ANALISIS VIKTIMOLOGIS TERHADAP KORBAN CATCALLING SEBAGAI BENTUK PELECEHAN SEKSUAL VERBAL
on
ANALISIS VIKTIMOLOGIS TERHADAP KORBAN CATCALLING SEBAGAI BENTUK PELECEHAN SEKSUAL VERBAL
Luh Putu Lukat Murni, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Diah Ratna Sari Hariyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan ditulisnya artikel ini adalah untuk memberikan pemahaman lebih dalam lagi serta mengkaji dengan kritis sudut pandang viktimologis dalam menghadapi korban catcalling. Disamping itu, artikel ini juga akan menelaah lebih jauh eksistensi dari catcalling sebagai tindak pidana yang dianalisa berdasarkan kebijakan hukum pidana. Untuk dapat menjawab permasalahan dan mencapai tujuan penulisan yang tepat dan sesuai, artikel ini melalui metode penelitian hukum normatif dengan melakukan eksplorasi terhadap peraturan perundang-undangan di Indonesia dengan melakukan pendekatan terhadap hukum positif dan konsep-konsep hukum pidana yang relevan untuk menyelesaikan permasalahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa viktimologi sebagai salah satu bidang ilmu hukum yang penting untuk mencari penyebab-penyebab timbulnya korban. Viktimologi sangat dibutuhkan untuk menganalisis penyebab adanya korban catcalling. Namun, dikarenakan catcalling sebagai tindak pidana sendiri belum ada pengaturannya di Indonesia secara spesifik, maka dibutuhkan aturan hukum secara tertulis agar dapat memberikan kepastian hukum bagi korban catcalling.
Kata Kunci: Viktimologi, Catcalling, Tindak Pidana.
ABSTRACT
Scientific paper is needed to be able to support legal research in connection with the development of legal science itself. The purpose of this article is to provide a deeper understanding and to critically examine the victim's point of view in dealing with victims of catcalling. In addition, this article will also examine further the existence of catcalling as a criminal act which is analyzed based on criminal law policies. To be able to answer the problems and achieve the right and appropriate writing objectives, this article uses normative methods by exploring the laws and regulations in Indonesia by approaching positive law and relevant criminal law concepts to solve problems. Victimology as one of the fields of legal science that is important to find the causes of the emergence of victims, is needed to analyze the causes of victims of catcalling. Whether the catcalling victim also played a role in causing the incident or not. However, because catcalling as a criminal act has not yet been specifically regulated in Indonesia, a written legal rule is needed in order to provide legal certainty for victims of catcalling.
Keyword: Victimology, Catcalling, Criminal Act.
Indonesia terkenal sebagai negara yang memiliki beragam budaya. Berdasarkan falsafah Pancasila, hidup bermasyarakat di Indonesia dilakukan berdasarkan nilai kemanusiaan. Berangkat dari kebiasaan tersebutlah menjadi suatu norma yang secara tidak sadar dilakukan dan dipatuhi oleh masyakat Indonesia. Bermasyarakat di Indonesia yang mandarah daging adalah mengenai moral dan etika. Tidak jarang moral dan etika dijadikan sebagai indikator penilaian apakah orang tersebut baik atau tidak, berpendidikan atau tidak, bagaimana latar belakang keluarga, dan sebagainya. Salah satu norma yang berlaku di masyrakat Indonesia adalah norma kesusilaan yang dianggap sebagai norma yang ajeg dan berkembang.
