Majelis Desa Adat sebagai Pasikian Desa Adat di Bali
on
Majelis Desa Adat sebagai Pasikian Desa Adat di Bali
I Made Darpana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: darpanapemo099@gmail.com
I Gede Pasek Pramana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: pasekpramana@gmail.com
ABSTRAK
Studi ini bertujuan untuk mengkaji tentang Majelis Desa Adat Sebagai Pasikian Desa Adat di Bali. Pengkajian pada Studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan sejarah. Hasil studi menjelaskan bahwa Desa Adat di Bali memiliki kewenangan untuk membentuk Pasikian Desa Adat yang telah diakui secara yuridis pada tatanan hukum di Indonesia mulai dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 hingga pada Peraturan Daerah Provinsi Bali Tentang Desa Adat di Bali. Secara sosiologis telah diakui oleh pemerintah maupun Pemerintah Daerah serta telah disepakati dan diakui oleh Masyarakat (krama) Desa Adat di Bali. Pasca terbentuknya Majelis Desa Adat menimbulkan Konsekuensi yuridis terhadap Desa Adat di Bali, antara lain pada bidang pendampingan serta pembuatan pedoman penyuratan awig-awig dan perarem, pembentukan lembaga adat dan pembentukan pedoman ngadegang Bendesa Adat dan Majelis Desa Adat memiliki wewenang untuk menyelesaikan persoalan-persoalan adat yang tidak bisa diselesaikan oleh Desa Adat dan memberikan keputusan terkait pelanggaran Prajuru Desa Adat. Konsekuensi yuridis tersebut diatur pada Perda tentang Desa Adat, Pergub Bali dan Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga Majelis Desa Adat Bali.
Kata Kunci: Desa Adat, Pasikian, Majelis Desa Adat, Kewenangan, Konsekuensi.
ABSTRACT
This study aims to examine the Assembly of Indigenous Villages as Pasikian Indigenous Villages in Bali. The study uses normative legal research methods with statutory approaches, conceptual approaches and historical approaches. The results of the study explain that Indigenous Villages in Bali have the authority to form Pasikian Desa Adat which has been recognized juridically in the legal order in Indonesia starting from the Constitution of the Republic of Indonesia in 1945 to the Regional Regulation of Bali Province on Indigenous Villages in Bali. Sociologically it has been recognized by the government and local government and has been agreed and recognized by the Indigenous Village Community (krama) in Bali. After the formation of the Indigenous Village Assembly gave juridical consequences to indigenous villages in Bali, among others in the field of mentoring and the creation of guidelines awig-awig and perarem, the establishment of customary institutions and the establishment of guidelines ngadegang Bendesa Adat and Indigenous Village Assembly have the authority to resolve customary issues that can not be resolved by the Indigenous Village and give decisions related to violations of The Village Prajuru Adat. The juridical consequences are stipulated in the Regulation on Indigenous Villages, Pergub Bali and the Articles of Association of the Household Budget of the Bali Indigenous Village Assembly.
Keywords: Indigenous Village, Pasikian, Indigenous Village Assembly, Authority, Consequences.
Ter Haar mengemukakan pendapatnya terkait dengan Masyarakat Hukum Adat yaitu sekumpulan orang yang memiliki sifat teratur dengan pemerintahan sendiri yang mempunyai kekayaan materiil maupun immateriil.1 Sederhananya Masyarakat Hukum Adat ialah persekutuan sejumlah orang pada wilayah tertentu yang diatur oleh hukum adat serta mempunyai hak otonomi. Keberadaan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat tersendiri telah mendapat pengakuan oleh Negara, hal tersebut diatur pada Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 yang mengatur “Negara mengakui dan menghormati Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum Adat berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang”. Maka dari itu, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Indonesia berserta seluruh haknya telah mempunyai landasan hukum yang kuat sepanjang masih sesuai dengan tatanan perundang-undangan.
Tekait dengan penggolongan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, R. Soepomo yang merujuk dari pendapat Ter Haar dalam buku Beginselen en stelsel van het adatrecht menunujukan bahwa Kesatuan Masyarakat Hukum Adat timbul karena dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor territorial dan faktor genealogis, dikarenakan hal tersebut R. Soepomo mengklasifikasikan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Indonesia menjadi dua golongan yaitu berdasarkan pertalian keturunan atau disebut dengan ginalogis dan berdasarkan lingkungan daerah atau teritorial.2
Mengacu pada putusan MK No. 31/PUU-V/2007, di Indonesia terdapat tiga golongan masyarakat hukum adat yaitu: Kesatuan Masyarakat Hukum Adat geneologis, fungsional dan teritorial.
Desa Adat di Bali merupakan Kesatuan Masyarakat Hukum yang terikat dengan faktor teritorial di Provinsi Bali. Lebih jelasnya, sesuai yang telah diatur pada Pasal 1 angka 8 Perda tentang Desa Adat di Bali bahwa:
“Desa Adat adalah Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Bali yang memiliki wilayah, kedudukan, susunan asli, hak-hak tradisional, harta kekayaan sendiri, tradisi, tata krama pergaulan hidup masyarakat secara turun temurun dalam ikatan tempat suci (kahyangan tiga atau kahyangan desa), tugas dan kewenangan serta hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.”
