Pengajuan Izin Usaha Gadai kepada Otoritas Jasa Keuangan di masa Pandemi Covid-19

Putu Adinda Tasya Saraswati, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: adinda.tasya86@gmail.com

I Made Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: made_sarjana@unud.ac.id

ABSTRAK

Tujuan studi ini untuk mengkaji tentang urgensi pengajuan izin usaha gadai kepada otoritas jasa keuangan di masa pandemi covid-19. Studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil studi menjelaskan bahwa usaha gadai di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat signifikan di masa covid-19. Hal tersebut dikarenakan banyaknya masyarakat pemilik usaha yang mengalami kemacetan ekonomi dikarenakan pandemi Covid-19, namun peningkatan usaha gadai tersebut berbanding terbalik dengan usaha gadai yang sah memiliki ijin dari Otoritas Jasa Keuangan. Padahal dalam pengendalian tersebut, Pemerintah dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan telah berupaya untuk menindak tegas terhadap usaha gadai yang ilegal serta berupaya mendorong usaha gadai untuk mendaftarkan serta mengajukan permohonan izin ke pihak Otoritas Jasa Keuangan. Namun dari hasil studi ditemukan beberapa kendala berkaitan dengan masih adanya usaha gadai yang belum mengajukan izin usaha kepada otoritas jasa keuangan, salah satunya adalah besarnya modal yang belum bisa dikumpulkan oleh pihak usaha gadai. Meskipun seperti itu Otoritas Jasa Keuangan memiliki kewenangan untuk memberikan tindakan tegas kepada usaha gadai ilegal berupa pencabutan izin usaha.

Kata Kunci: Pengajuan Usaha, Gadai, Otoritas Jasa Keuangan, Covid-19.

ABSTRACT

The purpose of this study is to examine the urgency of applying for a pawn business license to the financial services authority during the covid-19 pandemic. This study uses normative legal research methods with a statutory approach and conceptual approach. In this study resulted in that pawn business in Indonesia experienced a very significant increase in the period of covid-19. This is due to the large number of business owners who experience economic congestion due to the Covid-19 pandemic, but the increase in pawn business is inversely proportional to the pawn business that legally has a license from the Financial Services Authority. Whereas in the control, the Government in this case the Financial Services Authority has attempted to crack down firmly on illegal pawn businesses and seeks to encourage pawn businesses to register and apply for a permit to the Financial Services Authority. But from the results of the study found some obstacles related to there are still pawn businesses that have not applied for a business license to the financial services authority, one of which is the amount of capital that can not be collected by the pawn business. Although such the Financial Services Authority has the authority to give decisive action to illegal pawn businesses in the form of revocation of business licenses.

Keywords: Business Submission, Mortgage, Financial Services Authority, Covid-19.

  • 1.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Pemerintah telah membentuk lembaga untuk memberikan pinjaman kepada masyarakat untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam bentuk lembaga keuangan perbankan yang banyak memusatkan perhatian pada bidang atau kegiatan usaha di bidang perkreditan. Bagi mereka yang kemampuan keuangannya lemah, mereka biasanya tidak memiliki aset yang cukup untuk dijadikan jaminan di bank. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dibentuklah sebuah lembaga yang memberikan angsuran untuk masyarakat dengan metode yang sederhana dan cepat yaitu Pegadian. Lembaga tersebut merupakan instansi yang cocok untuk berperan dalam pelaksanaannya.1

Pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2016 Tentang Usaha Pegadaian (selanjutnya disebut dengan POJK No. 31/POJK.05/2016), yang mengatur Pegadaian memberikan pengaruh terhadap sistem pengawasan hukum penjaminan, terkhusus pegadaian yang merupakan bagian dari penjaminan komoditi Indonesia. Sesuai Pasal 1 ayat 1 POJK No. 31/POJK.05/2016, ruang lingkup pegadaian lebih luas daripada pengertian pegadaian menurut hukum perdata, karena pada aturan tersebut pegadaian terdiri dari jasa titipan, jasa evaluasi serta berbagai jasa keuangan yang berlandaskan hukum syariah. Selama ini hukum empiris yang menggunakan pegadaian sebagai jaminan atas benda bergerak diatur pada pasal 1150-1160 KUHPerdata, selama ini pegadaian belum sampai dan disesuaikan dengan perkembangan pegadaian. Pemberlakuan aturan pegadaian pada POJK No. 31/POJK.05/2016 menjadi legal standing bagi OJK dalam melakukan tupoksinya sebagai lembaga pengawas terhadap pegadaian.2