Tindakan-tindakan yang berkonotasi negatif atau perbuatan asusila selalu menjadi perhatian banyak orang. Perbuatan asusila tersebut terjadi tidak memandang bulu. Kesusilaan merupakan hal yang tumbuh dan berkembang berdasarkan niatan hati seseorang. Dapat diibaratkan bahwa apabila seseorang melakukan perbuatan asusila maka itu perbuatan tersebut terjadi dikarenakan niat dalam dirinya sendiri. Perbuatan asusila dapat berbagai macam bentuknya, salah satunya adalah pelecehan seksual. Pelecehan seksual merupakan suatu perilaku seseorang yang mengandung unsur seksualitas baik secara verbal maupun secara fisik dimana ada penolakan atau tidak diinginkan oleh objeknya yang dapat terjadi di ruang terbuka maupun ruang tertutup. Umumnya pelecehan seksual menyebabkan situasi yang tidak nyaman dan tidak aman bagi objeknya. Sering kali yang menjadi objek pelecehan seksual ataupun kejahatan kesusilaan lainnya adalah perempuan.1
Pelecehan seksual merupakan salah satu delik kejahatan kesusilaan yakni kejahatan tersebut memang menciderai kesusilaan manusia. Dalam hukum positif saat ini, sudah ada pengaturan mengenai delik kejahatan kesusilaan baik dalam KUHP atau peraturan hukum pidana lainnya di luar KUHP. Pelecehan seksual ini dapat terjadi didasari dengan adanya kemauan dari pelaku sendiri yang didukung dengan kesempatan dan kondisi yang memberikan dorongan untuk melakukan hal tersebut. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa bentuk pelecehan seksual tidak hanya secara fisik saja, melainkan ada juga fenomena pelecehan seksual secara verbal yang sering dikenal dengan sebutan catcalling. Catcalling merupakan tindakan seseorang yang bertujuan untuk “menggoda” orang lain dengan konteks seksualitas yang berbentuk kalimat, siulan, ataupun panggil yang diucapkan secara langsung di ruangan publik. Tidak jarang juga ekspresi yang jahil dengan tatapan yang mengintimidasi dan “genit” juga dapat dikatakan sebagai catcalling. Biasanya yang menjadi korban catcalling ini adalah perempuan. Sebagaimana yang diutarakan oleh Muladi, yang mana pendapatnya dikutip dalam tulisan Butje Tampi, yang mengatakan mengenai aktivitas seksual manusia dapat dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadi pelecehan seksual dikarenakan aktivitas seksual merupakan aktivitas yang berfrekuensi tinggi melebihi frekuensi aktivitas seksual makhluk hidup lainnya. Di lansir dari Wolipop2, jenis catcalling yang dialami oleh korban berupa ekspresi wajah seseorang seperti ingin mencium (yang tentunya terkesan menghina dan memalukan). Dalam tulisan tersebut, menyebutkan juga bahwa korban tidak menggunakan pakaian yang mencolok dan
sedang menunggu sendirian. Hal ini menunjukan bahwa catcalling dapat terjadi kepada siapapun. Selain itu, kejadian serupa juga dialami oleh seorang artis kenamaan Indonesia yaitu Hannah Al Rashid. Bentuk catcalling yang dialaminya adalah berupa siulan. Pada saat itu, dikarenakan korban merasa resah mengalami catcalling ia langsung menanyakan kepada pelaku maksud dari siulannya tersebut.3
Fenomena tersebut biasanya terjadi di jalanan atau biasanya disebut sebagai street harassment. Tentunya hal tersebut menyebabkan ketidak nyamanan dan ketidak amanan bagi perempuan khususnya. Catcalling terjadi tanpa melihat waktu dan tempat. Banyak dampak negatif yang dirasakan oleh korban catcalling tersebut seperti merasa dipermalukan, dihina, hingga menyebabkan trauma mental. Sangat disayangkan sekali, di Indonesia catcalling seperti dinormalisasikan. Sehingga apabila ada korban yang tidak suka, maka akan dikatakan berlebihan. Para pelaku catcalling juga sering kali bersembunyi dengan alasan bercanda, padahal nyatanya adalah ia melakukan suatu pelecehan seksual yang mana korban atau objeknya merasa tidak nyaman dan tidak aman berada didekatnya. Konsep pemikiran bahwasanya catcalling merupakan suatu hal yang wajar adalah suatu kesalahan. Fenomena yang sangat mengecewakan karena walaupun tidak menimbulkan kerugian secara fisik, namun perlu untuk diingat bahwa catcalling tetap pelecehan seksual meskipun dilakukan secara verbal. Sebab banyak sekali masyarakat yang merasa tidak nyaman dengan catcalling ini, dewasa ini, banyak influencer ataupun tokoh publik yang mendukung korban-korban catcalling untuk bersuara agar mereka tidak merasa sendirian. Bentuk dukungan secara moril inilah yang dibutuhkan oleh korban-korban catcalling tersebut dan meningkatkan keberanian mereka untuk melawan pelakunya.
