Hukuman Kebiri Kimia terhadap Pelaku Kekerasan Sexual berdasarkan Perspektif Hak Asasi Manusia Internasional

I Nyoman Adhi Sadu Gunawan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail:

adisadu03@gmail.com

Tjokorda Istri Diah Widyantari Pradnya Dewi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email : diah_widyantari@unud.ac.id

ABSTRAK

Tujuan artikel ini adalah untuk mengetahui pandangan dalam pesepektif hak asasi manusia international terkait hukuman Kebiri Kimia, disamping itu juga untuk mengetahui Hukuman Kebiri Kimia dalam implementasinya sudah efektif untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian normatif. Penulisan artikel ini menggunakan pendekatan normative dan pendekatan kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekerasan sexual tiap tahunnya mengalami peningkatan, pelaku kekerasan seksual yang terungkap rata-rata melakukan kejahatannya kepada lebih dari satu orang, Mayoritas korban kekerasan Seksual adalah anak dibawah umur dan kaum perempuan. Negara dalam hal ini sangat mengecam Kekerasan Seksual, beberapa negara mulai memberlakukan hukuman kebiri kimia, hal ini menuai pro dan kontra terkait efektifitasnya dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia tahun 1948 secara jelas menjelaskan hak-hak manusia meliputi hak untuk dihukum secara manusiawi. Dilihat dari kacamata korban Kekerasan Seksual, perlindungan terhadap korban kekerasan Seksual juga harus ditegakan, dengan diberlakukannya kebiri kimia merupakan tindakan pencegahan agar pelaku kekerasan seksual tidak mengulangi kejahatannya. Disisi lain keharusan untuk memberikan Hukuman yang layak bagi pelaku kekerasan seksual juga menjadi alasan diberlakukannya kebiri kimia, dalam hal ini kekerasan seksual meliputi pemerkosaan, perbudakan seksual, prostitusi merupakan salah satu Kejahatan terhadap kemanusiaan sesuai dengan Statuta Roma pasal 7 poin g. efektifitas dari pemberlakuan hukuman kebiri kimia pun tidak terlalu signifikan untuk mengurangi terjadinya kekerasan seksual

Kata kunci : Anak dibawah umur, Hukuman Kebiri Kimia, Kekerasan Sexual, Perempuan

ABSTRACT

The purpose of this article is to determine Chemical castraction on perspective of International Human rights, beside that to acknowledge whether implementation of chemical castraction punishment is effective to prefent sexual violence. This research used normative research method. For the writing of this article used normative approach that prioritizing on legal perspective and used case approach. Sexual violence is continuing to increase year by year, sexual offender that has been proof mostly did sexual violence to more than one person. The majority of their victims are minors and women. In this issues State declaim and prohibit sexual violence, some State have been legalized chemical castraction on their statute, by this making pros and cons about effectivities of chemical castraction to prefent sexual offender to do such stuff again. International Amnesty said that chemical castraction is inhuman and ineffective way to prefent sexual violence. Universal declaration of human right 1948 explicitlly clarify that human right including rights to not subjected inhuman or degrading treatment or punishment. On victims perspective, security of victims becoming priority, by legalizing chemical castraction is a prefenting action to prefent sexual violence. On other side liability to give proper punishment for sexual offender become one of a reason to enforce Chemical castractio, sexual harassment include Rape, Slavery, and Prostitution which are conclude to be Crime against Humanity as explained on Rome Statute article 7 poin g. the effectiveness of chemical castration are not really significantly decrease of sexual harassment

Keywords : Chemical castraction punishment, Minors, Sexual violence, Women

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Kekerasan seksual atau Sexual violence merupakan Hal yang terjadi secara Global yang terjadi dalam masyarakat sekarang, kekerasan tersebut sering terjadi terhadap anak dibawah umur dan kaum wanita. Tindakan yang sangat merugikan, perbuatan ini mencakup menghina, merendahkan, menyerang dan/atau Tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait berlandaskan nafsu seksual seseorang. Yang dilakukan secara paksa dengan bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang menderita baik secara fisik, psikis, seksual, ekonomis, social, budaya dan atau politik1. Kejahatan Kesusilaan dan pelecehan seksual merupakan dua bentuk pelanggaran yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Masalah ini bukan hanya masalah bagi hukum nasional suatu negara melainkan sudah menjadi masalah seluruh negara di dunia (Global Issue).2

Maraknya terjadi kekerasan seksual sangat meresahkan dan dikecam masyarakat, masalah ini menjadi perhatian publik baik secara nasional dan international. Hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual dianggap belum bisa mencegah dan memberikan efek jera terhadap pelaku. Korban dari kekerasan seksual mayoritas adalah anak dibawah umur dan kaum perempuan, hal ini sangat disayangkan terjadi, anak merupakan aset untuk memajukan bangsa dan memiliki perjalanan hidup yang masih Panjang. Terlebih lagi bagi kaum perempuan jika kasus kekerasan seksual terhadap wanita mengakibatkan wanita harus mengandung anak, diluar kesiapan mereka untuk menjadi orangtua, tak lepas dari itu adanya kerugian fisik dan psikis yang dialami para korban.

Dilansir dari data WHO (world health organization) separuh dari total populasi anak di dunia atau sekitar satu miliar anak mengalami kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis, cedera, menjadi disabilitas, dan meninggal dunia. Dalam laporan bertajuk Laporan Status Global tentang pencegahan kekerasan terhadap anak tahun 2020 disebutkan sebanyak 40.150 anak usia 0 sampai 17 tahun mengalami kekerasan seksual dan meninggal dunia, diantaranya sebanyak 28.160 anak laki-laki dan 11.190 anak perempuan. Dalam laporan ini mengungkap sebanyak 120 juta anak perempuan dan remaja putri berusia dibawah 20 tahun, mengalami kekerasan seksual.

