyebabkan kerugian

mencapai 20 triyun/tahun (Asian Liver Fluke, 2007). Coccidiosis menyebabkan kerugian ekonomi pada sapi akibat biaya pengobatan yang mencapai 2-3 juta sapi menjadi sakit setiap tahun (Kvasnicka, 2001). Menurut perkiraan Maas (2007)

kerugian akibat coccidiosis pada sapi mencapai 100 juta dolar per tahun. Secara ekonomi penyakit parasit pada sapi mengakibatkan kerugian yang sangat tinggi pada ternak. Selain hospes sapi, manusia sebagai hospes juga dirugikan, akibat parasit bersifat zoonosis (Tudor, 2015; Ristic et al., 2020) yang akan menimbulkan kerugian pada peternak dan sekaligus membahayakan kesehatan peternak juga (Medicastore, 2011). Tanah sebagai tempat perkembangan Soil Transmitted Helminth (STH), menjadi penting karena menjadi tahap berikutnya untuk inang. Menjadi perhatian penting keadaan ini akibat 1,5 miliar penduduk dunia (24%) terinfeksi oleh STH termasuk penduduk di wilayah tropis dan subtropis dengan jumlah terbesar di sub-Sahara Afrika, Amerika, China dan Asia Timur (WHO, 2022, Agustina et al., 2021; 2023).

Infeksi oleh intestinal parasit pada sapi berasal dari makanan/minuman yang tercemar ookista atau stadium infektif parasit (Soulsby, 1982; Levine, 1994; Zajac dan Conboy, 2012), yang berasal dari lingkungan sekitar yaitu tanah. Sapi sebagai hospes definitif parasit, mengeluarkan ookista atau stadium infektif parasit melalui tinja dan mencemari tanah dan air, sehingga hewan yang ada di lingkungan tanah yang tercemar dapat terinfeksi penyakit parasit. Tanah mengandung parasit yang dapat mencemari sayuran dan memainkan peran penting dalam penularan penyakit parasit zoonosis pada manusia (Kafle et al., 2017). Soil Transmitted Pathogens merupakan organisme yang hidup di tanah tapi dalam waktu yang tidak lama, selanjutnya keberlanjutan siklus harus memerlukan inang (Jeffery et al. 2011). Sapi dalam hal ini berperan sebagai inang/hospesnya. Beberapa agen parasit tersebut seperti Entamoeba spp, Balantidium sp, Coccidia, Giardia spp, Ascaris spp, Ancylostoma spp, Trichuris spp, Strongyloides spp. Tanah dapat bertindak sebagai vektor utama dan berfungsi sebagai sumber utama agen penyebab penyakit pada manusia (Ganeshamurthy et al. 2008; Sures et al.,

2017; Laurentine et al., 2021). Berdasarkan asal agen etiologi penyakit pada manusia yang berhubungan dengan tanah yaitu penyakit bawaan tanah yang disebabkan oleh masuknya patogen ke dalam tanah melalui ekskreta (buangan) dari hewan dan manusia antara lain bakteri, virus, protozoa dan cacing (Nugroho, 2014). Demikian akhirnya akan kembali menjadi sumber infeksi pada hewan dan manusia. Tanah, air dan makanan menjadi media parasit cacing dan protozoa sebagai pencemar lingkungan dengan berbagai stadium tahap penularannya. Parasit protozoa Coccidia (ookista) berhasil diisolasi dari tanah sekitar tempat pembuangan sampah di Denpasar (Andi et al., 2015). Potensi

cemaran parasit sebagai penular tergantung pada kemampuannya bertahan hidup pada lingkungan yang lembab untuk jangka waktu yang lama (Nordin et al., 2009). Keadaan ini menjadi ancaman pada kesehatan masyarakat juga hewan (Theresa et al., 2000).