Tidak hanya di Indonesia, di beberapa belahan dunia lainnya juga memberikan perhatian terhadap adanya fenomena catcalling ini. Penggunaan frasa “catcalling” di Indonesia tidak sama dengan di luar negeri. Mereka mengistilahkannya dengan “street harassment”. Secara konsep, street harassment dan catcalling merupakan hal yang sama, yang mana merupakan serangkaian tindakan seperti catcalling, menatap, melotot berkepanjangan, meraba-raba, mengikuti seseorang dan berkomentar verbal yang mengganggu.4 Kejadian ini tentunya tidak dapat dikategorikan bahwa catcalling merupakan masalah si korban saja, melainkan apabila dilepas lebih jauh lagi, dibiarkan, dan parahnya sampai menormalisasikan hal tersebut dapat merusak nilai-nilai budaya masyakarat.
Catcalling dapat dikategorikan sebagai tindak pidana karena unsur-unsur perbuatan catcalling memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Dimana menurut Simons, unsur tindak pidana terdiri atas perbuatan manusia, diancam dengan pidana, melawan hukum, adanya kesalahan, dan dilakukan oleh subjek yang mampu bertanggungjawab. Pelecehan seksual secara verbal erat kaitannya dengan korban. Sudut pandang korban perlu dipertimbangkan guna menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pelecehan seksual tersebut. Dengan begitu pemerintah dapat merumuskan aturan yang tepat dan relevan dengan bentuk-bentuk pelecehan yang marak terjadi di masyarakat.
Penulisan penelitian ini menggunakan sumber bahan hukum tersier yang menjadi referensi penulis untuk menganalisis permasalahan. Artikel hukum yang ditulis oleh Butje Tampi dengan judul “Kejahatan Kesusilaan dan Pelecehan Seksual
Dalam Hukum Pidana Indonesia” yang membahas mengenai bentuk kejahatan kesusilaan dan pelecehan seksual dalam Hukum Pidana Indonesia. Artikel tersebut membantu penulis untuk dapat menemukan bahwa catcalling juga dapat dikategorikan sebagai bentuk pelecehan seksual secara verbal. Kemudian artikel ilmiah dengan judul “Perbuatan Catcalling Dalam Perspektif Hukum Positif” yang ditulis oleh Tauratiya yang menguraikan peraturan-peraturan di Indonesia yang mengatur mengenai catcalling.
Berawal dari referensi tersebut, penulis tertarik untuk membuat artikel ilmiah untuk dapat menemukan solusi permasalahan dari sudut pandang korban sendiri dengan mengangkatkan judul Artikel “Analisis Viktimologis Terhadap Korban Catcalling Sebagai Bentuk Pelecehan Seksual Verbal”.
Sebelumnya, terdapat 2 (dua) penelitian yang juga menganalisis tentang catcalling. Penelitian pertama berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Secara Verbal (Catcalling)” yang ditulis oleh Anggreany Haryani Putri dan Dwi Seno Wijanarko. Penelitian yang dilakukan oleh kedua penulis tersebut lebih menitikberatkan pada upaya untuk menjawab bentuk perlindungan hukum apa yang diberikan kepada korban yang mengalami catcalling secara verbal berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penelitian kedua berjudul “Catcalling: Candaan, Pujian atau Pelecehan Seksual” yang ditulis oleh Ida Ayu Adnyaswari Dewi. Penelitian tersebut fokus menjawab persoalan mengenai apakah perbuatan catcalling dapat disebut sebagai suatu candaan semata, pujian, atau pelecehan seksual. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian ini memiliki objek penelitian yang berbeda dengan objek penelitian terdahulu seperti yang telah dipaparkan di atas. Pada penelitian pertama sebagaimana telah dijelaskan di atas, analisis penelitian bersifat deskriptif normatif karena berbicara tentang ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan hukum bagi korban catcalling secara verbal. Sementara itu, pada penelitian ini menganalisis catcalling secara teoretis dengan menggunakan teori viktimologi sebagai alat analisis. Kemudian, pada penelitian kedua sebagaimana dimaksud di atas, tujuan penelitiannya adalah untuk memberikan penjelasan apakah catcalling dapat disebut sebagai bentuk pelecehan seksual. Sementara itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana analisis viktimologi terhadap peristiwa catcalling yang seringkali terjadi di masyarakat dan bagaimana keberadaan perbuatan catcalling sebagai tindak pidana dalam perspektif kebijakan hukum pidana.