Dengan diterbitkannya POJK No. 31/POJK.05/2016 bagi pegadaian, regulasi pegadaian juga semakin berkembang seiring dengan berkembangnya permintaan pembiayaan alternatif. Namun kurangnya pengawasan tersebut telah menjadi celah dalam pengembangan pada sektor swasta dan online, serta memberikan kesempatan kepada peserta komersial untuk menggunakan pegadaian sebagai media komersial semata-mata untuk mendapatkan keuntungan. Hasil riset membuktikan bahwa hingga pertengahan tahun 2020, ditemukan empat belas pegadaian non negeri yang telah terdaftar di OJK.3

Hal ini merupakan persoalan hukum, belakangan perusahaan gadai tidak langsung yang belum terdaftar dan memperoleh izin usaha berdasarkan POJK No. 31/POJK.05/2016 usaha pegadaian merupakan perusahaan gadai ilegal, yang artinya praktek usaha tersebut tidak memiliki kepastian hukum dan lebih cenderung melakukan penipuan dan merugikan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan registrasi dan izin karena OJK dapat melakukan pengawasan dan memastikan bahwa kegiatan

usaha perusahaan pegadaian tersebut sesuai dengan ketentuan dan memenuhi tujuan pendirian dengan cara tersebut. Dalam hal ini, peran OJK dalam pengawasan komprehensif harus dioptimalkan, karena pengawasan tersebut memiliki tujuan agar berkurangnya berbagai potensi dari resiko yang merugikan pengguna jasa keuangan serta agar terciptanya ekosistem ekononomi yang stabil.4

Berbagai penelitian berkaitan dengan usaha gadai serta hubungannya dengan OJK telah dilakukan oleh berbagai peneliti yang ahli pada bidang tersebut. Salah satunya pada tahun 2019, Ni Putu Wahyu Mas Sanggia Suari melakukan penelitian yang berjudul “Perluasan Pengaturan Gadai Setelah Dikeluarkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Tentang Usaha Pergadaian”. Penelitian tersebut memusatkan pada Pengaturan Gadai secara umum Yang Terdapat Pada KUHPerdata dan Perluasan Pengaturan Gadai Setelah Dikeluarkannya POJK No. 31/POJK.05/2016 Tentang Usaha Pergadaian.5 Selain itu penelitian oleh I Wayan Bagus Pramana, Ida Bagus Putra Atmadja, dan Ida Bagus Putu Sutama pada tahun 2018 yang berjudul "Peranan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mengawasi Lembaga Keuangan Non Bank Berbasis Financial Technology Jenis Peer To Peer Lending". Penelitian tersebut memusatkan pada upaya Otoritas Jasa Keuangan dalam mengawasi lembaga keuangan non bank berbasis Financial Technology jenis Peer to Peer Lending dan akibat hukum terhadap lembaga keuangan non bank berbasis Financial Technology jenis Peer to Peer Lending yang tidak melakukan pendaftaran dan perizinan di Otoritas Jasa Keuangan.6

Isu hukum pada kedua penelitian tersebut jelas memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan isu hukum yang dibahas dalam artikel ini, yaitu: (1) Perkembangan praktik jasa gadai ditengah pandemi Covid-19 di Indonesia; dan (2) Urgensi pengajuan izin usaha gadai kepada Otoritas Jasa Keuangan apabila dikaitkan dengan tujuan gadai sebagai sumber pembiayaan. Hal tersebutlah yang kemudian melatarbelakangi pengkajian lebih lanjut mengenai Pengajuan Izin Usaha Gadai Kepada Otoritas Jasa Keuangan Di Masa Pandemi Covid-19.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana Perkembangan Praktik Jasa Gadai Di Tengah Pandemi Covid-19 Di Indonesia?

  • 2.    Bagaimana Urgensi Pengajuan Izin Usaha Gadai Kepada Otoritas Jasa Keuangan Apabila Dikaitkan Dengan Tujuan Gadai Sebagai Sumber Pembiayaan?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari pengkajian artikel ini adalah untuk memperdalam berkaitan dengan perkembangan praktik jasa gadai ditengah pandemi covid-19 di Indonesia serta

urgensi pengajuan izin usaha gadai kepada Otoritas Jasa Keuangan apabila dikaitkan tujuan gadai sebagai sumber pembiayaan.