Demi mewujudkan tujuan untuk menjaga Desa Adat agar selalu ajeg dan lestari, Desa Adat di Bali merintis suatu lembaga untuk mewujudkan tujuan tersebut. Lembaga tersebut diupayakan mulai dari tahun 1979 dengan nama Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA), selanjutnya pada tahun 1986 dengan nama yang sama namun dengan pengaturan yang berbeda, setelah itu pada tahun 2001 terdapat pergeseran nama menjadi Majelis Desa Pakraman (MDP) sesuai tingkatannya dan yang teranyar berdasarkan Keputusan Paruman Desa Adat se-Bali yang salah satunya membentuk lembaga Majelis Desa Adat sebagai pasikian atau wadah kesatuan Desa Adat yang
merupakan mitra kerja Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan tingkatannya hal tersebut sebagaimana yang diamanatkan Perda Desa Adat.3
Majelis Desa Adat memiliki tugas dan wewenang salah satunya pada bidang yang ada kaitannya dengan pelaksanaan adat yang berdasarkan pada agama Hindu dan praktik yang berkembang di Bali. Serta Majelis Desa Adat memiliki fungsi untuk memberikan berbagai petuah, pembinaan, penafsiran dan keputusan yang masih ada keterkaitannya dengan adat di Bali. Di sisi lain, berdasarkan AD/ART Majelis Desa Adat Bali ditekankan bahwa Desa Adat telah menyerahkan setengah dari kewenangannya kepada Majelis Desa Adat pada Paruman Agung se-Bali serta Desa Adat juga memiliki kewajiban untuk menghormati dan menaati segala ketetapan dan keputusan Majelis Desa Adat. Oleh karena itu, secara yuridis Desa Adat di Bali telah menyerahkan setengah dari kekuasaannnya kepada Majelis Desa Adat namun landasan terkait penyerahan kewenangan serta pembentukan Pasikian Desa Adat tersebut masih menjadi polemik pada masyarakat.
Berbagai penelitian terkait Majelis Desa Adat di Bali serta tata hubungannya dengan Desa Adat di Bali telah dilakukan oleh beberapa pakar hukum adat. Salah satunya pada tahun 2016, Anak Agung Istri Atu Dewi melakukan penelitian yang berjudul “Potensi Hukum Adat: Peran Majelis Desa Pekraman (MDP) Bali Dalam Pembangunan Hukum Nasional”. Penelitian tersebut terpusat pada Potensi hukum adat Bali dalam pelaksanaan pembangunan hukum nasional serta kedudukan dan fungsi Majelis Desa Pekraman di Provinsi Bali dalam pembangunan Hukum Nasional.4 Selanjutnya Ida Ayu Sadnyini pada tahun 2016 melakukan penelitian yang berjudul “Implementasi Keputusan Mdp Bali Tahun 2010 Ke Dalam Awig-Awig Desa Pakraman Di Bali”. Penelitian tersebut terpusat pada hak waris anak perempuan dalam masyarakat Hindu di Bali sebelum keluarnya Keputusan MDP Bali dan pengimplementasian Keputusan MDP Bali Tahun 2010 ke dalam awig-awig desa pakraman.5 Isu hukum yang dikaji dalam penelitian tersebut tentu sangat berbeda dengan isu hukum yang dibahas dalam artikel ini, yaitu: (1) Dasar Dari Kewenangan Desa Adat Untuk Membentuk Pasikian Desa Adat; dan (2) Konsekuensi Yuridis Pasca Terbentuknya Majelis Desa Adat Terhadap Desa Adat di Bali. Hal tersebutlah yang kemudian menjadi latar belakang dalam mengkaji lebih lanjut mengenai Majelis Desa Adat sebagai Pasikian Desa Adat di Bali.
Berlandaskan pada Pendahuluan tersebut, dirumuskan dua permasalahan yang harus diteliti lebih lanjut sebagai berikut:
-
1. Apakah Desa Adat Memiliki Kewenangan Untuk Membentuk Pasikian Desa Adat?
-
2. Bagaimakah Konsekuensi Yuridis Pasca Terbentuknya Majelis Desa Adat Terhadap Desa Adat di Bali?
Adapun tujuan dari penelitian terhadap Isu Hukum Majelis Desa Adat sebagai Pasikian Desa Adat di Bali, antara lain:
-
1. Untuk Memperdalam Pengetahuan Mengenai Dasar Dari Kewenangan Desa Adat Untuk Membentuk Pasikian Desa Adat.
-
2. Untuk Mengetahui Konsekuensi Yuridis Pasca Terbentuknya Majelis Desa Adat Terhadap Desa Adat di Bali.
Pada pengkajian artikel ini, digunakan penelitian hukum secara normatif (normative legal research) dengan mempergunakan tiga jenis pendekatan antara lain pendekatan secara konseptual, perundang-undangan, serta sejarah. Untuk menunjang penelitian, dipergunakan dua bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer pada artikel ini terdiri atas peraturan perundang-undangan dan teori serta asas hukum. Lalu mempergunakan bahan hukum sekunder diantaranya literatur atau karya ilmiah terpublikasi, berepurtasi di Indonesia. Seluruh bahan hukum dikumpulkan dan dianalisis dengan pendekatan normatif dengan menggunakan pendekatan sejarah, konseptual dan perundang-undangan yang menghasilkan suatu temuan dengan melakukan penelitian terhadap sistematika hukum, yaitu dengan meneliti lebih dalam terkait definisi pokok dalam hukum antara lain, subyek dan obyek hukum serta hak dan kewajibannya dan suatu kejadian yang berkaitan dengan hukum pada peraturan perundang-undangan.6
I Gusti Gede Raka mengemukakan pendapat bahwa Desa Adat di Bali merupakan suatu kelompok teratur yang berhak mengatur wilayah dan anggota masyarakatnya sendiri dengan ikatan Khayangan Tiga yang telah ditempati secara turun-temurun dan memiliki tata krama hidup serta tradisi masyarakat umat beragama Hindu.7
Hak dari Desa Adat di Bali telah diakui dan dilindungi keberadaannya oleh Negara. Apabila dikaitkan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945, Seluruh hak dari Desa Adat di Bali selama masih hidup, berifat dinamis serta masih selaras dengan asas Negara Indonesia serta tatanan perundang-undangan mendapat perlindungan dan pengakuan oleh Negara.
Lebih lanjut, hak-hak Desa Adat telah mendapat pengakuan dari Negara sepanjang masih sesuai dengan pengaturan pada UUD sesuai yang diatur pada Pasal 3 UUPA. Selain itu pengaturan terkait diatur pada pasal 97 UU tentang Desa yang bermakna keseluruhan Desa Adat serta hak tradisional sekaligus substansinya mendapat pengakuan sepanjang masih hidup.8
Sesuai yang diatur dalam Perda Desa Adat, Desa Adat mempunyai tugas dalam mewujudkan ketentraman, kesejahteraan, kebahagiaan dan kedamaian baik sekala maupun niskala yang pada teorinya disebut dengan kasukretan Desa Adat. Untuk mewujudkan kasuskretan Desa Adat tersebut, Desa Adat bergerak untuk menjaga dan memajukan berbagai aspek pada wewidangan Desa Adat yang menyangkut agama, adat, tradisi, seni budaya dan kepribadian lokal masyarakat. Untuk mewujudkan seluruh Tugas yang telah diatur di Perda tersebut di atas, Desa Adat membentuk Majelis Desa Adat sebagai lembaga pemberi nasihat, pertimbangan, pembinaan, penafsiran serta keputusan yang ada kaitannya untuk menjaga tata kelola hukum adat dan sebagai mitra kerja Pemerintah.
Majelis Desa Adat atau yang sebelumnya disebut dengan Majelis Desa Pekraman adalah persekutuan seluruh Desa Adat di Bali yang telah dibentuk secara bersama pada Paruman Agung. Sesuai yang telah diatur pada Pasal 76 Perda Desa Adat, Majelis Desa Adat memiliki tugas yang berkaitan dengan penyaluran aspirasi Desa Adat kepada Pemerintah, pembinaan terhadap berbagai unsur pada Desa adat dan bersama-sama menjaga adat, agama, tradisi, seni dan budaya agar selalu ajeg dan lestari.9
Terkait dengan kewenangan Desa Adat dalam mebentuk Majelis Desa Adat, secara yuridis pengaturannya dapat dilihat pada UU tentang Desa. Pada peraturan tersebut memuat beberapa asas, namun yang berkaitan dengan penelitian ini adalah asas “rekognisi” dan “subdidiaritas” yang membuat adanya perubahan serta pembaharuan paradigma Desa. Dengan kedua asas tersebut mengahasilkan definisi Desa adalah kelompok yang beranggotakan masyarakat hukum pada suatu wilayah tertentu serta memiliki wewenang untuk menjalankan otononinya secara mandiri, kebutuhan masyarakat yang berlandaskan inisiatifnya tersendiri serta hak tradisional maupun asal-usul sepanjang diakui pada sistem pemerintahan NKRI.