Latar belakang diatas menunjukan bahwa terdapat permasalahan yang harus dianalisis dan ditemukan solusinya. Adapun tulisan ini mengambil 2 (dua) permasalahan yang dirasa perlu untuk dikaji lebih dalam lagi, yakni:
-
1. Bagaimana analisis viktimologis terhadap korban catcalling?
-
2. Bagaimana keberadaan perbuatan catcalling sebagai tindak pidana dalam perspektif kebijakan hukum pidana?
-
a. Untuk menganalisis sudut pandang viktimologis terhadap korban catcalling.
-
b. Untuk mengkaji kriteria yuridis catcalling sebagai tindak pidana bentuk pelecehan seksual verbal.
-
a. Menelaah lebih dalam lagi mengenai sudut pandang viktimologis terhadap korban catcalling dan catcalling sebagai tindak pidana yang ditinjau dari kaca mata kebijakan hukum pidana.
-
b. Mempelajari penyelesaian hukum yang dibutuhkan apabila terjadi tindak pidana catcalling.
Agar dapat menjawab permasalahan-permasalahan di atas, maka dibutuhkan metode-metode penelitian tertentu. Pada penulisan kali ini, dilakukan dengan menggunakan penelitian hukum normatif yang dengan memposisikan hukum sebagai suatu norma yang hidup di masyarakat. Suatu metode penelitian tentu membutuhkan pendekatan-pendekatan tertentu untuk dapat menyelesaikan masalah dengan akurat dan tepat. Tulisan ini menggunakan pendekatan secara normatif yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Metode pendekatan ini digunakan agar dapat mengeksplorasi hukum positif di Indonesia yang berkaitan dengan topik yang diangkat. Bahan-bahan hukum yang digunakan juga berupa bahan hukum primer yakni dimulai dengan menganalisis bahan hukum yang bersifat autoratif, bahan hukum sekunder untuk memberikan penjelasan lebih dalam mengenai bahan hukum primer tersebut, dan bahan hukum tersier yang berupa artikel hukum atau karya hukum lainnya yang lebih menjelaskan realita-realita yang terjadi di masyarakat. Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan artikel ini dikumpul dengan teknik studi kepustakaan, yakni dengan mengidentifikasi dan mengklasifikasikan sesuai dengan jenis-jenisnya. Kemudian mengklasifikasikan bahan bukum dapat menganalisisnya dengan teknik deskripsi yaknis membuat gambaran permasalahan secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta dan sifat suatu fenomena.
Sebagai salah satu bidang studi yang ada di dalam ilmu hukum, secara terminologis menurut Siswanto Sunarso, viktimologi dapat diartikan sebagai disiplin ilmu yang mempelajari mengenai korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat timbulnya korban yang mana merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial.5 Ilmu viktimologi semakin berkembang seiring dengan perkembangan-perkembangan umat manusia. Kini perkembangan viktimologi sudah terbagi ke dalam 3 (tiga) fase yang mana viktimologi tidak hanya mempelajari perihal korban kejahatan saja, melainkan juga mempelajari mengenai korban kecelakaan dan korban penyalahgunaan kekuasaan dan hak-hak asasi manusia.6
Berangkat dari hal tersebut, korban juga dapat turut berperan atas terjadinya suatu tindak pidana. Peranan korban dalam suatu tindak pidana tidak serta merta dapat dikatakan bahwa terjadinya tindak pidana dikarenakan korban tersebut. Namun disini maksudnya adalah bagaimana peranan dan kedudukan korban tersebut dalam tindak pidana atau dapat disebut sebagai viktimisasi. Salah satu tokoh krimilogi dari Jerman, Hans Von Hetig, juga mengutarakan pendapat yang sama bahwasanya korban kejahatan berkontribusi pada viktimisasi:7
“Von Hetig insisted that many crime victims contribute to their own victimization, either by inciting or provoking the criminal or by creating or fostering a situation likely to lead to the commission of the crime.