  • 2.    Metode Penelitian

Pada penyusunan artikel, penulis menerapkan penelitian hukum secara normatif (normative legal research) dengan dua pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Pengkajian artikel ini menggunakan dua jenis bahan hukum antara lain, bahan hukum primer yang terdiri dari KUHPerdata serta dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan sesuai dengan substansi pengkajian artikel ini. Serta dilengkapi dengan bahan hukum sekunder berupa buku dan jurnal ilmiah yang telah terakreditasi. Berbagai bahan hukum tersebut dikumpulkan dan dianalisis menggunakan teknik studi dokumen lalu dianalisis dengan analisis kualitatif, yaitu dengan meneliti lebih dalam terkait definisi pokok dalam hukum antara lain, subyek dan obyek hukum serta hak dan kewajibannya dan suatu peristiwa hukum terkait dengan isu hukum yang telah dikaji.7

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Perkembangan Praktik Jasa Gadai Di Tengah Pandemi Covid-19 Di Indonesia 3.1.1 Praktik Gadai Di Indonesia

Hak gadai adalah hak kebendaan yang bertujuan menyerahkan tanggungan tertentu bagi para pihak untuk melunasi piutang, bukan sebagai manfaat bagi para pihak yang menggadaikan. Sehingga setiap orang dapat memberikan jaminan yang lebih kuat untuk melunasinya.8 Berdasarkan pasal 1150 KUHPerdata, Subekti merumuskan bahwa hak gadai atau Pandrect adalah hak terhadap benda yang bergerak milik orang lain. Dengan cara memberikan Bezit terhadap benda yang digadaikan yang bertujuan untuk melunasi piutang dari harga jual benda tersebut terlebih dahulu oleh orang yang menagih.9

Hal ini dapat dilihat dari klausul di atas bahwa pemberian gadai harus mengikuti kesepakatan pokok, dan dasar pemberian gadai adalah kesepakatan yang tidak perlu berbentuk kesepakatan pokok, maka hal ini berarti gadai juga dapat tetap dilakukan. Artinya, sah atau tidaknya gadai harus memenuhi syarat keabsahan kesepakatan umum sesuai telah diatur pada pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

  • 1.    Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

  • 2.    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

  • 3.    Suatu hal tertentu;

  • 4.    Suatu sebab yang tidak terlarang.

Perkembangan industri pegadaian Indonesia dapat ditelaah pada 5 era yaitu dimulai dari Pegadaian di era V.O.C (1746-1811) atas prakarsa Gubernur Van Imhoff (1743-1750), era VOC (Vereeningde Oost Indische Compaigne) mendirikan bank van lennning di Batavia pada tahun 1746 sebagai Wesel bank dan dalam bentuk gadai, kredit

akan diberikan. Lalu dilanjutkan dengan pegadaian pada zaman kolonial Inggris (18111816), saat itu Gubernur Raffles tidak menyetujui keberadaan Van Lanning bank, juga tidak menyetujui hak untuk memberikan pinjaman hipotek. Hanya setelah mendapat izin untuk tujuan ini barulah dapat digadaikan kepada pihak swasta (licentiestelsel). Berikutnya pegadaian zaman penjajahan belanda, tepatnya tahun 1843, dan sistem pachtstelsel di Indonesia berkembang sangat pesat, kecuali di wilayah Priangan dan Virsten Landen (atau sekarang dikenal sebagai wilayah Surakarta dan Yogyakarta). Yang selanjutnya adalah zaman kolonial Jepang (1942-1945), pada zaman penjajahan negeri tirai bambu, pegadaian masih menjadi jasa dan berada di bawah pimpinan dan pengawasan kantor besar kementerian keuangan. Saat ini, untuk keperluan perang, lelang barang yang belum ditebus dimasukkan ke dalam properti pemerintah Jepang.10

Yang terakhir adalah pegadaian di era kemerdekaan (1945-sekarang), setelah menyelesaikan perjuangan panjang dengan penjajah, upaya pembenahan sektor ekonomi dalam masa pembangunan saat ini telah menyaksikan beberapa perubahan status perusahaan yang dialami pegadaian, yaitu:

  • a.    Status perusahaan negara

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 178 tahun 1961, Tentang Pendirian Perusahaan Negara Pegadaian, status hukum pegadaian diubah dari biro menjadi departemen keuangan. Perusahaan milik negara, presiden soekarno memasukkannya sebagai salah satu urusan bank sentral dalam rangka pelaksanaan pembinaan ekonomi.