Berdasar hasil survey di beberapa pasar hewan di Indonesia 90% hewan ternak sapi dan kerbau mengidap penyakit cacingan seperti cacing daun (Fasciola), cacing gelang (Neoascaris vitulorum) dan cacing lambung (Haemonchus contortus). Ternak sapi menjadi terinfeksi     akibat

mengkonsumsi hijauan yang tercemar oleh stadium infektif dari tanah (Abidin, 2002). Penelitian parasit gastrointestinal oleh Sugama dan Suyasa (2007) pada sapi bali yang dipelihara pada model kandang Simantri diperoleh 23,37% positif parasit, sedangkan pada sapi di luar kandang model Simantri 66,67%. Penelitian Juliet et al. (2013) pada sapi dari 569 sampel diperoleh terdeteksi 50,79% positif terinfeksi parasit cacing gastrointestinal. Infeksi coccidiosis pada sapi betina di 9 propinsi di Indonesia cukup tinggi mulai 70-100% dengan infeksi ringan, sedangkan 10% dengan infeksi berat (Fitriastuti et al., 2011). Penelitian Kofle et al. (2017) di Bhaktapur menemukan cemaran parasit cacing di tanah 49,01% dengan Ascaris lumbricoides paling banyak diikuti Strongyloides

stercoralis dan protozoa Giardia spp. Penelitian parasit di tanah dan keberadaan parasit pada kuku petani di desa Sumber Urip ditemukan 66,7% larva cacing tambang dan telur cacing nematoda, sedangkan 61,6% larva Ancylostoma duodenale pada kuku petani (Edza et al., 2021). Penelitian Paller dan Babia-Abion (2019) di Filipina menemukan bahwa penggunaan pupuk kandang dan air cucian mempunyai hubungan positif dengan cemaran parasit di dalam tanah.

Penyakit intestinal parasit, penularannya secara langsung melalui mulut akibatnya akan sangat mudah parasit masuk apabila lingkungan sekitar mendukung. Terjadinya infeksi sesuai epidemi kejadian penyakit seperti faktor hospes, agen penyakit (parasit) dan lingkungan, yang saling berinteraksi mempegaruhi terjadinya penyakit. Makanan hijauan yang diberikan bagaimanapun juga akan kontak dengan tanah di sekitar kandang saat makan, demikian pula saat sapi merumput di padang penggembalaan. Tanah yang tercemar oleh ookista atau stadium infektif parasit yang berada di sekitar kandang ataupun di padang penggembalaan merupakan sumber penularan pada sapi. Adanya keadaan yang seperti itu menginspirasi peneliti mengadakan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui jenis cemaran parasit lingkungan tanah di sekitar kandang dan padang penggembalaan sapi. Hasil penelitian ini nantinya akan dapat memberi gambaran bahwa tanah sangat potensial sebagai sumber penular bagi ternak sapi ataupun hewan lain yang sering ada di sekitar lingkungan tanah tersebut.

METODE PENELITIAN

Sampel Penelitian

Sampel yang digunakan adalah tanah yang dikumpulkan dari daerah sekitar kandang dan tanah yang berasal dari daerah tempat penggembalaan sapi. Sampel tanah sejumlah 100 dari masing-masing wilayah lahan kering dan basah. Sumber pengambilan sampel yaitu sekitar kandang

dan sekitar tempat penggembalaan sapi. Asal sampel yaitu wilayah lahan kering berkapur (Bukit Jimbaran) dan wilayah lahan basah (Mengwi) di Badung Bali.

Sampel tanah diambil ± 50 gram, dipilih tanah yang agak lembab (kandungan air 4%). Jumlah sampel yang dikumpulkan 100 dari masing-masing wilayah lahan basah dan kering. Tanah yang diambil, ditempatkan pada kantung plastik dan ditutup rapat, disimpan sampai nanti waktunya diperiksa.