(Terjemahan bebasnya: Von Hetig juga berpendapat bahwa banyak korban kejahatan yang turut berkontribusi atas viksimisasinya sendiri, baik dengan menghasut, memprovokasi kejahatan atau dengan menyebabkan atau menjadikan suatu situasi yang mungkin dapat terjadinya kejahatan).” Berdasarkan buku yang ditulis oleh Lilik Mulyadi sebagaimana dikutip oleh Dyah Prita Wardani dan Yossy Setyanawati, ada berbagai macam korban yakni:8
-
a. Non-participating victims: korban yang tidak memperdulikan upaya penanggulangan kejahatan;
-
b. Laten victims: korban yang memiliki sifat tertentu yang cenderung menjadi korban;
-
c. Procative victims: korban yang menimbulkan terjadinya kejahatan;
-
d. Participating victims: korban yang memudahkan dirinya sendiri menjadi korban;
-
e. False victims: korban yang menjadi korban atas perbuatannya sendiri.9
Mendelsohn juga mengungkapkan pendapatnya mengenai jenis-jenis korban
yang dilihat berdasarkan unsur kesalahan si korban, terdiri atas:10
-
a. Korban yang sama sekali tidak bersalah;
-
b. Korban yang menjadi korban akibat kelalaiannya sendiri;
-
c. Korban yang memiliki kesalahan yang sama dengan pelaku;
-
d. Korban yang memiliki kesalahan lebih dari pelaku;
-
e. Korban yang satu-satunya bersalah dalam adanya tindak pidana (pelaku dibebaskan).
Berkaitan dengan marak terjadinya catcalling di Indonesia, tentu tidak terlepas
dari peranan korban sendiri. Para pelaku catcalling biasanya terkesan menyalahkan ζ Deleted: s objeknya. Mulai dari cara berpakaiannya, bentuk tubuhnya, penggunaan make up, dan masih banyak lainnya. Disini viktimologi juga berperan untuk dapat mengurangi adanya korban akibat catcalling. Viktimisasi dapat dilakukan dengan melakukan upaya-upaya pencegahan kepada masyarakat bahwa dengan terjadinya catcalling dapat memberikan dampak negative bagi korban catcalling. Walaupun memang banyak masyarakat yang menormalisasi catcalling itu sendiri sebagai bentuk candaan, namun bagi korban sendiri merupakan hal yang menghina dan memalukan. Dampak bagi korban yakni adanya trauma apabila kejadian serupa terulang kembali, adanya rasa takut untuk ada di tempat sepi maupun ruang terbuka, adanya rasa was-was terhadap setiap orang asing yang mendekat padanya atau berbicara kepadanya, dan masih banyak dampak negatif untuk korban secara psikis maupun jasmani.
Viktimologi juga dapat memberikan perlindungan hukum kepada korban catcalling sendiri yaitu dengan mengatur ketentuan-ketentuan yang secara spesifik mengenai pelecehan seksual secara verbal terutama yang dapat menyebabkan dampak negative bagi kesehatan mental korban. Arif Gosita mengutarakan pendapatnya mengenai ruang lingkup viktimologi yang salah satunya adalah rekasi terhadap viktimisasi kriminal. Diharapkan dengan adanya reaksi viktimisasi kriminal yang
berbentuk argumentasi-argumentasi penyelesaian viktimisasi, dapat memberikan perlindungan yang berbentuk preventif dan represif, pemberian sanksi yang berupa ganti kerugian hingga dapat menghasilkan produk hukum yang mengatur tindakan kriminal tersebut (dalam hal ini catcalling).
Sebagaimana telah diuraiakan di atas bahwa catcalling di Indonesia dikategorikan sebagai bentuk pelecehan seksual secara verbal. Perlu diperhatikan pula bahwasanya fenomena catcalling juga menciderai hak asasi manusia. Hak asasi manusia yang dimiliki semua orang salah satunya adalah bahwa umat manusia berhak atas ketenteraman, keamanan, kedamaian, bahagia, sejahtera lahir dan batin, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2) UU HAM.
Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Moeljatno, tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum, yang dilarang serta diancam pidana. Untuk dapat dikatakan sebagai tindak pidana, tentunya harus memenuhi kualifikasi tertentu. Unsur tindak pidana sendiri dikategorikan menjadi 2 (dua) jenis unsur, yakni unsur objektif dan unsur subjektif. Yang termasuk ke dalam unsur objektif yakni adanya tindakan yang dilarang untuk dilakukan oleh undang-undang dan akan diancam pidana. Sedangkan unsur subjektifnya berupa adanya unsur kesalahan dari si pelaku. Adapun unsur-unsur tindak pidana menurut S.R. Sianturi apabila dikaitkan dengan catcalling sendiri dapat dijabarkan sebagai berikut:
-
a. Adanya subjek;
Subjek hukum terdiri atas orang dan badan hukum. Catcalling selalu dilakukan oleh individu/orang. Orang atau person merupakan individu yang memiliki hak atau sebagai subjek hukum.