  • b.    Status perusahaan jawatan

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969 Tentang Perubahan Bentuk Badan Usaha Milik Negara Pegadaian Menjadi Jasa Pegadaian, yang mengatur bahwa nama perusahaan pegadaian Negara mengalami perubahan menjadi perusahaan biro pegadaian.

  • c.    Status perusahaan umum

Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 Tentang Perusahaan Pegadaian Yang Terdaftar mengatur bahwa pegadaian berstatus perusahaan umum, Tujuan perubahan status ini adalah untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas, mendorong pemerataan pembangunan, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, serta mengurangi kemiskinan. Dengan perubahan status baru menjadi perusahaan terbuka, pegadaian diharapkan dapat mengelola bisnis secara lebih profesional tanpa meninggalkan karakteristik dan misi khusus, serta berorientasi bisnis, yaitu karena adanya hukum gadai dan menjadi penerbitan pinjaman gadai dalam kondisi masyarakat Indonesia. Dikarenakan prosedur pelayanannya sederhana, mudah dan cepat.

  • d.    Status perusahaan perseroan

Status hukum pegadaian diubah kembali menjadi perseroan terbatas sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2011 tentang perubahan status hukum pegadaian menjadi perusahaan. Namun, bentuk badan hukum ini hanya dapat dialihkan jika persyaratan Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2005 Tentang Merger, Akuisisi Dan Perubahan Badan Hukum BUMN. Tujuan dari perubahan bentuk hukum pegadaian

menjadi persero adalah untuk mengoptimalkan peran pegadaian yang merupakan bagian dari BUMN dan mampu tetap eksis pada sistem perekonomian internasional yang terbuka dan kompetitif. Oleh karena itu, pegadaian membutuhkan budaya perusahaan dan profesionalisme.

Pendirian pegadaian didasarkan pada keinginan Pemerintah dengan tujuan mengantisipasi terjadi kesulitan ekonomi di masyarakat. Pendirian ini juga bertujuan untuk menjadi solusi keuangan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan yang berimbas kepada kemajuan pada bidang ekonomi dan pembangunan nasional. Namun dewasa ini sebagian besar pegadaian swasta dalam perkembangannya saat ini belum terdaftar dan belum mendapat izin dari OJK. Sebagai industri jasa keuangan, usaha pegadaian harus memberikan perlindungan hukum yang terbaik kepada masyarakat agar peserta usaha pegadaian mendapat kepastian hukum serta melindungi konsumen. Oleh karena itu OJK terus berusaha untuk mendorong pegadaian swasta segera mendaftar dan mendapatkan izin usaha. Hal tersebut bertujuan agar OJK dapat melakukan pengawasan untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi dan kepatuhan terhadap tujuan pembentukan yang ditetapkan dalam POJK No. 31/POJK.05/2016 usaha pegadaian pada saat menjalankan kegiatan perusahaan pegadaian.11

Perkembangan dari pegadaian bukan hanya tentang prinsip serta sistem hukumnya, akan tetapi juga berkembang pada sistem kelembagaan serta layananan dan produk yang ditawarkan. Hal tersebut tentunya mendapat respon dari OJK dengan cakupan yang lebih luas bukan hanya pegadaian negeri melainkan pegadaian yang dikelola perseorangan maupun badan usaha. Dalam mengantisipasi perubahan tersebut, OJK memberikan syarat kepada pegadaian bahwasanya berbentuk perseroan terbatas atau koperasi sesuai yang diatur pada pasal 2 ayat 1 PJOK No. 31/POJK.05/2016 tentang usaha pegadaian. Lebih lanjut pada Pasal 4 ayat 2 aturan yang sama mengatur bahwa untuk mendaftarkan badan usaha pada OJK terdapat syarat modal yang harus disetor sebesar lima ratus juta rupiah untuk usaha gadai pada tingkat Provinsi atau Kota, sedangkan pada tingkat Provinsi harus menyetor modal sebesar dua setengah miliar rupiah. Kedua pengaturan tersebut diberlakukan kepada pelaku usaha pegadaian yang baru didirikan, hal tersebut dikarenakan pelaku usaha pergadaian yang sudah menjalankan usaha pegadaian sebelum PJOK No. 31/POJK.05/2016 berlaku mendapat pengecualian terhadap dua pasal tersebut. Akan tetapi diwajibkan untuk mendaftarkan usahanya lalu mendapat izin dari OJK.12