Berdasarkan UU Desa, kewenangan Desa dikelompokan sebagai berikut: kewenangan dalam menjalankan roda pemerintahan Desa, kewenangan dalam melaksanakan pembangunan Desa, kewenangan dalam melakukan pembinaan bagi Masyarakat, dan kewenangan dalam meningkatkan SDM Desa dengan berlandaskan inisiatif masyarakat maupun hak asal usul dan adat istiadat Desa.10
Asas Rekognisi mempunyai pengertian bahwa pengakuan terhadap desa yang sudah berdiri lama dengan segala hukum adat, adat istiadat dan berbagai sebutan lainnya yang dimiliki oleh masyarakat lokal atau dengan kata lain pengakuan terhadap hak asal-usul Desa Adat. Sehingga asas rekognisi mempunyai tujuan lain untuk mensejahterakan dan mewujudkan masyarakat yang berdikari serta inovatif selain hanya mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat Desa sebagai cerminan keadilan. Sedangkan Asas Subsidiatiras pada Penjelasan UU Desa memiliki bermakna Desa memiliki wewenang untuk menetapkan serta mengambil keputusan dalam skala lokal dengan mengutamakan kepentingan masyarakat.11
Terkait dengan kedua asas diatas, penulis menafsirkan bahwa secara yuridis Desa Adat di Bali memiliki kewenangan untuk membentuk suatu lembaga. Hal tersebut
telah termuat pada tatanan perundang-undangan yang berlaku. Pada UU tentang Desa mengatur bahwa hak asal-usul dari desa adat telah diakui. Hak asal-usul dalam hal ini adalah segala adat istiadat serta hukum masyarakat yang diterapkan pada Desa Adat. Masih pada UU Desa, diatur pula bahwa Desa Adat demi menjaga serta mewujudkan kepentingan masyarakatnya berhak menembentuk serta menetapkan suatu keputusan yang berskala lokal. Terkait hal tersebut Desa Adat mempunyai wewenang membentuk suatu lembaga dengan tujuan untuk mewujudkan kepentingan Desa Adat serta masyarakat Desa Adat. Kewenangan tersebut dikuatkan dengan status Desa Adat selaku subyek hukum sebagaimana diatur pada Perda Desa Adat. Lalu jika dikaitkan dengan pengakuan terhadap hak dari Desa Adat termasuk ke dalamnya untuk membentuk suatu lembaga, diatur dalam Pasal 18B UUD NRI.
Secara sosiologis, Desa Adat di Bali sejak awal telah mempunyai prinsip otonomi yang disertai dengan hak otonom. Konsep otonomi Desa Adat di Bali mempunyai landasan kuat yaitu hak kodrati milik Desa Adat itu sendiri. Hak otonomi yang dimiliki desa adat meliputi kewenangan dalam menetapkan aturan hukum, menjalankan roda organisasi dan menyelesaikan persoalan-persoalan hukum pada wilayah Desa Adat. Secara praktek di lapangan Desa Adat menjalankan pemerintahannya selalu berpatokan pada otonomi aslinya.12
Landasan sosiologis adalah suatu pertimbangan dalam pembentukan suatu keputusan yang bertujuan agar senantiasa keputusan terkait memenuhi dan mewakilkan kepentingan masyarakat atau landasan yang berkaitan dengan aspek pada fakta di masyarakat. Landasan tersebut sejatinya harus sesuai dengan keadaan seluruh lapisan masyarakat dengan itu suatu keputusan akan memiliki akar sosial yang kuat.13
Dari penjelasan tersebut, apabila dikaitkan dengan kewenangan Desa Adat dalam membentuk Pasikian Desa Adat dari sosiologis sudah mendapat pengakuan dari Pemerintah maupun Pemerintah Daerah. Hal tersebut terbukti dengan diaturnya pengakuan terhadap hak-hak dari Desa Adat dalam UUD, Undang-Undang yang berkaitan dengan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dan Desa Maupun Peraturan Daerah Provinsi Bali. Dengan kata lain, Desa Adat adalah pemerintahan di Negara yang memiliki ciri khasnya masing-masing serta memiliki hukum dan aturannya sendiri.14 Pada prinsipnya masyarakat Desa Adat (Krama) selalu menjunjung tinggi asas musyawarah dalam membuat suatu keputusan serta menghargai setiap keputusan yang telah ditetapkan bersama dalam musyawarah atau lazim disebut dengan Paruman desa. Jika dikaitkan dengan pembentukan Majelis Desa Adat juga diuatamakan asas musyawarah dalam Paruman Agung Desa Adat se-Bali. Oleh karena itu pembentukan tersebut telah disepakati oleh sebagian besar Masyarakat (Krama) Desa Adat di Bali
Lebih Lanjut, mengacu kepada Perda Desa Adat, Majelis Desa Adat merupakan Pasikian seluruh Desa Adat di Bali sebagai wujud mitra kerja terhadap Pemerintah maupun Pemerintah Daerah. Oleh karena itu Majelis Desa Adat merupakan representasi dari seluruh Desa Adat di Bali. Sederhananya Representasi dapat dijelaskan sebagai
menghadirkan yang tidak hadir. Pada buku The Concept of Representation karya Hanna F. Pitkin dijelaskan bahwa teori representasi politik, pada Pemerintahan perwakilan selalu mengutamakan keterlibatan dari yang diwakilkan dengan cara pemilihan atau election supaya terciptanya lembaga yang utama.