Dikatakan pula bahwasannya orang dewasa yang pernah mengalami kekerasan seksual saat anak-anak cenderung akan melakukan kejahatan yang sama sebagai pelaku, atau memiliki kemungkinan 30 kali lebih besar untuk melakukan percobaan bunuh diri3. Anak dibawah umur dan perempuan merupakan kaum rentan (vulnerable), Kondisi inilah yang membuat perempuan dan anak kerap menjadi korban tindak kekerasan. Menurut United Nations Women diperkirakan terdapat 35% perempuan secara global menjadi korban kekerasan fisik maupun kekerasan

seksual di satu titik dalam hidupnya4 Permasalahan terkait kekerasan terjadi pada anak yakni berdasarkan laporan berjudul “Ending Violence in Childhood: Global Report 2017, kekerasan pada anak terjadi hampir universal yakni selama setahun sebanyak 1,7 milyar anak di dunia mengalami kekerasan. Kekerasan tersebut diantara lain adalah bullying, perkelahian, kekerasan seksual, hukuman fisik di rumah dan sekolah.5

Dengan begitu maraknya terjadi kejahatan seksual menyangkut anak dibawah umur dan perempuan, mendorong negara-negara untuk membuat suatu aturan guna memberikan efek jera dan mencegah terjadinya kejahatan seksual, beberapa negara memilih untuk melegalkan kebiri kimia, antara lain Korea Selatan, Polandia, Moldova, Argentina, Belanda, Estonia, Indonesia, Inggris, Kazakhstan dan Rusia. Penjatuhan hukuman kebiri pada zaman yang begitu modern menjadi trend yang Dilakoni beberapa negara didunia. Akan tetapi kelayakan pelaksanaan hukuman kebiri masih menjadi pertanyaan banyak pihak. banyak yang mendukung hukuman kebiri kimia, dan adapula yang menentang kebiri kimia beralasan tidak berlandaskan Hak asasi manusia. Hak Asasi Manusia pada hakekatnya merupakan hak yang paling dasar yang dimiliki oleh semua umat manusia sebagai anugerah tertinggi dari Tuhan Yang Maha Esa, dimanapun manusia itu hidup, karena dengan hak-hak itu manusia dapat menjadi makhluk yang bermartabat.6

Sebelumnya penulis sudah pernah menemukan penelitian yang mengangkat terkait isu serupa, yang berjudul “Sanksi Pidana Kebiri dari Perspektif Hak Asasi Manusia” oleh Dr. Drs. A.A.KT. Sudiana, S.H., A.Ma., M.H. hasil dari penelitiannya menjelaskan tentang Maraknya terjadi Kasus kekerasan seksual, terutama terhadap anak dibawah umur dan perempuan. Pemerintah Indonesia melegalkan sanksi hukuman kebiri kimia sebagai Tindakan represif, Indonesia sendiri dalam data dan investigasi kasus terkait kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan yang tercatat dan dihimpun oleh KPAI dan Komnas perlindungan perempuan, menunjukan peningkatan setiap tahunnya, dengan rincian :

  • 1. Tahun 2011 terjadi 667 kasus terkait kekerasan sexual pada anak

  • 2. Tahun 2012 terjadi 921 kasus terkait kekerasan sexual pada anak

  • 3. Tahun 2013 terjadi 837 kasus terkait kekerasan sexual pada anak

  • 4. Tahun 2014 sampai dengan bulan Juni 2014 terjadi 685 kasus

  • 5.    Tahun 2015 setiap dua jam, perempuan menjadi korban kekerasan seksual

Pandangan hak asasi manusia terkait Hukuman kebiri yang dikaji berlandaskan, yakni hukum nasional Indonesia yaitu Pancasila, Undang-Undang dasar 1945, Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dan Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan anak, Keputusan Presiden nomor 36 tahun 1990 tentang pengesahan convention of rights of child Dan Hukum international yakni Declaration of Human Rights oleh PBB tahun 1948 yang selanjutnya telah diratrifikasi oleh pemerintah Indonesia menjadi Undang-Undang no 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, Adalah setuju

dengan diberlakukannya Hukuman Kebiri Kimia Mengingat marak dan tingginya jumlah kejadian tindak kekerasan seksual pada anak dan perempuan di Indonesia, maka perlu dilakukan upaya represif terhadap pelaku dengan penjatuhan sanksi pidana, kebiri kimia ini tampaknya dianggap sebagai jawaban atas tingginya tuntutan publik atas penghukuman yang berat bagi para pelakunya.

Penelitian sebelumnya bertujuan untuk memperbanyak wawasan, analisa, referensi dan juga memperbanyak lingkup pembahasan penelitian. Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maraknya terjadi kekerasan seksual terutama kepada anak dibawah umur dan kaum perempuan, yang terjadi Global, dan gencar-gencarnya beebrapa Negara dalam melegalkan hukuman Kebiri Kimia maka penulis hendak mengkaji permasalahan dalam bidang Hukum International melalui penulisan jurnal mengenai “Hukuman kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual berdasarkan perspektif hak asasi manusia internasional”.

Berbeda dengan penelitian yang sedang dilakukan pada kali ini. Penulis menggunakan hukum international dalam mengkaji kelayakan kebiri kimia itu sendiri, dalam penelitian ini penulis membahas secara global terkait kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di dunia dan memfokuskan penelitian dengan Hak Asasi Manusia Internasional.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah pandangan Hukum hak asasi manusia internasional terhadap penjatuhan hukuman kebiri kimia ?

  • 2.    Apakah Eksistensi hukuman kebiri kimia sudah efektif untuk mencegah dan menekan terjadinya kekerasan seksual yang terjadi secara Global ?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan dari dibuatnya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pandangan hak asasi manusia internasional terhadap hukuman kebiri kimia, disamping itu pula untuk meninjau kelayakan penjatuhan hukuman kebiri kimia terkait keefektifitasannya untuk menekan dan mencegah terjadinya kekerasan seksual.

  • 2.    Metode Penelitian

Metode penulisan dalam penelitian ini adalah metode hukum normatif atau penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan hukum primer dan sekunder7, yakni Bahan hukum primer, yang terdiri dari Perjanjian International, Kebiasaan International, dan Prinsip-prinsip hukum umum dan Bahan Hukum sekunder, yang memberikan penjelasan terkait bahan hukum primer, seperti karya-karya tulis dan pandangan hukum oleh ahli hukum

Dalam menggunakan metode penelitian normatif, Adapun beberapa pendekatan yang digunakan yakni pendekatan normatif yaitu berdasarkan Hukum yang berlaku dan pendekatan kasus, yakni terkait kasus-kasus faktual yang terjadi. Dalam Penelitian Hukum Normatif Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mukti Fajar dan Yulianto Achmad , bahwa teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum normatif dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier. Analisis bahan hukum adalah bagaimana memanfaatkan sumber-sumber bahan

hukum yang telah terkumpul untuk digunakan dalam memecahkan permasalahan dalam penelitian ini.

  • 3. Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Pandangan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional Terhadap Penjatuhan Hukuman Kebiri Kimia Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual

Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia, semata-mata karena terlahir sebagai manusia, umat manusia memilikinya bukan karena diberikan oleh orang lain melainkan semata-mata karena martabatnya sebagai manusia secara kodrati. Dalam arti ini hak asasi manusia tidak memandang ras ,gender, suku, budaya, agama, social, Bahasa dan lain sebagainya. Dengan demikian hak asasi manusia merupakan hak yang universal. Menurut Abraham Lincoln yang merupakan salah satu pemerkasa dan pembela HAM dan tokoh anti perbudakan. Ia menganjurkan persamaan, kemerdekaan, bagi setiap warga Negara tanpa membedakan warna kulit, agama dan jenis kelamin 8 Esensi hukum hak asasi manusia internasional mengatur kemanusiaan universal tanpa terikat atribut tertentu9 HAM adalah istilah yang relatif baru, dan menjadi bahasa sehari hari. Semenjak terjadinya Perang Dunia II dan pembentukan PBB pada tahun 1945.