Metode Pemeriksaan Parasit

Pemeriksaan ookista dan stadium infektif parasit dengan metode pengapungan menggunakan MgSO4 dimodifikasi dengan pengendapan sebagai modifikasi metode Matsuo et al., 2004. Tanah sampel ± 30 gram, disaring dengan saringan 150 µm mesh. Tanah hasil saringan ditambahkan 50 ml 0,1% Tween 80, selanjutnya disentrifus dengan 1100 g selama 10 menit. Supernatan dibuang. Sedimen ditambahkan 5 ml larutan pengapung MgSO4 jenuh (BJ.1,12), kemudian disentrifus. Supernatan diambil, dipindahkan ke tabung baru. Aquadest ditambahkan dengan perbandingan 10:1 volume supernatan, sentrifus kembali. Supernatan dibuang. Sedimen sebagai bahan untuk pemeriksaan selanjutnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Seratus sampel dari masing-masing wilayah (Bukit Jimbaran dan Mengwi Badung) positif ada cemaran parasit sebesar 45%. Sampel tanah dari Bukit Jimbaran 29% dan Mengwi Badung 61% ada cemaran parasit (Gambar 2). Hasil pemeriksaan sampel tanah ditemukan jenis cemaran adalah Protozoa (ookista Coccidia, kista Balantidium, kista Amoeba), Helminth (telur cacing Nematoda, Trematoda dan larva cacing) dan Arachnida (telur dan larva tungau/caplak) (Gambar 1). Hasil uji Chi Square diperoleh cemaran parasit cacing di tanah wilayah basah 42% sangat nyata (p≤0,01) lebih tinggi dari

tanah wilayah kering 24%. Cemaran Parasit protozoa di wilayah basah sebesar 28% sangat nyata (p≤0,01) lebih tinggi dari tanah wilayah kering 13%. Cemaran parasit protozoa Coccidia pada tanah wilayah basah 17 % sangat nyata (p≤0,01) lebih tinggi dari tanah wilayah kering 4% (Tabel 1).

Pembahasan

Rata-rata tanah di lingkungan sekitar kandang dan padang penggembalaan 45% ada cemaran parasit. Cemaran parasit ini cukup tinggi sebagai sumber penular infeksi pada sapi di kandang tersebut. Sapi di Goa Sulawesi Selatan terdeteksi terinfeksi oleh parasit sebesar 75% (Purwanto et al., 2009), sedangkan sapi di Bima 81,1% terinfeksi oleh parasit internal dan telah teridentifikasi 16 jenis parasit (Astiti et al., 2011). Sapi di wilayah Bali Timur terinfeksi oleh parasit Toxocara sebesar 42,5% (Agustina et al., 2013). Perbedaan yang cukup bervariasi ini menggambarkan bahwa sumber penular yang ada demikian bervariasi tergantung wilayah keadaan geografi setempat. Soil Transmitted Helminth pada anak-anak sekolah di Philipina sudah terbukti bahwa, risiko infeksi STH tinggi pada suatu daerah karena tanah tercemar oleh telur cacing infektif di daerah tersebut tinggi (Horiuchi et al., 2013). Tanah sekitar taman bermain di Malaysia terdeteksi empat genus nematode, yang didominasi oleh Toxocara sp. (95,7%), Ascaris sp. (93,3%), Ancylostoma sp (88,3%) dan Trichuris (77%) (Zain et al., 2014). Kontaminasi tanah oleh telur cacing di Kathmandu sebesar 36,5% (Rai et al., 2000). Namun tidak mengurangi kontaminasi juga pada tanah yang bergaram (Silvana et al., 2011) seperti tanah pinggir pantai di Brazil menemukan terkontaminasi parasit 18,2% dan berlokasi di area taman bermain sebesar 32,3%. Parasit yang terdeteksi kebanyakan zoonosis seperti Ancylostoma, Toxocara dan Trichostrongylus.