Berkaitan dengan penelitian, Majelis Desa Adat merupakan wujud dari lembaga utama sebagai representasi Desa Adat di Bali yang telah dibentuk pada Paruman Agung Desa Adat Se-Bali. Dengan itu Desa Adat tidak hadir secara nyata namun hak-haknya diwakili oleh Majelis Desa Adat. Jadi Majelis Desa Adat merupakan lembaga perwakilan Desa Adat kepada Pemerintah maupun Pemerintah Daerah.15
Walaupun mempunyai hak Otonomi, Desa Adat di Bali juga sangat bergantung dengan pihak lain dalam menjalankan wewenang dan tugasnya. Hal tersebut diatur pada Pasal 81 ayat (1) Perda Desa Adat bermakna Desa Adat di Bali memiliki hak untuk melakukan pertalian dengan semua pihak termasuk Majelis Desa Adat.
Majelis Desa Adat sebagaimana diatur dalam Perda Desa Adat memiliki makna persekutuan (Pasikian) Desa Adat pada berbagai tingkatan di Provinsi Bali yang berjenjang dengan tugas dan wewenang yang berkenaan dengan penyaluran aspirasi Desa Adat kepada Pemerintah, pembinaan terhadap berbagai unsur pada Desa adat dan menetapkan berbagai keputusan berkaitan dengan adat istiadat di Provinsi Bali. Segala hak dan kewajiban tersebut selalu berlandaskan pada agama Hindu serta kearifan lokal. Terkait dengan keudukannya, Majelis Desa Adat bekedudukan pada masing-masing Ibu Kota di setiap jenjangnya baik Provinsi, Kabupaten dan Kecamatan serta dalam pembentukannya melalui paruman pada setiap tingkatan serta kepengurusannya dibentuk pada saat paruman dengan memiliih peserta paruman sebagai pengurusnya.
Lebih lanjut, pasal 81 ayat (2) mengatur bahwa pertalian Desa Adat dengan Majelis Desa Adat bersifat koordinatif, otoratif dan kosultatif. Sebagai contoh adalah Desa Adat bekerja sama dengan Desa Adat lain, dalam kerja sama Desa Adat melakukan penyelarasan dengan Majelis Desa Adat sesuai dengan jenjangnya. Apabila melakukan kerja sama, Desa Adat menuangkannya dengan cara menyepakati bersama suatu keputusan atau dapat berupa perjanjian tertulis lalu disampaikan kepada masing-masing Majelis Desa Adat Pada setiap jenjang atau tingkatannya. Contoh lainnya adalah saat Desa Adat menyusun perancangan pembangunan pada Wewidangan Desa Adat akan berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah, Majelis Desa Adat, dan Pemerintah Desa Dinas sesuai dengan pasal 92 ayat (4).16
Setelah terbentuknya Majelis Desa Adat tentu ada konsekuensi hukum terhadap Desa Adat di Bali. Hal tersebut sesuai yang tertuang pada Perda Desa Adat utamanya tentang tugas serta wewenang Majelis Desa Adat. Salah satunya adalah dalam penyuratan Awig-Awig dan Perarem, dalam hal ini Majelis Desa Adat menjalankan dua
tugasnya yaitu dalam penyusunan pedoman terkait penyuratan Awig-awig dan Perarem serta menjalankan tugas untuk melakukan mendampingan terhadap Desa Adat pada proses penyuratan Awig-Awig dan Perarem.
Terkait kedua hal tersebut harus dipatuhi oleh seluruh Desa Adat di Bali, walaupun Desa adat memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan hukumnya dengan memperhatikan seluruh aspek kehidupan desa adat sebagai pengejawantahan dari filsafat Tri Hita Karana yang pada awal keberadaannya, hanya ditetapkan secara tidak tertulis oleh masyarakat dengan berbagai keputusan yang tercipta pada Paruman Desa. Hal tersebut dikarenakan masih minimnya budaya baca tulis pada masyarakat adat di Bali. Tetapi seiring berjalan waktu, Krama Desa adat di Bali telah hampir seluruhnya mengenal budaya literasi termasuk Prajuru Desa Adat, berbagai aturan yang sebelumnya hanya ditetapkan secara tidak tertulis pada Paruman Desa tersebut kemudian dicatat agar mudah mengingatnya serta meminimalisir pelanggaran karena kesalahan tafsir dengan isi Awig-Awig. Sesuai yang diatur pasal 13 ayat 4 Perda Desa Adat bahwa Desa Adat memiliki kewajiban untuk menyurat Awig-Awig. Walaupun demikian, Awig-Awig yang belum tersurat pun memiliki kekuatan hukum yang sama.17
Serta dalam penyuratan aturan tersebut harus disesuaikan dengan pedoman penyuratan yang telah disusun oleh Majelis Desa Adat walaupun pada pedoman penyuratan awig-awig yang telah disusun ditemukan adanya pergeseran tatanan terkait klasifikasi hukum Desa Adat yang semula Desa Mawacara menjadi Bali Mawacara. Apabila ditelaah secara mendalam Desa Adat di Bali mempunyai klasifikasi hukum berbasis “desa, kala, patra, desa mawacara”. Dijabarkan lebih lanjut, Bali Mawacara adalah kesatuan aturan yang bemuatan adat serta belaku di Provinsi Bali secara menyeluruh dan seragam pada wilayah tersebut, baik itu tertulis maupun belum tertulis. Sedangkan Desa Mawacara memiliki pengertian serupa namun memiliki perbedaan dalam muatannya disesuaiakan dengan keadaan di wewidangan Desa Adat.18 Dengan kata lain akan terjadinya persamaan muatan dalam aturan yang dibentuk oleh seluruh Desa Adat di Bali.