Istilah Hak asasi manusia menggantikan istilah natural rights (hak alam) karena konsep hukum alam, yang berkaitan dengan istilah natural rights menjadi suatu kontroversi, dan frasa the rights of man yang muncul dianggap tidak mencakup hak-hak wanita. Adalah Eleanor Roosevelt, janda mendiang Presiden Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt10. Dalam perjalanannya hak asasi manusia dibagi menjadi dua prinsip yakni prinsip Natural rights dan Positive rights. Hak asasi manusia natural/alami perpandangan bahwa “ hak asasi manusia merupakan hak-hak yang bersifat kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng. Sedangkan prinsip Positive adalah hak-hak menurut hukum, yang dibuat melalui proses pembentukan hukum itu sendiri baik dari masyarakat, negara (nasional atau international), pandangan ini berpendapat bahwa hak asasi manusia bukanlah hak yang absolute, melainkan dapat dikurangi guna menegakkan hukum dan keadilan di masyarakat.

Kekerasan seksual merupakan Pelanggaran terhadap hak asasi manusia,kekerasan seksual pada mulanya dikenal oleh masyarakat international pasca perang dunia ke II tahun 1945, kondisi tersebut terjadi saat persidangan Batavia diadakan dalam rangka menghukum prajurit-prajuri Jepang yang melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan-perempuan Belanda sebagai budak seksual pada tahun 194811 kekerasan seksual dikategorikan sebagai

kejahatan Kemanusiaan sebagaimana disebutkan dalam Statuta Roma tentang Mahkamah pidana international, Pada pasal 7 ayat 1 huruf g statute roma “ Untuk keperluan Statuta ini, “kejahatan terhadap kemanusiaan” berarti salah satu dari perbuatan berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, dengan mengetahui adanya serangan itu… (g) Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat” dalam ketentuan pasal ini yang termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan salah satunya adalah kekerasan seksual diantaranya pemerkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi dan kekerasan seksual lainnya.12

Dalam pelaksanaan Hukum Hak Asasi manusia, Ham dibagi menjadi hak yang dapat dikurangi (derogable rights) dan hak yang tidak dapat dikurang (non derogable rights) Konvenan internasional hak sipil dan politik memberikan kewenangan kepada negara untuk melakukan pembatasan-pembatasan hak asasi manusia ketika negara dalam keadaan darurat yang esensial dan mengancam kehidupan suatu bangsa. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 4 Konvenan hak sipil dan politik sebagai berikut : In time of public emergency which threatens the life of the nation and the existence of which is officially proclaimed, the States Parties to the present Covenant may take measures derogating from their obligations under the present Covenant to the extent strictly required by the exigencies of the situation, provided that such measures are not inconsistent with their other obligations under international law and do not involve discrimination solely on the ground of race, colour, sex, language, religion or social origin

Dalam situasi genting yang mengancam kehidupan dari suatu negara dan keberadaannya telah resmi diumumkan, negara anggota dapat mengurangi kewajiban-kewajibannya terkait konvensi ini,sejauh hal itu dituntut oleh situasi genting tersebut, dengan ketentuan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan yang diaturkan oleh hukum internasional dan tidak mengandung unsur diskriminasi terhadap ras, warna kulit, gender, Bahasa, agama, dan asasl-usul sosial : No derogation from articles 6, 7, 8 (paragraphs I and 2), 11, 15, 16 and 18 may be made under this provision.

Pengurangan yang dilakukan atas pasasl-pasal 6,7,8 (ayat 1 dan ayat 2), 11,15,16,18 .Sama sekali tidak dapat dibenarkan berdasarkan ketentuan ini yakni meliputi;

  • a)    Hak Untuk hidup (Pasal 6)

  • b)    Hak untuk tidak disiksa (Pasal 7)

  • c)    Hak untuk tidak diperbudak (Pasal 8 ayat 1 dan 2)

  • d)    Hak tidak dapat dipenjara semata-mata karena tidak dapat memenuhi perjanjian (Pasal 11)

  • e)    Hak untuk tidak dinyatakan bersalah atas suatu tindak Pidana kaarena melakukan tindak Pidana yang bukan merupakan tindak pidana saat dilakukannya, baik secara hukum internasional maupun nasional ( Pasal 15 ayat 1)

  • f)    Hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum (Pasal 16)

  • g)    Hak atas kebebasan berfikir, Agama dan keyakinan (Pasal 18)

Berdasarkan pasal 4 konvenan hak sipil dan politik, memberikan kewenangan kepada negara untuk mengurangi atau membatasi hak asasi manusia jika negara dalam keadaan genting atau darurat, menurut Pengadilan Eropa untuk hak asasi manusia yang dimaksud dengan keadaan mendesak adalah situasi luar biasa yang terjadi, dimana mempengaruhi seluruh penduduk dan mengancam keselamatan dan kehidupan dari masyarakat suatu negara, keadaan darurat dapat terjadi karena beberapa faktor, yakni faktor internal dan faktor eksternal, yang dimaksud dengan faktor internal adalah ancaman yang dating dari dalam negeri, sedangkan faktor eksternal adalah yang datang dari luar negeri. Ancaman dapat berupa ancaman militer/bersenjata dan dapat pula ancaman seperti terror bom, penjarahan massal yang mengakibatkan kerugian harta benda.