Keadaan geografi yang berbeda terkait dengan keadaan tanah wilayah setempat seperti wilayah Bukit Jimbaran terdeteksi

29% ada cemaran parasit, sedangkan wilayah Mengwi terdeteksi 61%. Perbedaan ini cukup signifikan karena wilayah Bukit termasuk wilayah lahan kering berkapur dan Mengwi termasuk wilayah lahan basah. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ferreira et al. (2018) menemukan keberadaan agen penyebab penyakit pada tanah menjadi menurun pada daerah batukapur.

Curah hujan beragam menurut bulan dan letak suatu wilayah. Kelembaban wilayah dipengaruhi curah hujan yang berakibat pada keadaan tanah sehingga agen penyakit menjadi optimum (Lab pengelolaan DAS dan konservasi sumberdaya hutan, tanah dan air, 2009). Hasil ini didukung oleh pernyataan yang mengatakan bahwa ada korelasi negatif antara suhu tanah dengan intensitas parasit dalam tanah. Sementara korelasi positif terjadi antara intensitas parasit dengan kadar air dalam tanah (Hasan dan Oyebamiji, 2018). Hal ini mendukung keadaan dimana semakin rendah suhu dan kadar air yang tinggi, maka jumlah parasit semakin meningkat pada tanah. Seperti terlihat pada Tabel 1 bahwa parasit cacing, protozoa termasuk juga Coccidia sangat nyata lebih tinggi di wilayah basah daripada wilayah kering.

Menurut Brotowidjoyo (1989), secara epidemiologi, sumber penularan penyakit parasit adalah tanah, air, tumbuhan (daun, buah dan sayur), penderita dan reservoir. Tanah merupakan sumber penularan yang utama dan terpenting. Penyakit parasit yang ditularkan melalui tanah disebut soil-borne parasitosis. Sebagian besar stadium infektif parasit terdapat di tanah seperti telur mengandung larva infektif (L2 cacing Ascaris, Neoascaris, Parascaris, Ascaridia, Heterakis, Toxocara), larva infektif berbagai nematoda filariform (L3 cacing tipe strongyle) atau L3 cacing tambang, ookista protozoa coccidia (Eimeria, Isospora, Cryptosporidium, Toxoplasma) dan kista dari Entamoeba. Penyakit parasit cacing pada manusia banyak ditularkan melalui tanah (STH) terutama menyerang anak balita. Hasil pemeriksaan sampel

tanah dari beberapa tempat umum terdapat lima STH yang sering ditemukan yaitu Ascaris spp., Necator sp., Ancylostoma sp., Trichuris spp., Strongyloides sp. (Lynn et al., 2021). Kehadiran telur cacing Ascaris lumbricoides 66,67% dan Trichuris trichiura 53,33% mendominasi pada lingkungan pemukiman kurang sehat di Pekanbaru (Wahyuni et al., 2012). Demikian pula di Surabaya tanah sekitar halaman sekolah tercemar oleh telur cacing STH 61,3% (Machfuds dan Puspitawati, 2017).

Cuaca/iklim dapat mempengaruhi sifat-sifat kimia dan fisika tanah, serta organisme yang ada di dalamnya (Lab pengelolaan DAS dan koncervasi sumberdaya hutan, tanah dan air, 2009). Jenis tanah alluvial di dataran rendah, andosol di daerah bergunung, litosol di daerah berbukit dan podsolik di daerah berombak. Jenis tanah juga mempengaruhi sifat kimia tanah yang terkait pada keasaman tanah, sehingga berdampak pada kehidupan mikroorganisme yang ada di dalamnya. Perbedaan geografis juga mendukung perbedaan ditemukan parasit pada tanah seperti di Luzon Selatan (64,4%) berbeda secara nyata dengan di Luzon Utara (31,4%) (Paller dan Babia-Abion, 2019). Menurut WHO (2004) melaporkan bahwa cacing tambang dan STH lainnya mentoleransi rentang pH 4,6 – 9,4 dimana telur masih dapat menetas serta dapat menginfeksi. Sesuai dengan hasil cemaran parasit yang ditemukan pada tanah di Bukit Jimbaran 29% berpotensi menginfeksi sapi dan hewan lain di sekitarnya termasuk juga manusia, karena banyak ditemukan sudah menetas menjadi larva. Larva nematoda akan aktif mencari hospesnya.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Jenis cemaran parasit yang ditemukan pada tanah sekitar kandang dan lingkungan padang penggembalaan sapi di wilayah Bukit Jimbaran dan Mengwi adalah protozoa (ookista Coccidia, kista balantidium, kista Entamoeba), telur cacing