Selanjutnya Majelis Desa Adat mempunyai wewenang untuk menyelesaikan berbagai persoalan adat /wicara pada wewidangan Desa Adat yang telah diserahkan oleh Prajuru Desa Adat yang merupakan perpanjangan tangan dari masyarakat adat, dalam menjalankan wewenang tersebut Majelis Desa Adat menjalani dua peran antara lain:19
-
• Dalam perannya sebagai Lembaga Pengadilan Adat, Majelis Desa Adat memiliki kedudukan selaku Sabha Kerta (Hakim Perdamaian Desa). Pada ketentuan MUDP Bali No. 002/Skep/MDP Bali/IX/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Dan Petunjuk Teknis Dalam Penyelesaian Wicara (kasus adat) diatur mengenai tata cara peradilan serta inti sari Majelis Desa Adat dalam menyelesaikan wicara yang telah dilimpahkan tersebut.
-
• Peran Majelis desa adat sebagai penengah dalam penyelesaian sengkea adat dengan mengdepankan kepada kedamaian semua pihak dalam sengketa adat. Majelis Desa Adat dalam kapasitasnya sebagai mediator dalam menyelesaikan kasus adat berdasarkan ketentuan MUDP Bali No.
002/Skep/MDP Bali/IX/2011. Hal tersebut juga bertaut dengan wewenang Majelis Desa Adat dalam menyelesaikan perkara adat sesuai Pasal 76 Perda Desa Adat di Bali.
Sejatinya untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum, Desa Adat memiliki hak untuk melakukannya sendiri sesuai dengan Awig-Awig pada setiap Desa Adat. Pada salah satu Awig-Awig ditemukan adanya pengaturan terkait kompetensi Peradilan Adat, yaitu seluruh wicara/perkara adat yang terjadi serta sepanjang perlanggaran tersebut menganggu keseimbangan hubungan-hubungan Pawongan, Palemahan, dan Parhyangan pada Wewidangan Desa Adat, baik berupa pelanggaran hukum maupun sengketa pada Desa Adat, dalam penyelesaiannya sepenuhnya Menjadi wewenang dari Peradilan Adat. Namun penanganan terhadap sengketa berbeda halnya dengan pelanggaran hukum, di mana penyelesaian sengketa dapat ditangani oleh Desa Adat apabila sudah mendapat pengaduan dari pihak yang berperkara.
Dalam penyelesaian sengketa, Desa Adat menggunakan dua jalan dalam penyelesaian persoalan hukum adat pada wilayahnya. Hal tersebut sesuai dengan ajaran dari Moh. Koesno yaitu dengan cara menyelesaikan perkara dan memutus perkara. Memang pada Awig-Awig tidak diatur sangat eksplisit terkait dengan hal tersebut, namun apabila ditelaah lebih dalam dikualifikasikan bahwa penyelesaian persoalan hukum pada Desa Adat dapat diselesaikan dengan menggunakan kedua ajaran tersebut tergantung bagaimana kebutuhan dari persoalan-persoalan hukum baik itu perkara adat maupun sengketa.20 selain keputusan dalam mengadili perkara adat/wicara, Desa Adat harus menerima keputusan Majelis Desa Adat apabila Prajuru Desa Adat diduga melakukan pelanggaran.