Dalam keadaan negara yang tidak normal atau keadaan darurat, negara melalui pemerintah dapat menggunakan kekuasaannya untuk menjaga negaranya dengan memberlakukan hukum keadaan darurat, dimana hukum ini dapat mengesampingkan hukum dalam keadaan normal, tanpa harus mempengaruhi sistem-sistem pemerintahan yang demokratis yang dianut berdasarkan konstitusi. Pada hakekatnya hak asasi manusia harus dilindungi (protect), dipenuhi (fulfill) dan ditegakan (enforced) oleh negara, hanya saja dalam perkembangannya tidak semua harus dipenuhi secara mutlak tanpa terkecuali, ada pula hak hak yang harus dipenuhi secara mutlak. Menurut Alexander N. Domrin, ada berbagai macam alas an untuk menyatakan keadaan darurat, ditinjau dari undang-undang dari negara-negara didunia. A Hamann mengidentifikasikan keadaan darurat sebagai berikut :

  • a)    Invasi asing

  • b)    Tindakan public yang bertujuan subversi rezim konstituonal

  • c)    Pelanggaran serius mengancam ketertiban umum dan keamanan

  • d)    Bencana

  • e)    Pemogokan dan Kerusuhan di bidang penting dari perekonomian

  • f)    Gangguan penting dalam pelayanan publik dan

  • g)    Kesulitan di bidang ekonomi dan keuangan

Dalam implementasi pembatasan Hak asasi manusia diatur dan diterjemahkan secara detail di dalam prinsip-prinsip Siracusa (Siracusa Principles), dalam prinsip ini menyebutkan pembatasan hak tidak boleh dilakukan semena-mena dan membahayakan esensi hak. Segala pembatasan harus dilaksanakan secara tegas dengan mengedepankan dan mendukung hak-hak lainnya. Pembatasan hak asasi manusia hanya bisa dilakukan jika memenuhi kondisi-kondisi seperti ;

  • a)    Diatur oleh hukum (Prescribed by Law)

  • b)    Diperlukan dalam masyarakat demokratis ( In democratic society)

  • c)    Untuk melindungi ketertiban umum ( Public Order)

  • d)    Untuk melindungi Kesehatan public baik secara fisik maupun mental ( Public health)

  • e)    Untuk melindungi Moral public berdasarkan norma-norma dimasyarakat 13

Banyaknya permasalahan baik Pro dan Kontra terkait penjatuhan hukuman kebiri kimia dalam Perspektif hak asasi manusia internasional. Beberapa dasar hukum internasional melandasi ketidaksetujuan terhadap penjatuhan hukuman kimia antara lain :

  • 1.    International Convenant on Civil and Political Rights (Konvenan hak sipil dan politik)

Dijelaskanpada pasal 7 “Tidak seorangpun dapat dikenai penyiksaan, atau perlakuan hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Khususnya, tidak seorangpun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmia tanpa persetujuannya”. Hak asasi manusia yang dituangkan dalam konvenan hak sipil dan politik pada pasal 7, menjadi salah satu alasan untuk menolak diberlakukannya hukuman kebiri kimia yang dianggap tidak manusiawi, bahwa tidak seorangpun dapat dikenai hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat, disamping itu pula tidak seorangpun dapat dijadikan objek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuannya.

Hukuman kebiri merupakan Tindakan penyuntikan zat anti-testoteron ke tubuh pria untuk menjurunkan kadar hormone testoteron didalam tubuhnya, testoteron adalah hormone yang berperan dalam beragam fungsi pada manusia, terutama pria terkait fungsi seksualitasnya. Ketua bagian Andrologi dan Seksologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana,Denpasar, Wimpie Pangkahlia mengungkapkan kebiri dalam dunia medis atau kedokteran di sebut dengan kastraksi. Dalam hal ini kebiri tidak dilakukan dengan membuang testis melainkan menggunakan obat, baik secara oral maupun suntikan andarogen, hormon Antiadrogen adalah anti-hormon laki-laki, pemberian obat ini mengakibatkan pria kekurangan hormon testosterone sehingga tak lagi memiliki dorongan seksual, pemberian obat antiandrogen memberikan efek yang hampir sama dengan kebiri secara fisik14

  • 2.    Universal declaration of human rights (deklarasi universal hak asasi manusia).

Tercantum pada pasal 5 “Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dikukum secara tidak manusiawi atau dihina”. Tidak seorangpun berhak untuk disiksa atau menyiksa orang lain, dalam keterkaitannya dalam suatu pelanggaran hak asasi manusia. Begitupula terhadap pelaku kejahatan seksual yang merupakan Manusia yang seutuhnya memiliki hak asasi manusia yang harus dilindungi yakni hak untuk tidak disksa. Pelaku kejahatan seksual juga dengan penegasan pada pasal ini, mendapatkan perlindungan hak mereka untuk tidak di perlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi.

Kebiri kimia memiliki beberapa efek samping negative seperti ; menurunnya keinginan berhubungan seksual, sulit ereksi, ukuran testis mengecil, kegemukan, kehilangan massa otot, sering merasa Lelah, rambut rontok dan volume air mani yang dikeluarkan menurun drastis, seperti osteoporosis, penyakit jantung, dan diabetes. Tak hanya itu, kebiri kimia juga dapat memberikan dampak lain, seperti: Hot flushes (sensasi rasa panas, berkeringat, dan jantung berdebar) Anemia Depresi Selain itu, kebiri kimia juga dapat meningkatkan risiko pembesaran payudara pada pria yang disebut dengan ginekomastia.

Semakin lama kebiri kimia dilakukan, risiko munculnya efek samping juga akan meningkat. Secara Psikologis menyebabkan pelaku kejahatan seksual yang dijatuhi

hukuman kebiri kimia menjadi lebih agresif daripada sebelum dijatuhi hukuman, hal ini disebabkan karena psikologis dari pelaku dan social yang mengakibatkan perasaan sakit hati, marah, dan dendam. Berbagai alasan yang telah dinyatakan oleh organisasi Hak Asasi Manusia, sehingga pemerintah diminta untuk fokus pada perlindungan anak dengan cara komprehensif, yang didalam kondisi tersebut ank adalah sebagai salah satu korban dari kekerasan seksual. Dan pemerintah sebaiknya memberikan akses yang berguna untuk pemulihan fisik dan mental dari anak yang telah menjadi korban.

Adapun hukum international yang mendukung diberlakukannya hukuman kebiri kimia, diantaranya adalah ;

  • 1.    Hak Asasi tentang Perlindungan Anak

Tercantum dalam pasal 34 “ Tiap anak berhak dilindungi dari eksploitasi dan penganiayaan seksual, termasuk prostitusi dan keterlibatan dalam pornografi” Konvensi Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) telah disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1989, dan mulai mempunyai kekuatan memaksa (entered in force)pada tanggal 2 September 1990. Konvensi hak anak ini merupakan instrumen yang merumuskan prinsip-prinsip yang universal dan norma hukum mengenai kedudukan anak. Oleh karena itu, konvensi hak anak ini merupakan perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang memasukkan hak sipil, hak politik, hak ekonomi dan hak budaya.