Nematoda dan Trematoda serta larva cacing, telur dan larva Tungau atau Caplak.

Saran

Dalam upaya penanggulangan penyakit parasit, khususnya yang ditularkan melalui tanah perlu dilakukan secara menyeluruh melalui pendekatan one health.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih disampaikan kepada Rektor, Ketua LPPM Unud dan Dekan Fakultas Kedokteran Hewan atas dana dan fasilitas yang diberikan. Terimakasih juga disampaikan kepada anggota peneliti, mahasiswa dan semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini..

DAFTAR PUSTAKA

Abidin Z. 2002. Penggemukan sapi potong.

Agromedia Pustaka, Jakarta.

Agustina KK, Darmayudha AAGO, Wirata

IW. 2013. Prevalensi Toxocara vitulorum pada induk dan anak sapi bali di wilayah Bali Timur. Bul. Vet. Udayana. 5(1): 1-6.

Agustina KK, Anthara MS, Sibang NAAN, Wiguna WAR, Apramada JK, Gunawan WNF, Oka IBM, Subrata M, Besung NK. 2021. Prevalence and distribution of soiltransmitted helminth infection in free-roaming dogs in Bali Province, Indonesia. Vet. World. 14(2): 446-451.

Agustina KK, Wirawan IMA, Sudarmaja IM, Subrata M, Dharmawan NS. 2022.

The first report on the prevalence of soil-transmitted helminth infections and associated risk factors among traditional pig farmers in Bali Province, Indonesia.

Vet. World. 15(5): 1154-1162.

Andi AA, Apsari IAP, Ardana IBK. 2015.

Isolasi dan identifikasi oosista koksidia dari tanah di sekitar tempat pembuangan sampah di Kota Denpasar. Indon. Med.

Vet. 4(2): 163-169.

Asian Liver Fluke network. 2007. http://www.welcome Asian Liver Fluke network.htm.

Astiti LG, Panjaitan T, Prisominggo. 2011.

Identifikasi parasit internal pada sapi Bali di wilayah dampingan sarjana membangun desa di Kabupaten Bima. Proc. Sem. Nas. Teknol. Peternakan dan Vet. Pp. 384-387.

Brotowidjoyo MD.1987. Parasit dan parasitisme. Penerbit CV. Akademika Pressindo, Jakarta.

Brotowidjoyo MD. 1989. Epidemiologi penyakit   parasit.   Gadjah Mada

University Press.

Edza AW, Merry C, Globila N. 2021. Relation of parasites in soil with the existence of parasites on farmers nails. Ina. J. Med. Lab. Sci. Tech. 3(1): 47–55.

Ferreira FP, Caldarti ET, Freire RL, Mitsuka-Breganoi R, Machado de Freitas F, Miura AC, Mareze M, Martins FDC, Urbano MR, Seifert AL, Navarro IT. 2018. The effect of water source and soil supplementation on parasite contamination in organic vegetable gardens. Braz. J. Vet. Parasitol. 27(3): 327-337.

Fitriastuti ER, Atikah N, Isriyanthi NMR. 2011. Studi penyakit koksidiosis pada sapi betina di 9 Provinsi di Indonesia. Balai besar Pengujian Mutu  dan

Sertifikasi Obat Hewan. Bogor.

Ganeshamurthy AN, Varalakshm  LR,

Sumangala HP. 2008. Environmental risks associated with heavy metal contamination in soil, water and plants in urban and periurban agriculture. J. Hortl. Sci. 3(1): 1-29.