  • 3. 1.2 Usaha Gadai Di Masa Pandemi Covid-19

Tekanan ekonomi akibat pandemi covid-19 membuka celah berkembangnya pegadaian ilegal. Kelompok kerja peringatan dini investasi OJK menunjukkan bahwa pada September 2020 saja, tidak kurang dari 50 lembaga gadai tidak resmi teridentifikasi. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan hasil survei 30 perusahaan sejak Januari hingga September 2019. Secara keseluruhan, jika dihitung dari awal tahun 2019, jumlah lembaga gadai ilegal yang diidentifikasi Satgas waspada investasi sudah mencapai 143 perusahaan. Temuan ini tidak mengherankan, namun sangat disayangkan bagi OJK. Ketua Satgas peringatan dini penanaman modal Tongam Lumban Tobing

mengatakan selama pandemi covid-19, sebagian besar lembaga tersebut memanfaatkan kondisi masyarakat.

Menjamurnya lembaga gadai di masa pandemi Covid-19 tentu mendapat gayung bersambut dari pelaku usaha yang sadar akan modal kerja sebagai faktor paling penting dalam menunjang jalannya roda usaha. Berbeda dengan perusahaan besar yang mendapatkan modal dari para investor, UMKM memperoleh modal usahanya melalui kredit bank ataupun dengan perantara jasa keuangan lainnya. Selain dua sumber tersebut, Pemerintah juga senantiasa menghibahkan modal kerja untuk memperlancar jalannya roda perekonomian para pelaku usaha. Dengan modal kerja, Pemilik usaha dapat mengupayakan segala cara untuk meningkatkan pemasukan badan usahanya. Sehingga modal yang dimiliki oleh badan usaha menjadi salah satu tolak ukur dalam mendapat pemasukan. Dengan kata lain apabila badan usaha memiliki modal yang lumayan besar maka akan berbanding lurus dengan hasil produksi yang besar sehingga mengasilkan pemasukan yang tinggi pula. Sedangkan jika badan usaha memiliki modal yang tidak besar maka produksi akan berbanding terbalik karena hanya bisa menghasilkan produksi rendah, lalu berimbas kepada pendapatan yang rendah.

Dari penjelasan tersebut dapat ditarik pemahaman bahwasan modal yang memadai akan memberikan dampak yang berbanding lurus untuk meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan khususnya para pengusaha dan masyarakat pada umumnya. Hasil riset tersebut sekaligus sejalan dengan upaya pemerintah dalam menyisihkan anggaran untuk dihibahkan kepada UMKM yang terdampak yang dalam hal ini dengan perantara deputi pembiayaan kementerian koperasi dan UMKM. Hal tersebut memiliki tujuan untuk menyelamatkan pelaku UMKM serta merangsang perekonomian yang terpuruk di tengah pandemi Covid-19.13

Seiring belum berakhirnya pandemi, permintaan masyarakat akan layanan pegadaian pun meningkat. Banyaknya pelaku usaha kecil yang sangat membutuhkan kebutuhan ekonomi terpaksa harus menjual barangnya untuk sementara waktu. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pandemi covid-19 telah menyusutkan perekonomian Indonesia sebesar 5,32% pada kuartal II tahun 2020, menempatkan Indonesia di ambang resesi. Meski laju pertumbuhan ekonomi triwulan III 2020 belum diketahui, Pemerintah memastikan kontraksi akan terjadi lagi. Pemerintah memperkirakan kontraksi antara Juli dan September 2020 berada di antara 1% hingga 2,9%. Pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2020 diperkirakan berada pada kisaran minus 0,6% hingga minus 1,7%.