-
b. Adanya unsur kesalahan;
Unsur kesalahan disini terbagi menjadi 2 (dua) yaitu kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa). Melihat bagaimana terjadinya catcalling, tentunya si pelaku melakukan tersebut karena ada ketertarikan untuk “mengganggu” seseorang, sehingga disini terlihat bahwa si pelaku memang sengaja untuk melakukan catcalling.
-
c. Perbuatan bersifat melawan hukum;
-
d. Dilakukan dalam suatu waktu, tempat, dan keadaan tertentu.11
Seiring dengan perkembangannya, banyak ahli yang mengembangkan unsur-unsur tindak pidana tersebut. Salah satunya dengan memasukkan pertanggungjawaban sebagai salah satu unsur. Individu yang melakukan tindak pidana harusnya individu yang mampu bertanggung jawab. Diharapkan dengan adanya unsur pertanggungjawaban dapat menjadi langkah preventif untuk melakukan tindak pidana apapun itu bentuknya yang mana bentuknya sendiri adalah pemidanaan. Ada beberapa klasifikasi siapa-siapa saja yang tidak dapat bertanggungjawab yang termuat dalam KUHP yakni di Pasal 44 dan Pasal 45 KUHP. Namun sangat disayangkan pengaturan catcalling sebagai tindak pidana pelecehan seksual verbal belum ada di Indonesia.
Realita penyelesaiannya apparat penegak hukum menggunakan pasal-pasal yang ada sedikit banyaknya relevansi dengan catcalling ini yakni dengan mengkombinasikan UU Pornografi dan KUHP tepatnya ada di Pasal 8, Pasal 9, Pasal 35 UU Pornografi dan Pasal 281 ayat (2), Pasal 315 KUHP.12 Tindakan penyelesaian dengan mengkombinasikan beberapa pasal tersebut menunjukan bahwa ada ketidakjelasan akan kepastian hukum itu sendiri. Aparat hukum juga menunjukan kebingungan untuk mengklasifikasikan catcalling sebagai tindak pidana apa. Walaupun memang pasal-pasal tersebut ada relevansinya dengan catcalling, tetapi belum dapat menunjukan bahwa pasal-pasal tersebut dapat meng-cover keseluruhan delik dan unsur-unsurnya.13
Pertanggungjawaban seseorang haruslah berbanding lurus dengan pengaturan perbuatan pidananya. Sebagaimana keberadaan asas legalitas menjadi pedoman dalam hukum pidana untuk dapat “menghukum” seseorang. Mengingat bahwa catcalling sebagai tindak pidana belum diatur dalam hukum positif saat ini, maka dapat dikatakan legalitas dari pertanggungjawabannya juga patut dipertanyakan. Seorang ahli yaitu Hazewikel Suringa, mengemukakan pendapatnya mengenai definisi dari asas legalitas, yakni:
“Art. 1 dan luidt: Geen feit is strafbaar dan uit kracht van evene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling. De jurisdische wetenshcaap pleegt deze regel aan te diden als ‘nullum delictum noela poena sine praevia lege poenali’. Dit zou de indruk kunnen sekken, dat het hier zou gaan om een voorschrift van Romeinse oorsprong, hetgeen echter niet het geval is. Noch tijden de republiek noch tijden het principaat heft in Rome een dergelijke regel gegolden. Hij is zijn latijnse formulering afkomstig van Von Feuerbach, hij stamt du suit het begin der 19e eeuw en is te beschowen al seen product van de klassieke school.
(Pasal 1: Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan undang-undang pidana yang ada sebelum perbuatan itu dilakukan. Dalam pengetahuan hukum, aturan ini dikenal sebagai ‘nullum delictum noela poena sine praevia lege poenali. Ada yang beranggapan bahwa asas ini ditulis dan berasal dari hukum Romawi, padahal tidak. Pada zaman republic dan dalam zaman Roma, prinsip ini tidak terdapat dalam aturan. Asas ini dalam Bahasa Latin diformulasikan oleh von Feuerbach pada awal abad ke-19 dan merupakan produk dari aliran klasik).”14
Pendapatnya tersebut dan pendapat para ahli lainnya mengenai asas legalitas menunjukan seberapa penting adanya pengaturan dari tindak pidana tersebut. Pengaturan tindak pidana tersebut selain dapat menjadi dasar menjatuhkan pidana kepada seseorang, juga memberikan batasan-batasan tertentu bagi aparat penegak hukum dalam tindakan kesewenang-wenangan. Disini maksudnya asas legalitas dapat pula memberikan perlindungan kepada masyarakat atas pengaplikasian hukum itu sendiri.