Hak Anak merupakan sebuah perjanjian yang mengikat, yang artinya ketika disepakati oleh suatu negara, maka negara tersebut terikat pada janji-janji yang ada di dalamnya dan negara wajib untuk melaksanakannya15. Dalam pasal 34 menjelaskan tentang berlindungan terhadap anak dimana anak sebagai masa depan bangsa berhak untuk mendapatkan perlindungan dari eksploitasi dan penganiayaan seksual, termasuk prostitusi dan keterlibatan dalam pornograpi, dalam hal ini negara sebagai jembatan antara perlindungan terhadap anak dan pembentuk aturan harus dapat melindungi hak-hak anak tersebut. Seperti dijelaskan dan tercantum pada pasal 4 “ Pemerintah bertanggung jawab memastikan semua hak yang dicantumkan di dalam Konvensi dilindungi dan dipenuhi untuk tiap anak”

Pemerintah dalam hal ini berperan sangan penting untuk mendasari perlindungan terhadap anak dalam konteks normatif, pemerintah berkewajiban untuk melindungi anak dan memastikan seluruh haknya yang dicantumkan dalam pasal ini dipenuhi, sebagaimana dasar manusia adalah hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk mendapatkan hidup yang layak dan lain sebagainya. Khususnya pada anak pemerintah sedianya harus lebih teliti dan cermat dalam pembentukan hukum guna melindungi hak-hak anak sebagai cikal bakal penerus bangsa. Pemerintah bertanggung jawab untuk memastikan bahwasannya anak bisa bertahan hidup dan tumbuh secara sehat, sesuai dengan pasal 6 “ Semua anak berhak atas kehidupan. Pemerintah perlu memastikan bahwa anak bisa bertahan hidup dan tumbuh dengan sehat.” Pemberlakuan hukuman kebiri kimia sekiranya sudah layak diberlakukan terhadap kejahatan seksual terutama terhadap anak, hal ini didasarkan oleh begitu massive dan berkepanjangannya

penderitaan yang dialami anak, yang dimana anak adalah kaum yang rentan. Anak masih menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh para pelaku yang lebih kuat dari korban. Anak yang menjadi korban kekerasan seksual mendapatkan dampak yang negatif terhadap psikis dan batinnya, sehingga anak akan memiliki trauma yang susah untuk dihilangkan atau bahkan trauma tersebut berkepanjangan.16

Pemberlakuan hukuman kebiri kimia dapat dilaksanakan berlandaskan oleh kerugian terhadap anak, dimana fisik dan mental anak belum sepenuhnya tumbuh dan berkembang secara total, jika ditinjau secara visioner, kedepannya anak akan memiliki trauma akibat perlakuan pelaku kekerasan seksual terhadapnya, psikis anak akan terganggu sehingga menggagu mental dan perkembangan anak. Disamping itu pula jika pelaku kejahatan seksual kepada anak membekaskan luka atau cidera fisik terhadap anak yang menjadi korban, hal tersebut sangan merugikan anak tersebut, luka fisik tersebut akan terus diingat dan menjadi kenangan buruk bagi anak korban pelecehan seksual. Tindakan kejahatan seksual terhadap anak telah melanggar norma-norma yang berlaku, baik itu norma hukum, norma agama, norma kesusilaan. Abdul Wahid dan Muhammad Irfan memandang bahwa kekerasan seksual merupakan perilaku seksual deviatif yang artinya hubungan seksual yang menyimpang.

  • 2.    Konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap Perempuan

Konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang selanjutnya disebut konvensi perempuan, merupakan bentuk dukungan PBB terhadap perlindungan perempuan, dimana ditujukan untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak perempuan diseluruh dunia17 seiring perkembangan kondisi masyarakat international, Majelis umum PBB menyadari bahwa kekerasan terhadap perempuan yang salah satunya adalah kekerasan seksual merupakan salah satu alasan penghambat pembangunan dan perdamaian dunia, Table of Contents dari UN Women mendefinisikan kekerasan seksual adalah setiap penyalahgunaan yang terjadi pada kondisi kerentanan, yakni rentan kekuasaan atau kepercayaan guna tujuan seksual, termasuk dalam rangka menguntungkan secara finansial, sosial atau politik dari eksploitasi seksual orang lain.18 pada tahun 1993 berdasarkan pasal 1 deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan, mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan adalah suatu kekerasan yang berbasis gender dimana dapat mengakibatkan kerugian baik fisik, seksual, maupun psikologis, yang didalamnya termasuk juga ancaman untuk melakukan Tindakan-tindakan seperti pemaksaan atau penghilangan kebebasan. Dijelaskan pada pasal 6 “Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang, untuk memberantas segala bentuk perdagangan

perempuan dan ekploitasi pelacuran.” Menekankan kewajiban negara untuk mendukung perlindungan terhadap perempuan dengan cara membuat peraturan perundang-undangan yang tepat guna memberantas segala bentuk perdagangan dan eksploitasi pelacuran.

Perdagangan dan eksploitasi pelacuran termasuk kategori kekerasan seksual, dimana Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik19 karena maraknya eksploitasi seksual dan perdagangan terhadap perempuan perlu adanya produk hukum yang membuat pelaku-pelaku atau oknum-oknum yang bergerak dibidang perdagangan dan eksploitasi pelacuran untuk dihukum, karena dalam prakteknya perempuan merupakan kaum yang rentan, dimana kerap terjadi pemaksaan kehendak terhadap kaum perempuan, sehingga prostitusi dan pelacuran dapat terjadi akibat paksaan-paksaan oleh oknum-oknum tersebut, secara tidak langsung oknum-oknum tersebut merupakan Pelaku kekerasan seksual dimana memaksakan kehendaknya untuk memperdagangkan perempuan dengan mengeksploitasi pelacuran sehingga menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi, maka oknum tersebut secara tidak langsung adalah pelaku kekerasan seksual yang harus dihukum, Hukuman kebiri kimia merupakan hukuman yang layak untuk pelaku kekerasan seksual karena tindakannya yang begitu merugikan dan merendahkan kaum perempuan.

  • 3.    Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana International

Mahkamah Pidana Internasional atau International criminal court, didirikan untuk mengadili para pelaku kejahatan yang serius, dalam hal ini kejahatan serius dapat berupa genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. seiring perjalanan dan perkembangan zaman dalam mengadili pelaku kejahatan paling serius yang dilakukan secara individu, subyek hukum dari ICC dapat ditujukan kepada individu atau perorangan. Hal ini bertujuan agar pelaku tindak kejahatan dapat diadili dengan kejahatan yang telah dilakukannya.20 Statuta Roma tentang Mahkaman Pidana International berdasarkan Pasal 7 ayat 1 huruf (g) “Untuk keperluan Statuta ini, “kejahatan terhadap kemanusiaan” berarti salah satu dari perbuatan berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, dengan mengetahui adanya serangan itu:…. (g) Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat;”

Dalam hal ini Statute Roma secara jelas menjelaskan bahwa pemerkosaan dan kekerasan seksual merupakan tindakan kejahatan berat dimana melanggar pasal 7 dimana pemerkosaan dan kejahatan seksual merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, dalam hal ini kekerasan seksual dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan jika memenuhi unsur-unsur yakni :