Lonjakan jumlah pegadaian tidak berijin di OJK sebenarnya bermasalah. Di satu sisi, Perkumpulan Perusahaan Gadai Indonesia (selanjutnya disebut PPGI) memahami kendala yang membuat banyak pegadaian tidak mendapatkan legitimasi. Salah satu faktor prasyarat modal dan ekuitas adalah salah satunya. Sesuai pengaturan pasal 4 ayat 2 dan pasal 8 ayat 4 POJK No. 31/POJK.05/2016, mengatur bahwa untuk memperoleh izin, perusahaan gadai harus memiliki modal dan modal sekurang-kurangnya Rp 500 juta. Untuk terlibat dalam ruang lingkup bisnis Kabupaten/ Daerah. Cakupan bisnis Kota setidaknya Rp 2,5 miliar. Ini secara nominal terlalu tinggi untuk usaha kecil di Pedesaan. Selain itu, pada ayat (3) yang sama juga disebutkan bahwa modal harus dibuktikan dengan menyetorkannya kepada bank umum atau syariah di Indonesia.

Oleh karena itu, regulasi OJK dapat dikatakan masuk akal, karena Perkumpulan Perusahaan Gadai Indonesia meyakini bahwa pembatasan ini dapat dipahami untuk tujuan keamanan. Selain itu, pegadaian memiliki tanggung jawab yang besar. Pasal 22 POJK No. 31/POJK.05/2016 mengatur bahwa pegadaian harus memiliki gudang yang aman untuk menyimpan barang yang digadaikan dan memberikan jaminan atas barang yang digadaikan. Artinya kebutuhan modal perusahaan gadai yang ideal memang besar. Oleh karena itu, regulasi OJK bisa dimaklumi. Meski bisa dipahami dari kedua belah pihak, bukan berarti fenomena bisnis bisa digadaikan tanpa izin, karena jika tidak ada perubahan dan regulasi yang besar dampaknya akan sama-sama dirugikan.14

  • 3.2    Urgensi Pengajuan Izin Usaha Gadai Kepada Otoritas Jasa Keuangan Apabila Dikaitkan Dengan Tujuan Gadai Sebagai Sumber Pembiayaan

    • 3.2.1    Pengajuan Izin Usaha Gadai

  • a)    Fungsi pemberian izin

Fungsi pemberian izin terdiri dari upaya kontrol dan upaya pengawasan. Fungsi pemberian izin memiliki tujuan agar pelaksanaan usaha gadai yang telah berizin sesuai dengan regulasi perizinan serta agar tidak terjadinya penyalahgunaan izin yang telah diterbitkan. Oleh karena itu upaya tersebut menjadi wewenang milik pemerintah. Lebih lanjut fungsi pemberian izin, juga menjadi upaya pembinaan, atau dengan diberikannya izin terhadap pelaku usaha oleh pemerintah dapat ditafsirkan pelaku usaha tersebut telah sesuai dengan regulasi untuk melakukan kegiatan usaha pegadaian. Fungsi perizinan tersebut terdiri dari:

  • 1)    Adanya kepastian hukum yang mengikat pihak yang bersangkutan;

  • 2)    Upaya pencegahan dalam mengantisipasi para pihak yang memberikan gangguan;

  • 3)    Penjamin yang sah pada aktivas berkaitan dengan perizinan.

  • b)    Tujuan pemberian izin

Tujuan dari pemberian izin untuk mengendalikan kegiatan izin pada beberapa hal, dan sesuai dengan regulasi yang harus dilaksanakan para pihak terkait. lebih lanjut, beberapa tujuan lain pemberian izin tersebut yaitu agar terciptanya kepastian hukum, dapat melindungi kepentingan masyarakat, jelasnya hak dan kewajiban dari pihak yang bersangkutan, agar tidak terjadinya kerusakan ekosistem lingkungan, meratanya persebaran kebutuhan baik primer, sekunder maupun tersier, untuk melindungi objek tertentu dan yang terakhir klasifikasikan setiap orang serta aktifitasnya.15

  • 3.2.2    Dampak Apabila Badan Usaha Tidak Mengajukan Izin Kepada Otoritas Jasa Keuangan

OJK dibentuk didasarkan pada inisiatif Pemerintah untuk membentuk dan menetapkan tatanan terkait pengawasan kepada usaha gadai yang semakin mengalami kelemahan. Lembaga tersebut merupakan lembaga yang memiliki independensi dalam tatanan lembaga di Indonesia yang memiliki kewenangan begitu luas serta tegas.

Dengan dibentuknya OJK, Pemerintah berharap lembaga ini dapat memperbaiki ekosistem pengawasan usaha gadai yang tengah dipenuhi dengan berbagai permasalahan.