Sehubungan dengan perkembangan hukum pidana yang kian pesat, hukum pidana dipandang sebagai bentuk perlindungan dan upaya untuk membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Perkembangan teori-teori hukum pidana, membawa dampak yang positif untuk masyarakat yakni dengan munculnya kebijakan hukum
pidana. Kebijakan hukum pidana dapat dikatakan sebagai usaha-usaha untuk membentuk dan mewujudkan aturan-aturan hukum pidana yang sesuai dengan situasi yang akan datang. Wujud dari kebijakan hukum pidana ini salah satunya adalah kriminalisasi. Pada dasarnya kriminalisasi merupakan cara atau proses untuk mengkriminalkan suatu perbuatan yang awalnya bukan merupakan perbuatan kriminal menjadi perbuatan kriminal.15
Proses kriminalisasi sendiri tidak semudah yang dibayangkan, ternyata ada beberapa kriteria perbuatan yang mana yang dapat dikriminalisasikan. Defisini yang dapat mudah dipahami adalah bahwa perbuatan yang dapat dikriminalisasikan merupakan perbuatan yang tidak diinginkan oleh masyarakat dan masyarakat menganggap bahwa perbuatan tersebut perbuatan yang negatif dan berdampak buruk. Dalam prosesnya, kriminalisasi ini dikatakan sebagai perbuatan terlarang yang mana tidak sesuai dengan hati nurani masyarakat, dengan adanya pengaturan perbuatan tersebut maka diatur pula ancaman pidananya serta bagaimana aparat hukum dapat melaksanakan aturan tersebut. Kriteria-kriteria tersebutlah yang harus dipenuhi untuk dapat kriminalisasikan suatu perbuatan.16
Aturan-aturan hukum pidana saat ini belum ada yang mengatur secara spesifik mengenai catcalling. Kenyataannya catcalling sangat meresahkan dan membawa dampak yang negatif bagi korbannya. Di Indonesia banyak sekali terjadi kasus catcalling, sebagai contohnya adalah catcalling yang dialami oleh Kevin Liliana selaku perwakilan Indonesia pada ajang Miss International 2019. Melihat kenyataan tersebut, menunjukan bahwa catcalling memang perbuatan yang melecehkan orang lain yang hidup dalam masyarakat sendiri. Faktor yang menyedihkan pula, para korban tidak mengetahui bagaimana ia harus melapor dan membuktikan adanya catcalling dikarenakan biasanya catcalling dilakukan dengan tindakan spontanitas. Korban juga biasanya sudah terlanjur takut untuk mendekati pelaku catcalling. Tindakan yang dapat dilakukannya adalah dengan bercerita melalui sosial media mengenai catcalling yang dialami, dengan tujuan bahwa memang ada tindakan seperti itu dan untuk memberitahukan kepada khalayak umum untuk berhati-hati dan bagaimana harus bertindak apabila mengalaminya.
Hukum positif Indonesia saat ini mengatur mengenai catcalling hanya secara umum yakni dalam Pasal 281 KUHP. Fenomena tersebut tentunya menunjukan bahwa catcalling merupakan perbuatan yang meresahkan dan harus diatur secara tertulis dalam peraturan perundag-undangan17. Dengan mengkriminalisasikan perbuatan tersebut diharapkan dapat menghasilkan produk hukum yang sesuai dengan fenomena yang dialami masyarakat.
Korban merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya tindak pidana, dalam hal ini catcalling. Dalam perbuatan catcalling sendiri, tidak memandang sisi korban. Apakah korbannya menarik perhatian atau tidak, apakah tempatnya sepi atau
tidak, namun memang dapat dikatakan bahwa catcalling perbuatan yang terjadi berdasarkan kehendak diri masing-masing. Catcalling juga tidak memandang bulu kepada siapa perbuatan tersebut dapat terjadi. Catcalling dapat dikatakan sebagai tindak pidana karena memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Dengan dikategorikan sebagai tindak pidana, maka akan mengurangi jumlah terjadinya kasus catcalling, karena seharusnya diatur dalam peraturan perundang-undangan. Mengingat belum adanya pengaturan yang spesifik mengenai catcalling dan adanya ketidakjelasan penggunaan pasal untuk menjerat pelaku, maka diperlukan aturan hukum yang relevan. Catcalling merupakan perbuatan yang meresahkan masyarakat dan dianggap sebagai perbuatan yang buruk sehingga perlu dilakukan kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut. Dengan begitu dapat memberikan kepastian hukum dan juga memberikan perlindungan kepada korban catcalling itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Nebi, Oktir. Hukum Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perspektif Teori Perlindungan Hukum. (Pasaman Barat, Azka Pustaka, 2021), 1.