Hasan AA, Oyebamiji DA. 2018. Intensity of soil transmitted helminths in relation to soil profile in selected public schools in ibadan Metropolis. Biom Biostat Int J. 7(5): 413-417.

Horiuchi S, Paller VGP, Uga S. 2013. Soil contamination by parasite eggs in rural village in the Philippines. Trop. Biomed. 30(3): 495–503.

Jeffrey AH, Toshiharu T, Rieta G. 2011. Differing success of defense strategies in two parasitoid wasps in protecting their pupae    against    a    secondary

hyperparasitoid.  An.  Entomol. Soc.

America. 104(5): 1005-1011.

Juliet ON, Oliver NO, Oliver OO, Cosmos UA. 2013. Comparative study of Intestinal Helminth and Protozoa of Cattle and Goats in Abakaliki Metropolis of Ebonyi State, Nigeria. Adv. Appl. Sci. Res. 4(2): 223-227.

Kafle CM, Ghimire S, Dhakal P, Shrestha U, Poudel SCR, Adhikari N, Tuladhar R. 2014. ldentification of parasites in soil samples of vegetable field of bhaktapur district. TUJM. 2(1): 26-28.

Kvasnicka B. 2007. Coccidiosis in beef cattle. Product of extension beef cattle resource committee. Adapted from the cattle producers library. Beef Cattle Handbook.

Lab Pengelolaan DAS dan Konservasi Sumberdaya Hutan, Tanah dan Air. 2009. Klimatologi (suatu pengantar). Buku Ajar Klimatologi.

Laurentine S, Esther NOA, Eveline M, Tiburce G, Hugues C, Nana-Djeunga. 2021 Transmission of soil transmitted helminthiasis in the mifi health district (west region, cameroon):    low

endemicity but still prevailing risk. Parasitologia. 1: 95–104.

Levine ND. 1994. Buku pelajaran parasitologi veteriner. Penerjemah Gatut Ashadi dan wardiarto. Edisi Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Pp. 531.

Lynn MK, Morrissey JA, Conserve DF. 2021. Soil-transmitted helminths in the USA: a review of five common parasites and future directions for avenues of enhanced epidemiologic inquiry. Curr. Trop. Med. Rep. 8: 32–42.

Maas J. 2007. Coccidiosis in cattle. UCD.Vet Views. California Cattlemens Magazine. School of Veterinary Medicine University of California.

Machfudz, Puspitawati SH. 2017. Kontaminasi tanah oleh telur cacing Soil Transmitted Helminth (STH) di halaman sekolah negeri di Surabaya. http://lib.unair.ac.id.

Matsuo J, Kimura D, Rai SK, Uga S. 2004. Detection of Toxoplasma oocyst from soil by modified sucrose flotation and PCR methods. Shouthest Asian J. Trop. Med. Pub. Health. 35(2): 270-274.

Medicastore. 2011. Toxocariasis. Infeksi dan        Penyakit        menular.

http://medicastore.com/penyakit/220/To ksokariasis.

Mel Pence. 2001. Coccidiosis in cattle. University of Georgia, College of Veterinary                  Medicine.

www.ugabeef.caes.uga.edu/coccidiosis.

Nordin A, Nyberg K, Vinneras B. 2009. Inactivation of ascaris eggs in source-separated urine and feces by ammonia at ambient temperatures. App. Environ. Microbiol. 75: 662–667.

Nugroho A. 2014. Peran tanah sebagai reservoir penyakit. Vektora. 6(1): 27-32.

Paller VGV, Babia-Abion S. 2019. Soil-transmitted helminth (STH) eggs contaminating soils in selected organic and conventional farms in the Philippines.       Parasite Epidemiol.

Cont. 7: e00119.