  • 1.    Pelaku kekerasan melakukan tindakannya terhadap sesorang atau lebih atau menyebabkan yang bersangkutan atau orang-orang untuk terlibat didalam tindakan kekerasan seksual tersebut

  • 2.    Pelaku kekerasan seksual melakukan tindakannya tersebut dengan ancaman kekerasan atau pemaksaan, seperti memberikan rasa takut dan kekerasan secara fisik, paksaan, penahanan, penekanan psikologis atau menggunakan kekuasaan secara semena-mena, terhadap seseorang atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang memaksa atau ketidakmampuan seseorang untuk memberikan persetujuan dengan iklas

  • 3.    Kekerasan seksual dilakukan sebagai bagian dari serangan yang sistematis dan meluas dimana ditujukan kepada penduduk sipil

Dapat diketahui bahwa berdasarkan unsur-unsur di atas bahwasannya pelaku kekerasan seksual yang dimaksud dapat berupa kombatan yang merupakan pihak yang terlibat dalam suatu konflik. Dalam statute dan sumber hukum lain cakupan dari kejahatn ini berbeda-beda, namun secara garis besar kejahatan seksual ini terdiri dari tindakan yang tidaak manusiawi dimana merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan seperti pembunuhan, penyiksaan, kekerasan seksual, dan lain-lain. Yang dilakukan sebagai serangan yang sistematis dan meluas terhadap penduduk sipil21

Kekerasan seksual pula dikategorikan sebagai penyiksaan yang mana dalam Statuta Roma Pasal 1 ayat 1 huruf (f) “Penyiksaan” dijelaskan pada pasal 7 ayat 2 huruf (e) “ Penyiksaan” berarti ditimbulkannya secara sengaja rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik fisik atupun mental, terhadap seseorang yang ditahan atau di bawah penguasaan tertuduh; kecuali kalau siksaan itu tidak termasuk rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari, yang melekat pada atau sebagai akibat dari, sanksi yang sah;” dalam hal keterkaitannya dengan kekerasan seksual, penyiksaan merupakan barang tentu hal yang terjadi didalamnya dimana dalam melakukan kekerasan seksual adanya unsur penyiksaan didalamnya yang dapat berupa timbulnya penderitaan baik secara fisik maupun mental terhadap korban yang dilakukan pelaku kekerasan seksual.

Dalam penegasan bahwa kekerasan seksual merupakan suatu kejahatan yang luar biasa serius yang dikategorikan kejahatan terhadap kemanusiaan, menunjukan pantasnya pelaku kejahatan seksual untuk dihukum dengan kebiri kimia, dalam yuridiksi nasional negara berhak dan berkewajiban melindungi masyarakatnya dengan peraturan-peraturan terkait. Dalam hal ini dukungan dari peraturan-peraturan hukum international lainnya yang mengakibatkan terwujudnya hukuman kebiri kimia meunjukan pemberlakuan hukuman kebiri kimia terhadap pelaku kejatan seksual sudah tepat guna melindungi hak asasi manusia yang lain dan untuk memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan seksual, yuridiksi nasional berperaan sangat penting untuk mengadili pelaku kejahatan seksual yang dilakukan individu.

  • 4.    Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan martabat Manusia (Konvensi menentang penyiksaan)

Dijelaskan pada pasal 1 ayat 1 Konvensi ini “(1). Untuk tujuan Konvensi ini, istilah "penyiksaan" berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperolah pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. Hal itu tidak meluputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.           Dalam kaitannya dengan kekerasan

seksual, kekerasan seksual merupakan penyiksaan, yang berarti segala bentuk kekerasan seksual dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik secara fisik maupun mental. Kekerasan seksual merupakan seuatu yang sangan dikecam keberadaannya, dalam pasal ini dijelaksan penyiksaan atau penderitaan yang timbul dan melekat pada atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum tidak dapat dikatakan penyiksaan atau penderitaan. Sanksi hukum pidana adalah ruh dari hukum pidana itu sendiri sebagai satu kekuatan diberlakukannya hukum dengan daya pengaruh yang kuat untuk mempengaruhi ketundukan subjek hukum atas hukum yang telah ditetapkan22

Dengan demikian Sanksi hukum sudah pasti mengakibatkan penyiksaan dan penderitaan didalamnya, karena itulah konsekuensi atau sanksi yang didapat dari melakukan kejahatan dan melanggar peraturan, dalam hal ini kebiri kimia merupakan hal yang pasti memberikan penyiksaan dan penderitaan terhadap pelaku kekerasan seksual. Dengan efek penderitaan dan penyiksaan dari kebiri kimia diharapkan menghasilkan keselarasan hukum yang adil (fair). Korban dari kekerasan seksual juga terhitung mengalami penyiksaan dan penderitaan yang diakibatkan opleh pelaku kekerasan seksual, dengan demikian adil rasanya untuk memberikan hukuman yang setimpal dan pantas terhadap pelaku kejahatan seksual, melihat korban dari kekerasan seksual juga mendapatkan imbas kerugian yang besar dan berkepanjangan baik secara mental dan fisik dari kejahatan yang dilakukan pelaku kekerasan seksual.

  • 3. 2 Efektifitas Hukuman Kebiri Kimia Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual dalam upaya menekan dan mencegah kekeraasan seksual

Berpedoman pada fungsi dari hukum pidana, hukum pidana haruslah di tempatkan sebagai upaya terakhir/puncak (Ultium Remidum). Penggunaan hukum pidana dalam praktik, penegakannya harus dilakukan paling terakhir setelah berbagai tindakan-tindakan hukum lainnya, Fungsi hukum yang demikian kerap kali memberikan

artian bahwa hukum pidana menjadi opsi terakhri jika langkah-langkah hukum yang lain tidak menghasilkan hasil. Fungsi hukum yang demikian sering disebut Fungsi Subsidiaritas, yang artinya, penggunaan hukum pidana harus dilakukan secara hati-hati dan penuh pertimbangan secara komprehensif. Penggunaan hukuman pidana untuk penanggulangan kejahatan perlu memperhatikan fungsi hukum pidana yang subsidier, yaitu hukum pidana digunakan jika upaya-upaya hukum lainnya di anggap belum atau kurang memberikan hasil yang memuaskan.23

Sebagai sarana Social Engineering, hukum menjadi sarana yang ditunjukan untuk mengubah perilaku masyarakat sesuai dengan tujuan-tujuan yang terlah di tetapkan sebelumnya. Namun dalam pelaksanaanya banyak hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan, ternyata setelah di terapkan dimasyarakat menjadi tidak efektif atau tidak sesuai ekspetasi yang diinginkan. Dalam pelaksanaan hukum dimasyarakat, gejala-gejala penerapan hukum yang tidak efektif dapat terjaadi jika ada faktor-faktor penghambat, faktor-faktor tersebut dapat berasal pemerintah maupun masyarakat.