Sunarso, Siswanto. Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana (Jakarta, Sinar Grafika, 2021), 1.
Tri Wibowo, Kurniawan. Hukum Pidana Materiil (Jakarta, Prenada Media, 2022), 54.
Jurnal Ilmiah/Skripsi:
Dewi, Ida Ayu Adnyaswari. "Catcalling: Candaan, Pujian atau Pelecehan Seksual." Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan 4, no. 2 (2019): 198-212.
Fadillah, Astuti Nur. "Catcalling Sebagai Perilaku Pelecehan Seksual Secara Verbal Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana." Jurnal Belo 7, no. 2 (2021): 145-155.
Fattah Ezzat, “Victimology: Past, Present and Future”. Criminologie 3, no. 1 (2020): 18-46.
Hilma, Nurzaojah Siti & Andriasari, Dian. “Analisa Viktimologis Terhadap Korban Body Shaming di Media Sosial dan Prospek Pengaturannya Dalam Hukum Pidana Yang Akan Datang”. Prosiding Ilmu Hukum 5, no. 2 (2019): 1132-1141.
Huda, Mohammad Nurul. "Korban dalam Perspektif Viktimologi." Voice Justisia: Jurnal Hukum dan Keadilan 6, no. 1 (2022): 63-69.
Jayanti Putri, Livia & Suardita, I Ketut. “Tinjauan Yuridis Terhadap Perbuatan Catcalling (Pelecehan Verbal) Di Indonesia. Jurnal Kertha Wicara 8, no. 2 (2019): 1-15.
Kartika, Yuni & Andi, Najemi. "Kebijakan Hukum Perbuatan Pelecehan Seksual (Catcalling) Dalam Perspektif Hukum Pidana." Pampas: Journal of Criminal Law 1, no. 2 (2020): 1-21.
Mustika, Aena Linda, Setiyono Setiyono, Muhari Santoso, & Nahdiya, Sabrina. "Pertanggungjawaban Pidana Atas Tindak Pidana Pelecehan Verbal Melalui Media Sosial." Bhirawa Law Journal 2, no. 1 (2021): 163-168.
Prita, Wardani Dyah & Setyanawati, Yossy. “Tinjauan Viktimologi dan Perlindungan Hukum Korban Kekerasan Dalam Pacaran”. Jurnal Serambu Hukum 8, no. 2 (2014): 61-76.
Putri, Anggreany Haryani & Seno Wijanarko, Dwi. "Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Secara Verbal (Catcalling)." Krtha Bahayangkara 15, no. 1 (2021): 143150.
Tauratiya. "Perbuatan Catcalling Dalam Perspektif Hukum Positif." Ekspose: Jurnal Penelitian Hukum dan Pendidikan 19, no. 1 (2020): 1019-1025.
Waluyadi. "Perlindungan Korban Tindak Pidana Dalam Proses Peradilan". Hermeneutika: Jurnal Ilmu Hukum 2, no. 1 (2018): 152-173.
Internet:
Kartikawati, Eny. “Mengenal Catcalling: Pelecehan Seksual yang Dialami Miss International Kevin Lilliana”. Wolipop Detik, terakhir diakses pada tanggal 21 Oktober 2021. URL: https://wolipop.detik.com/love/d-4408986/mengenal-catcalling-pelecehan-yang-dialami-miss-international-kevin-lilliana.
Wahyu Pramita, Eka. “Jadi Korban Catcalling, Hannah Al Rashid Beri Pelajaran Si Pelaku”. Tempo, terakhir diakses pada tanggal 21 Oktober 2021. URL: https://cantik.tempo.co/read/1319244/jadi-korban-catcalling-hannah-al-rashid-beri-pelajaran-si-pelaku/full&view=ok.
Peraturan Perundang-Undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4928.
Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 7 Tahun 2023 hlm 741-751
751
Discussion and feedback