Berdasarkan POJK No. 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian, mengatur bahwa pegadaian yang berijin serta yang belum mendaftarkan usaha gadainya kepada OJK maka usaha tersebut dapat di tindak tegas oleh pihak OJK yang memiliki tugas mengawasi dan memberi nasihat kepada pelaku usaha gadai. Oleh karena itu pihak dari OJK menghimbau kepada seluruh masyarakat yang telah menjalakan usaha pegadaian diwajibkan memiliki izin usaha yang didaftarkan pada OJK dan bagi masyarakat yang ingin menggadaikan atau menjaminkan barang berharganya pihak OJK menyarankan agar menjaminkan barang berharganya itu pada usaha gadai yang resmi memiliki izin usaha atau ke PT. Pegadaian yang adalah perusahaan di bawah naungan BUMN.

Oleh sebab itu Pemerintah dalam hal ini pihak OJK selaku pengawas memiliki peran yang sangat penting berkaitan dengan melindungi masyarakat dari usaha gadai tidak berizin yang tersebar di masyarakat. Utamanya masyarakat ekonomi menengah kebawah yang sering menggunakan jasa gadai tanpa mengetahui bunga yang diberikan oleh pihak penerima gadai sangatlah besar tetapi dengan iming-iming prosedur yang mudah untuk mencairkan barang jaminannya tersebut.16

Sesuai dengan POJK No. 31/POJK.05/2016 yang mewajibkan usaha yang bergerak dibidang pegadaian memiliki atau mendaftarkan usahanya dan Pihak OJK berhak memberikan sanksi kepada usaha gadai tersebut dalam bentuk sanksi administratif berupa peringatan serta pembekuan kegiatan usaha. Hal tersebut berlandaskan pada POJK No. 31/POJK.05/2016 yang mengatur bahwa OJK memiliki wewenang dalam mengatur dan mengawasi jalannya usaha pegadaian. Kewenangan ini sebelumnya adalah milik dari kementerian keuangan dan BAPEPAM.17

  • 3.2.3    Faktor Yang Mempengaruhi Para Pelaku Usaha Gadai Belum Mengajukan Izin

    Usaha Kepada Otoritas Jasa Keuangan

Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi pelaku usaha sehingga belum mengajukan izin usaha OJK, salah satunya adalah modal minimum. Berdasarkan PJOK NO. 31/POJK.05/2016 Tentang Usaha Pergadaian, kepada OJK dengan syarat modal yang mesti disetor sebesar setengah rupiah bagi usaha gadai pada tingkat Provinsi atau Kota, sedangkan pada tingkat Provinsi harus menyetor modal sebesar dua setengah miliar rupiah. Serta alasan lainnya adalah usaha gadai swasta belum siap untuk diawasi oleh pihak berwenang.

Berdasarkan pengaturan pada POJK No. 31/POJK.05/2016, usaha pegadaian diwajibkan untuk mengajukan permohonan izin usaha paling lama tiga tahun semenjak aturan ini diundangkan. Jika usaha pegadaian tersebut belum mengajukan permohonan izin usaha maka dinyatakan pendaftarannya batal secara hukum. Konsekuensinya pihak OJK memiliki wewenang untuk menindak tegas para Pegadaian swasta yang hingga tenggat waktu belum mempunyai izin usaha dari OJK. Serta akan menyebarkan

himbauan kepada masyarakat agar tidak menggunakan jasa pegadaian yang belum mempunyai izin usaha dan bukti telah terdaftar pada OJK.18

  • 4.    Kesimpulan

POJK No. 31/POJK.05/2016 mengatur bahwa pegadaian yang tidak memiliki izin atau yang belum mendaftarkan usaha gadainya kepada OJK maka usaha tersebut dapat ditindak tegas oleh pihak OJK yang memiliki tugas mengawasi dan memberi nasihat kepada pelaku usaha gadai. Oleh karena itu pihak dari OJK menghimbau kepada seluruh masyarakat yang telah menjalakan usaha pergadaian diwajibkan memiliki izin usaha yang didaftarkan pada OJK dan bagi masyarakat yang ingin menggadaikan atau menjaminkan barang berharganya, pihak OJK menyarankan agar menjaminkan barang berharganya itu pada usaha gadai resmi yang memiliki izin usaha. Dengan demikian pemerintah dalam hal ini pihak OJK selaku pengawas memiliki peran yang sangat penting dalam melindungi masyarakat dari usaha gadai tidak berizin yang ada di masyarakat terutama masyarakat ekonomi menengah kebawah yang sering menggunakan jasa ini tanpa mengetahui bunga yang di berikan oleh pihak penerima gadai sangatlah besar tetapi dengan iming-iming prosedur yang mudah untuk mencairkan barang jaminannya tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Bambang Sunggono, Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2013).