Untuk mengetahui pemberlakuan hukuman kebiri kimia di negara-negara di dunia, penulis menghadirkan beberapa Negara yang melegalkan penerapan Kebiri Kimia sebagai ancaman bagi pelaku kekerasan seksua yang berupa Matriks yakni

NEGARA-NEGARA YANG MENERAPKAN HUKUMAN KEBIRI KIMIA

NO

NEGARA

KETERANGAN

PENERAPAN HUKUMAN

1

Korea

Selatan

Korea selatan merupakan negara pertama di Asia yang melegalkan Hukuman kebiri kimia pada tahun 2011, hukuman kebiri kimia ditujukan kepada pelaku kekerasan seksual yang berusia diatas 19 tahun

dengan menyuntikan zat kimia dan yang diberikan terhadap terdakwa yang diawali dengan penjatuhan hukuman penjara terlebih dahulu.

2

Inggris

Inggris merupakan salah satu negara pelopor penerapan hukuman kebiri kimia di Dunia. Inggris telah menerapkan hukuman kebiri kimia sejak tahun 1950-an

Melakukan penyuntikan zat kimia kepada pelaku kekerasan seksual secara sukarela, dimana pelaku kekerasan seksual dengan consent atau sadar dan dengan keinginannya sendiri (sukarela) untuk

mendapatkan     kebiri

kimia tersebut

3

Amerika Serikat

Beberapa Negara bagian Amerika yakni California,Florida,Oregon,Texas,Lousiana, Georgia,Lowa,Montana,Alabama,Wisconsin dan Washington DC, melegalkan penerapak kebiri kimia yang diawali dari tahun 1966an hingga saat Ini

Melakukan hukuman kebiri kimia dengan menyuntikan

Medroksiprogesteron asetat (MPA),terhadap pelaku kejahatan seksual yang melakukan kekerasan seksual yang mencakup ; pemerkosaan, sodomi, insees yang dilakukan terhadapn anak dibawah umur24

4

Kazakhtan

Kazakhtan melegalkan kebiri kimia pada tahun 2018, selain kebiri, pelaku kekerasan seksual dipenjara selama 20 Tahun

Dengan menyuntikan zat kimia Cyproterone, yakni adalah zat kimia steroid anti-androgen

5

Rusia

Melegalkan hukuman kebiri kimia pada 2011, Rusiaa menjatuhi hukuman tersebut bagi pelaku kekeraasan seksual yang melakukan kejahatannya pada anak dibawah umur. Dimana dalam implementasinya, terdakwa harus dibuktikan pedofilia, yang dimana dibuktikan oleh Panel Dokter

Pelaksanaan hukuman kebiri kimia dilakukan dengan menyuntikan cairan kimia. Selama diberlakukannya hukum ini, belum ada terdakwa yang dijatuhi hukuman kebiri kimia.

6

Jerman

Pelaksanaan kebiri kimia di german dilakukan bukan hanya terhadap pelaku kekerasan seksual, akan tetapi dilakukan teradap masyarakat umumm yang merasa dirinya akan melakukan suatu kekerasan seksual, atau kepada masyarakat yang memiliki penyakit mental seperti pedofilia. Dimana dengan melakukan kebiri kimia akan menekan perilaku seks menyimpang

Awalnya German melakukan kebiri secara bedah, oleh karena desakan oleh The antitorture panel at European’s top human rights german merubah hukuman menjadi kebiri kimia, tetapi di German melakukan kebiri (kimia) dilakukan dengan persetujuan terdakwa

24 Muh. AL-Husaini “Hukuman Kebiri terhadap pelaku kejahatan pedofilia dalam undang-undang no 17 tahun 2016 tentang perlindungan anak” Dinamika Sosial Budaya Vol 22, No 2 (2020)

7

Moldova

Kebiri kimia disahkan pada 2012, pemerintah Moldova mulai memberlakukan Kebiri Kimia kepada pelaku kekerasan seksual khususnya terhadap anak dibawah umur

Pemerintah    Moldova

memberlakukan hukuman kebiri kimia kepada pelaku kekerasan seksual,         dengan

menyuntikan     cairan

penghambat      libido

seksual

8

Indonesia

Indonesia memberlakukan Hukuman Kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual yang pernah dipidana dimana melakukan kejahatannya terhaadap anak dibawah umur

Diindoensia diberlakukan      kebiri

kimia          dengan

menyuntikan     cairan

kimia,  disamping  itu

adanya      hukuman

pemasangan        alat

pendeteks,          dan

pengumuman  identitas

pelaku       kekerasan

seksual25

Meskipun telah banyak negara yang melegalkan kebiri kimia, tetapi efektifitas dari kebiri kimia untuk mencegah dan menekan kekerasan seksual masih sulit untukhasil yang memuaskan. Merujuk pada praktek yang dilakukan oleh negara-negara di dunia dalam melegalkan kebiri kimia, Kebiri kimia hanya mampu menekan angka Residivis kekereasan seksual antara 2%-5% bukan Hingga 50% seperti apa yang diingkan oleh banyak pihak, selebihnya masih dimungkinkan terjadinya kekerasan seksual setelah dilakukannya kebiri kimia. Kondisi ini sebenarnya sudah dapat diprediksi secara medis oleh para peneliti dan dokter terkai, mengingat efek dari kebiri kimia ini efeknya hanya sementara (temporary), Efek dari obat-obat hanya berlangsung hanya saat penggunaan obat saja

Analisis yang dilakukan Linda Weinberger, menghasilkan bahwa tingkat keberhasilan kebiri kimia yang dilegalkan dibeberapa negara kepada narapidana kekerasan seksual menunjukan bahwa pelaku kekerasan seksual masih memiliki potensi untuk mengulangi kekerasan seksual, bahkan dapat melakukannya lebih parah daripada kasus sebelumnya. Efektifitas kebiri kimia hanya bersifat sementara, kebiri kimia hanya dapat mengurangi dan tidak menghilangkan/menghentikannya sama sekali. Efektifitas kebiri kimia terhadap pengulangan kekerasan seksual ini diragukan oleh pakar-pakar hukum pidana dan krimonologi.

Berlin berpendapat bahwasannya kebiri kimia akan efektif untuk pelaku yang memiliki persoalan libido atau dorongan seksual yang tinggi sehingga dapat menurunkan libido dan gairah seksualnya. Namun obat kebiri kimia kurang efektif untuk pelaku kekerasan seksual yang memiliki gangguan psikis atau kelainan seksual sebagai contoh kasus Di Denmark, dari hasil observasi yang dilakukan oleh Hansen dan Lykke-Olesen pada tahun 2007, setidaknya 10%

narapidana mengulangi kembali kejahatannya setelah menerima hukuman penjara dan kebiri kimia.