Majelis Desa Adat juga memiliki wewenang yang berkaitan dengan lembaga Desa Adat di Bali. Salah satunya adalah membentuk lembaga adat yang terdiri dari Paiketan Pemangku, Paiketan Serati, Pacalang, Yowana Desa Adat dan Lembaga lainnya. Selain itu dalam pengelolaan kelembagaan serta manajemen utsaha adat, Majelis Desa Adat memiliki wewenang untuk membentuk sekaligus menetapkan ketentuan adat terkait. Padahal sejatinya desa adat berwenang mengatur roda pemerintahannya termasuk untuk mengurusi lembaga adat pada Desa Adat. Pada dasarnya Tata pemerintahan Desa Adat yang dijalankan oleh Prajuru atau Dulu (Paduluan) sangat bervariasi serta bergantung dengan tipe Desa Adat yang bersangkutan. Secara lumrah Desa Adat di Bali menganut sistem pemeritahan tunggal, yang dalam hal tersebut terdiri dari seorang Bendesa (pemimpin Desa Adat) yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh Penyarikan (sekertaris) dan patengan (bendahara) serta Kasinoman. Lebih lanjut menurut P. Windia
Menyatakan pada masing-masing Desa Adat mempunyai kepengurusan Banjar umumnya terdiri dari Kelihan, Penyarikan serta Patengan, lalu apabila Banjar dengan wilayah yang luas serta anggota yang relatif banyak akan dibagi menjadi beberapa bagian atau wilayah yang lazim disebut dengan Tempekan dengan pimpinan yaitu kelihan Tempek agar dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban anggota lebih efektif dan efisen. Tempekan memiliki fungsi untuk menyelesaikan pekerjaan Banjar tertentu dengan bentuk kelompok.21
Lebih lanjut Pada pasal 53 Pergub Bali No 4 Tahun 2020, bermakna bahwa dalam pemilihan Bendesa Adat atau sebutan lain pada Desa Adat masing-masing diatur dengan pedoman Ngadegang Bandesa Adat yang dibentuk oleh MDA tingkat Provinsi serta difasilitasi oleh Dinas. Oleh karena itu segala tugas serta wewenang dari Majelis Desa Adat harus dihormati serta dipatuhi oleh seluruh Desa Adat di Bali. Hal tersebut dikarenakan sesuai yang telah diatur dalam AD/ART Majelis Desa Adat bahwa, Desa Adat telah menyerahkan setengah dari kewenangannya kepada Majelis Desa Adat serta Majelis Desa Adat wajib melaksanakan setengah wewenang dari Desa Adat tersebut. Desa Adat juga memiliki kewajiban untuk menghormati dan menaati setiap Ketetapan dan Keputusan Majelis Desa Adat, menghormati dan menjaga nama baik MDA sebagai Pasikian Desa Adat se-Bali, dan membantu penguatan eksistensi MDA sehingga menjadi lembaga yang dihormati dan disegani oleh pihak lain.
Berdasarkan uraian pada masing-masing sub hasil dan pembahasan, ditemukan bahwasannya Desa Adat sebagai persekutuan Masyarakat Hukum Adat di bali berhak untuk membentuk suatu lembaga yang menjadi wadah bagi seluruh Desa Adat di Bali yang bertujuan sebagai Mitra Keraja Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta pemberi nasihat, wejangan untuk menjaga Desa Adat di Bali selalu ajeg dan lestari. Secara yuridis kewenangan tersebut diatur pada Pasal 18B UUD NRI Tahun 1945. Lalu secara sosiologis kewenangan tersebut telah diakui oleh Pemerintah maupun Pemerintah Daerah serta keputusan pembentukan Majelis Desa Adat sebagai Pasikian Desa Adat di Bali telah disepakati dan diakui oleh krama Desa Adat di Bali. Apabila kaitannya dengan teori representasi, Majelis Desa Adat merupakan perwakilan Desa Adat di Bali yang dibentuk dalam Paruman Agung Desa Adat Se-Bali. Pasca pembentukan Majelis Desa Adat, menimbulkan konsekuensi yuridis terhadap Desa Adat di Bali dalam berbagai bidang. Hal tersebut diatur pada Perda Desa Adat, Pergub Bali maupun AD/ART Majelis Desa Adat Bali. Konsekuensi yuridis tersebut dalam bidang penyuratan aturan hukum dalam Desa Adat, Majelis Desa adat berwenang mendampingi serta membentuk pedoman terkait pendaftaran serta penyuratan Awig-awig dan Perarem, Majelis Desa Adat juga berwenang mengadili perkara adat/wicara serta memberikan keputusan apabila Prajuru Desa Adat diduga melakukan pelanggaran. Dalam hal kelembagaan
Desa Adat, Majelis Desa Adat memiliki wewenang membentuk lembaga adat serta memiliki wewenang untuk membentuk pedoman ngadegang Bendesa. Segala konsekuensi yuridis tersebut harus dipatuhi meskipun Desa Adat memiliki otonomi desa adat, hal tersebut dikarenakan pada AD/ART Majelis Desa Adat diatur Desa Adat telah menyerahkan setengah dari kewenangannya kepada Majelis Desa Adat dan Majelis Desa Adat wajib melaksanakan setengah wewenang dari Desa Adat tersebut
DAFTAR PUSTAKA
Buku
P. Windia, Wayan dan Sudantra, Ketut. Pengantar Hukum Adat Bali. Cetakan ke-2 (Denpasar, Swasta Nulus, 2016).
Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia. Cetakan ke-16 (Depok, Rajawali Pers, 2020).
Sudantra, I Ketut. Pengakuan Peradilan Adat. (Denpasar, Swasta Nulus, 2016).
Jurnal
Dewi, Anak Agung Istri Ari Atu. "Analisis Yuridis Peluang Partisipasi Desa Adat Dalam Pembentukan Hukum." Lex Journal: Kajian Hukum & Keadilan 2, no. 1 (2018).