Simanjuntak, P.N.H. Hukum Perdata Indonesia (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015) Sutedi, Adrian, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2014).

Jurnal

Bratha, Aditya Surya, Ngakan Ketut Dunia, and AA Ketut Sukranatha. "Perjanjian Gadai Yang Dijamin Dengan Barang Yang Berasal Dari Hasil Kejahatan: Studi Pada Pt. Pegadaian (Persero) Cabang Sesetan." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 5, no. 2 (2017): 1-12

Cavalera, Arick Hermawan, Ida Bagus Surya Dharma Jaya, and I. Made Dedy Priyanto. "Implementasi Penguasaan Obyek Gadai (Motor) Di Lembaga Pegadaian Denpasar." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum (2014): 1-12.

Karmila, Karmila, and Cokorda Dalem Dahana. "Kebijakan Pemerintah Daerah Provinsi Bali Terhadap Pemberian Dana Bantuan Sosial." Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum (2018).

Kesawa, I. Dewa Made Wisnu Adi, and I. Made Udiana. "Implementasi Peraturan Pemerintah Mengenai Pemberian Kredit Usaha Rakyat Guna Meningkatkan Usaha Mikro Kecil Menengah Pada Bank Pembangunan Daerah Bali Cabang Kabupaten Tabanan." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 2, No. 3 (2014): 1-16.

Made, Ni Made Intan Pranita Dewanthara, and Gde Subha Karma Resen. "Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Pemberi Pinjaman Akibat Terjadinya Gagal Bayar Peer to peer Lending." Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan 5, no. 3 (2020): 479-491. https://doi.org/10.24843/AC.2020.v05.i03.p04

OJK, Peran Otoritas Jasa Keuangan. "dalam Mengawasi Maraknya Pelayanan Financial Technology (Fintech) di Indonesia." Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 9, no. 3    (2020):    559-574.:    559-574.

https://doi.org/10.24843/JMHU.2020.v09.i03.p08

Pramana, I. Wayan Bagus, Ida Bagus Putra Atmadja, and Ida Bagus Putu Sutama. "Peranan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mengawasi Lembaga Keuangan Non Bank Berbasis Financial Technology Jenis Peer To Peer Lending." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum (2018): 1-14.

Putri, Putu Dinanda Prajna, and I. Made Sarjana. "Pengaturan Lembaga Gadai Online dalam Dimensi 4.0 di Indonesia." Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master      Law      Journal) 9,      no.       1       (2020):       170-181.

https://doi.org/10.24843/JMHU.2020.v09.i01.p12

Rachmanto, A. Dwi. "Putusan Mahkamah Agung Perlindungan Konsumen, Pasca Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan." Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 9, no. 2 (2020): 366-388. https://doi.org/10.24843/JMHU.2020.v09.i02.p12

Runtung, Mauritius Gusti Pati, and I. Gusti Ngurah Parwata. "Kedudukan Hak Retensi Benda Gadai Oleh Pt. Pegadaian Dalam Hal Debitur Wanprestasi." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum (2013): 1-14.

Suari, Ni Putu Mas Sanggia. "Perluasan Pengaturan Gadai Setelah Dikeluarkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Tentang Usaha Pergadaian." Acta Comitas: Jurnal      Hukum      Kenotariatan 4,      no.      1      (2019):      11-21.

https://doi.org/10.24843/AC.2019.v04.i01.p02

Suarta, Putu Lingga Mahasaskara, Marwanto Marwanto, and Anak Agung Sri Indrawati. "Pelaksanaan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/Pojk. 05/2016 Terhadap Kerusakan Barang Jaminan Debitur Yang Dikuasai Oleh Koperasi Karisma Perkasa Kabupaten Klungkung." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum (2018).: 1-13.

Widhiadnyani, Ni Made Nita, and I. Gede Yusa. "Tanggung jawab otoritas jasa keuangan sebagai pengganti bank Indonesia Dalam Pengawasan Lembaga perbankan." Kertha Semaya 4, no. 2 (2016).

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31 Tahun 2016 Tentang Usaha Pergadaian, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 152, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5913.

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 3 Tahun 2022 hlm 278-288

288