Sejalan dengan pemikiran Berlin, Menurut Vedije Ratkoceri berpendapat bahwa tidak semua kekerasan seksual dapat diselesaikan dengan memperlakukan kebiri kimia, Vadije mengutip pendapat Fitzigerlad bahwa ada 4 tipe penjahat seksual anak :

  • 1.    Psikopat

Psikopat adalah tipe pelaku kekeraasan seksual yang pada umumnya tidak memiliki rasa bersalah atas perlakuannya terhadap korban dan menyangkal setiap kejahatan yang dilakukan

  • 2.    Pelaku kekeraasan seksual anak yang di dorong oleh faktor non-personal Non-personal dalam hal ini adalah hal-hal eksternal seperti obat-obatan, minuman keras, narkoba dan stress

  • 3.    Faktor non-seksual

Faktor-faktor non-seksual ini timbul akibat adanya sikap superioritas terhadap korban yang didasari oleh keinginan amarah emosional seperti kemarah, dominasi kekuatan, dan kekerasan.

  • 4.    Paraphiliac

Paraphiliac adalahh pelaku kekerasan seksual yang memiliki pelaku menyimpang seksual dimana tipe pelaku ini memiliki pola dorongan dan fantasi seksual yang tinggi.

Menurut Vedije efektifitas kebiri kimia hanya dapat berlaku terhadap pelaku kekerasan seksual tip eke 4 (Paraphiliac). Disamping itu efektifitas kebiri kimia akan lebih maksimal jika disertai dengan rehabilitasi mental dan terapi perilaku (Behaviourial Theraphy), mengingat efek dari obat tersebut akan berhenti sejalan dengan berhentinya juga penggunaan obat kebiri kimia tersebut, Kata Tullio. Dengan beberapa pendapat dan Analisa yang dilakukan beberapa ahli diatas, Kekerasan seksuan tidak hanya dapat di cegah dan di hentikan serta merta dengan hukuman kebiri kimia, adapun factor-faktor yang mempengaruhi pelaku kekerasan seksual tersebut26

  • IV. Kesimpulan

Kekerasan seksual merupakan salah satu kejahatan terhadap kemanusiaan, dalam hukum hak asasi manusia internasional adapun pandangan yang menentang dan mendukung pemberlakuan hukuman kebiri kimia tersebut, Deklarasi Universal Hak asasi manusia yang menjadi patokan dalam Hukum hak asasi manusia internasional mengecam pemberlakuan hukuman kebiri kimia yang tidak manusiawi, akan tetapi Kembali lagi kepada Negara sendiri memiliki kewenangan untuk mengatur yuridiksinya manakala harus memberlakukan hukuman kebiri kimia maupun tidak.Dalam praktik pelaksanaan hukumnya di berbagai negara, kebiri kimia menghasilkan hasil yang negative dan kurang memuaskan yakni efektifitas pelaksanaan hukuman kebiri kimia sangatlah jauh dibawah ekspetasi yang diinginkan banyak pihak, terlebih lagi dengan adanya efek samping kebiri kimia yang cenderung tidak baik untuk jangka Panjang terhadap pelaku kekerasan seksual. Disamping itu dengan

diberlakukannya Kebiri Kimia kurang menncegah dan menekan pelaku kekerasan seksual untuk melakukan kejahatannya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Alkostar, A. Korupsi politik di negara modern. (Yogyakarta: FH UII Press 2008)

Matthew Lippman, ‘The 1948 Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of

Genocide: Forty-Five Years Later’, (New York, Int’l & Comp. L.J., 1994)

Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung, Mandar Maju 1995)

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat

(Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2003)

Jurnal

Adinda Ayu Shabrina. “Peran United Nations High Commissioner for Refugee (UNHCR) dalam Menangani Pengungsi Suriah Korban Sexual and Gender – based Violence (SGBV) di Lebanon 4”Journal of International Relations (2018)

Ani Purwanti, Marzellina Hardiyanti “ strategi penyelesaian kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak melalui RUU kekerasan seksual’ Jurnal Universitas Diponogoro. Masalah-Masalah Hukum, Vol 47, No 2 ( 2018)

AR Rahawin “Tiga system sanksi (trisia) Hukum Pidana (ide pembaharuan Sanksi hukum Pidana Nasional)” Journal of Law Science (2017)

Asyari Amir “Tinjauan Yuridis Pidana Kebiri kimia bagi pelaku kekerasan Seksual Terhadap Anak Dalam Perspektif HAM” Jurnal Ilmia Ilmu Hukum, Vol 26, No 2, (2020)

Didi Prasatya ‘ Eksistensi Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) dalam penyelesaian kasus tindak Pidana Terorisme, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi 2, Vol. 1 (2013)

Marcheyla Sumera “Perbuatan kekerasan pelecehan seksual terhadap perempuan” Journal Lex Et Societatis Vol. 1 No 2 (2013)

Mella Fitriyatul Hilmi “Kekerasan seksual dalam hukum international” Jurisdiction, Vol. 2 No. 6, (2019)

Nur Hafizal Hasanah “ Kebijakan hukuman pidana sanksi kebiri kimia dalam perspektif

HAM dan Hukum Pidana Indonesia” Jurnal magister Hukum Udayana, Vol 7, No 3 (2018)

Putu Sekarwangi Saraswati, S.H., M.H. “Fungsi Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan”

Journal Advokasi Vol. 5 No.2 (2015)

Raissa Lestari “ implementasi konvensi international tentang hak anak diindoneisa” Jurnal hukum Kampus Bima Widya (2017)

Rusmilawati Windari dan Azmi Syahputra “Menakar Aspek Kemanfaatan dan Keadilan pada Sanksi Kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual anak di Indonesia“ Soumatra Law Review, Vol 3 No 2 (2020)

Sri Rahayu Wilujeng “hak asasi manusia : tinjauan dari aspek historis dan yurids”, Jurnal Universitas Diponegoro Fakultas Ilmu Budaya (2017)

Yeni Handayani, “ Perlindungan Hak Asasi Manusia Narapidana Wanita Dalam Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional”, Jurnal Rechts Vinding Media Pembinaan Hukum Nasional (2015)

Peraturan Perundang-Undangan

Undang- Undang dasar 1945

Undang-Undang no 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan anak

Keputusan Presiden nomor 36 tahun 1990 tentang pengesahan convention of rights of

child Dan Hukum international yakni Declaration of Human Rights

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 3 Tahun 2022 hlm 259-277

277