Purwanta N, Hutauruk JD, Setiawathy S. 2009. Identifikasi cacing saluran pencernaan (Gastrointestinal) pada sapi Bali melalui pemeriksaan tinja di Kabupaten Gowa. J. Agrisistem. 5(1): 10-21.

Rai SK, Uga S, Ono K , Rai G, Matsumura T. 2000. Contamination of soil with helminth parasite eggs in Nepal. Southeast Asian J. Trop. Med. Pub. Health. 31(2): 388-393.

Ristic M, Miladinovic-Tasic N, Dimitrijevic S, Nenadovic K, Bogunovic D, Stevanovic P, Ilic T. 2020. Soil and sand contamination with canine intestinal parasite eggs as a risk factor for human health in public parks in Niš (Serbia). Helminthol. 57(2): 109-119.

Silvana R, Rosa M, Ferreiro P, Aline PF, Lais HT, Bianca BAM, Sergio OP, Marcos MC. 2011. Environment analysis of the parasitic profile found in the sandy soil from the Santhos

Municipality Beaches, sp Brazil. Rev. Inst. Med. Trop. Sao Paulo 53(5): 277281.

Soulsby EJL. 1982. Helminth, arthropods and protozoa of domesticated animals. 7th Ed. Bailliere Tindall London

Sugama IN, Suyasa IN. 2007. Keragaan infeksi parasit gastrointestinal pada sapi Bali model kandang simantri. Balai Kajian Teknologi Pertanian Bali.

Sures B, Nachev M, Selbach C, David JM.

2017. Parasite responses to pollution: what we know and where we go in ‘Environmental Parasitology. Parasites dan Vectors. 10: 65.

Theresa RS, Huw VS, Joan BR. 2000. Emerging parasite zoonoses associated with water and food. J. Int. Parasitol. 30(12-13): 1379-1393.

Tudor P. 2015. Soil contamination with canine intestinal parasites eggs in the parks and shelter dogs from Bucharest area. Agriculture and Agricultural Science Procedia. 6: 387-391.

Wahyuni D, Arniwita F, Putri E. 2012. Telur parasit nematode usus pada pemukiman kurang sehat di kota Pekanbaru. J. Kes. Kom. 1(4): 188-192.

Word Health Organization. 2004. Prevention     and     control     of

schistosomiasis and soil transmitted helminthiasis. Parasitol. Int. 53(2): 103113.

Word Health Organization. 2022. Soil transmitted helminth infections. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/soil-transmitted-helminth-infections

Zain SNM, Rahman R, Lewis JW. 2014. Stray animal and human defecation as sources of soil-transmitted helminth eggs in playgrounds of Peninsular Malaysia. J. Helminthol. Pp. 1-8.

Zajac AM, Conboy GA. 2007. Veterinary clinical parasitology. Seventh Ed. AAVP (American Association of Veterinary Parasitologist. Blackwell Publishing.

Telur Nematoda        Telur Strongyloides       Ookista Coccidia       Ookista Eimeria Kista Balantidium


Kista Entamoeba    OokistaCoccidia Larva Nematoda    Telur Trematoda     Larva tungau


Gambar 1. Cemaran Parasit yang ditemukan pada Tanah

PREVALENSI CEMARAN PARASIT PADA TANAH

POSITIF NEGATIF PREVALENSI

71

613961%

29    29%

JIUi____

WILAYAH BASAH WILAYAH KERING

Gambar 2. Histogram Prevalensi Cemaran Parasit pada Tanah

Tabel 1. Uji Chi Square Cemaran parasit di wilayah basah dan kering.

Cemaran

Wilayah

Total Sampel

Positif

Negatif

Prevalensi (%)

Signifi kansi

Cacing

Basah

100

42

58

42

0,01 **

Kering

100

24

76

24

Protozoa

Basah

100

28

72

28

0,014 **

Kering

100

13

87

13

Coccidia

Basah

100

17

83

17

0,001 **

Kering

100

4

96

4

Ket.: ** sangat signifikan

701