Dewi, Anak Agung Istri Ari Atu. "Eksistensi otonomi desa pakraman dalam perspektif pluralisme hukum." Jurnal Magister Hukum Udayana 3, no. 3 (2014): 44135.
Dewi, Anak Agung Istri Ari Atu. "Potensi hukum adat: peran majelis desa pakraman (mdp) bali dalam pembangunan hukum nasional." Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Udayana 61 (2016): 239.
Dewi, Ni Made Lidia Lestari Karlina. "Peran Desa Pakraman Dalam Pembentukan Perarem Terkait Penyelesaian Konflik Alih Fungsi Lahan1." Jurnal Magister Hukum Udayana (2016).
Dharmada, I. Gusti Agung Gde, and Dewa Nyoman Rai Asmara Putra. "Pengaturan Corporation Social Responsibility Sebagai Pendapatan Desa Adat Di Bali." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 8, no. 12 (2020): 1942-1951.
Insiyah, Sayyidatul, Xavier Nugraha, and Shevierra Danmadiyah. "Pemilihan Kepala Daerah Oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah: Sebuah Komparasi Dengan Pemilihan Secara Langsung Oleh Rakyat." Supremasi Hukum: Jurnal Penelitian Hukum 28, no. 2 (2019): 164-187.
Noak, Piers Andreas. "Kedudukan Dan Kewenangan Desa Adat Dan Desa Dinas di Bali Pasca Pemberlakuan UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Dalam Perspektif Administratif." In International Conference “Democracy for People, p. 4. 2016.
Nurhayati, Yati, Ifrani Ifrani, and M. Yasir Said. "Metodologi Normatif Dan Empiris Dalam Perspektif Ilmu Hukum." Jurnal Penegakan Hukum Indonesia 2, no. 1 (2021): 1-20.
Putra, I. Made Ari Andika, I. Putu Sarjana, and I. Gusti Ngurah Alit Saputra. "Peran Prajuru Adat Dalam Penanggulangan Tindakan Premanisme Di Desa Adat Medahan." Hukum dan Kebudayaan 1, no. 2 November (2020): 1-11.
Putri, Lia Sartika. "Kewenangan Desa dan Penetapan Peraturan Desa." Jurnal Legislasi Indonesia 13, no. 2 (2018): 161-175.
Ra’is, Dekki Umamur. "Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif Asas Rekognisi Dan Subsidiaritas Undang-Undangdesa Nomor 6 Tahun 2014." Reformasi 7, no. 1 (2018).
Sadnyini, Ida Ayu. "Implementasi Keputusan MDP Bali Tahun 2010 ke dalam Awig-Awig Desa Pakraman di Bali." Jurnal Magister Hukum Udayana 5, no. 3 (2016).
Sudantra, I. Ketut, I. Made Walesa Putra, and Yuwono Yuwono. "Aspek-aspek Hukum Keluarga dalam Awig-Awig Desa Pakraman." Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 5, no. 1 (2016): 43-58.
Sudantra, I. Ketut. "Pengaturan peradilan adat dalam awig-awig desa pakraman: Studi pendahuluan tentang eksistensi peradilan adat dalam kesatuan masyarakat hukum adat desa Pakraman." Jurnal Magister Hukum Udayana 3, no. 2 (2014): 44120.
Wibawa, I. Putu Sastra, I. Putu Gelgel, and I. Wayan Martha. "Tata Cara Penyuratan Dan Pendaftaran Awig-awig Desa Adat di Bali (Dari Desa Mawacara ke Bali Mawacara)." Mudra Jurnal Seni Budaya 35, no. 3 (2020): 257-265.
Wibawa, I. Putu Sastra, I. Wayan Martha, and I. Komang Dedi Diana. "Menakar Kewenangan Dan Tata Hubungan Kelembagaan Antara Majelis Desa Adat Dengan Desa Adat Di Bali." VIDYA WERTTA: Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia 3, no. 1 (2020): 96-105.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 No. 104.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 No. 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali, Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2019 No. 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali No.4.
Peraturan Gubernur Bali Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali, Berita Daerah Provinsi Bali Tahun 2020 No. 4.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-V/2007.
Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga Majelis Desa Adat Bali
Keputusan MUDP Nomor 050/Kep/Psm-1/MDP Bali/III/2006 tentang hasil Pesamuhan Agung I MDP
Ketentuan Majelis Utama Desa Pakraman (saat ini disebut dengan Majelis Desa Adat) Bali Nomor 002/Skep/MDP Bali/IX/2011 Tentang petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dalam penyelesaian wicara (kasus adat).
Internet
Majelis Desa Adat Provinsi Bali. “Gambaran Umum Majelis Desa Adat Provinsi Bali.” http://mdabali.or.id/tentang (accessed April 6, 2021).
Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 3 Tahun 2022 hlm 289-300
300
Discussion and feedback